Anda di halaman 1dari 3

Nama : Salman Alfarisi

Nim : 2020090078
Prodi / Fakultas : Ilmu Hukum / FSH
Mata Kuliah : HUKUM KONSTITUSI
Dosen Pengampu : Dedik Yoga Hermawan, S.H, M. Hum

BAGAIMANA JIKA BATAS KEKUASAAN PEMIMPIN NEGARA


DI SALAH GUNAKAN
Penolakan jabatan presiden menjadi 3 periode memang harus ditolak, dikarenakan bertentangan
dengan batasan kekuasaan dalam amandemen uud 1945
Sejak isu untuk mengubah isi Undang – Undang Dasar 1945, terutama yang terkait dengan masa
jabatan seorang pemimpin atau lebih dikenal Presiden ( dan Wakil Presiden ), menelaah perlu
digunakan dalam pembatasan kekuasaan. Jika perubahan ditujukan untuk menambah masa
jabatan presiden menjadi dua periode , sangat besar potensi penyalahgunaan kekuasaan akan
semakin terbuka. Bagai hukum besi action: semakin besar kekuasaan semakin besar pula potensi
penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
“Dengan melihat jejak amandemen UUD 1945 dalam periode 1999 – 2002, terungkap
bagaimana memprioritaskan membatasi masa jabatan pemimpin Negara. UUD 1945 sebelum
nya mengatur masalah pembatasan periode pemimpin Negara atau lebih dikenal presiden,
sehingga seorang yang mencalonkan presiden dapat menduduki jabatannya kembali apabila
dipilih kembali oleh rakyat “ ( Pasal 7 )
Bahkan jika menelisik para pendahulu pemimpin Negara kita dalam dua kali masa berlakunya
UUD 1945 ) 17 Agustus 1945  - 29 Desember 1949 ) dan ( 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 ) dari
tahun – tahun di atas belum pernah adanya sejarah pemimpin Negara kita mengisi jabatan
sebagai presiden dan wakil presiden secara “wajar”. Sebagai contoh pemimpin Negara kita yang
yang pertama Soekarno menjadi pemimpin Negara  sebab dicalonkan oleh Otto Iskandardinata
dan disetujui oleh aklamasi. Yang kedua soeharto menjadi pemimpin Negara karena adanya
pemeliharaan kekuasaan dari soekarno. Kemudian selama Soeharto menjabat sebagai pemimpin
Negara, terpeliharanya tradisi “ calon tunggal “ dalam pengisian kepemimpinan pemimpin
Negara beserta wakilnya. Begitu pula yang ke tiga yakni B.J Habibie menjadi presiden karena
menggantikan soeharto pemimpin Negara yang ke – 2, yang dipaksa mengundurkan diri oleh
rakyatnya sendiri karena telah menjabat selama 32 tahun. Ketentuan pemilihan kepala Negara
dan wakilnya baru dijalankan dan dinilai pemilihan kepala Negara yang demokratis pada
pemilihan umum 1999.
Praktik ketatanegaraan sangat menyimpang dari semangat pembatasan kekuasaan di masa
soekarno dan soeharto peristiwa penyalahgunaan itu menjadi sebuah pembelajaran penting bagi
pemimpin Negara selanjutnya untuk mendesain keseimbangan dan sistem kekuasaan. Dalam
sebuah artikel “ demokrasi kita “ yang saya ambil dari internet yang menjelaskan Bung Hatta
yang mengkritik sahabatnya yakni Soekarno karena tindakan tindakan bung karno menyimpang
dari konstitusi UUD. Kemudian ada sebuah nilai – nilai idealisme dalam menciptakan
pemerintahan yang sehat dan adil serta tidak menyimpang dalam melaksanakan demokrasi, tapi
dalam realitanya semakin menjauh dari demokratis yang sebenarnya. Pada saat di masa  
soeharto Praktik penyimpangan penyalahgunaan pemimpin Negara atau kekuasaan presiden
lambat laun semakin kuat. Walaupun pemimpin Negara tunduk dan patuh pada majelis
permusyawaratan rakyat ( MPR ), dalam kenyataannya MPR justru menjadi batu loncatan
pemimpin Negara sebagai kekuasaan ( Surabakti 1998 )
Sebuah usul untuk mengubah jabatan presiden sudah diutarakan oleh beberapa kalangan yang
telah menjadi perdebatan dan mengerucut pada satu jalan tujuan yakni membatasi jabatan
pemimpin negara menjadi 2 periode.  Bahkan ada yang mengusulkan memberikan jeda bagi
pemimpin Negara yang hendak menjabat lagi Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Dalam perkembangannya, pernah ada pengujian terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum ke
Mahkamah Konstitusi karena menghendaki Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat wakil presiden,
dapat maju lagi sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2019. Sayangnya,
Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan karena para pemohon dinilai tidak
memiliki legal standing, sebagaimana tergambar dalam Putusan Nomor 36/PUU-XIV/2018 dan
Nomor 40/PUU-XIV/2018.
Secara teoritis, dalam sistem presidensial, pemilihan kembali presiden (possibility of re-election)
bukan hanya untuk satu kali masa jabatan. Secara umum terdapat dua pembatasan, yakni
pembatasan ketat dan pembatasan lunak. Pembatasan ketat hanya memperbolehkan satu periode
masa jabatan. Sedangkan pembatasan lunak memungkinkan seorang presiden berkuasa kembali
dengan jeda minimal satu periode. Dalam sejarahnya, pembatasan ini biasanya berlaku di negara-
negara yang pernah mengalami masa-masa otoritarianisme karena diperintah oleh penguasa
tertentu dalam jangka waktu yang lama, seperti yang dialami negara-negara di Amerika Latin di
era 1980-an yang melakukan pembatasan ketat untuk satu periode. Walaupun kemudian, di era
1990-an, terjadi perubahan di beberapa Negara  yang melonggarkan  aturan mengenai pemilihan
kembali presiden, ada juga negara yang justru mempertegas pembatasan (Arsyil, 2017).
Dalam konteks Indonesia, pembatasan periode jabatan presiden termasuk kategori pembatasan
lunak karena diperbolehkan menduduki jabatan selama dua periode dan tanpa jeda. Ketentuan ini
dirasa cukup karena mekanisme pemilihan kembali untuk masa jabatan yang kedua dapat dinilai
sebagai bentuk kepercayaan publik terhadap presiden. Usul untuk mengubah masa jabatan
presiden yang diutarakan saat ini oleh beberapa kalangan sebetulnya telah menjadi perdebatan
dalam perubahan UUD 1945, khususnya dalam perubahan pertama. Perdebatan tersebut
mengerucut pada satu tujuan, yakni membatasi masa jabatan presiden hanya untuk dua periode,
bahkan ada usul untuk memberikan jeda bagi presiden yang hendak menjabat pada periode
kedua (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV, Jilid I, 2010).
Perkembangan pengujian terhadap undang – undang pemilihan umum ke MK ( Mahkamah
Konstitusi ) karena menghendaki Jusuf Kalla, pada saat itu menjabat wakil presiden, dan dapat
maju menjadi pemimpin Negara pada pemilihan umum selanjutnya. Sayangnya MK tidak
mempertimbangkan pokok permohonan karena dinilai tidak legal standing (Nomor 36/PUU-
XIV/2018 dan Nomor 40/PUU-XIV/2018). Dalam kontek Indonesia pembatasan pemimpin
Negara termasuk kategori pembatasan  lunak Karena diperbolehkan menduduki jabatan selama
dua periode tanpa jeda. Ketentuan ini dirasa cukup karena mekanisme pemilihan kembali untuk
masa jabatan yang kedua dapat dinilai sebagai bentuk kepercayaan public terhadap pemimpin
Negara.
Usul argumentasi menambah jabatan lebih dari dua periode tidak memiliki basis argumentasi
yang sangat cukup. Setidaknya pengalaman pemilu Indonesia sejak 1999 – 2019 tidak
menunjukkan adanya urgensi untuk menambah periode lagi, karena itu, wacana untuk
memperbesar kekuasaan presiden dalam konteks periode masa jabatan layak ditolak karena
bertentangan dengan ide pembatasan kekuasaan yang dulu pernah menjadi agenda besar dalam
perubahan UUD 1945."
 

Anda mungkin juga menyukai