Syi’ir Sufi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah
al-Adab Al-Islamiy
Semester XI
Disusun Oleh:
Kelompok XI:
Dosen Pembimbing :
Dr. Syofyan Hadi, M.Ag, MA.Hum
Tidak lupa kami ucapkan kepada Dosen Pengampu atas bimbingannya dan
sudah memberi kami amanah untuk menyelesaikan makalah ini, serta arahan yang
mempermudah kami dalam menyelesaikan makalah ini. dan kami juga dapat
meningkatkan minat membaca dan mendalami al-Adab al-Islamiy terutama fokus
kajian pada bahasan syi’ir-syir Sufi. Demikianlah yang dapat kami sampaikan,
semoga makalah yang kami sajikan ini dapat bermanfaat untuk kami dan kita
semua, terutama bagi pembaca.
Pemakalah
PEMBAHASAN
1
Muhammad ‘Abdul Mun’im al-Khuffajiy, al-Adabu fi at-Turats as-Sufiy, (tt.p:
Maktabah Gharib, tt.h), h.156.
Fase kedua merupakan fase sekitar dua abad dari abad ke-3 hingga
abad ke-4 Hijriyah. Pada periode ini syair sufi mulai mengalami
perkembangan dan kemajuan. Di antara penyair sufi masa ini adalah Abu
Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245 H), Abu Hamzah al-
Khurasani (W. 290 H), ‘Arudh Abu Zakariya Yahya ar-Razi (W. 258 H)
al-Mutanabi, Syarif Ridha dan lainnya.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga perkembangan syair sufi berkisar antara tahun 400-600
H. Kurang lebih dua abad lamanya. Pada fase ini sastra sufi didominasi
oleh corak cinta Ilahi, pujian bagi Rasul, kerinduan pada tempat-tempat
yang disucikan, dan ajakan kepada keutamaan ajaran Islam. Pada masa
inilah mulai berkembangnya sastra sufi Persia, dan munculnya penyair-
penyair besar Arab seperti al-Ma’ari dan Mihyar. Adapun penyair sufi
yang ada pada masa ini di antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syami (586
H), al-Rifâ’I (587 H), Abd al-Qadir al-Jaîlani.
4. Fase Keempat
Perkembangan syair sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah.
Pada fase inilah syair sufi berada pada puncak kejayaannya. Penyair-
penyair besar masa ini di antaranya adalah: Ibnu al-Faridh (632 H),
Jalaluddin al-Rumi, Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M) al-Bushairi
(690 H/1290 M), Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lainnya.
5. Fase Kelima
Fase kelima dari perkembangan syair sufi dimulai dari abad ke-8
Hijriyah hingga sekarang. Tokoh penyair sufi yang terkenal adalah al-
Sya’rani (898-973 H), al-Nabalsi (1143 H), dan lainnya. Meskipun dari
segi bentuk syair sufi tidak berbeda dengan syair lainnya, namun dari segi
kandungan ada beberapa karakteristik tersendiri yang dimiliki oleh syair
sufi.
B. Karakteristik Syi’ir Sufi
1. Simbolisme syi’ir Sufi, merupakan salah satu karakteristik terpenting
dalam penulisan syi’ir Sufi. Syi’ir Sufi berkaitan dengan jiwa dan dan
menggunakan metode psikoanalisis yang akurat, karena tokoh-tokoh sastra
Arab menggunakan metode rasional. Ibn Faridh meyakini bahwa manusia
memperoleh pengetahuan pertamanya dari mengingat semua perasaan,
imajinasi, dan gambaran yang menetap.
2. Puis Sufi dengan simbolisme dan tujuannya, memiliki kecendrungan
surealis, dan ideology surealis menunjukkan kepada khayalan dan logika,
surealisme merupakan ekspresi suatu ide tanpa adanya kontrol apa pun
yang dilakukan oleh pikiran, seperti jauh di bawah alam sadar, dan juga
syi’ir Sufi cenderung berbicara tentang lubuk jiwa, haidis Rawi, alam
mimpi, dan alam bawah sadar. Para Sufi memiliki kecendrungan subektif
dalam puisi mereka, sehingga mereka memasuki dunia luar akal sehat, dan
mencoba menjangkau dengan hati apa yang tak dapat dijangkau oleh akal
sehat. Para Sufi telah memperkaya syi’ir Arab dengan simbol sufi, dan
dengan metode surealisme.
3. Puisi Sufi mengungkapkan tentang cinta sebagai ungkapan yang paling
agung, yang bersumber dari kehidupan. Dan syi’ir Sufi dicirikan selalu
berkaitan tentang alam ruh, langit, cahaya, kebesaran Allah.
4. Puisi Sufi memiliki kekayaan makna, keluasan imajinasi, keberagaman
tujuan, kemampuan menggunakan kata-kata, ekspresi gambar, bakat, dan
kecerdesan dalam mengggunakan gambar sebagai garis pemikirannya.
5. Puisi Sufi merupakan ungkapan ekspresi dari hati sanubari sang penuyair,
tentang dirinya sendiri dan kedalaman jiwanya.
6. Syi’ir sufi terdiri dari beberapa tema, di antaranya puisi zuhud, cinta ilahi,
pujian nabi, hukum dan adab, permohonan do’a, dan pengagungan Allah.
7. Para Sufi juga memiliki teori baru dalam penulisan syiirnya berupa kritik.
“Ketika aku jatuh cinta, aku merasa malu terhadap semua. Itulah yang
dapat aku katakan tentang cinta”
“Dulu dia mengusirku, sebelum belas kasih pun turun ke hatinya dan
memanggil. Cinta telah memandangku dengan ramah pula”
Dalam bait di atas, dan puisi Jalaluddin Rumi yang lainnya baik dalam
Mastnawi, Rubaiyat, Fihi Ma Fihi, Syam Tibriz, ketika ia berbicara suatu nilai
(misalnya; haya’) selalu dihubungkan dengan cinta (mahabbah), seakan ia tidak
bisa lepas dengan cinta, karena menurunya cintalah yang mengantarkan
segalanya.
Seperti bait pertama dalam puisi ini /Ketika aku jatuh cinta, aku merasa
malu terhadap semua. Itulah yang dapat aku katakan tentang cinta/ dengan
cintalah ia bisa memiliki sifah haya’, dan dengan sifat inilah gejolah birahi dapat
diredam bahkan potensinya dialihkan, baik birahi wanita, harta, tahta, dan lainnya.
Karena sifat malu hanya dapat dilakukan seseorang jika ia mampu menundukkan
dirinya kepada Tuhan, dan malu pintu utama untuk memasuki ruangan-ruangan
asrar Tuhan yang paling dalam. Al-haya’ minal iman, hadis ini sesuai dengan
rangkaian puisi Rumi, bagaimana ia menyatakan rasa malunya karena dipenuhi
cinta, cinta berangkat dari keimanan walau ada kata min (sebagian) dalam al-
haya’ min iman tapi orang yang tidak memiliki rasa malu maka seperti kehilangan
kendali dalam kehidupannya. Ia melakukan apapun demi hasrat dan birahinya,
tidak akan peduli apapun yang yang terjadi, asalkan ia dapat menuntaskan segala
keinginan hatinya, pikirannya bahkan keinginan hawa nafsunya.
Rangkaian puisi ini, dari bait pertama sampai bait keempat, antara malu
dan cinta adalah sebuah keterpaduan, malu berangkat dari cinta, cinta berangkat
dari iman, dengan malu iman terjaga, karena hakekat malu adalah ihsan, dan ihsan
selalu merasa diawasi oleh Tuhan, “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Melihat?” (Quran Al-Alaq 96:14).
Bait keempat adalah aplikasi dari bagaimana malu pada Tuhan, yang
kemudian menumbuhkan kedermawanan, ia tidak akan tega melihat orang lemah
di sekelilingnya tanpa mendapat sentuhan tangannya /menangislah seperti kincir
angin, rumput-rumput hijau mungkin memancar dari taman istana jiwamu. Jika
engkau ingin menangis, kasihanilah orang yang bercucuran air mata, jika engkau
mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah.2
Syair Abu Nawas. Abu Nawas,merupakan salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik,salah satu syair nya yang berjudul Al-I’tiraf (Sebuah Pengakuan):
PENUTUP
Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab telah ada, jauh sebelum agama
Islam lahir. Syair tertua diperkirakan berasal dari zaman Jahiliyah, sekitar dua
3
Abu al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani: Sufi dari Zaman ke Zaman. (Jakarta .PT Raja
grafindo persada, 1985), h.140.
abad sebelum Hijriyah, yang disebut saat ini dengan istilah syair Jahili. Pada masa
Jahiliyah syair menempati posisi penting di kalangan masyarakat Arab. Syi’ir Sufi
terdiri dari beberap periode, dari fase kelima hingga fase ke-6, dan syi’ir Sufi
memeiliki karakteristik yang khusus yang membedakannya dengan Syi’ir-syi’ir
yang lain. Dan juga syi’ir Sufi kaya akan simbolik-simbolik ciri khas Sufi.
DAFTAR PUSTAKA