Anda di halaman 1dari 15

Hukum Kelembagaan Negara

Makalah

Disusun Oleh Mulyadi D.101.12.150

BT 3 Fakultas Hukum Universitas Tadulako

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini, tujuan penulisan makalah ini agar dapat memenuhi tugas Hukum Lingkungaan yang di berikan kepada saya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan kita semua.

Palu , april 2014 Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang B. tujuan Penulisan C. Rumusan Masalah

. . . . .

BAB II II. PEMBAHASAN


A. LEMBAGA KEPRESIDENAN

BAB III III. PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem pemerintahan presidensial lahir dari penolakan terhadap sistem yang digunakan negara penjajah dan penolakan terhadap dominasi raja-raja. Mulanya, Amerika sebagai negara yang dijajah Inggris menolak mengikuti sistem yang dianut oleh penjajahnya tersebut. Fakta itu juga dialami Indonesia yang melepaskan diri dari cengkeraman kolonial Belanda. Meskipun dalam perdebatan yang terjadi dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) terjadi cara pandang berbeda mengenai bentuk negara: monarki atau republik, namun perdebatan itu berakhir, para pendiri bangsa sepakat untuk memilih Indonesia menjadi sebuah negara republik. Pilihan itu tentu saja memengaruhi sistem pemerintahan seperti apa yang dianut di Tanah Air. Para penyusun UUD 1945 menentukan sistem pemerintahan yang akan dibentuk. Menurut Muh Yamin dan Supomo, presiden merupakan kepala negara yang mengendalikan dan akan menjunjung kedaulatan negara republik Indonesia keluar dan kedalam. Sistem pemerintahan presidensial tersebut mengalami perubahan yang luar biasa dalam pelbagai periode pemerintahan. Misalnya, terjadi pengaburan sistem sepanjang masa berkuasanya Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Pelbagai peristiwa politik penting telah menyebabkan terjadinya perubahan cita rasa sistem pemerintahan presidensial, baik melalui pergolakan politik maupun melalui konstitusi baru: Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950. Kondisi yang sama terjadi pada masa panjang pemerintahan Presiden Soeharto. Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, Presiden telah berganti menjadi sangat powerful dan cenderung dianggap sebagai otoriter. Itu sebabnya Ismail Suny menyebut telah terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif. Kondisi demikian menyebabkan telah terjadinya perubahan konstitusi yang disebabkan kekuatan-kekuatan politik tertentu sebagaimana dikemukakan KC Wheare.[3] Ketika perubahan itu terjadi, pada dasarnya sistem pemerintahan telah mengalami perubahan yang signifikan.

Dalam naskah perubahan UUD 1945, pelbagai ruang kealpaan praktik sistem pemerintahan presidensial yang berada di dalam konstitusi hendak diperbaiki. Peluang disalahgunakannya kekuasaan presiden diharapkan akan dapat ditutupi dalam ketentuan pasal-pasal baru UUD 1945. Misalnya, ketika Presiden Abdurahman Wahid membubarkan dua departemen yang menciptakan kehebohan, sebagian kalangan menyadari kewenangan Presiden menentukan isi kabinet bisa berbahaya. Berbahaya ketika Presiden tidak memahami departemen mana saja yang memiliki resiko ketika dibubarkan. Sayangnya, upaya pembatasan kekuasaan, terkait pembubaran departemen tersebut, tidak terjadi dalam perubahan UUD 1945. Akan tetapi, ide membatasi kekuasaan Presiden dalam pembubaran department itu dapat dipenuhi dalam ketentuan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. UU Kementerian Negara menentukan bahwa terdapat kementerian-kementerian tertentu yang tidak diperkenankan untuk dibubarkan. Ketentuan di dalam UU Kementerian Negara itu memperlihatkan bahwa kewenangan Presiden dapat ditambah atau dikurangi melalui sebuah produk perundang-undangan. Namun penyusupan pelbagai norma yang digagas dalam perubahan UUD 1945 kedalam UU akan menjadi masalah apabila para perancang UU tidak memiliki dasar berpikir mengenai konsepsi sistem presidensial yang selayaknya. Bukan tidak mungkin, UU yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam sistem presidensial. Yang terjadi adalah sistem presidensial akan semakin hambar. Akibatnya kehadiran UU Lembaga Kepresidenan penting dicermati lebih dalam. .B. Maksud dan Tujuan Penulisan Adapun maksud dan tujuan penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai tugas mata kuliah Hukum Kelembagaan Negara yang di berikan oleh Dosen pembimbing sebagai tugas pada Fakultas Hukum Universitas Tadukalo Palu

C. Rumusan Masalah A. Lembaga Kepresidenan

BAB II PEMBAHASAN
1. Presiden dan Partai politik

Presiden tak harus berasal dari partai politik. Pernyataan itu mungkin patut diperdebatkan, namun yang pasti seorang kader partai yang telah terpilih menjadi Presiden tidak diperbolehkan menjadi pengurus aktif di partai politik. Kekhilafan Presiden SBY untuk menjadi ketua partai ketika memimpin menjadi Presiden bukan satu-satunya. Presiden Megawati Soekarnoputri juga pernah melakukan hal yang sama ketika memimpin pemerintahan. Ketika Presiden SBY dan Megawati memilih untuk mengelola partai sambil memimpin bahtera negara, maka tanpa disadari telah terjadi perubahan sistem pemerintahan. SBY secara tak langsung telah mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi bergaya parlementer. Kondisi yang sama pernah dilakukan Presiden Sukarno yang menata kabinetnya bak sistem pemerintahan campuran (hybrid system) ala Prancis, padahal pembentuk UUD 1945 menginginkan sistem presidensiil. Dalam masa revolusi, pilihan Sukarno untuk mengubah sistem pemerintahan bisa saja dibenarkan. Tapi tindakan SBY mengaburkan sistem pemerintahan tentu jauh dari prinsip konstitusional yang telah diatur dalam perubahan UUD 1945. Jamak dipahami bahwa di dalam sistem presidensiil terjadi pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal senada dikemukakan Alan Siaroff dalam buku,Comparative European Party Systems, yang menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial, pemerintahan tidak bertanggung jawab kepada legislative dan komposisi kabinet tidak berkaitan pula dengan kursi di parlemen. Pemisahan kekuasaan tersebut tidak terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Keberhasilan partai menguasai kursi parlemen berarti ketua partai memimpin pemerintahan. Kondisi sistem pemerintahan parlementer itu terbaca ketika SBY memilih untuk memimpin PD (yang merupakan partai mayoritas di parlemen) . Tak ayal lagi telah terjadi terjadi percampuran pengelolaan partai dan negara sekaligus di tangan satu orang pemimpin. Para pendiri negara dan pelaku perubahan UUD 1945 menyepakati untuk memilih presidensiil sebagai sistem). Sistem presidensiil tidak menghendaki ketua partai politik mayoritas di

parlemen memimpin pemerintahan. Pola tersebut diharapkan menciptakan mekanisme pengawasan parlemen (legislatif) terhadap eksekutif. Pilihan SBY dan Megawati memimpin partai tentu menimbulkan kekaburan konstitusionalitas terhadap model sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan UUD 1945. Bukan tidak mungkin langkah SBY dianggap melanggar konstitusi. Kealpaan kedua, SBY dan Megawati telah menyebabkan kabinet gamang. Apalagi SBY telah memerintahkan para menteri kabinetnya untuk berkonsentrasi pada kinerja pemerintahan. Setiap menteri diminta tidak melakukan langkah-langkah partai meskipun tahun politik Pemilu 2014 sudah dekat. Para menteri tentu saja bimbang karena pemberi komando telah mengingkari perintahnya sendiri. Bagi para menteri yang partainya berbeda dengan SBY, kealpaan ini menjadi kesempatan untuk mengabaikan perintah Presiden. Jika kabinet tidak lagi mengurus negara dan rakyatnya, sulit bagi SBY menampik tuduhan bahwa Indonesia merupakan negara autopilot. dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, pilihan Presiden hanya dua. Tetap berkonsentrasi membenahi partai atau fokus mengelola negara. Jika hendak mengelola partai, Presiden harus berani mundur dari jabatannya. Sebab, tidak wajar dalam sistem presidensiil apabila ketua partai juga merangkap mengelola negara. Manuel L Quezon (1878-1944) menyederhanakannya dengan ungkapan: bahwa pengabdian terhadap partai berakhir ketika pengabdian pada negara dimulai. Ringkasnya, Presiden tidak diperkenankan mengabaikan negara demi menyelamatkan partainya meskipun sedang mengalami kegoncangan. Jika kebimbangan Presiden dalam memilih antara negara dan partai terus terjadi, bukan tidak mungkin kerapuhan di tubuh partai akan menjadi kehancuran bagi sistem presidensiil. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi kehancuran bagi Indonesia. Untuk itu, salah satu yang menjadi aturan penting dalam UU lembaga kepresidenan adalah menentukan secara eksplisit bahwa Presiden tidak diperkenankan merangkap sebagai pengurus partai dalam tingkat apapun, apalagi menjadi ketua, Pembina (atau setingkat) partai. Tegasnya, Presiden dilarang untuk menjabat dalam struktur sebuah partai.

2. Presiden dan kabinet Peristilahan kabinet sendiri, digunakan sebelum 1688 (dokumen lain menunjukan istilah itu digunakan 1685 oleh Raja Charles II) untuk menggambarkan group kecil penasehat dalam kerajaan. Setelah 1688, Raja William III, menggunakan kabinetnya untuk membantunya menjalankan pemerintahan Inggris yang sedang mengalami perperangan dengan Prancis. Untuk mengambil hati parlemen yang didominasi partai Whigs, William memilih orang-orang yang mampu menjalin komunikasi dua arah Kerajaan dan parlemen-. Istilah kabinet itu berhubungan berkaitan dengan lemari kabinet tempat menyimpan piring makan dan semacamnya. Namun peristilah itu menjadi istilah negara karena kejengkelan Raja Charles II terhadap privy council-nya (penasehat raja) yang jumlahnya semakin banyak dan setiap kali memperdebatkan suatu masalah begitu ribut. Untuk mengatasi tersebut raja kemudian memilih orang-orang tertentu agar dapat berbicara dengan mereka lebih terfokus dalam ruang khusus yang lebih kecil. Karena Raja Charles II merupakan raja Inggris keturunan Prancis, Ia menamakan kelompok penasehat kecilnya dengan menyebutnya; cabinet. Dalam bahasa Prancis, kabinet berarti ruang kecil untuk privasi.[19] Di Amerika, Presiden James Madison yang pertama kali memanggil para penasehatnya dengan sebutan: kabinet. Dari penguraian itu tergambarlah bahwa kabinet merupakan lembaga khusus yang dibentuk penguasa untuk membantunya fokus menyelesaikan permasalahan negara. Itu sebabnya kabinet merupakan perbincangan yang amat berkaitan dengan keberadaan Presiden. Sehingga akan terjadi kealpaan apabila dalam UU Lembaga Kepresidenan tidak sinkron dengan UU Kementerian Negara. Untuk menghindari kemungkinan sinkronisasi dan harmonisasi dua undang-undang tersebut, maka kedua undang-undang harus diagabungkan. Dua undang-undang ini harus digabung karena dalam sistem presidensial kabinet merupakan bagian tidak terpisah dari Presiden. Kabinet sendiri dirancang untuk diisi oleh para penasehat (advisor) Presiden, sehingga harus dipahami arah kinerja kabinet merupakan hasil pemikiran utama dari seorang Presiden. Itu sebabnya kabinet bertanggung jawab kepada Presiden berkenaan dengan apakah pokok-pokok pikiran Presiden sudah dilaksanakan atau tidak oleh para menterinya.

Sehingga kabinet bukanlah ruang potensial terciptanya bagi-bagi kekuasaan partai politik koalisi pemerintah. Perlu dipertimbangkan bagaimana kabinet sistem presidensial kita dibangun dari kementerian yang kecil dengan kemampuan yang besar. Tidak terbayangkan bagaimana Amerika semenjak era George Washington yang merancang 3 Departemen dengan 4 menteri hingga ke era Obama dengan 15 Menteri Departemen dan 7 jabatan lain setingkat Menteri. Bahkan setelah berumur 220 tahun lebih, pemerintahan memiliki kabinet yang sangat kecil. Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh beberapa presiden di Indonesia mulai dari era Presiden Sukarno dan Presiden SBY yang menjadikan kabinetnya sebagai pembagian kongsi kekuasaan. UU Kementerian Negara menambah kekacauan dengan menentukan kementerian tertentu yang memiliki wakil menteri. Padahal pembagian itu membuka ruang kepada Presiden dalam menambah ruang untuk partai koalisinya. Akibatnya tak sedikit kursi kabinet yang diisi tanpa menghasilkan kerja maksimal. Pembentukan kabinet yang kecil selain menghemat pengeluaran negara juga menciptakan koordinasi yang strategis antara menteri dan Presiden. Kabinet memang sepenuhnya merupakan kewenangan prerogative Presiden, namun perlu juga dikelola bagaimana kabinet yang jauh dari pembagian koalisi politik terhindari. Untuk terciptanya ruang agar Presiden tidak menjadikan kabinet sebagai ruang bagi-bagi kekuasaan hal itu berkaitan dengan pengetatan jumlah partai ikut dalam Pemilu. Pendirian partai tidak perlu dilarang, hanya yang ikut Pemilu perlu diatur lebih tegas. Tidak mungkin menurut saya partai yang baru saja berdiri, lalu serta-merta dapat ikut Pemilu. Pengaturan ini akan berdampak pada koalisi partai dalam Pemilu dan ujungnya akan memengaruhi jumlah kabinet Presiden pemenang Pemilu. UU Lembaga Kepresidenan harus cermat mengatur bagaimana kekuasaan prerogative Presiden dalam menentukan orang-orangnya dalam kabinet tetapi menutup ruang dari menyimpangnya kekuasaan Presiden tersebut. Hemat saya, Pemerintah dan DPR harus membicarakan ini secara serius terkait kementerian apa saja yang dapat demerger. Misalnya; Kemeterian Perdagangan dapat digabungkan dibawah benderan Kemeterian Ekonomi, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan dapat digabungkan di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup.

3. Presiden dan parlemen Hubungan parlemen dan presiden menjadikan indikasi penting sebuah sistem pemerintahan. Apabila eksekutif berasal dari pemenang kursi di parlemen merupakan sistem pemerintahan parlementer. Jika presiden dan parlemen dipisahkan, maka itulah presidensial. Untuk menjauhkan presiden dari sentuhan parlemen, maka presiden harus lepas dari partai yang memiliki kedekatan dengan parlemen. Menjadi ketua partai merupakan hal yang salah dan menimbulkan aroma parlementer dalam sistem pemerintahan presidensial. Untuk itu, di dalam UU Lembaga Kepresidenan perlu diatur dengan tegas mengenai pelarangan Presiden menjadi pengurus inti partai. Hal lain adalah terkait dengan pembentukan undang-undang. Saya tidak menyetujui bahwa Presiden terlibat dalam pembentukan undang-undang dari awal hingga akhir. Analisis Saldi Isra menyebutkan bahwa dalam pembentukan ternyata pemerintah (di bawah kendali Presiden) terlibat dalam banyak tahapan pembentukan undang-undang. Hal ini tidak sehat karena lembaga DPR dirancang sebagai legislative yang menjadi wakil rakyat untuk membentuk undangundang yang aspiratif. Sehingga pembentukan UU Lembaga Kepresiden harus juga mengalami sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Meskipun rasa skeptis masyarakat terhadapnya lumayan tinggi dan itu juga terjadi di negara lain, namun peran pembentukan undang-undang tetap harus berada di tangan parlemen/legislatif. Harus disadari oleh pembentuk undang-undang Lembaga Kepresidenan (Pemerintah dan DPR), hubungan parlemen/legislatif dan eksekutif dalam banyak kewenangan menimbulkan persaingan. Bahkan juga terjadi persaingan antara hubungan eksekutif dan dua lembaga legislatif meskipun dalam sistem bicameral. James A Thurber menjelaskan mengenai hal tersebut selengkapnya sebagai berikut: Hubungan yang dapat menimbulkan persaingan itu perlu dipahami dengan baik dan kemudian dimaktubkan dalam undang-undang. Misalnya, dalam hubungan pembentukan undang-undang

sebaiknya kekuasaan untuk menentukan undang-undang yang perlu diberlakukan diserahkan kewenangannya sepenuhnya kepada DPR dan DPD. Posisi Presiden bisa memveto rancangan undang-undang bermasalah, namun kemudian DPR dan DPD diberikan pula kewenangan untuk mengabaikan veto itu dengan mekanisme kesepakatan mayoritas tertentu di parlemen untuk memberlakukan rancangan undang-undang tersebut. Hubungan DPR dan DPD dengan Presiden merupakan hubungan yang panjang. Misalnya, perlu juga dibicarakan hubungan terkait impeachment, penentuan penentuan pejabat eksekutif, dan lain-lain. Namun makalah ini hanya bertugas memberikan gambaran umum terkait konteks hubungan parlemen dan eksekutif. 4. Presiden dan lembaga/badan hukum lain Dalam konteks hubungan presiden dan badan-badan kekuasaan kehakiman, Presiden harus diberi kekuasaan yang lebih besar. Kesalahan kita adalah untuk badan-badan kekuasaan kehakiman diserahkan pemilihan anggotanya kepada DPR. Akibatnya terjadilah tawar-menawar politik antara partai di parlemen yang sangat beragam. Padahal mestinya untuk menentukan calon harus diberikan kepada Presiden yang kemudian disetujui oleh parlemen (baca: DPR dan DPD). Baik dari penentuan hakim MA dan MK, komisioner KY, KPK, Komas HAM, dan lain-lain (termasuk KPU). Tugas DPR hanyalah menyetujui tapi tidak melakukan seleksi. Hal itu berkaitan dengan paham bahwa kegagalan proses penyelenggaran negara termasuk penegakkan hukum terpusat pertanggung jawabannya kepada sosok Presiden. Itu sebabnya memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan seleksi merupakan kealpaan fatal. 5. Presiden dan Wakil Presiden Hubungan Presiden dan wakilnya merupakan permasalahan luar biasa dalam konteks ketatanegaran Indonesia. Persaingan ketat antara SBY dan wakilnya Jusuf Kalla memberikan gambaran bahwa koalisi pemerintahan dapat menyebabkan kerusakan pelaksaaan pemerintahan. Namun di sisi lain jabatan Presiden acapkali dipertanyakan karena acapkali kurang berfungsi maksimal dalam membantu Presiden. Misalnya, Wapres Thomas Marshall (untuk Presiden

Amerika Woodrow Wilson) pernah tidak hadir dalam rapat kabinet karena merasa tidak didengarkan pendapatnya. Ungkapan Marshall yang menarik adalah: Mungkin Wakil Presiden adalah seorang negarawan yang baik, tetapi Ia tidak mungkin menjadi wakil Presiden yang baik karena jabatannya bukanlah sesuatu yang penting. Hubungan tak harmonis antara Presiden dan Wapres sudah menjadi catatan sejarah dalam sistem Presidensial. Bahkan Presiden Amerika pertama Geroge Washington dan Wapres John Adams memiliki hubungan yang buruk. Bahkan Presiden Washington jarang mengajak Wapresnya itu untuk berdiskusi. Namun pada masa Wakil Presiden Alber A Gore (Presiden Amerika Bill Clinton), posisi Wapres mendapatkan ruang yang lebih baik dibandingkan para Wapres pendahulunya. Al Gore berperan selain sebagai penasehat Presiden dalam hal kebijakan luar negeri, tetapi Wapres juga memiliki posisi penting dalam pelbagai isu dalam negeri, seperti: penata-ulangan pemerintahan, lingkungan, dan teknologi informasi. Dalam banyak catatan sejarah Indonesia, hubungan Presiden dan Wapres mengalami romantisme yang turun-naik. Kadangkala harmonis, namun dilain periode bisa berseberangan luar biasa. Misalnya, pada masa Presiden Sukarno dan Wapres Moh Hatta, perpecahan diantara keduanya sudah menjadi rahasia umum. Dengan ideology berbeda, kedua pimpinan tersebut sering berseberangan pendapat. Ujungnya, Wapres Hatta mengundurkan diri. Pada masa era Presiden Soeharto, hubungan kepala negara dan Wapres hampir tak terdera isu perpecahan karena Presiden memilih tangan kanan utamanya menjadi pendamping. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid yang ringkas, Wapres Megawati dianggap mendulang posisi yang menguntungkan dengan membiarkan serangan kritik kepada Presiden. Paling fenomenal tentu saja hubungan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, keduanya acapkali terlibat saling sindir di media publik. Pasang surut hubungan Presiden dan Wapres tersebut menarik untuk dicermati dalam kajian terhadap RUU Lembaga Kepresidenan. Harus dipahami relasi antara kedua pimpinan tersebut tidak saja bergantung kepada gaya kepemimpinan Presiden tetapi juga penentuan ada dimana posisi Presiden dalam ketatanegaraan kita. Wapres itu sebuah penasehat atau hanya jabatan ban cadangan yang suatu waktu dipersiapkan mengganti tugas Presiden apabila ada permasalahan. Kepastian itu penting agar perpecahan antara Presiden dan Wapres tidak terjadi.

Untuk menghindari terjadinya persaingan antara Presiden dan Wapres dan kebutuhan partai untuk berkoalisi maka ada baiknya ditentukan bahwa Wapres berasal dari satu partai. Hal itu menghindari dua matahari yang tidak bermanfaat bagi pelaksanaan pemerintahan. Tentu saja pengaturan mengenai ini tidak saja diatur dalam UU Lemabaga Kepresidenan tetapi juga pada UU Pemilu Presiden dan Wapres. Masalah besar timbul karena dalam koalisi Pemilu seringkali partai koalisi bermufakat untuk membagi pencalonan Presiden dan Wapres antra kader partai mereka. Karena partai-partai Tanah Air didominasi kepentingan sesat, ketika jabatan diperoleh perpecahan antara Presiden dan Wapres tak terhindarkan. Lembaga Kepresidenan Sebagai Sistem Pemerintahan Presidensial Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang tugas-tugas eksekutifnya dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh wakil Presiden dan para menteri. Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of

parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif

Presiden bertanggung jawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi. Dia dapat diimpeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah neben bukan geordenet dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi Selanjutnya, Lembaga Kepresidenan atau Presidential institution merupakan istilah yang kerap dipergunakan dalam berbagai arti; di Indonesia, perkataan presiden dipergunakan dalam dua arti ; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager). Sedangkan dalam bahasa asing ( seperti Inggris ) untuk lingkungan jabatan digunakan istilah PRESIDENCY atau kalau sebagai ajektif dipergunakan istilah PRESIDENTIAL, misalnya; PRESIDENTIAL GOVERNMENT, sedangkan sebagai pejabat digunakan istilah PRESIDENT. Dalam UUD 1945, penggunaan kata presiden menunjukkan pejabat. Hal ini tampak dari rumusan rumusan yang menyebut Presiden. Misalnya, Calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Ne gara Indonesia sejak kelahiran. Tetapi karena Presiden adalah pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan peraturan perundang undangan lain yang mengatur mengenai Presiden sekaligus mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan

Kepresidenan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa di Indonesia istilah Presdiential Institution digunakan dalam berbagi arti, untuk mencegah kerancuan pemakaian istilah Bagir Manan dalam bukunya Lembaga Kepresidenan menggunakan istilah Presiden sebagai Pejabat dan Lembaga Kepresidenan sebagai lingkungan jabatan. Dalam RUU yang saat ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, lembaga kepresidenan didefinisikan sebagai lembaga negara yang mengatur organisasi dan tata kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenegaraan dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam pasal 4 UUD

1945 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga Kepresidenan di Indonesia merupakan lembaga yang bertugas untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dalam Negara berdasarkan amanat kontitusi (UUD 1945) yang tugas dan kewenangannya didasarkan pada bentuk sistem pemerintahan presidensial.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa lembaga kepresidenan mempunyai dua fungsi yaitu sebagai kepala Negara dan sebgai kepala pemerintah. Lembaga Negara adalah lembaga pemerintahan atau (civilizated organization) dimana lembaga tersebut dibuat oleh Negara, dari Negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun Negara itu sendiri B. Daftar Pustaka Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Tanpa Penerbit, 1959. http: // id.M. Wikipedia.Org//wiki/ lembaga_negara.

Anda mungkin juga menyukai