Anda di halaman 1dari 50

yeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan

budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16


sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang
nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal
dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil
di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad
ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para
saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh
Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya
dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang.[1] Tetapi dari syair dan
dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di
Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri
lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam
mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang
menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai
tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa
Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah
IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan
pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-
1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah
belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri
beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat),
bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh
tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa
Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah,
mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau
menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa
itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
C. Karya-karya Hamzah Fansuri

Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang


terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya
antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah
antara lain :
a. Asfarul arifin fi bayaani ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Rubai Hamzah al-Fansuri

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun


berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau
orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang
Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan
beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof.
A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri
mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua
orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari
biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D
masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof.
Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press
1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]

Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri


tergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan
ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].

D. Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri

Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar


di berbagai wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai
pengarang adalah Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan
Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari.[5]
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan
risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah.
Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari
masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di
dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula
penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan
puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun
sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di
bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di
bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang
memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair
sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer dan
digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk
dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa
Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa
Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi
keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu
di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan
mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang
sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan
risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa
Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi
bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah
pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian,
kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar
al-arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang
pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri
memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan
dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika,
epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf
paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan
kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan
memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil
menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala
permasalahannya.[6]
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul Sidang Ahli
Suluk pada bagian I di bait 1:

Sidang Faqir empunya kata,


Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena
itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan
keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan
melihat atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri,
seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu.
Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran
mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah
meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai
latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau
meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul Sidang Ahli Suluk pada bagian I di bait 9:

Hapuskan akal dan rasamu,


lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau
metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan hapuskan akal dan rasamu, yang berarti
suatu cara untuk menuju kepada kondisi No-Mind, kondisi berada dalam Kesadaran Murni
atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi No-Mind tersebut, maka seorang sufi harus
lenyapkan badan dan nyawamu, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan
berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua
mata inderawinya, untuk mengaktifkan mata-ruhaninya, guna melihat rupa dari Jati Dirinya
yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi bahagia yang abadi. Inilah
sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya
memerlukan kepasrahan dan keberanian karena Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua
alam nyata terbentang. Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu
dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda
dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan
pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk
membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah
fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra
Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M
silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-
karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak
mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia
menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan
pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung
halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam
pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka,
Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar
pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-
Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat
rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok
daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah
diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana
belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah
Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat
keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama
beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif
dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad
juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni
keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari
yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan
pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan
pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat,
sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di
bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah
yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun.
Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar,
disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad.
Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak
sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan
Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang

Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-


kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat
lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad
Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil
itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak
sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun
menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan
keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan,
Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika
Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di
Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan
berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama
besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M.

Memperdalam Ilmu Agama

Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh
Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-
Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani.

Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia
bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap
juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani
(Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka
berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu
di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi
menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia
menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut
kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat
Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut
kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan
Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk
sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan
mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya,
sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun.
Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai
dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak
bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan
Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km
dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran
Lok Gabang) ini dikebumikan.

Kitab Sabil Al-Muhtadin

Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya
kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa
Arab.

Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia
cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah,
ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang
keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-
Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih
alim dalam urusan agama).

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad
mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab
Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-
Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Miratu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab
Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini.
Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar
(Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat
Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah
satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa
bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar
untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-
Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari


menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah
dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan madzhab Syafii
dan telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini
terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-
masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak
menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu,
kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di
wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Fikih Kontekstual

Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil
al-Muhtadin menyatakan: Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali
pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang.
Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau
tentang zakat.

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat
(mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat
progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad al-Banjari
menyatakan: Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun
pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan
orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu
sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan
zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan
di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang
sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara
umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan
diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada
mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan
tidak bisa berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah
melampaui zamannya. Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan
umum (mashlahat al-ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai sebagai pemberian
karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak
hanya terputar di kalangan orang kaya semata, ujar Kailani.

Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat
lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di
Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh
pekerjaan layak, tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-
Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang
ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh
Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi
kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-
ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar
melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi
umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya,
seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand.

Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya
ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari
contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan
Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,
kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang
kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia
mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra
Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M
silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-
karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak
mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia
menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan
pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung
halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam
pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka,
Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar
pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-
Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat
rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok
daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah
diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana
belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah
Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat
keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama
beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif
dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad
juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni
keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari
yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan
pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan
pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat,
sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di
bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah
yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun.
Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar,
disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad.
Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak
sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan
Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang

Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-


kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat
lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad
Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil
itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak
sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun
menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan
keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan,
Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika
Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di
Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan
berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama
besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M.

Memperdalam Ilmu Agama

Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh
Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-
Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani.

Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia
bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap
juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani
(Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka
berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu
di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi
menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia
menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut
kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat
Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut
kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan
Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk
sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan
mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya,
sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun.
Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai
dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak
bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan
Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km
dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran
Lok Gabang) ini dikebumikan.

Kitab Sabil Al-Muhtadin

Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya
kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa
Arab.

Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia
cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah,
ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang
keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-
Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih
alim dalam urusan agama).

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad
mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab
Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-
Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Miratu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab
Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini.
Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar
(Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat
Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah
satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa
bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar
untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-
Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari


menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah
dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan madzhab Syafii
dan telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini
terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-
masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak
menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu,
kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di
wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Fikih Kontekstual

Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil
al-Muhtadin menyatakan: Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali
pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang.
Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau
tentang zakat.

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat
(mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat
progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad al-Banjari
menyatakan: Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun
pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan
orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu
sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan
zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan
di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang
sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara
umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan
diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada
mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan
tidak bisa berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah
melampaui zamannya. Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan
umum (mashlahat al-ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai sebagai pemberian
karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak
hanya terputar di kalangan orang kaya semata, ujar Kailani.

Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat
lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di
Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh
pekerjaan layak, tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-
Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang
ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh
Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi
kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-
ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar
melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi
umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya,
seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand.

Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya
ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari
contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan
Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,
kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang
kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia
mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.
Biografi Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Muti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi
Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani.

Beliau lahir di kampung Tanara, (sekarang masuk dalam kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang)
Banten pada tahun 1813 M atau 1230 H.

Ayah beliau bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya,
Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang
bernama Sunyara-ras (Tajul Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Jafar
Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra

Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang
masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi bermain dengan anak-anak sebayanya di sungai,
karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak
kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun
diminumnya seorang diri hingga mengering.

Syahdan, ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai
peng-gembarannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum
berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya,

Aku doakan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang
sengaja kutanam ini berbuah. Demikian restu dan syarat sang ibu.

Dan Nawawi kecilpun menyanggupinya. Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan


kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau
pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta
dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur.

Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu.
Ternyata mereka bertiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama
Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok.

Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau
tanam sudah berbuah. Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.

Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah
dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga
namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang
berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif
pindah ke daerah Tanah Pesisir.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji.
Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah:
ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di
Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.

Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan
impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya
yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang
bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang
keduanya di Makkah.

Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun
1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-
muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada
tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang
ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya
yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang
lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami
perubahan (tarif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya,
sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar
ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya.

Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M.
Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-
Fahhamah Al-Mudaqqiq, Ayan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang
menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh
Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asyari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH.
Asyari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH.
Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.

Syekh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru Sejati


Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan
orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat
Syarah Shahih Muslim, Majmu Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-
karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak
dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan
wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis talim karyanya selalu dijadikan rujukan
utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat
terkenal.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab,
tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan
teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi
tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya
gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi,
kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap
Syekh Nawawi.

Karya dan Kitab karangan Syekh Nawawi Al-Bantani


Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak
dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini
masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat
diterbitkan.

Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan
manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari
kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand
dan juga negara-negara di Timur Tengah.

Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada
sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum
belajarnya. Selain itu, Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di
Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama
universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu
forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero
dunia.

Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah sebagai berikut:

1.) al-Tsamr al-Yniah syarah al-Riydl al-Badah


2.) al-Aqd al-Tsamn syarah Fath al-Mubn
3.)Sullam al-Munjah syarah Safnah al-Shalh
4.)Bajah al-Wasil syarah al-Rislah al-Jmiah bayn al-Usl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5.)al-Tausyh/ Quwt al-Habb al-Gharb syarah Fath al-Qarb al-Mujb
6.)Niyah al-Zayyin syarah Qurrah al-Ain bi Muimmh al-Dn
7.)Marqi al-Ubdiyyah syarah Matan Bidyah al-idyah
8.)Nashih al-Ibd syarah al-Manbatu ala al-Istidd li yaum al-Mid
9.)Sallim al-Fadhl syarah Mandhmah idyah al-Azkiy
10.)Qmiu al-Thugyn syarah Mandhmah Syubu al-Imn
11.)al-Tafsir al-Munr li al-Mulim al-Tanzl al-Mufassir an wuj mahsin al-Tawil musamm
Murh Labd li Kasyafi Man Quran Majd
12.)Kasyf al-Marthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13.)Fath al-Ghfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musamm al-Kawkib al-Jaliyyah
14.)Nur al-Dhalm ala Mandhmah al-Musammh bi Aqdah al-Awwm
15.)Tanqh al-Qaul al-Hatsts syarah Lubb al-Hadts
16.)Madrij al-Shud syarah Maulid al-Barzanji
17.)Targhb al-Mustqn syarah Mandhmah Maulid al-Barzanj
18.)Fath al-Shamad al lam syarah Maulid Syarif al-Anm
19.)Fath al-Majd syarah al-Durr al-Fard
20.)Tjn al-Darry syarah Matan al-Baijry
21.)Fath al-Mujb syarah Mukhtashar al-Khathb
22.)Murqah Shud al-Tashdq syarah Sulam al-Taufq
23.)Ksyifah al-Saj syarah Safnah al-Naj
24.)al-Futhh al-Madaniyyah syarah al-Syub al-mniyyah
25.)Uqd al-Lujain fi Bayn Huqq al-Zaujain
26.)Qathr al-Ghais syarah Masil Ab al-Laits
27.)Naqwah al-Aqdah Mandhmah fi Tauhd
28.)al-Najah al-Jayyidah syarah Naqwah al-Aqdah
29.)Sulk al-Jdah syarah Lamah al-Mafdah fi bayn al-Jumuah wa almudah
30.)Hilyah al-Shibyn syarah Fath al-Rahman
31.)al-Fushsh al-Yqutiyyah ala al-Raudlah al-Bayyah fi Abwb al-Tashrfiyyah
32.)al-Riydl al-Fauliyyah
33.)Mishbh al-Dhalmala Minaj al-Atamma fi Tabwb al-Hukm
34.)Dzariyyah al-Yaqn ala Umm al-Barn fi al-Tauhd
35.)al-Ibrz al-Dniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnny
36.)Baghyah al-Awwm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anm
37.)al-Durrur al-Baiyyah fi syarah al-Khashish al-Nabawiyyah
38.)Lubb al-bayyn fi Ilmi Bayyn.

Wafatnya Syaikh Nawawi Al-Bantani


Pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M, Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia
84 tahun. Umat berduka atas kepergian beliau untuk selama-lamanya.
Beliau kemudian dimakamkan di Mala di Kota Mekkah, dekat makam Siti Khadijah, Ummul
Mukminin istri Rasulullah SAW.

Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa
Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jumat terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul
untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia

1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram
di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya,
Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat
diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi
pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua
muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Mala.

2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar Sayyidu Ulama al-Hijaz yang berarti Sesepuh
Ulama Hijaz atau Guru dari Ulama Hijaz atau Akar dari Ulama Hijaz. Yang menarik dari gelar di
atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar Sayyidu Ulama al-Indonesi sehingga bermakna,
bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu,
beliau juga mendapat gelar al-imam wa al-fahm al-mudaqqig yang berarti Tokoh dan pakar
dengan pemahaman yang sangat mendalam. Snouck Hourgronje memberi beliay gelar Doktor
Teologi.

3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar
dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini
membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.

4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed
Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100
judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syariah, tafsir, dan lainnya.
Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini,
menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab,
termasuk sastera Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan
Syekh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh
Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal.
Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang
berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.

6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara
pemikiran yang berorientasi pada syariat dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi serta
sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syariat di sisi lain.

Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya,
syariat memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu,
seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syariat dengan baik, namun
rohaninya masih kotor.

Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki,
bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syariat. Selain itu,
di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli
atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli.

Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli
harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil
naqli harus diutamakan.

7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan
menancapkan pengaruh Teologi Asyariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara
Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang
menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.

8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena
itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir
yang dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim Asyari merupakan salah
satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan
penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani
merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia.
Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan
salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah
satu objek mata-mata Snouck Hourgronje.

10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan
penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu
menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-
kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.

Cerita Seputar Karomah-Karomah Syekh Nawawi Al-Bantani


Ada banyak cerita yang beredar di kalangan santri tentang karamah-karamah yang dimiliki oleh
Syaikh Muhammad Nawawi Al-bantani, di antaranya:

1. Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau
duduk di atas sekedup onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta.

Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan
jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdoalah
ulama alim allamah ini,

Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau
ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam
sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.

Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi
sekedupnya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah
beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil
Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.

2. Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang
belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Mala) meskipun
yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya,
sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun
dikubur.

Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di
pemakaman umum Mala. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan
beliau di Serang Banten.

Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Kabah tanpa sesuatu alatpun. Cara
ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami Pekojan Jakarta
Kota.

Makam Syech Nawawi al-Bantani


Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun
kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang
belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota.

Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih
berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa,
saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa
makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari
pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim.

Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan
adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda
pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup
jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian ini mengejutkan para
petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang
sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut.
Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada
di Mala, Mekah.

Biografi KH Kholil Bangkalan Madura Hari Selasa


tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di
Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung
Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari
itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama
Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat,
sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga
kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan
permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari
Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai
Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan
Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa
mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat
yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa.
Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu)
sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan
ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren
untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh,
Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan,
Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di
Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7
kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian
keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu,
Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya.
Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah
Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur
Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam
bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di
Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah
Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau
mampu membaca Al-Quran dalam Qiraat Sabah (tujuh cara membaca Al-Quran).

Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke
Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan
untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya
kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren
itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi
ini, Mbah Kholil nyambi menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap
pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung.
Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci
dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari
situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan
untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan
Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan
untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil
belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara
gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin
Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang
Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab
yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab
Syafii tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak
mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafii.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang
makanan lain yang lebih layak. Realitas ini bagi teman-temannya, cukup mengherankan.
Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis
pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot
(vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asyari, KH.
Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya
kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan
dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja
mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun
kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan
dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka
sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya,
Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Kembali ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah
Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal
sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga
dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Quran 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat
mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah
putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil
sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200
meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu,
hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari
daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari
Jawa tercatat bernama Hasyim Asyari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan
sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang waskita, weruh sak durunge winarah (tahu
sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.

Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di
daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada
sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber
dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil
belajar kepada Kyai Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau
tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi,
dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan,
tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan
dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
diantaranya adalah KH. Hasyim Asyari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak
berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk
(mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda.
Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya
pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada
Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut
menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar
bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang
tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai
dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya
Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi
mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh
ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asyari (pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab
Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri
Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Mashum (pendiri Pondok Pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Mashum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok
Pesantren Rembang), dan KH. Asad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo).

Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai Syaikhuna yakni guru kami, karena
kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar
dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari
sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin
Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah
perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan
seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di
pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-
tiba baju dan sarung beliau basah kuyup, Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung
ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung
ditolong Mbah Kholil.

Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil
dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah.
Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si
nelayan itu, Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar
menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh
Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku
tersebut sebagai berikut:

Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta
tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada
orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke
Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya
kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang
Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari
rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang
seraya berkata: Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari
sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya
tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering
ziarah ke makam beliau.

3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap
dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani
timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah
Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang
mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab
tingkat pemula.

Assalamualaikum, Kyai, Ucap salam para petani serentak.

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Jawab Mbah Kholil.


Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: Sampean ada keperluan,
ya?

Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada
Kyai penangkalnya, Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat qoma zaidun yang
artinya zaid telah berdiri. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada
huruf qoma zaidun.

Ya.., Karena pengajian ini sampai qoma zaidun, ya qoma zaidun ini saja pakai sebagai
penangkal, Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

Sudah, Pak Kyai? Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

Ya sudah, Jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka
masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing.
Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun
berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama
ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat
maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia.
Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin
lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk
sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia
kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang
selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai
rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke
pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran
timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju
Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang
wanita berbicara kepada suaminya: Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,
Ucap istrinya dengan memelas.

Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,
Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah
anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang
suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang
akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia
duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya.
Dia memberikan nasihat: Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa
musibah yang menimpa dirimu! Ucapnya dengan tenang.

Mbah Kholil? Pikirnya. Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong
ketinggalan saya dari kapal? Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami,
insya Allah, Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya
di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: Ada keperluan apa?

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke
Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami
bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya:
Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?

Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan, Katanya dengan nada putus asa.

Kembali lagi, temui Mbah Kholil! Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya
sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: Baik kalau begitu,
karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.

Terima kasih Kyai, Kata sang suami melihat secercah harapan.

Tapi ada syaratnya, Ucap Mbah Kholil.

Saya akan penuhi semua syaratnya, Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan
sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan
sanggup? Seraya menatap tajam.

Sanggup Kyai, Jawabnya spontan.


Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat, Kata Mbah
Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit
berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal
tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa
yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali, Dengan senyum penuh arti seakan tidak
pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini
dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa
beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang
memiliki karomah yang sangat luar biasa.

6. KH Soleh Darat

jKH. Sholeh bin Umar As-Samarani (Mbah Sholeh Darat)

MBAH SHOLEH DARAT

Nama lengkapnya adalah Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, yang


dikenal dengan sebutan Mbah Soleh Darat, hidup sezaman dengan Syekh Nawawi
Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura, lahir di Kedung
Cemlung, Jepara pada tahun 1235 H./1820 M., dan wafat di Semarang pada hari
Jumat 29 Ramadhan 1321 H. atau 18 Desember 1903 M. Ketiga ulama yang berasal
dari Jawa itu juga sezaman dan seperguruan di Mekah dengan beberapa ulama dari
Patani diantaranya adalah Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fathani (Lahir
1233 H./1817 M., wafat 1325 H./1908 M.). Mereka juga seperguruan di Makkah
dengan Syekh Amrullah (Datuk Prof. Dr. Hamka) dari Minangkabau, Sumatera
Barat.

JEJAK PENDIDIKAN MBAH SALEH DARAT


Jejak pendidikan beliau dimulai dari ayahnya Kyai Haji Umar yang merupakan
pejuang Islam yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Dipone-goro,
meliputi ilmu dasar-dasar agama Islam, kemudian beliau belajar kepada Kyai Haji
Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Sesudah itu beliau di-bawa
ayahnya ke Semarang untuk belajar kepada beberapa ulama, diantaranya adalah
Kyai Haji Muhammad Saleh Asnawi Kudus, Kyai Haji Ishaq Damaran, Kyai Haji Abu
Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), Kyai Haji Ahmad Bafaqih
Baalawi, dan Kyai Haji Abdul Ghani Bima. Ayahnya Kyai Umar sangat berharap
agar anaknya kelak menjadi ulama yang berpengetahuan sekaligus ber-
pengalaman, karena pengetahuan tanpa adanya pengalaman adalah kaku,
sebaliknya berpengalaman tanpa pengetahuan yang cukup adalah ibarat tumbuh-
tumbuhan yang hidup di tanah yang gersang, karena seseorang yang mempunyai
pengalaman dan penge-tahuan yang banyaklah yang diperlukan oleh masyarakat
Islam sepanjang zaman. Oleh hal itulah ayahnya mengajaknya merantau ke
Singapura. Beberapa tahun kemudian, bersama ayahnya, beliau berangkat ke
Makkah untuk menunaikan ibadah hadi sekaligus tinggal disana untuk mendalami
berbagai ilmu kepada beberapa ulama di Makkah pada zaman itu, diantaranya
adalah: Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-
Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad
Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami,
Syekh Yusuf Al-Mishri dan Syekh JamAl-(Mufti Madzhab Hanafi).
Setelah beberapa tahun berkelana mencari ilmu, tibalah saatnya beliau
diberikan izin untuk mengajar di Makkah, banyak muridnya yang berasal dari Tanah
Jawa dan Melayu. Setelah menetap di Makkah selama beberapa tahun untuk
belajar dan mengajar, Mbah Saleh Darat terpanggil hatinya untuk pulang ke
Semarang karena bertanggung jawab dan ingin ber-khidmat terhadap tanah
tumpah darah sendiri. Hubbul wathan minAl-Iman yang artinya cinta tanah air
sebagian dari iman. Itulah yang menyebabkan beliau harus pulang ke Semarang.

MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN


Sebagaimana tradisi ulama dunia Melayu terutama ulama Jawa dan Patani
pada zaman itu, bahwa setelah pulang dari Makkah harus mendirikan pusat
pengajian berupa Pondok Pesantren. Mbah Saleh mendirikan pondok pesantren di
pesisir kota Semarang. Sejak itulah beliau dipanggil orang dengan gelar Kyai Saleh
Darat Semarang. Terkenal sebagai pendiri pesantren nama beliau semakin berkibar
di seantero Jawa, terutama Jawa Tengah. Diantara murid-murid beliau yang
menjadi ulama tersohor adalah:
1. KH. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdlatul Ulama)
2. Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madz-hab Syafii yang ahli dalam bidang
hadits).
3. KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)
4. KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mambaul Maarif Jombang).
5. KH. Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo)
6. KH. Syaban (Ulama Ahli Falak di Semarang)
7. KH. Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watuco-ngol Muntilan, Magelang).
8. Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol kebang-gaan kaum wanita Indonesia.
Yang mengagumkan dari kesekian murid beliau, ada tiga orang yang disahkan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu KH. Ahmad Dahlan (18681934 M.),
dengan Surat Keputusan Pemerintah RI, No. 657, 27 Desember 1961, Hadratus
Syekh Hasyim Asyari (18751947 M.), dengan Surat Keputusan Presi-den RI, No.
294, 17 November 1964, Raden Ajeng Kartini (18791904 M.), dengan Surat
Keputusan Presiden RI, No. 108, 12 Mei 1964.
GORESAN PENA MBAH SALEH DARAT
Diantara karya-karya Mbah Saleh yang terlahir dari tangan kreatifnya adalah:
1. Majmuah Asy-Syariah Al-Kafiyah li Al-Awam, kandungannya membicarakan ilmu
syariat untuk orang awam.
2. Al-Hakim, kandungannya tentang ilmu tasawuf, yang merupakan petikan-petikan
penting dari kitab Hikam karya Syekh Ibnu Athoilah As-Sakandari.
3. Kitab Munjiyat, kandungannya tentang ilmu tasawuf, yang merupakan petikan
penting dari kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.
4. Kitab Bathaif At-Thaharah, kandungannya mem-bicarakan tentang hukum bersuci.
5. Kitab Faidhir Rahman, kandungannya merupakan terjemahan dari tafsir Al-Quran
ke dalam bahasa Jawa. Kitab ini merupakan terjemahan dari tafsir Al-Quran yang
pertama dalam bahasa Jawa di dunia Melayu. Menurut riwayat, satu naskah kitab
tafsir tersebut pernah dihadiahkan kepada RA. Kartini ketika mrnikah dengan RM.
Joyodiningrat (Bupati Rembang).
6. Kitab Manasik Al-Hajj, kandungannya membicara-kan tentang tata cara
mengerjakan haji.
7. Kitab Ash-Shalah, kandungannya membicarakan tentang tata cara sholat.
8. Terjemahan Sabil Al-Abid Ala Jauharah At-Tauhid, kandungannya tentang aqidah
Ahli Sunnah Wal Jamaah, mengikut pegangan Iman Abu Hasan Al-Asyari dan Imam
Abu Mansur Al-Maturidi.
9. Mursyid Al-Wajiz, membahas tentang tasawuf dan akhlak.
10. Minhaj Al-Atqiya, membahas tentang tasawuf dan akhlak.
11. Kitab Hadits Al-Miraj, membahas tentang perjala-nan Nabi Muhammad SAW dari
Makkah ke Baitul Maqdis dan selanjutnya ke Mustawa menerima perintah sholat
lima waktu sehari semalam. Kitab ini sama kandugannya dengan Kifayah Al-Muhtaj
karya Syekh Daud Bin Abdullah Al-Fathani.
Kitab Asrar As-Shalah, membahas tentang rahasia-rahasia shalat.
Hampir semua karya Mbah Saleh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan
menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi), hanya sebagian kecil yang ditulis
dalam Bahasa Arab bahkan sebagian orang berpendapat bahwa orang yang paling
berjasa menghidupkan dan menyebarluaskan tulisan pegon (tulisan Arab Bahasa
Jawa) adalah Mbah Saleh Darat Semarang.

7. KH Ahmad Dahlan

Biografi KH. Ahmad DahlanKyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868,
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari
tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama
Islam di Jawa.

Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas,
Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan).

Biografi dan Profil KH. Ahmad Dahlan


Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini,
Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun
1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat
berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, Siti Zaharah.

Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah.
la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta.

Masuk Organisasi Budi Utomo


Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo -
organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa
sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini
menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan
didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia. Saran itu kemudian ditindaklanjuti
Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18
November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan
pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan
membangun masyarakat Islam.
Madrasah Muhammadiyah Pertama
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan
panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al
Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun
melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya.

Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang
diharapkan Quran itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya
hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga
Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman
itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan
mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta
bahasa Belanda.

Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau
pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus
mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah
banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan
ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.

Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan
terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu,
beliau juga memurnikanagama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme,
dinamisme, dan kejawen.

Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk
kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah
ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai
pendamping dan partner kaum pria.

Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan
nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-
berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga
mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang
merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya,
sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak
ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.

Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat
itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror
seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.

Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai
palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan
ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh
kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia
terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.

Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa
ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan
metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota
Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu
organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin
satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan
ummat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.

Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya
ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang
sesuatu kitab atau buku agama.

Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai
Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para
sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah.

Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan
dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.

Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di bidang
ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di
bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh
Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu
pengobatan dan racun binatang.

Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah
bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara
menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar
kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
8. Kh Hasyim Ashari

Biografi KH Mohammad Hasyim Asy'ari. Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau


dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24
Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Beliau tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng,
Jombang.

KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa
Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai
Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras
yang berada di sebelah selatan Jombang.
KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya,
KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari
Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang
kokoh.

Biografi KH Hasyim Asy'ari


Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam
ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.

Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke


Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di
bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang
juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana
menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo,
Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di
Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang
diasuh Kyai Yaqub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam
yang diinginkan. Kyai Yaqub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
dalam ilmu agama. Cukup lama lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan.
Dan rupanya Kyai Yaqub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.

Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21
tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Yaqub. Tidak lama setelah
menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji.
Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7
tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi,
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh
Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As
Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
Logo Nahdlatul Ulama
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja
Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.

Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak
mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang
kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim
menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng.
Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak
tahun 1870.

Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau
membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai.

Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian
belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan
kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang
menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai
Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3)
Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8)
Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali
dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu,
Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul
Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Yakub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asyari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi
hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan, kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari
Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, Sungguh saya tidak menduga kalau
Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba
berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang.
Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut
belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan, katanya. Karena
sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya
sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki
gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang
gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil;
adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang
semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang
sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU
generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga
lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap
Ramadhan Kyai Hasyim punya tradisi menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama
sebulan suntuk.

Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara
santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh
luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. Asad Syamsul Arifin, Wahid
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren
paling besar dan paling penting di Jawa.

Zamakhsyari Dhofier, penulis buku Tradisi Pesantren, mencatat bahwa pesantren Tebuireng
adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan
Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan
Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia
pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.

Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan


bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat
kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.

Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam
yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut
dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia.

Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang
undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum
Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.

Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren
yang baru berdiri 10-an tahun itu.

Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan


serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi
fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati,
dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan
ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda
dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi
dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu
perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah
putera dan kerabatnya.

Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris
dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol
penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu
Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut.
Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim
ditangkap dan ditahan secara berpindahpindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar,
sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim
mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren


Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai
berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat
Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga
berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi
pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan
Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan
alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi
Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah


perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa
senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.

Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal
7 Nopember 1945tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya
umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).

Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai
faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Rois Am (Ketua Umum) pertama periode tahun
1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai
penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti
GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung
Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di
Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur
itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib
Al Minangkabau.

Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru.
Jadi, antara KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang
perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya
melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan
ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam
yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-
santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.

Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam
untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya
bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan
merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan


modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab
yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh
melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola
pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam
beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian
mendirikan Muhammadiyah.

Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam
melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari
ajaran-ajaran Al Quran dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar
yang tergabung dalam sistem mazhab.

Untuk menafsirkan Al Quran dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa
semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan
pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak
terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres


itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk
dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar
tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan


aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite
inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya
kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika
beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia
yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi
ketuanya.

Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di
Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah


berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan
Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).

Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar,
maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh
muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh.
Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala
itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bidah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti


Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman,
menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban
itu.

Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mutamar Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh
pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH.
Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk
mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas
rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan
bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asyari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah.
Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama Asad Syamsul
Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan
sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda Asad juga dipesani agar setiba di
Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan Asad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya
langsung bergentar. Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,
ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya
Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda Asad
kembali datang menemui Hadratus Syaikh. Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini, ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan
Kyai Kholil di lehernya.

Tangan Asad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak
mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki
prinsip, kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus
Kyai.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. Kyai Kholil juga meminta untuk
mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu, tambah Asad. Kehadiran Asad
yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap
isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan
organisai/jamiyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi
didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim
dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jamiyah ini menjadi organisasi dengan
anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari
Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat.

Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam
dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin
Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab
dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi
masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa
yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah
(berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan
madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran
atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab.

Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah
Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi kiblat para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama ini. Pada saat pendirian organisasi
pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim
dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-
1942).

Anda mungkin juga menyukai