Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Syi’ir Sufi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah
al-Adab Al-Islamiy

Semester XI

Disusun Oleh:
Kelompok XI:

Husnul Khatimah : 1811010041


Intan Permata : 1911010067

Dosen Pembimbing :
Dr. Syofyan Hadi, M.Ag, MA.Hum

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA (FAH)
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas berkat dan rahmat Allah SWT, yang telah


melimpahkan kenikmatan yang luar biasa kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Analisis wacana ini dengan lancar tentang “Syi’ir Sufi“
yang dibimbing oleh Ustadz Syofyan Hadi, M.Ag, MA.Hum. Shalawat serta salah
tak lupa kami kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah menjadi zaman islamiyah seperti yang sekarang ini kita
rasakan bersama-sama.

Tidak lupa kami ucapkan kepada Dosen Pengampu atas bimbingannya dan
sudah memberi kami amanah untuk menyelesaikan makalah ini, serta arahan yang
mempermudah kami dalam menyelesaikan makalah ini. dan kami juga dapat
meningkatkan minat membaca dan mendalami al-Adab al-Islamiy terutama fokus
kajian pada bahasan syi’ir-syir Sufi. Demikianlah yang dapat kami sampaikan,
semoga makalah yang kami sajikan ini dapat bermanfaat untuk kami dan kita
semua, terutama bagi pembaca.

Padang, 20 November 2021

Pemakalah
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Syi’ir Sufi


Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab telah ada, jauh sebelum
agama Islam lahir. Syair tertua diperkirakan berasal dari zaman Jahiliyah,
sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang disebut saat ini dengan istilah syair
Jahili. Pada masa Jahiliyah syair menempati posisi penting di kalangan
masyarakat Arab. Untuk itu penyair memperoleh penghormatan dari
masyarakat lebih dari seorang orator. Pada masa itu biasanya syair dibacakan
di tengah khalayak, pada tempat-tempat tertentu seperti pasar. Pasar syair
yang paling terkenal saat itu adalah suq‘ukkazh. Syair yang paling bagus,
mendapat penghargaan dengan digantung di atas Kabah, dan mendapat gelar
al-mu’allaqat.
Pada masa khilafah Abbasiyah, muncul untuk pertama kalinya corak
syair Arab baru yang dinamakan dengan al-syi’r al-wujdani (syair spiritual).
Syair dengan jenis seperti ini merupakan ciri khusus penyair sufi. Syair sufi
pada dasarnya adalah bagian daripada syair religi Islam yang bersifat mistik.
Karena lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek batin dibanding logika,
Jadi syair sufi sesungguhnya adalah gabungan antara mistik dan filsafat
Dilihat dari warisan sastra syi’ir sufi, terlihat jelas bahwa syi’ir sufi
berawal dari awal abad ke-2 Hijriah yang dipelopori oleh Hasan al-Bashri dan
para muridnya, yang dibagi ke dalam beberapa periode:1
1. Fase Pertama (100 H – 200 H)
Fase awal sejarah perkembangan syair sufi dimulai pada kisaran
tahun antara 100-200 H, sepanjang abad kedua Hijriyah, pada masa
khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad. Syair sufi pada periode ini masih
terhitung sedikit, hanya terdiri dari beberapa bait saja. Di antara penyair
sufi yang hidup pada masa tersebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (185H).
2. Fase Kedua

1
Muhammad ‘Abdul Mun’im al-Khuffajiy, al-Adabu fi at-Turats as-Sufiy, (tt.p:
Maktabah Gharib, tt.h), h.156.
Fase kedua merupakan fase sekitar dua abad dari abad ke-3 hingga
abad ke-4 Hijriyah. Pada periode ini syair sufi mulai mengalami
perkembangan dan kemajuan. Di antara penyair sufi masa ini adalah Abu
Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245 H), Abu Hamzah al-
Khurasani (W. 290 H), ‘Arudh Abu Zakariya Yahya ar-Razi (W. 258 H)
al-Mutanabi, Syarif Ridha dan lainnya.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga perkembangan syair sufi berkisar antara tahun 400-600
H. Kurang lebih dua abad lamanya. Pada fase ini sastra sufi didominasi
oleh corak cinta Ilahi, pujian bagi Rasul, kerinduan pada tempat-tempat
yang disucikan, dan ajakan kepada keutamaan ajaran Islam. Pada masa
inilah mulai berkembangnya sastra sufi Persia, dan munculnya penyair-
penyair besar Arab seperti al-Ma’ari dan Mihyar. Adapun penyair sufi
yang ada pada masa ini di antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syami (586
H), al-Rifâ’I (587 H), Abd al-Qadir al-Jaîlani.
4. Fase Keempat
Perkembangan syair sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah.
Pada fase inilah syair sufi berada pada puncak kejayaannya. Penyair-
penyair besar masa ini di antaranya adalah: Ibnu al-Faridh (632 H),
Jalaluddin al-Rumi, Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M) al-Bushairi
(690 H/1290 M), Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lainnya.
5. Fase Kelima
Fase kelima dari perkembangan syair sufi dimulai dari abad ke-8
Hijriyah hingga sekarang. Tokoh penyair sufi yang terkenal adalah al-
Sya’rani (898-973 H), al-Nabalsi (1143 H), dan lainnya. Meskipun dari
segi bentuk syair sufi tidak berbeda dengan syair lainnya, namun dari segi
kandungan ada beberapa karakteristik tersendiri yang dimiliki oleh syair
sufi.
B. Karakteristik Syi’ir Sufi
1. Simbolisme syi’ir Sufi, merupakan salah satu karakteristik terpenting
dalam penulisan syi’ir Sufi. Syi’ir Sufi berkaitan dengan jiwa dan dan
menggunakan metode psikoanalisis yang akurat, karena tokoh-tokoh sastra
Arab menggunakan metode rasional. Ibn Faridh meyakini bahwa manusia
memperoleh pengetahuan pertamanya dari mengingat semua perasaan,
imajinasi, dan gambaran yang menetap.
2. Puis Sufi dengan simbolisme dan tujuannya, memiliki kecendrungan
surealis, dan ideology surealis menunjukkan kepada khayalan dan logika,
surealisme merupakan ekspresi suatu ide tanpa adanya kontrol apa pun
yang dilakukan oleh pikiran, seperti jauh di bawah alam sadar, dan juga
syi’ir Sufi cenderung berbicara tentang lubuk jiwa, haidis Rawi, alam
mimpi, dan alam bawah sadar. Para Sufi memiliki kecendrungan subektif
dalam puisi mereka, sehingga mereka memasuki dunia luar akal sehat, dan
mencoba menjangkau dengan hati apa yang tak dapat dijangkau oleh akal
sehat. Para Sufi telah memperkaya syi’ir Arab dengan simbol sufi, dan
dengan metode surealisme.
3. Puisi Sufi mengungkapkan tentang cinta sebagai ungkapan yang paling
agung, yang bersumber dari kehidupan. Dan syi’ir Sufi dicirikan selalu
berkaitan tentang alam ruh, langit, cahaya, kebesaran Allah.
4. Puisi Sufi memiliki kekayaan makna, keluasan imajinasi, keberagaman
tujuan, kemampuan menggunakan kata-kata, ekspresi gambar, bakat, dan
kecerdesan dalam mengggunakan gambar sebagai garis pemikirannya.
5. Puisi Sufi merupakan ungkapan ekspresi dari hati sanubari sang penuyair,
tentang dirinya sendiri dan kedalaman jiwanya.
6. Syi’ir sufi terdiri dari beberapa tema, di antaranya puisi zuhud, cinta ilahi,
pujian nabi, hukum dan adab, permohonan do’a, dan pengagungan Allah.
7. Para Sufi juga memiliki teori baru dalam penulisan syiirnya berupa kritik.

C. Simbolisme Syi’ir Sufi


Dalam karya sastra syi’ir Sufi dan prosa Sufi, khususnya puisi Ibn Faridh
memiliki simbol yang asing dan pola yang menakjubkan, jauh dari
statement/penjelasan lain dan simbolnya mengutamakan isyarat atau tanda,
dan memiliki makna tersembunyi dalam embicraan, dan tingkatannya jauh
dari makna hakiki dan makna yang lazim, hampir sulit dipahami oleh
pembaca.
Simbol dalam syi’ir Sufi tidak terkait dengan kinayah yang mendalam,
nama seperti simbol tersembunyi yang tidak dimaksuudkan untuk
disyarahkan, seperti pembebasan mereka dalam kebahagiaan, dan kecintaan
kepada nabi, sebagai contoh syiir sufi:
‫أس ّميك لنبي في نسيبي تارة‬
‫وآوانة سعدى وآونة ليلى‬
‫حذرا من الواشين أن يفطنوا بنا‬
‫ ومن ليلي؟‬k،‫وإالّ فمن لنبي؟ فدتك‬
Makna indrawi yang dipakai oleh para Sufi menunjukkan makan spiritual,
yang menyimbolkan atau melambangkan konsep-konsep sentimental yang
terlepas dari penyamaran fisik, dimana mereka muncul. Oleh karena itu para
sufi menggunakan gamabaran indrawi, cinta indrawi, khamr indrawi, dan
mereka meminginkan makan ruhiyah.
Alasan para Sufi untuk menggunakan lambang atau simbol tersebut adalah
ktidakmampuan Sufi sepanjang zaman untuk menemukan bahasa cinta ilahi
yang sepenuhnya yang idependen.
Dan ada juga, sufi menggunakan simbol seperti bara api, mata, pipi,
rambut, wajah sebagai kata-kata yang melambangkan makna selain yang biasa
digunakan oleh makna indrawi.

D. Contoh Syair Sufi


Salah satu penyair sufi yang terkenal yaitu Jalaluddin Rumi, merupakan
salah alah satu dari sekian penyair yang mampu menciptakan gelombang kata-
katanya menjadi tsunami kehidupan, ia mampu menghanyutkan jutaan manusia
dari masa kemasa untuk menuju sebuah hakikat ketuhanan, kebebasan, kemulian
dan tujuan hidup yang hakiki. Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi
dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan
menggunakan kisah-kisah.
Berikut kutipan syair Jalaluddin Rumi tentang Haya’ (malu):

“Ketika aku jatuh cinta, aku merasa malu terhadap semua. Itulah yang
dapat aku katakan tentang cinta”

“Dulu dia mengusirku, sebelum belas kasih pun turun ke hatinya dan
memanggil. Cinta telah memandangku dengan ramah pula”

“Cinta bagai perantara yang menaruh kasihan, datang memberi


perlindungan pada kedua jiwa yang sesat ini”

“Menangislah seperti kincir angin, rumput-rumput hijau mungkin


memancar dari taman istana jiwamu. Jika engkau ingin menangis,

kasihanilah orang yang bercucuran air mata, jika engkau


mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah”
(JL. R : 1504)

Dalam bait di atas, dan puisi Jalaluddin Rumi yang lainnya baik dalam
Mastnawi, Rubaiyat, Fihi Ma Fihi, Syam Tibriz, ketika ia berbicara suatu nilai
(misalnya; haya’) selalu dihubungkan dengan cinta (mahabbah), seakan ia tidak
bisa lepas dengan cinta, karena menurunya cintalah yang mengantarkan
segalanya.
Seperti bait pertama dalam puisi ini /Ketika aku jatuh cinta, aku merasa
malu terhadap semua. Itulah yang dapat aku katakan tentang cinta/ dengan
cintalah ia bisa memiliki sifah haya’, dan dengan sifat inilah gejolah birahi dapat
diredam bahkan potensinya dialihkan, baik birahi wanita, harta, tahta, dan lainnya.
Karena sifat malu hanya dapat dilakukan seseorang jika ia mampu menundukkan
dirinya kepada Tuhan, dan malu pintu utama untuk memasuki ruangan-ruangan
asrar Tuhan yang paling dalam. Al-haya’ minal iman, hadis ini sesuai dengan
rangkaian puisi Rumi, bagaimana ia menyatakan rasa malunya karena dipenuhi
cinta, cinta berangkat dari keimanan walau ada kata min (sebagian) dalam al-
haya’ min iman tapi orang yang tidak memiliki rasa malu maka seperti kehilangan
kendali dalam kehidupannya. Ia melakukan apapun demi hasrat dan birahinya,
tidak akan peduli apapun yang yang terjadi, asalkan ia dapat menuntaskan segala
keinginan hatinya, pikirannya bahkan keinginan hawa nafsunya.
Rangkaian puisi ini, dari bait pertama sampai bait keempat, antara malu
dan cinta adalah sebuah keterpaduan, malu berangkat dari cinta, cinta berangkat
dari iman, dengan malu iman terjaga, karena hakekat malu adalah ihsan, dan ihsan
selalu merasa diawasi oleh Tuhan, “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Melihat?” (Quran Al-Alaq 96:14).
Bait keempat adalah aplikasi dari bagaimana malu pada Tuhan, yang
kemudian menumbuhkan kedermawanan, ia tidak akan tega melihat orang lemah
di sekelilingnya tanpa mendapat sentuhan tangannya /menangislah seperti kincir
angin, rumput-rumput hijau mungkin memancar dari taman istana jiwamu. Jika
engkau ingin menangis, kasihanilah orang yang bercucuran air mata, jika engkau
mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah.2

Syair Abu Nawas. Abu Nawas,merupakan salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik,salah satu syair nya yang berjudul Al-I’tiraf (Sebuah Pengakuan):

Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).

Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.

Maka perkenankanlah hamba bertobat dan ampunilah dosa-dosa hamba.


2
Rumi, Jalaluddin. Mastnawi (terj Dr. Ibrahim Dasuki Satta). (Al-Amiriyah, 1997),
h.50.
Karena sesungguhnya Engkau Pengampun dosa-dosa besar.

Syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Isi syair al-i’tiraf


menggambarkan seorang hamba yang mendamba-dambakan surga. Namun ia
sadar akan ke tidak pantasan dirinya untuk mendapatkannya sebab begitu banyak
dosa dan hina yang melumuri dirinya. Akan tetapi, ia juga sangat takut akan
panasnya api neraka. Kemudian ia teringat bahwa Tuhannya adalah Sang Maha
Pengampun. Maka berdoalah ia seraya memohon ampun atas segala dosa-
dosanya.3

PENUTUP

Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab telah ada, jauh sebelum agama
Islam lahir. Syair tertua diperkirakan berasal dari zaman Jahiliyah, sekitar dua

3
Abu al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani: Sufi dari Zaman ke Zaman. (Jakarta .PT Raja
grafindo persada, 1985), h.140.
abad sebelum Hijriyah, yang disebut saat ini dengan istilah syair Jahili. Pada masa
Jahiliyah syair menempati posisi penting di kalangan masyarakat Arab. Syi’ir Sufi
terdiri dari beberap periode, dari fase kelima hingga fase ke-6, dan syi’ir Sufi
memeiliki karakteristik yang khusus yang membedakannya dengan Syi’ir-syi’ir
yang lain. Dan juga syi’ir Sufi kaya akan simbolik-simbolik ciri khas Sufi.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad ‘Abdul Mun’im al-Khuffajiy, al-Adabu fi at-Turats as-Sufiy, (tt.p:


Maktabah Gharib.
Rumi, Jalaluddin. 1997. Mastnawi (terj Dr. Ibrahim Dasuki Satta). (Al-Amiriyah.
Abu al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman.
(Jakarta .PT Raja grafindo persada.

Anda mungkin juga menyukai