Anda di halaman 1dari 14

PENEGASAN DAN PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIIL

Oleh:

Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum.1

A. Pendahuluan

Dalam pemahaman ketatanegaraan di Indonesia, Indonesia telah menetapkan


sistem presidensiil sebagi sistem pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam UUD
1945 sebelum maupun setelah amandemen. Dengan dianutnya sistem presidensiil ini,
seharusnya dapat dilahirkan presiden yang kuat sebagai kepala pemerintahan, tanpa
menafikan dan mengabaikan peran DPR sebagai wakil rakyat dalam menjalankan
fungsi kontrolnya. Melalui sistem pemerintahan presidensiil, dikehendaki adanya
pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pemisahan
kekuasaan tersebut merupakan dari pelaksanaan prinsip check and balances dalam
penyelenggaraan negara.

Adanya amandemen terhadap UUD 1945, salah satunya adalah dimaksudkan


untuk lebih memantapkan (memurnikan) penyelenggaraan sistem pemerintahan
presidensiil, yakni dengan melakukan perubahan melalui penghapusan, perubahan,
ataupun penambahan pasal-pasal baru dalam UUD 1945 sebagaimana yang dapat
dilihat pada UUD NRI Tahun 1945 yang dipakai dasar dalam penyelenggaraan negara
pada saat sekarang ini. Pada kenyataan yang ada dalam penyelenggaraan nagara
sekarang ini, sistem presidensiil yang dimaksudkan untuk adanya pemisahan
kekuasaan dalam penguatan pelaksanaan prinsip check and balaces ini ternyata
ditemukan hal-hak sebagaimana berikut ini, seperti: keterlibatan presiden dalam fungsi
legislasi, konsep multi partai, monopoli partai politik dalam pencalonan presiden dan
wakil presiden yang dipandang tidak sejalan dengan makna pemilihan presiden secara
langsung, serta penerapan check and balances dalam pembentukan undang-undang
yang melibatkan Presiden dan DPR.

Berdasarkan uraian sebagaimana diatas, perlu pembahasan tentang hal-hal


sebagai berikut:

1. Bagaimana efektifitas implementasi sistem presidensiil dewasa ini.


2. Apakah perlu adanya penyederhanaan partai politik untuk dapat efektifnya
pelaksanaan sistem presidensiil.

Disampaikan dalam FOCUS GROUP DISCUSSION, yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian
1

MPR RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Provinsi Bali pada hari
Jum’at, Tanggal Dua Puluh Satu bulan Juli tahun Dua Ribu Tujuh Belas.

1
3. Apakah masih perlu pembentukan undang-undang dilakukan oleh DPR bersama-
sama Presiden.
4. Apakah Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat yang dimiliki
oleh DPR akan dapat menguatkan ataukah melemahkan sistem presidensiil.
5. Presiden memiliki hak mengangkat pejabat negara, seperti: pengangkatan
Panglima TNI dan Kapolri; pemberian grasi, amnesti, dan abolisi; pengangkatan
Duta Besar. Apakah kewenangan DPR dalam memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap hak-hak tersebut sesuai dengan prinsip sistem presidensiil.
6. Bagaimana kedudukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam
penyelenggaraan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Hal-hal sebagaimana dikemukakan sebagai pokok bahasan dalam tulisan ini,


diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk bagaimana menguatkan sistem
presidensiil dalam penyelenggaraan negara melalui UUD NRI Tahun 1945, dalam
mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam bernegara, untuk dapat tercapainya
tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

B. Sistem Presidensiil dalam Penyelenggaraan Negara

Sistem presidensiil adalah suatu sistem pemerintahan dimana kedudukan


eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen, dengan kata lain kekuasaan
eksekutif berada di luar pengawasan (langsung) oleh parlemen. Pada prinsipnya,
dalam sistem pemerintahan presidensiil ini, Presiden dan Wakil Presiden merupakan
satu institusi penyelengara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi sebagaimana
yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Dalam sistem presidensiil ini kepala
negara dan kepala pemerintahan ada di satu tangan yakni ada pada Presiden. Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab politik berada di
tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the Presiden).2

Dalam sistem pemerintahan presidensiil setidaknya memiliki beberapa karakteristik,


antara lain:

1. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang kesemuanya


diangkat olehnya dan bertanggung jawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala
negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti
oleh UUD;
2. Presiden tidak tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih.
Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer;

2
E. Fernando M. Manullang, 2016, Selayang Pandang Sistem Hukum Di Indonesia, Kencana,
Cetakan ke-1., Jakarta, hal. 80.

2
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat
dijatuhkan oleh badan legislatif;
4. Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif. 3

Secara umum sistem pemerintahan presidensiil memiliki tiga macam kelebihan.


Kelebihan tersebut: Pertama, pada sistem pemerintahan presidensiil, stabilitas
eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan Presiden. Berbeda dengan sistem
pemerintahan parlementer di mana posisi eksekutif sangat tergantung kepada
dukungan parlemen. Kedua, pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat
dipandang lebih demokratis dari pemilihan tidak langsung. Ketiga, adanya pemisahan
kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi-perlindungan kebebasan individu atas
tirani pemerintah.4

Selain adanya beberapa kelebihan dari sistem presidensiil, sistem presidensiil


ini juga mengandung kekurangan, yakni: Pertama, kemandegan atau konflik eksekutif-
legislatif yang bisa berubah menjadi “jalan buntu” dan “kebuntuan” adalah akibat dari
ko-eksistensi dari dua badan independen yang diciptakan oleh pemerintahan
presidensiil dan yang mungkin bertentangan. Kedua, adalah kekakuan temporal. Dan
juga akan diperburuk oleh ketentuan bagi Wakil Presiden yang menggantikan Presiden
secara otomatis jika Presiden berhalangan tetap (meninggal) atau tidak mampu lagi
menjalankan tugas-tugasnya. Ketiga, sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang
menguasai semua” yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah
permainan dengan semua potensi konfliknya.5

C. Sisitem Pemerintahan di Indonesia

Di dalam penjelasan UUD 1945, ditegaskan tentang sistem pemerintahan


negara, sebagai berikut:6

1. Indonesia adalah Negara yang Berdasar Atas Hukum.


2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat.
4. Presiden adalah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di Bawah
Majelis.
5. Presiden Tidak bertanggung Jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen).

3
Titik, Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Kencana, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta, hlm. 151.
4
Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 Dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 281.
5
Ibid.
6
Yulies Tiena Masriani, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan Kelima,
Jakarta, hlm 38-40.

3
6. Kementerian Negara adalah Pembantu Presiden, Menteri Negara Tidak
bertanggung Jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas.

Sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 adalah sistem


pemerintahan presidensiil dengan menitik beratkan pada pemisahan kekuasaan secara
berimbang. Dengan adanya tuntutan reformasi maka dilakukanlah amandemen
terhadap UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, yang diantaranya
mempunyai tujuan untuk mempertegas sistem presidensiil sebagaimana yang diatur
dalam UUD 1945.7 Oleh karenanya sejalan dengan tuntutan reformasi, diadakan
amandemen terhadap UUD 1945.

Dalam membicarakan tentang sistem pemerintahan di Indonesia pada saat sekarang


ini, maka yang dibahas adalah sistem pemerintahan pasca amandemen UUD 1945,
sekaligus untuk membahas hal-hal yang berkenaan dengan hal-hal dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang perlu pembahasan dalam mencermati bagaimana
sistem pemerintahan presidensiil dilaksanakan dengan mengacu kepada UUD NRI
Tahun 1945 (penyebutan yang digunakan untuk UUD 1945 pasca amandemen).
Amandeman yang telah dilakukan terhadap UUD 1945, sebagai berikut:8

Pada amandemen pertama, dilakukan beberapa upaya: (1) mengurangi/mengendalikan


kekuasaan Presiden; (2) hak legislasi dikembalikan ke DPR, sedangkan Presiden
berhak mengajukan RUU kepada DPR.

Amandemen kedua, dilakukan pada substansi yang meliputi: (1) pemerintahan daerah,
(2) wilayah negara; (3) warga negara dan penduduk; (4) hak asasi manusia; (5)
pertahanan dan keamanan negara; (6) bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu
kebangsaan; (7) lembaga DPR, khususnya tentang keanggotaan, fungsi hak, maupun
tentang cara pengisiannya.

Amandemen ketiga, dilakukan menurut teori konstitusi, terhadap susunan ketata


negaraan yang bersifat mendasar. Bahkan substansi penjelasan yang sifatnya normatif
dimasukan kedalam Batang Tubuh UUD 1945. Dari perubahan itu, dapat dilihat bahwa
sistem pemerintahan yang dianut benar-benar sistem pemerintahan presidensiil. Ciri-
ciri sistem pemerintahan presidensiil terlihat antara lain pada prosedur pemilihan
presiden dan wakil presidan dan pertanggung jawaban presiden dan wakil presiden
atas kinerjanya, sebagai lembaga eksekutif.

Amandemen keempat, ada sembilan item pasal substansial, yakni: (1) keanggotaan
MPR; (2) pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua; (3) kemungkinan
presiden dan wakil presiden berhalangan tetap; (4) tentang kewenangan presiden; (5)

7
UUD 1945 adalah sebutan bagi UUD 1945 sebelum amandemen. Sedang UUD NRI Tahun
1945 adalah sebutan untuk UUD 1945 setelah amandemen.
8
Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal. 166.

4
hal keuangan negara dan bank sentral; (6) pendidikan dan kebudayaan; (7)
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial; (8) aturan tambahan dan aturan
peralihan; dan (9) kedudukan penjelasan UUD 1945.

Salah satu tujuan amandemen terhadap UUD 1945 adalah untuk memperjelas
pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara yang ada (legislatif, eksekutif,
dan yudikatif). Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 ini tidak merubah
sistem presidensiil yang dianut pada UUD sebelumnya. Namun dari perubahan ini telah
menimbulkan polemik, apakah perubahan ini memperkuat sistem presidensiil yang
dianut ataukah malah melemahkan sisitem presidensiil yang telah berjalan. Hal inilah
yang akan didiskusikan dalam forum yang diadakan sekarang ini.

D. Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensiil

Dalam mempertegas dan memperkuat sistem presidensiil, melalui amandemen


UUD 1945 telah dilakukan perubahan konstruksi sistem presidensiil dengan melakukan
pembongkaran secara signifikan UUD 1945 dengan melakukan penghapusan,
perubahan, dan penambahan pada pasal-pasal yang ada sebelumnya. Apakah dengan
perubahan ini penegasan dan penguatan sistem presidensiil ini dapat berjalan. Tentang
hal ini dapat diberikan jawaban sebagai berikut:

Masukan 1.

Melihat kepada praktik penyelenggaraan negara sekarang ini, apakah sistem


presidensiil ini dapat efektif terimplementasi dalam penyelenggaraan negara. Tentang
pertanyaan ini dapat dikatakan belum yang dapat dilihat dari ketidak seimbangan
kekuatan Presiden dalam menghadapi DPR. Perubahan ini bukan melahirkan
keseimbangan kekuasaan antara Presiden dengan DPR, malah justru menimbulkan
ketidak jelasan sistem presidensiil yang ingin dibangun sebagaimana yang diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945. Kesan “parlementernnya” justru tampak semakin menguat, ada
kecenderungan sering timbul “constitutional deadlock”, “political deadlock” antara
Presiden dengan DPR.9

Masukan 2.

Untuk memperkuat sistem presidensiil, perlu adanya penyederhanaan partai


politik. Sistem presidensiil lebih efektif dengan sistem dua partai atau multipartai
sederhana. Sistem multipartai akan menghadirkan Presiden yang ‘sial’ (minority
president), sedangkan sistem monopartai akan menghadirkan Presiden yang ‘sialan’

9
Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 284.

5
(mayority president).10 Dapat dilihat dalam sistem presidensiil yang ada sekarang ini di
Indonesia, dimana sistem presidensiil ini ada dalam multi partai yang tidak didukung
kekuatan mayoritas di parlemen. Tentu hal ini dapat menyebabkan governability
(kemampuan pemerintah untuk memerintah) menjadi amat terbatas, sehingga terjadi
kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Keadaan akan makin diperparah lagi bila
partai pengusung Presiden terlalu dominan dalam campur tangan menetukan kebijakan
yang diambil oleh Presiden. Oleh karenanya, sistem presidensiil ini akan efektif benar-
benar dapat ditegakkan bila:11 (a) desain sistem kepartaian yang sederhana adalah
keniscayaan; (b) perlu dipikirkan bangunan pemerintahan koalisi pas terbatas (minimal-
winning coalition) yang permanen dan disiplin; (c) untuk menghindari kohabitasi,
sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden berasal dari satu partai; (d) untuk membantu
hadirnya koalisi pas-terbatas yang permanen dan disiplin, sebaiknya undang-undang
Kementerian Negara segera diselesaikan. UU ini akan menjadi aturan main agar posisi
kementerian tidak hanya karena faktor akseptabilitas representasi partai, tetapi karena
pertimbangan kapasitas intelektualitas dan yang lebih penting karena faktor integritas-
moralitas.

Masukan 3.

Tentang fungsi legislasi, dalam perubahan yang ada adalah bahwa terjadi
pergeseran pembentuk undang-undang dari Presiden ke DPR, jadi sebelumnya
Presiden adalah “membentuk undang-undang” kemudian menjadi “berhak mengajukan
rancangan undang-undang”. Dapat dilihat dalam perubahan Pasal 5.

Lama:

(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan


persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Baru:

(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan


Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut dapat dilihat ketentuan Pasal 20.

Lama:

(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

10
Denny Indrayana, “Mendesain Presidensiil”, Kompas, 10 Maret 2008, dalam Ni’matul Huda,
loc.cit., hal. 292.
11
Ni’matul Huda, hlm. 293.

6
(2) Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Baru:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.


(2) Setiap undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang tidak dapat persetujuan bersama, rancangan itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan perwakilan Rakyat masa
itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
Melihat ketentuan ayat (4) dan ayat (5) dari ketentuan Pasal 20 tersebut tampak
adanya ambigu dari ketentuan kedua ayat sebagaimana disebutkan di atas [ayat (4)
dan ayat (5)], dalam arti disatu pihak telah ada persetujuan bersama Presiden bersama
DPR dan dipihak lain Presiden tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang
telah disetujuinya tersebut. Oleh karenanya lebih tepat atau sebaiknya bila
pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR saja, dan Presiden
diberikan Hak Veto. Dengan demikian, maka DPR dapat lebih efektif menjalankan
fungsinya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20A, yakni fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Saat ini yang tampak hanya pada fungsi anggaran
dan pengawasan saja yang efektif, sedang fungsi legislasi lebih banyak tertinggal
mengingat usulan RUU kebanyakan datang dari pihak eksekutif.

Masukan 4.

Dalam menjalankan Fungsi Pengawasan, DPR memiliki Hak Angket, Hak


Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat. Hak-hak ini penting dalam sistem
presidensiil untuk adanya check and balances antara kekuasaan Presiden dan DPR.
Yang terpenting adalah bahwa penggunaan hak-hak ini oleh DPR hendaknya dilakukan
dengan baik dan benar serta dilandasi dengan itikad baik tanpa didompleng
kepentingan politik dan kelompok tertentu. Selama Presiden (eksekutif) menjalankan
tugastugasnya secara benar, tidak ada alasan untuk menakuti ataupun menghindari
hak-hak DPR tersebut.

Masukan 5.

Kewenangan DPR untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap


hak yang dimiliki oleh Presiden dalam hal pengangkatan pejabat negara seperti
Panglima TNI dan Kapolri; pengangkatan Duta Besar; pemberian amnesti dan abolisi,

7
adalah sangat berlebihan dan sangat tidak sesuai dengan penegasan sistem
presidensiil yang hendak diperkuat. Dalam UUD 1945 telah disebutkan:

Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.


(2) Presiden menerima duta negara lain.
Pasal 14

Presiden memberi, grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Pasal 15

Presiden memberikan gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.

Baru:

Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.


(2) Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14

(1) Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan


pertimbanan mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 15

Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan undang-undang.
Pada ketentuan lama, Presiden diberikan hak penuh dalam menjalankan hak
prerogratifnya. Namun setelah adanya perubahan, dalam ketentuan pasal-pasal yang
baru jelas tampak bila Presiden tidak secara penuh dapat menggunakan hak
prerogratifnya, di mana ada keterlibatan DPR dalam menggunakan hak prerogratifnya
tersebut. Hal ini tentu mengurangi kekuasaan Presiden dalam menjalankan hak
prerogratifnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip yang terkadung dalam sistem
presidensiil, atau dengan kata lain masuknya DPR ke dalam kekuasaan Presiden
dalam melaksanakan hak-hak prerogratifnya adalah tidak sesuai dengan prinsip sistem
presidensiil.

Tentang pertimbangan dan persetujuan DPR dalam pengangkatan Panglima


ABRI dan Kapolri adalah juga tidak sesuai dengan prinsip sistem presidensiil, oleh

8
karena dengan adanya keterlibatan DPR adalah telah mengurangi kekuasaan Presiden
sebagai pelaksana undang-undang (eksekutif). Bukankah dalam Pasal 10 telah
ditetapkan: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. TNI dan Polri akan efektif dapat bekerja bila ada
dalam satu komando, tetapi bagaimana bila TNI dan Polri memiliki dua atasan, yakni
Presiden sebagi pihak yang mengangkatnya dan DPR sebagai pihak yang
mempertimbangkan dan memberikan persetujuan untuk pengangkatannya, tentu akan
ada dua “hutang budi” bagi Panglima TNI dan Kapolri dalam loyalitasnya .

Masukan 6.

Tentang kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam fungsi legislasi


dan fungsi anggaran hendaknya tidak perlu dilibatkan, oleh karena rekrutment
keanggotaan DPD sekarang ini adalah sangat jauh berbeda dengan “utusan daerah-
daerah” dan “utusan golongan-golongan” sebagaimana yang di maksud dalam UUD
1945 sebelum perubahan. Anggota DPD sekarang ini malah datang dari partai-partai
sehingga menimbukan pertanyaan: pertama, apa bedanya DPD dengan DPR yang
mempresentasikan perwakilan rakyat dari daerah-daerah, kedua, apakah dengan cara
melakukan pemilihan langsung dapat menjamin pengetahuan anggota DPD tentang
keadaan daerahnya ataupun golongan-golongan yang ada dalam masyarakat.12

Adanya dua lembaga ini (DPR dan DPD) dimaksudkan untuk mengikuti sistem
bikameral, namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan teori yang dimaksud. Oleh
karenanya dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran ini, tidak perlu lagi melibatkan
DPD.

Masukan 7.

Dalam penyelenggaraan negara seperti sekarang ini, baik dalam pelaksanaan


fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana yang tertuang di dalam undang-
undang dasar hendaknya jangan sampai lepas atau keluar dari prinsip-prinsip yang ada
dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan negara adalah isi dari
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (walaupun telah
dinyatakan tidak berlaku), seperti kalimat-kalimat berikut ini:

“Undang-Undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca
teksnya saja. Untuk mengeti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari
suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus

12
Pada UUD 1945 sebelum amandeman, Utusan Daerah ditempatkan orang-orang yang jelas
mengenal keadaan, situasi, dan kondisi daerahnya, seperti: Gubernur, Pangdam, Kapolda, para
Bupati, dan Rektor Universitas Negeri terbesar di Provinsi. Bukan seperti sekarang, bahwa
mereka yang menjadi anggota DPD banyak diragukan kemanpuannya untuk memperjuangkan
daerah pemilihanya mengingat ke kurang pengetahuan atas kondisi daerahnya.

9
diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks
itu dibuat”.
“….. lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah, dan mencabut”.
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya Negara, ialah
semangat, semangat para penyelengga negara, semangat para pemimpin
pemerintahan”.
“Meskipun yang dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin
penyelenggara negara itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tadi tentu
tidak ada artinya dalam praktek”.

E. Penutup

Dari uraian sebagaimana dikemukkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa


efektifitas implementasi pelaksanaan sistem presidensiil pada saat ini belum memenuhi
harapan sebagaimana dimaksudkan tuntutan reformasi. Oleh karenanya perlu
penegasan dan penguatan sistem presidensiil, melalui:

1. Penyederhanaan keberadaan partai politik peserta pemilihan umum yang nantinya


akan didudukan di parlemen.
2. Pemisahan kekuasaan Presiden dan DPR dalam pembentukan undang-undang
yakni dengan menyerahkan sepenuhnya pembentukan undang-undang kepada
DPR dengan memberikan hak veto pada Presiden.
3. Tidak diperlukan adanya intervensi dari DPR terhadap hak-hak prerogratif Presiden
dengan cara memperjelas kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan
Presiden sebagai Kepala pemerintahan.
4. Kedudukan DPD sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yang
dimaksudkan sebagai dianutnya sistem bikameral, hendaknya terapkan sesuai
dengan teori ketata negaraan yang benar.

Sebagai saran, sebaiknya konstitusi dibuat dalam bentuk yang singkat dan
supel, sehingga memudahkan dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat serta
perubahan dan kemajuan jaman. Dengan konstitusi yang supel maka sistem
presidensiil yang dianut dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada pada masanya.

Denpasar, 21 Juli 2017.

10
Daftar Pustaka:

Manullang, E. Fernando M., 2016, Selayang Pandang Sistem Hukum Di Indonesia,


Kencana, Cetakan ke-1.
Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 Dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers,
Jakarta.
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, 2010, Kencana, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta.
Yulies Tiena Masriani, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan
Kelima, Jakarta.
UUD 1945 & Konstitusi Indonesia, Editor: Yudha Pandu, Indonesia Legal Center
Publishing, Cetakan Kedua, 2010, Jakarta.

Catatan Data Pribadi:

Nama : Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum.

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Alamat Kantor : Jln. Bali No. 1 Denpasar

Alamat Rumah : Puri Candra Asri Blok G No. 43 Batubulan Sukawati, Gianyar

Tlp.Kantor/HP. : (0361) 222666

HP. : 08123605640

E-mail : wirawan_dj@yahoo.co.id

11

Anda mungkin juga menyukai