Anda di halaman 1dari 15

A.

Pendahuluan
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran
tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri.
Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasawuf sangat lah
membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan
paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi
Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad
8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama
non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,
hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan
dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk
mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri
dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian
yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian
dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai
semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya
maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf.
Sementara itu, orang yang menganut paham tersebut disebut orang sufi.1
Kaum terpelajar berselelisih pendapat tentang asal mula kata sufi.
Meskipun sebagian besar sepakat bahwa kata sufi berasal dari bahasa Arab,
Shuf yang artinya “wol”, dan merunjuk pada individu yang mengenakan
pakaian berbahan wol. Kisah legenda menyebutkan bahwa baik para Nabi
mengenakan pakaian yang terbuat dari wol, begitu juga ke tujuh puluh
pengikut Nabi Muhammad SAW.2 Pakaian yang terbuat dari wol pada zaman
itu merupakan pakaian yang paling murah dan mudah didapatkan, bahkan
untuk mendapatkannya tidak perlu membelinya. Bukan hanya itu, wol yang

1
Wikipedia, 2019
2
Telaga cinta para sufi agung, hal. 31
kasar sangat tidak nyaman ditubuh jika dikenakan langsung, pada masa itu
wol dapat diartikan sikap yang mewakili penolakan terhadap dunia.
Kata sufi dan sufisme baru dipakai setelah 150 tahun wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Golongan sufi menghabiskan hidupnya untuk beribadah
didalam kesenyapan dan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk masyarakat.
Barulah sekitar 800-850 M, guru-guru spiritual mereka mulai menganjurkan
amalan-amalan untuk mencapai keselamatan, amalan-amalan yang berbeda
dengan peribadatan yang ditentukan oleh syariat. Amalan-amalan baru ini
pada umumnya menyertakan dzikir (benar-benar “mengingat”, yang
merupakan lantunan asma Allah dan sifat-sifat-Nya). Selama periode ini,
hingga sekitar 1450 M, dapat dianggap sebagai tahun-tahun emas sufisme.3
Selama tahun-tahun inilah lahir tokoh-tokoh besar sufi seperti Ibnu
Arabi, Al-Hallaj, Attar, Rumi, dan yang lain terlahir hingga sekarang. Ada
dua konsep yang sudah terbentuk dengan baik. Pertama, prinsip-prinsip sufi
dengan pandangan dunia, yang dikenal dengan sebutan kesatuan wujudiah
(wahdan al-wujud). Kedua, ide tentang sanad atau silsilah guru sufi.4
Menurut konsep kesatuan wujudiah, adalah manivestasi dari sifat-sifat
Allah dan menyatunya jati diri para sufi dengan Allah. Sanad atau silsilah
gueu-guru sufi memberikan bantuan dan tuntunan untuk mencapai Allah.
Sanad sufi diawali dari Nabi Muhammad SAW, kemudian diberikan kepada
Sayidina Ali RA. Pada gilirannya, sahabat Ali memberikan otoritas yang sama
kepada empat muridnya yaitu : Hasan dan Hussein (dua putranya), Kumail
dan Hasan Al-Basri. Keempat murid tersebut disebut juga sanad dan silsilah
primer yang kemudian turun hingga murid-muridnya dan sampai sekarang
sanad tersebut dipertahankan.
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Atho’illah As-
Sakandari berkata,”amal itu laksana patung yang tegak dan berdiri, dan
ruhnya adalah sesuatu yang tidak kasap mata yaitu ikhlas dalam beramal”. 5
3
Telaga cinta para sufi agung
4
Sejarah sufi, telaga cinta para sufi agung
5
Mutiara hikamah menjadi kekasih Allah
Maka seorang sufi dalam pengamalannya benar-benar telah sampai kepada
keikhlasan, karena tidak ada yang dituju bagi seorang sufi kecuali menuju dan
sampai kepada Allah karena orang-orang yang sampai kepada Allah
mendapatkan cahaya dan cinta kepada Allah.
Dalam kata-kata lainnya, dikatakan, “tidaklah kamu mincintai sesuatu
kecuali kamu menjadi budak, hakikat orang yang mencintai bukanlah orang
yang mengharap keuntungan atau menuntut sesuatu dari orang yang dicintai.
Tetapi sesungguhnya orang yang mencintai adalah orang yang mau berkorban
untuk dirimu. Dan tidak bisa dikatakan sebagai orang yang mencintaimu
apabila dia menuntut agar kamu berkorban untuk dia” 6. Orang yang mengaku
sebagai pecinta, maka dia harus berupaya melakukan yang terbaik untuk
kekasihnya dengan senang hati, tanpa perlu adanya paksaan dan rasa susah
hati, karena memang itulah tujuannya.
Rumi adalah penyair yang paling masyhur di Timur Tengah, dan
menjadi salah satu penyair terbesar dunia yang mengusung tema cinta mistik.
Rumi mengatakan, “ ketika tiba saatnya untuk menuliskan cinta, pena akan
patah dan kertas akan robek.”7 Seperti halnya jalan spiritual lainnya sufisme
bersifat pengalaman. Sufisme adalah suatu jalan spiritual murni untuk
menggapai ketenangan jiwa dengan meleburkan jiwa bersama Tuhan melalui
gerbang hati yang digerakan oleh kendaraan cinta.
Rumi dikenal banyak orang dengan sebutan Maulan, “Guru kita”,
Rumi adalah figur yang luar biasa diantara guru sufi lainnya. Dikatakan oleh
Syekh Fariduddin, “Rumi kelak akan dengan cepat memadamkan api yang
bias menghancurkan dunia.”8 Rumi adalah sosok mistik yang mengagumkan
yang telah memasuki keadaan cinta yang memabukkan, sekalipun saat berada
di pasar, begitu mendengar denting palu pandai besi bagaikan mendengar
suara yang menyuarakan nama Allah, dan secara spontan akan menari

6
Mutiara hikmah menjadi kekasih Allah

7
Telaga cinta para sufi agung
8
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
berputar-putar. Tarekat tarian sufi mabuk Allah yang dilakukan para Darwis
inilah yang didirikan Rumi.
Ajaran-ajaran Rumi dihargai dan dimanfaatkan oleh guru-guru sufi
setelahnya, serta dipelajari dalam lingkup mistik modern. Ajarannya tidak
hanya bagi kaum sufi, bahkan penikmat puisi dimabukan oleh kata-kata Rumi
yang magis. Dalam contoh puisi Rumi yang diterjemahkan oleh Nicholson,
menceritakan ilalang (symbol jiwa manusia).

“Dengarkan seruling sebagaimana ia berkisah,


karena perpisahannya ia adukan derita, katanya, “Sejak
aku berpisah dari rumpun bambuku, laki-perempuan telah
merintih dalam jeritku.” Ku ingin dada yang terkoyok
perceraian biar ku ungkapkan semua derita kerinduan.
Siapa saja yang terlempar dari asalnya mencari saat
kembali ia bergabung dengannya. Pada setiap kelompok,
jeritan ku gubah lagu dan dendang, aku bergabung
dengan yang malang dan senang. Setiap orang menduga
dia sudah menjadi kawanku; Tapi tak seorangpun ingin
tahu rahasia apa yang sedang ku kandung. Rahasiaku tak
jauh dari jeritanku, namun mata dan telinga tak cukup
punya cahaya (untuk mencerapku). Raga bukan selubung
ruh, ruh pun bukan selubung raga; tapi tak seorangpun
diizinkan memandang ruh.9

9
Telaga cinta para sufi agung, hal. 204-205
B. Kehidupan dan Ajaran Rumi
Nama aslinya adalah Muhammad yang kemudian mendapat gelar
Jalaludin. Para sahabat dan murid-muridnya memberikan gelar Maulana yang
memiliki arti sama dengan Khawaja. Gelar ini merupakan gelar penghormatan
yang juga menjelaskan status social. Kata Khawaja berasal dari Bahasa Persia
lama, Khadawandkar. Konon, ayahnyalah yang pertama memberikan dengan
gelar itu. Dalam referensi Persia Modern, gelar Maulanadikenal dengan istilah
Maulawi.10
Ia juga disebut dengan Rumi atau Maulana Rumi, karena Rumi
menjalani sebagian hidupnya di Konya, sekarang Turki, orang Turki
mengakui sebagai orang Turki. Sementara orang Afghanistan berpendapat
lain. Menurut mereka, karena guru besar dilahirkan di Balkh, kota yang
berada di wilayah Afghanistan sekarang, Rumi seharusnya dianggap sebagai
orang Afganistan. Meski begitu, kaum terpelajar menyepakati bahwa Rumi
adalah orang Persia. Alasannya adalah: pertama, Balkh, kota kelahian Rumi,
pada saat Rumi dilahirkan merupakan kota di wilayah Persia, dan kedua,
semua buku Rumi ditulis dalam Bahasa Persia. Rumi dimakamkan
berdampingan dengan makam ayah dan keluarganya di Quniyah (Konya),
Turki. Di negara-negara Barat semua mengenal dan menyebutnya dengan
nama Rumi.
Bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husayn
al-Khatibi al-Bakri.11 Rumi dilahirkan pada 6 Rabiul Awal 604 H/ 30
September 1207 M di Balkha, salah satu desa di wilayah Khurasan. Selain
seorang sufi, Rumi juga dikenal sebagai seorang yuris, teog, sekaligus penyair
masyhur dari abad ke-13 yang karyanya telah menarik banyak pencari
spiritual selama ratusan tahun diseluruh belahan dunia.
Dalam beberapa sumber yang membahas tentang Rumi, kami
menemukan bahwa Bahauddin Walad Muhammad bin Husayn, ayahanda

10
Fihi ma fihi, hal. 11, cetakan ke vi
11
Prof, Hamka
Rumi mendapat kedudukan tinggi dalam bidang keagamaan di Khurasan.
Kakek rumi bernama Husayn al-Khatibi, menikah dengan putri raja Alauddin
Muhammad Khawarizm.
Nama asli ayah Rumi adalah Bahauddin Muhammad, tetapi nama
yang lebih masyhur adalah Baha Walad. Beliau merupakan seorang ahli fikih
besar dan mufti. Ia syekh Tarekat Kubrawiyah yang didirikan oleh Syekh
Najmuddin al-Kubra. Ayah Rumi merupakan seorang tokoh dan ahli agama
Islam penganut mazhab Hanafi. Beliau menguasai pengetahuan eksoterik,
yang berkaitan dengan hukum Islam dan menguasai pengetahuan eksoterik,
yang berkaitan dengan tasawuf. Karena karisma dan tingginya penguasaan
ilmu agamanya, beliau mendapat gelar Penghulu Para Ulama (Sulthan al-
Ulama). Dalam salah satu riwayat gelar itu disematkan oleh Nabi Muhammad
SAW yang datang dalam mimpinya. Sebagian riwayat menyatakan bahwa
nasab Baha Walad dari jalur ayahnya bersambung kepada Khalifah Abu
Bakar as-Shiddiq, sementara dari jalur ibu memiliki ikatan darah dengan raja
Khawarizmi. Bahauddin merupakan pengikut aliran sunni yang sangat setia
mepertahankan nilai-nilai tradisional Islam. Ada sumber yang menyebutkan
kemungkinan besar beliau termasuk pengikut aliran Asy’ariah. Dengan
keahliannya, Bahauddin mengajarkan kepada setiap muslim bagaimana
menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan mengajarkan bagaimana cara
menyucikan diri dan meraih kesempurnaan.12
Sayangnya gelar yang diterima Bahauddin Walad itu menimbulkan
rasa iri pada sebagian ulama lain sehingga mereka melancarkan fitnah dan
mengadukan Bahauddin kepada penguasa. Sang penguasa yang terpengaruh
dengan fitnah akhirnya memaksa Bahauddin dan keluarganya meninggalkan
Balkh. Dari berbagai riwayat diketahui bahwa ayah Rumi sering berdebat dan
beradu argumen dengan para bangsawan Khawarizm dan Imam Fakrurrazi. Ia
pernah berkata kepada mereka, “ kalian adalah tawanan cara pandang lahiriah

12
The meaning life with Rumi
yang tidak ada gunanya. Kalian tidak pernah mendapatkan kemampuan
menemukan hakikat”.13
Tampak sekali bahwa ia tidak memiliki hubungan yang baik dengan
kalangan penguasa. Lalu, terjadilah peristiwa penyerangan Mongol yang
membuat Baha Walad tidak betah tinggal di Khurasan. Lantas ia pindah
bersama keluarganya ke Asia kecil yang merupakan tempat para ulama, kaum
intelektual, dan para arif menetap.
Jelas sekali bahwa beberapa tahun sebelum pindah ke Asia Kecil,
Baha Walad tidak selalu menetap di Balkha. Ia sempat tinggal beberapa waktu
lamanya dibeberapa desa di wilayah Khurasan, seperti Wakhsyin, Tirmidz,
dan Samarkand.
Perjalanan jauh Baha Walad dan keluarganya menuju Konya dimulai
pada 616 H atau 617 H ketika serangan pasukan Mongol meluas di wilayah
Khurasan. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak saat itu Bahauddin
bersama keluarganya hidup berpindah-pindah dari suatu negara ke negara
lain. Perjalanan itu ditempuh dengan niat menunaikan ibadah haji ke Makkah
al-Mukaramah. Namun, terjadi suatu peristiwa yang membuat mereka harus
bermukim. Keluarga Baha Walad sampai di Nishapur setelah menelusuri
pinggiran desa-desa di wilayah Khurasan. Di Nishapur mereka disambut oleh
Syekh Faridudin al-Aththar, seorang sufi dan penyair besar. Ketika itu ia
sedang berada di pasar Aththariyin, tepatnya disebuah klinik. Ditempat ini ia
mengobati pasien-pasien yang datang meminta pertolongannya. Ditempat ini
pula ia menyusun syair-syair yang mencerahkan dan buku-buku yang sangat
berharga.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa Syekh Fariduddin terkesima
melihat Maulana Rumi yang saat itu masih remaja. Ia mengagumi kecerdasan
dan ketangkasannya. Ia lalu memberikan hadiah berupa buku Asrar Namah

13
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
kepada Rumi. Syekh Fariduddin berkata kepada ayah Rumi, “Anakmu akan
dengan cepat memadamkan api yang bisa menghancurkan dunia”.14
Dari Nishapur, keluarga Baha Walad pindah ke Baghdad. Di Baghdad
ini banyak cerita tentang mereka yang tinggal selama tiga hari. Diceritakan
bahwa Baha Walad pernah menyatakan bahwa kemungkinan berakhirnya
masa berakhirnya masa Kekhalifahan Abbasiyah. Ia juga berkata tentang
kehadiran Sang Khalifah ke majelisnya. Ia juga cerita bahwa ia akan bertemu
dengan Syihabuddin Abu Hafs al-Suhrawardi, seorang bijak yang sangat
terkenal dan penulis buku berjudul ‘Awarif al-Ma’arif’. Dari Baghdad Baha
Walad pindah ke Hijaz, dan dari Hijaz pindah ke Syam kemudian tinggal
disana selama beberapa waktu.
Konon, Baha Walad dan Syihabuddin pergi ke Arzanjan di wilayah
Armenia. Mereka tinggal cukup lama dibeberapa wilayah seperti Aq Syahar,
Malathiyah, dan Larandah. Ibu Rumi, Mukminah Khatun, meninggal dunia di
Larandah. Di tempat ini pula Rumi bertemu dengan seorang gadis bernama
Jauhar Khatun atau Ghever Khatun (w. 1229), putri Lala Syafar ad-Din as-
Samarkandi, yang kemudian dinikahinya dan melahirkan putra yang bernama
Sultan Walad, dan putra keduanya diberi nama Alauddin, yang merupakan
nama saudara Rumi yang meninggal di Larandah.
Setelah jauhar Khatun meninggal dunia, Rumi menikah lagi dengan
janda beranak satu dari Turki bernama Karra Khatun. Anak Karra Khatun
bernama Shamsuddin Yahya, dari suami pertamanya yang bernama
Muhammad Shah. Rumi dan Karra Khatun memiliki anak laki-laki bernama
Amir Muzaffar al-Chelebi dan satu anak perempuan bernama Malika
Khatun.15
Baha Walad dan keluarganya singgah di Konya pada 626 H/ 1229 M
dan disana mereka mendapatkan penghormatan dari Sultan Saljuk dari
Romawi, Alauddin Kaiqubadz, beliau diangkat menjadi penasehatnya

14
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
15
The meaningful life with Rumi
sekaligus sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di
ibukota tersebut. Pada tangga 18 Rabiul Tsani 628 H/ 1231 M, Baha Walad
meninggalkan dunia. Tugas-tugasnya lantas diteruskan oleh putranya,
Jalaludin Rumi. Ia mengemban tugas sebagai ahli fikih, mufti dan pengajar.
Setahun setelah Baha Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq al-
Tirmidz datang ke Konya dari Khurasan. Ia adalah murid Baha Walad.
Tadinya ia sangat rindukan . burhanuddin kemudian mencoba mendidik
Rumi. Sebagai langkah awal, ia bertanya tentang apa yang sudah Rumi
pelajari dari ayahnya. Burhanuddin lantas menganjurkan Rumi agar pergi ke
Syam untuk menambah ilmunya. Burhanuddin mendampingi Rumi dalam
perjalanan. Mereka sampai di Halab dan meneruskan perjalanan sampai
diwilayah Qaisariyah. Sejak waktu itu, selama Sembilan tahun, Burhanuddin
menjadi guru dan mursyid bagi Rumi, baik ketika berjauhan atau ketika
berdekatan.16
Diceritakan bahwa Rumi sempat tinggal beberapa lama di Halab, lalu
dibeberapa wilayah Damaskus. Sebagian penelitian menyatakan bahwa ilmu-
ilmu keislaman yang dikuasai Rumi, yang tampak dalam al-Matsnawi
karyanya, didapatkan Rumi berada di Halab dan Damaskus. Pada saat itu
Rumi dikenal sebagai guru ilmu-ilmu keislaman disejumlah madrasah yang
ada didua daerah tersebut. Ketika itu, jabatan tinggi Pendidikan dikuasai oleh
pemuka yang bermazhab fikih Hanafiah. Di daerah sekitar madrasah-
madrasah itu hidup seorang tokoh yang terkenal, yaitu Muhyidin ibn Arabi,
seorang bijak dan guru besar tasawuf di Damaskus. Ketika itu para murid
(santri), baik penuntut ilmu hukum maupun ilmu hakikat, menetap disebagian
kota Damaskus. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia islam.
Rumi kemudian kembali ke Konya sebagai guru besar ilmu-ilmu
keislaman. Para fakih dan ulama syariat menyambut hangat kedatangannya.
Begitu pula para pengikut tasawuf yang menganggap Rumi sebagai salah satu
dar mereka. Burhanuddin Muhaqiq menganjurkan Rumi agar menetapi praktik

16
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
pengasingan diri (khalwat) dan ia mempersiapkan agar suatu saat Rumi benar-
benar menjadi mursyid besar dan salah satu guru besar dalam tasawuf (Irfan).
Burhanuddin meninggal dunia pada 638 H/1241 M di Qaisariyah, dan Rumi
terus menjalankan tugasnya sebagai guru mursyid.17
Rumi memperoleh kehormatan dan ketenaran yang tersebar luas
sebagai professor luar biasa, banyak orang dari seluruh penjuru wilayah Timur
datang menemuinya untuk meminta saran dan ajar. Barangkali dia akan tetap
seperti itu andai ia tidak bertemu dengan sosok spiritual yang luar biasa, yaitu
Syams al-Din dari Tabriz.18

C. Syamsuddin al-Tabrizi
Syamsuddin al-Tabrizi, dari Tabriz, adalah salah satu sosok paling
dekat dengan Rumi sekaligus paling misterius. Syams adalah seorang
pengembara. Ia lahir di Tabriz pada 1185 M dan meninggal serta dimakamkan
di Khuy pada tahun 1248 M, meski dikatakan juga bahwa tahun
meninggalnya adalah 1273 M. Ada kesimpangsiuran perihal meninggalnya
Syams dan dikatakan juga bahwa makamnya bukanlah di Khuy melainkan di
Konya, tak jauh dari makam Rumi.19
Dimasa kecilnya, dia sudah memperlihatkan pengecualian karakter.
Bukannya bermain, dia lebih suka menghadiri pelajaran-pelajaran sufi dan
mempelajari guru-guru sufi dimasa lalu.pada masa yang masih belia, ia sudah
merasakan keiinginan untuk mencari-cari hakikat cinta didalam dirinya.
Karena dia tidak menemukan teman sebaya yang memahaminya, ia lebih
banyak menghabiskan waktunya sendirian. Itulah sebabnya Syams selalu
tampak sedih.
Orang tua Syams berpikir bahwa kelesuan putranya diakibatan oleh
harapan anak muda pada umumnya terhadap sesuatu yang tidak dapat
dimilikinya. Oleh karena itu, Syams pernah bercerita, “ Mereka bertanya
17
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
18
Telaga cinta para sufi agung. Hal. 209
19
Matahari Diwan Syams Tabrizi
kepadaku, ‘kenapa engkau begitu bersedih? Apakah engkau ingin pakaian
yang terbuat dari perak dan emas?’ Aku menjawab, ‘Tidak, aku justru
berharap ada orang yang mengambil pakaian yang sedang aku kenakan”.20
Dengan kalimat itu Syams bermaksud mengatakan bahwa dia berharap baju
egoismenya segera terlucuti dari jiwanya. Ekspresi pemikiran yang luar biasa
dari seorang anak muda! Siapapun yang mendengar jawaban semacam itu
darinya tidak akan dapat memahami makna yang lebih dalam dibalik
ucapannya, dan beranggapan bahwa ia tidak stabil kecuali yang mendengar
ucapan itu adalah orang yang sudah sangat berkembang dijala sufi.
Dimasa remajanya, Syams pernah mengalami insomnia, dan
kehilangan selera makan selama lebih dari sebulan. Ketika ditanya kenapa dia
tidak makan dan tidur, dia menjawab, “kenapa aku harus makan atau tidur,
sedangkan Tuhan yang membuatkan begini, tidak berbicara langsung
kepadaku? Apa perlunya aku tidur atau makan? Andaikan Dia bicara langsung
kepadaku, dan ku temukan jawaban kemana harus pergi, maka aku akan
makan dan tidur”. Dikemudian hari, Syams menceritakan periode itu sebagai
periode Cinta Sejati, ketika hasratnya untuk yang bersifat Ketuhanan
membuatnya mengabaikan kebutuhan fisik yang normal.
Ketika Syams beranjak dewasa, seorang guru sufi yang bernama Abu
Bakar Silah Bah, mulai melatihnya didalam tahapan jalan spiritual. Namun
tidak lama, karena sang guru kemudian menyadari bahwa Syams telah
mencapai tingkat yang demikian tinggi sehingga tidak perlu lagi menjadi
seorang murid. Atas saran gurunya, Syams mulai mencari murid untuk dirinya
sendiri, murid yang akan mewujudkan harapannya. Pencarian ini
menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya. Dia mengembara dari kota ke
kota, dari negara ke suatu negara lainnya. Dia bekerja apa saja, dari mengajar
murid-murid sekolah hingga mengajar kaum pekerja yang tidak
berpendidikan, dan tidak pernah menarik bayaran atas layanannya ataupun

20
Diadaptasi dari Naser Sabebuz-Zamani, Khate Sevon (Manuskrip ketiga), Teheran: Attaic
Publication, 1989. Hal. 78
memiliki uang lebih dari yang dibutuhkan. Penampilan luarnya terlihat seperti
seorang pengemis, dengan jubah sufinya yang kasar, berwarna hitam dan
penuh totol tambalan.
Dalam perhatiannya di Baghdad, Syams bertemu dengan Auhaduddin
Kermani, seorang Syekh sufi yang meyakini bahwa satu-satunya jalan meraih
tingkat spiritualyang tinggi adalah dengan cara mengamati sifat-sifat
ketuhanan dalam bentuk keindahan Penciptaan. Pertemuan ini digambarkan
dalam cerita berikut ini.
Bertanyalah Syams kepada Syekh, “sedang apa?”
“Aku sedang memandangi pancaran sinar rembulan di danau ini,”
jawab syekh.
“kecuali lehermu sedang sakit, kenapa tidak memandanngi langit saja?
Apa engkau begitu buta sehingga engkau tidak melihat benda yang
sebenarnya didalam seluruh renunganmu?”
Jawaban Syams sangat memengaruhi sang Syekh sehingga ia meminta
Syams agar mengangkatnya sebagai murid.
“Engkau tidak punya kekuatan untuk memikul akibat dari
pertemananku,” jawab Syams
“kekuatan itu ada didalam diriku,” jawab Syekh. “ terimalah aku”.
“kalua begitu, bawakan aku satu kendi anggur, lalu kita meminu
bersama di pasar Baghdad.”
Takut terhadap pandangan orang (karena alcohol dilarang dalam
islam), Syekh menjawab, “Aku tidak dapat melakukannya.”
Syams berseru, “Engkau terlalu penakut untukku. Engkau belum
punya kekuatan untuk menjadi salah satu sahabat Tuhan yang paling dekat.
Aku mencari orang yang tahu bagaimana meraih kebenaran.”
Syams tidak mengindahkan pandangan umum ataupun kaum ulama
atas tindakan-tindakannya yang murni didorong oleh cinta kepada Tuhan.
Syams meneruskan pengembaraannya dari satu tempat ke tempat
lainnya, mencari murid yang ideal. Hingga akhirnya, pada suatu pagi yang
dingin dibulan November 1244, dalam usianya yang ke-60 tahun, ia tiba di
Konya dan bertemu dengan Jalaluddin Rumi.21
Sebagian besar diri Syams tetap menjadi figure yang misterius. Dari
ajaran-ajarannya, hanya ada satu buku peninggalannya, yaitu The Articles of
Syams Tabriz. Buku ini terdiri dari rangkaian ceramah yang diberikan Syams
pada pertemuan kaum sufi di Konya. Tampaknya Syams tidak menuliskan
pemikiran-pemikirannya. Ajaran-ajarannya banyak dikenal melalui catatan
pengamatan Sultan Walad, putra Rumi.

D. Rumi dan Syams


Aktifitas Rumi terus berjalan sebagaimana biasa hingga pada 462
H/1242 M terjadi perubahan besar dalam kehidupannya. Pada hari senin, 26
Jumadil Tsani 642 H, seseorang yang bernama Syams Tabriz datang di
Konya. Ia adalah orang yang tinggi tegap, berwajah lebar, matanya
memancarkan ketajaman dan kasih saying, sering tampak berduka, dan
usianya sekitar enam puluh tahun. Syams telah banyak bergaul senga para
syekh tarekat di negerinya dan ia pernah berguru kepada mereka, termasuk
kepada Abu Bakar al-Salal al-Tabrizi dan Ruknuddin al-Salasi. Namun,
mereka tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan yang terpendam dalam
pikirannya, karena itulah ia terus mencari guru lain yang mungkin dapat
menjawab berbagai pertanyaannya. Ia pernah berkata,”Aku mencari seseorang
dari golonganku sendiri untuk ku jadikan kiblat yang menjadi titik
keberhadapanku. Namun, aku merasa bosan”. Ia lantas berkelana dari Tabriz
ke Baghdad, Damaskus, Madinah, dan kota lainnnya hingga akhirnya tiba di
Konya. Saat di Damaskus, Syam bertemu dengan Ibn Arabi dan beberapa kali
terlibat dalam diskusi bersamannya.
Syams sosok yang diliputi berbagai kerumitan. Ia sendiri, dalam
beberapa tulisannya, menggambarkan semua kerumitan yang dihadapinya.
Pada hari ketika ia tiba di Konya, ia tidak tahu apakah di kota itu ia akan

21
Telaga cinta para sufi agung, Syams al-Din, Sang Matahari Agama, hal 211-215
menemukan orang yang dicarinya atau tidak. Beberapa waktu ia diam tanpa
menampakkan wajah diri yang sebenarnya. Disebuah toko penjual gula, ia
menyewa sebuah kamar yang biasa ditempati para pedagang. Menurut
beberapa riwayat, ditempat itu ia beberapa kali bertemu dengan Rumi.
Sejumlah riwayat menuturkan bahwa Syams telah mengetahui keberadaan
Rumi di Konya. Selam menetap di Konya, ia selalu menunggu kesempatan
untuk menemui Rumi. Jika ia mendapati bahwa Rumi sama saja dengan guru-
guru yang lain ilmunya sederhana dan tidak mendalam maka ia akan
menyerangnya. Namun, pada pertemuan pertama antara Syams dan Rumi,
keduanya saling terpukau. Dalam beberapa riwayat diceritakan bahwa
kehadiran Syams bagaikan Guntur yang membuyarkan ketenangan Rumi, dan
Rumi menginginkan Guntur itu menghancurkan dirinya :
Apa yang mengejutkanku jika kehancuran datang?
Sungguh di balik kehancuran ada simpanan kekuatan.22
Tak diragukan lagi, hubungan antara Rumi dan Syams merupakan
salah satu bentuk hubungan ikatan spiritual yang luar biasa yang pernah
dikenal sejarah. Bukan hal yang sering terjadi ketika Cinta Ketuhanan
termanifestasikan secara eksternaldalam bentuk hubungan antara dua orang
manusia.23 Sebagai seorang guru yang sempurna, Syams mengeluarkan
kesempurnaan yang tersembunyi dari dalam diri Rumi.
Sejak pertemuan itu, aktivitas mengajar dan pertemuan Rumi dengan
para muridnya mulai terganggu. Bahkan, ia lantas meninggalkan aktivitasnya
sebagai guru dan tidak lagi mengimami shalat jamaah. 24 Rumi dan syams
22
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
23
Dr. Javad Nurbakhsh, pada halaman 25 buku In the Tavern of Ruin, mendefinisakan Cinta
Ketuhanan, atau Cinta sejati, sebagai berikut: “ Didalam Cinta ketuhanan, kerinduan sang pecinta
ditunjukan kepada Sang Kekasih, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi Sang kekasih… Cinta
duniawi timbul dari keindahan bentuk-bentuk sementara. Cinta dihasilkan dari sublimasi dan
kehalusan budi Bahasa Hasrat seksual. Sedangkan, cinta ketuhanan atau cinta sejati merupakan suatu
limpahan dan kegairahan yang diturunkan dari hati pecinta yang tulus. Pecinta jenis ini seperti
ngengat yang berputar-putarmengitari lilin yang sifatnya mutlak, keberadaan ngengat itu terbakar
dalam api pendaran lilin. Sang pecinta berpisah dari dirinya sendiri dan binasa kedalam diri-Nya, dan
kemudian menjadi hidup. Ketika sang pecinta mengosongkan dirinya dan menjadi bukan apa-apa, dia
telah menemukan kehidupan yang abadi.”
24
Fihi ma fihi, cetakan ke vi
menghabiskan waktu tiga atau empat bulan ditempat pengasingan. Tak
seorang pun tahu apa yang diajarkan Syams kepada Rumi dalam masa
pengasingan itu. Apa yang dilihat para pengamat kontemporer adalah bahwa
Rumi muncul kembali pada usia 38 tahun sebagai seorang yang telah berubah.
Ia tidak lagi memberikan ceramah keagamaan dan memimpin doa, melainkan
membimbing sama’ sufi dan tarian mabuk sufi.25 Sebagai pengganti diskusi
filosofi, ia akan mendengarkan tiupan seruling bambu Lalang atau memainkan
rebab, alat music senar yang dipetik. Rumi yang tidak memiliki latar belakang
berpuisi, mulai menyusun syair-syair yang sangat indah untuk
mengekspresikan cintanya kepada Tuhan. Api yang dinyalakan Syams sudah
membakar Rumi.
Cinta Rumi terhadap gurunya bukan tidak terbalas. Syams juga
menemukan yang bersifat ketuhanan dalam wujud Rumi. Pencariannya telah
berakhir ketika ia menjumpai pecintaTuhan yang berbeda dari yang lainnya.
Syams mengatakan, “Aku menginginkan seseorang yang sesuai dengan
hatiku, orang yang akan meneruskan pengembaraanku, karena aku sudah lelah
sendirian. Sekarang, aku telah menemukan orang yang memahami apa yang
ku katakan.”
Karena Rumi menghabiskan waktunya bersama Syams

25
Didalam In the Tavern of Ruin, hlm. 32, Dr. Nurbakhsh membicarakan sama’ dengan kalimat
berikut: “Meskipun biasanya diterjemahkan sebagai musik spiritual, sama’ secara harfiah berarti
‘mendengarkan’. Didalam terminology sufisme, artinya mendengarkan music-puisi, melodi, irama,
dan harmonisasi ritmis dengan sungguh-sungguh, memakai telinga hati dengan rasa yang paling
dalam, didalam keadaan khusus yang begitu tenggelam didalam Cinta sehingga tidak ada noda diri
yang tertinggal dalam kesadaran. Dalam hal ini, sama’ berarti ‘panggilan Tuhan’. Realitasnya adalah
terbangunnya hati sepenuhnya ; dengan orientasi kepada yang mutlak. Sufi yang sedang dalam
keadaan sama’ tidak mfemperhatikan hal-hal yang ada dalam dunia ini maupun yang aka nada di
kehidupan yang akan datang. Api cinta begitu membakarnya sehingga hanya Tuhan yang ada dalam
benaknya. Sama’ melahap api itu dan secara bertahap membawa sumber suara dan para pendengar
bersama-sama mendekat dan lebih mendekat lagi hingga mereka menyatu.”

Anda mungkin juga menyukai