Anda di halaman 1dari 21

http://konsultasi-hukum-online.

com/2013/06/sejarahkelahiran-ilmu-tasawuf/

SEJARAH KELAHIRAN ILMU TASAWUF


Oleh : Rasyid Rizani, S.HI. M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa NTT)
A. PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan
yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw,
namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmuilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal
istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh
abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam
sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran
zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Tujuan tasawuf adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari
sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. 1[1] Tasawuf itu timbul karena
dari keadaan jiwa manusia sendiri yang aktif berakat kerohani-rohanian yang rindu bertemu
dengan Tuhan atau bisa juga berpangkal denga faktor historis.2[2]
Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang sejarah lahirnya ilmu tasawuf
dilihat dari sisi historisnya tersebut, mulai dari pertumbuhannya sebagai kehidupan zuhud
sampai peralihannya ke tasawuf sehingga menjadi disipilin ilmu tasawuf.
B. PENGERTIAN TASAWUF
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf.

1
2

1. Tasawuf berasal dari kata safa, yang berarti bersih.3[3]Dinamakan shufi karena hatinya
tulus dan bersih di hadapan Tuhannya.4[4]
2.

Tasawuf berasal dari kata saff, artinya saf atau baris. Mereka dinamakan sebagai para
sufi, demikian menurut pendapat ini, karena pada baris (saff) pertama di depan Allah,
karena besarnya keinginan mereka akan Dia.

3. Tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al-masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini
dihubungkan dengan suatu tempat di mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para
sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal.
4. Tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Mereka tidak memakai pakaian
yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menentramkan
jiwa.5[5]
5. Ada lagi yang menyatakan bahwa kata shufi itu berasal dari bahasa Yunani yaitu Shopos
yang berarti hikmat.6[6] Namun dari segi Etimologi kelihatannya masih diragukan, huruf
S pada kata shopos ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi dan bukan
seperti terdapat dalam kata dari kata philoshopia. Dengan demikian kara shufi
seharusnya ditulis dan bukan . Namun apabila diperhatikan dengan seksama,
nampaknya teori yang mengatakan bahwa shufi yang berarti bulu atau wool lebih dapat
diterima.7[7]
6.

Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut mengandung makna baru yang sering
dikaitkan kepada 3 pengertian, yaitu :
a.

Tasawuf sering dipahami sebagai serangkaian akhlak atau adab yang harus dijalankan
manusia ketika ingin mendekati Allah.

b. Tasawuf sebagai cara untuk mencapai marifat, untuk mencapai pengetahuan.


c.

3
4
5
6
7

Dalam kaiatannya dengan filsafat, tasawuf bisa disebut sebagai mazhab etika, karena
ada kaitannya dengan upaya mengetahui nilai baik dan buruk.8[8]

C. SUMBER DAN ESENSI TASAWUF


Tasawuf atau mistisisme dalam Islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai
dari bentuk hidup kezuhudan (menjauhi kemewahan duniawi), dalam bentuk tasawuf
amali kemudian tasawuf falsafi. Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung
dengan Tuhan dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi
beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap
memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi. Tasawuf adalah aspek
ajaran Islam yang paling penting, karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam.9[9] Adapun macam-macam maqam yang dijalani oleh
kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal. 10[10]
Tasawuf dan syariah itu saling berkaitan, di mana tasawuf sebagai jenis penghayatan
keagamaan eksoterik (zhahiri, lahiri) dan esoterik (bathini, batini) sekaligus, namun pada
kenyataannya tidaks edikit kaum Muslimin yang penghayatan keislamannya lebih mengarah
kepada yang batini dan banyak pula yang kepada lahiri. Sedangkan kaum syariah lebih
menitikberatkan perhatian kepada segi-segi syariah atau hukum, sering disebut kaum lahiri
sementara kaum thariqah yang berkecimpung dalam amalan-amalan tarekat dinamakan
kaum batini.11[11] Dalam Islam sistem ajaran yang lengkap itu seimbang antara yang lahir
dan yang bathin, jadi antara syariah (amalan praktis) dan tasawuf (penyucian hati) itu saling
berhubungan satu sama lainnya.
Pengaruh-pengaruh lain atas hidup kerohanian Islam juga dikatakan sementara orang
sebagai latar belakang yang mempengaruhi ilmu tasawuf, seperti :
1. Pengaruh Hindu, seperti apa yang dikatakan oleh Al Bairuni tentang pokok persamaan
ajaran karma dan jelmaan dengan mazhab orang shufi dengan istilah hulul.
2. Pengaruh Persia, zuhud dalam tasawuf Islam amat menyerupai zuhud dan kependetaan
dalam mazhab Manu. Qanaah yaitu hidup sangat sederhana dan melarang makin daging
binatang menyerupai pula ajaran mazhab Mazdak.
3.

8
9
10
11

Pengaruh Nasrani, pendapat-pendapat seperti ini dikuatkan dengan macam-macam


alasan. Seperti yang diungkapkan Goldziher, ia mengatakan bahwa hadits-hadits Nabi
yang memuji hidup miskin dan mencela kekayaan dan kemewahan adalah diambil dari
sumbernya Nasrani. Sebab Nasrani yang amat menguatamakan itu. Noldke mengatakan

bahwa pakaian shuf (bulu) itupun diambil dari Nasrani. Nicholson juga berpendapat
bahwa tafakur berdiam diri dan berzikir pun dari pengaruh Nasrani.
4.

Pengaruh filsafat Yunani, alam pikiran Islam telah memakai filsafat Aristoteles untuk
menguatkan kepercayaan kepada Zat Pencipta Sarwa Sekalian alam. Logika Aristoteles
dipakai di samping idealisme Plato. Semboyan Socrates yang terkenal yang didapatinya
tertulis di dinidng Mabad Delfi, Kenallah Dirimu, telah disesuaikan oleh ahli tasawuf
dengan hadits atau kata hikmat tasawuf yang terkenal pula yaitu: Barangsiapa mengenal
dirinya, sungguh dia telah mengenal Tuhannya.12[12]

Alasan-alasan lain juga mereka katakan bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari
Persia yang asalnya beragama Majusi atau bangsa lain yang beragama Kristen. Namun
argumen ini sangat lemah dan goyah, mengingat bahwa cikal bakal tasawuf lahir dari jazirah
Arab dan dari bangsa arab itu sendiri. Dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama
Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang
kemudian diteladani dan kemudian diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah,
kesadaran spiritual Rasulullah SAW adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik
yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Alquran:

Artinya :
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka Apakah kaum (musyrik Mekah)
hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? dan Sesungguhnya Muhammad
telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain.

Artinya :
Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. dan Sesungguhnya
Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka dalam tasawuf dikonsepkanlah teori tazkiyah
al-nafs atau penyucian jiwa.13[13] Pandangan sufistik tentang realitas bersumber pada
Alquran dan hadits, tetapi pandangan ini telah ditegaskan dan diadaptasi oleh generasi demi
12
13

generasi para guru dan syaikh sufi. Pandangan ini memberikan peta kosmos yang mampu
membuat orang memahami keadaan mereka dalam hubungannya dengan Allah.14[14]

D. LATAR BELAKANG KELAHIRAN ILMU TASAWUF


Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad
SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari hari ia berkhalwat di gua Hira terutama
pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi
dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para
sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi
pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam
tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan
sufi di abad abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke
II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya.
Konflik konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan
sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak
terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayyah,
Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan
sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat
kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya
yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa
terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata
mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani
Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa
menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada
pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum
Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi
kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar
bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun
terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama
masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum
muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk
kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan
istana.Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi
14

kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan rajaraja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M 64 H/683M), dalam
sejarah dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang
saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana,
saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah
Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat
kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai
merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas
dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena
ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik
(jamak : nussak)
Kalau ditilik dari segi historis tasawuf, menurut kalangan peneliti yang menjadi
faktor penyebab munculnya antara lain:
1. Karena adanya pious opposition (oposisi yang bermuatan kesalehan) dari sekelompok
umat Islam terhadap praktek-praktek regementer pemerintahan Bani Umayah di
Damaskus
2.

Karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru seperti
pekerti Rasulullah SAW, khususnya Khulafa al-Rasyidin.15[15]

Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA dalam buku beliau Pengantar Studi Tasawuf,
asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf adalah:
1.

Beberapa asumsi orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam Islam seperti
adanya unsur kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.

2. Ayat-ayat Alquran yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam tasawuf.
3. Kehidupan dan sabda Rasulullah SAW
4. Kehidupan dan ucapan sahabat dan Tabiin, serta
5. Dari gerakan zuhud menjadi tasawuf.16[16]

E. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF


15
16

1. Masa pembentukan (Abad I dan II H)


Masa ini dimulai sekitar abad I dan II Hijriyah. Tokoh-tokohnya seperti Hasan alBasri, Ibrahim bin Adham, Sufyan al-Sauri, dan Rabiah al-Adawiyah. Abu al Wafa
menyimpulkan bahwa karakter zuhud pada abad I dan II H yaitu sebagai berikut;
a.

Menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas agama yang
dilatarbelakangi oleh sosio-politik, coraknya bersifat sederhana, praktis, tujuannya
untuk meningkatkan moral.

b. Masih bersifat praktis dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun
prinsip-prisnip teoritis atas kezhuduannya itu. Sementara sarana-sarana praktisnya
adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan
maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah SWT, dan berlebih-lebihan
dalam merasa dosa, tunduk mutlak kepada kehendak-Nya dan berserah diri kepadaNya. Tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.
c.

Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah di tangan
Rabiah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap
adzab-Nya maupun terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri,
dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.

d. Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di Khurasan dan rabiah
al-Adawiyah ditandai dengan kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandangs
ebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III
dan IV Hijriyah.17[17]
Pada masa ini kata zuhud lebih populer ketimbang kata tasawuf. Untuk menjadi sufi
seseorang harus menjadi zahid, tiap sufi adalah zahid, tapi bukan setiap zahid adalah sufi.
Mistisisme pada masa itu menjadi ciri mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad
(orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra (ahli baca), qushshash (ahli cerita
hikmah), bukka (yang menangisi dosa), urafa (ahli marifat), darawisy (darwisy atau
tunawisma).18[18]
Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas
berbagai aliran yaitu :
a.

Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat
berpegang teguh kepada al-Quran dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah

17
18

sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu
Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32
H.), Abdullah ibn Masud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu
dari kalangan tabiin diantaranya adalah Said ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim
ibn Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum
muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain
itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung
pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat
tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam
dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
b. Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam
Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua
aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah.
Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu
Tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada
hal-hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal-hal
nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus
sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran mutazilah dan qadariyah. Tokoh mereka
dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn
Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok
asketis di Abadan.
Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang
berlebih-lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : Para sufi pertama-tama muncul
dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman
Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah
terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya,
lebih dari apa yang terjadi di kota-kota lain. Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi
karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
c.

Aliran Kufah
Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak
idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan
harfiah dalam hal hadits. Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syiah dan
Rajaiyyah dan ini tidak aneh, sebab aliran Syiah pertama kali muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi ibn Khatsim
(w. 67 H.) pada masa pemerintahan Muawiyah, Said ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus
ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)

d. Aliran Mesir
Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain,
yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya
aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak
penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,
misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal
kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh-tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim
ibn Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan
Salim ibn Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca
al-Quran serta shalat malam, sebagaimana pribadi-pribadi yang disebut dalam
firmanAllah :Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS.al-Dzariyyat, 51:17).
Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H.
Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim
agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah alLaits ibn Saad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat
terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan,
dll.19[19]
Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah,
Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat
disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.

Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan
memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Quran dan alSunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam
masyarakat Islam ketika itu.

b.

Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun
prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

c.

Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah,
ditangan Rabiah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari
rasa takut terhadap adzab-Nya.

d. Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada
Rabiah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang
sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan
keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid,
19

qari dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini
adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para
zahid ini dengan gelar para sufi angkatan pertama.
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam
Islam. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim
al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para
sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal Oleh
karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.
Menurut Abu al-Ala Afifi pada permulaan abad kedua Hijriyah telah terjadi
pergeseran pola hidup kaum sufi dari yang semula berpangkal tolak pada kehidupan
asketis (zuhd) menjadi dengan memperbincangkan pengalaman-pengalaman yang belum
dikenal sebelumnya. Oleh karenat itu timbullah istilah maqamat dan ahwal yang
mencerminkan perkembangan pengalaman spiritual mereka.20[20]
2. Masa pengembangan (Abad III dan IV H)
Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini
orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub),
bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa) dan menjadi
satu dengan Tuhan (ain al jama). Abu Yazid al-Bushthami (261 H) adalah seorang sufi
Persia yang pertamakali menggunakan istilah fana sehingga dia dibilang sebagai peletak
batu pertama dalam aliran ini. Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid adalah dijuluki
sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia yang memasukkan ide wahdatul wujud
sebagai pemikiran orisinil dari Timur sebagaimana thesofi merupakan kekhususan
pemikiran Yunani.
Sesudah Abu Yazid, muncul lagi seorang sufi kenamaan Al Hallaj (w. 309 H) yang
terkenal dengan teori hululnya (inkarnasi Tuhan). Percampuran antara roh manusia
dengan Tuhan diumpamakan al Hallaj bagaikan bercampurnya air dengan khamer, jika
ada sesuatu yang menyentuh-Nya maka mententuh aku. Di samping teori hululnya dia
juga mempunyai pandangan tentang teori nur Muhammad dan wahdat al adyan.
Dengan demikian tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah lebih mengarahkan pada ciri
psikomoral dan perhatiannya diarahkan pada moral serta tingkah laku. Sudah sedemikian
berkembang, sehingga sudah merupakan mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri
sendiri.
Pada abad III dan IV Hijriyah ini terdapat 2 aliran, yaitu :
a.

20

Aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Alquran
dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan
rohaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut.

b.

Aliran tasawuf semi falsafi, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapanungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan
tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).21[21]

Tokoh-tokoh tasawuf pada abad II dan IV H lainnya seperti Maruf al-Karkhi, Abu
al-Hasan Surri al-Saqti, Abu Sulaiman al-Darani, haris al-Muhasibi, Zu al- Nun al-Misri,
Junaid al-baghdadi, dan Abu Bakar al-Syibli.
3. Masa Konsolidasi (Abad V H)
Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi
dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan dan berkembang
sedemikian rupa, sedang tasawuf falsafi tenggelam dan akan kembali lagi pada abad VI
Hijriyah dalam bentuk yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya
teologi ahl as Sunnah wa al Jamaah yang dipelopori oleh Abu al Hasan al Asyari (w.
324 H) yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al Bushthami dan alHallaj, sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyatnya yang nampak bertentangan
dengan kaidah dan aidah Islam. Periode ini ditandai dengan pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasannya Alquran dan Hadits. Tokoh-tokohnya ialah alQusyairi (376-465 H), al-Harawi ( 396 H), dan al-Ghazali (450-505 H).
Al-Qusyairi adalah salah seorang sufi utama abad V H ini terkenal dengan karyanya
Risalah al-Qusyairiyah, isinya lengkap bauik secara teoritis maupun praktis. Dia terkenal
pembela theologi ahl al Sunnah wa al Jamaah yang mampu mengkompromikan syariah
dan hakikat. Ada 2 hal yang dikritiknya tentang syatahiyat yang dikatakan oleh kaum
sufis emi falsafi dan cara berpakaian mereka yang menyerupai orang miskin, sementara
pada saat yang sama tindakan mereka bertentangan dengan pakaiannya. Dia menekankan
bahwa kesehatan bathin dengan berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah lebih penting
daripada pakaian lahiriah.
Al-harawy dengan karya terkenalnya Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin, dia
dikenal sebagai penyusun teori fana dalam kesatuan, namun fananya berbeda dengan
fananya kaum sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana bukanlah fana wujud sesuatu
selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Dengan kata lain
ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, bahkan juga ketidaksadaran
terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri.
Tokoh lainnya adalah Al Ghazali, corak tasawufnya dapat dilihat pada karyanya
ihya ulum al-Din, Bidayah al Hidayah, dan lain-lain. Al Ghazali menilai negatif terhadap
syathahiyat, karena dianggapnya mempunyai 2 kelemahan, yaitu :
a.

21

Kurang memperhatikan amalan lahiriyah hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit


dipahamidan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan
tersaksikannya Allah. Dan ini membawa dampak negatif terhadap orang awam, lari

meninggalkan pekerjaannya lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip


dengannya.
b.

Keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil pikiran
yang kacau, hasil imajinasi sendiri.22[22]

4. Masa Falsafi (Abad VI H)


Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka
pada abad VI Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan
ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak
sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Karena
itu disebut sebagai tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai term-term filsafat,
namun secara epistimologis memakai dzauq / intuisi / wujdan (rasa).
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi
mempunyai 4 objek utama, dan menurut Abu al Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi,
yaitu :
a.

Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta intropeksi yang timbul darinya.

b. Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.


c.

Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai


bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.

d.

Penciptaan ungakapan-ungkapan
(syathahiyat).23[23]

yang

pengertiannya

sepintas

samar-samar

Adapun methode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya,


baik mengenai maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah, dzikir, mematikan kekuatan
syahwat, maupun yang lainnya.
Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al wujud, Suhrawardi al
Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabiin dengan teori
Ittihad, Ibnu Faridh dengan teori Cinta, Fana dan wahdat al-syuhudnya.
Pada abad VI H dan dilanjutkan abad VII H muncul cikal bakal orde-orde
(thariqah) sufi kenamaan. Hingga dewasa ini pondok-pondok tersebut merupakan oasisoasis di tengah-tengah gurun pasir duniawi. Kemudian tibalah saat mereka berjalan dalam
suatu kekerabatan para sufi yang tersebar luas yang mengakui seorang guru dan
22
23

menerapkan disiplin dan ritus yang lazim. Thariqah yang terkenal dan berkembang
sampai sekarang antara lain Thariqah Qadariyah yang diciptakan oleh Abdul Qadir al
Jailani (471-561 H), Thariqah Suhrawardiyah yang dicetuskan oleh Syihab al-Din Umar
ibn Abdillah al-Suhrawardy (539-631 H), Thariqah Syadziliyah yang dirintis oleh Abu
Hasan al-Syadzily (592-656 H), Thariqah Badawiyah yang dicetuskan oleh Muhammad
al-Badawy (596-675 H), Thariqah Naqsyabandiyah yang dicetuskan oleh Muhammad ibn
Baha al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H), dan lain sebagainya.24[24]
5. Masa Pemurnian
A.J. Arberry menyatakan bahwa masa Ibnu Araby, Ibnu Faridh dan Ar-Rumy adalah
masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis ataupun praktis. Pengaruh dan praktekpraktek tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah dan para sultan serta
pangeran tidak segan-segan pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan peribadi
mereka. Contoh paling menonjol ialah figur terhormat Dharma Syekh, putra kaisar
Mogul, Syekh Johan yang menulis sejumlah kitab di antaranya al Majma al-Bahrain di
dalamnya dia mencoba merujukkan teori tasawuf Vedanta.
Tasawuf pada waktu itu ditandai bidah, khurafat, mengabaikan syariat dan
hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari
dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amalan
yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
Bersamaa dengan itu muncullah pendekar ortodox, Ibnu Taimiyah yang dengan
lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. dia terkenal kritis,
peka terhadap lingungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran Islam
yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam,
Alquran dan Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan seperti kepercayaan
kepada wali, khurafat, dan bentuk-bentuk bidah pada umumnya. Menurut Ibnu Taimiyah
yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten
dengan syariah Islamiyyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut
ialah Muttaqin. Firman Allah SWT :

Artinya :
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. (QS. Yunus: 62 63).
24

Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, hulul, dan wahdat alWujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari orangorang yang terkenal arif (orang yang telah mencapai tingakatan marifah), ahli tahqiq
(ahli hakikat) dan ahli tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar
dari orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama dengan
yang menyatakan, yakni kufur. Yang mengikutinya karena kebodohan, masih dianggap
beriman.25[25]
Ibnu taimiyah masih mentolerer ajaran fana, sesuatu tingkatan yang diperoleh oleh
orang yang arif tatkala kesadarannya hilang, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain. Fana yang seperti ini sering dialami oleh sebagain muhibbin
(pecinta Tuhan) dan sebagian ahli suluk (yang meniti jejak menuju marifat), namun ia
bukan menjadi tujuan dan cita-citanya. Fana yang ditolerer adalah yang disertai tauhid.26
[26]
Ibnu Taimiyah membagi fana menjadi 3 bagian yaitu:
1. Fana Ibadah, yakni fana dalam beribadah.
2. Fana Syuhud al-Qalb, yakni fana pandangan hati.
3. Fana wujud ma Siwa Allah, yakni fana wujud selain Allah.
Terhadap fana pertama dan kedua masih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari
segi psikologis maupun agamis. Sedang fana yang ketiga dianggap menyeleweng dari
ajaran Islam, dianggap kufur, karena ajaran tersebut beranggapan bahwa wujud Khaliq
adalah wujud makhluk, berarti tidak mengakui adanya wujud selain Allah. Padahal
dalam kenyataannya wujud ini ada 2, dan dipisah antara al-Khaliq dan al-Makhluq. Di
samping dianggap kafir, juga disebut zindiq yang patut dijatuhi hukuman yang setimpal
(hukuman mati).
Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajaran
Rasulullah SAW, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu,
dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya.
Tasawuf model ini yang cocok dikembangkan di masa modern seperti sekarang.

F. PENUTUP / KESIMPULAN
25
26

Tasawuf Islam adalah bersumber dari agama Islam sendiri, dari Alquran al-Karim, alHadits, contoh kehidupan Rasulullah SAW dan kehidupan para sahabat beliau. Dalam
perkembangannya, tasawuf berasal dari sebuah gerakan zuhud yang kemudian berkembang
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, ada yang mengatakan tasawuf terpengaruh dari unsur
Nasrani, Persia, India filsafat, dan lain sebagainya. Namun terlepas dari semua itu, pada
kenyataannya tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang maisng-masing
zaman mempunyai corak dan karakteristiknya masing-masing.
Pada awal pembentukannya yang dimulai sekitar abad I dan II Hijriyah, dengan
tokoh-tokohnya yang bersinar antara lain Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham, Sufyan alSauri, dan Rabiah al-Adawiyah. Pada masa ini kata zuhud lebih populer ketimbang kata
tasawuf.
Kemudian tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah lebih mengarahkan pada ciri
psikomoral dan perhatiannya diarahkan pada moral serta tingkah laku sehingga sudah
merupakan mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Ada 2 aliran yang
berkembang yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi. Masa ini dinamakan dengan masa
pengembangan.
Pada masa konsolidasi ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi
falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan dan berkembang
sedemikian rupa.
Kemudian pada abad VI Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang
maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Selanjutnya pada masa pemurnian, tampillah Ibnu Taimiyah yang menentang ajaranajaran sufi yang dianggapnya menyeleweng dari ajaran Islam. Ibnu Taimiyah lebih
cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajaran Rasulullah SAW, yakni
menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri
dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :

As, Asmaran, Drs, MA, 1996, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet.
II.

Basuni, Ibrahim, 1119, Nasyah al-Tashawuf al-Islami, Mesir: Dar al-Maarif, Juz III.

Chittick, William C., 2002, Sufism: A Short Introduction, diterjemahkan oleh Zaimul Am,
Tasawuf di Mata Kaum Sufi, Bandung: Mizan.

Damami, Mohammad, 2000, Tasawuf Positif (Dalam Pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.

Emroni, Drs, 2001, Ilmu Tasawuf, Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin Fak. Tarbiyah.

Hamka, Prof. Dr, 1994, Tasauf perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka
Panjimas.Cet ke XIX.

Kalabadzi, Al-, 1969, al-Taarruf li Madzhab ahl al-Tashawuf, Cairo: al-Maktabah al-Kulliiyat
al-Azhariyyah.

Khaldun, Ibnu, t,t, al-Muqaddimah, Kairo: al-Mathbaah al-Babiyah.

Labib, Muhsin, 2004, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan: Sebuah Pengantar, Jakarta:
Lentera.

Maksum, Ali Drs, MA, 2003, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, Telaah
Signifikansi Konsep Tradisionalisme Islam Sayyed Hossein Nasr, Surabaya: Pustaka
Pelajar.

Mustofa, A, Drs, H, 2007, Akhlak Tasawuf Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK,
Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Harun, 1973, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Nasyr, Ali Sami al-, 1119, Nasyah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islami, Mesir: Dar al-Maarif, Juz III.

Nata, Abudin, Drs, MA, 1998, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Cet ke-4.

Sholihin, M, DR, M.Ag, 2003, Tasawuf Tematik, Membedah tema-Tema Penting, Bandung: CV.
Pustaka Setia.

Simuh, Prof, Dr, dkk, 2001, Tasawuf dan Krisis, Semarang: Pustaka Pelajar.

Siregar, A. Rivay, H, 2002, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Syukur, M. Amin, Prof, Dr, H, MA, 1999, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab
Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taimiyah, Ibnu, 1986, Tasawuf dan Kritik terhadap Filsafat tasawuf, terjemahan Asywadi
Syukur, Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.

Umari, Barmawi, Drs, 1991, Sistimatik Tasawwuf, Solo: CV. Ramadhani.

Yayasan Muthahhari, editor; Sukardi, 2000, Kuliah-Kuliah Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah.

Situs Internet :

http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/prinsip-ilmu-tasawuf/

[1]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998), Cet ke-4, h. 153
27

[2]Barmawi

28

Umari, Sistimatik Tasawwuf, (Solo: CV. Ramadhani, 1991), h. 25

[3]Al-Kalabadzi,

al-Taarruf li Madzhab ahl al-Tashawuf, (Cairo: al-Maktabah alKulliiyat al-Azhariyyah, 1969), h. 28


29

[4]Ibrahim

30

Basuni, Nasyah al-Tashawuf al-Islami, (Mesir: Dar al-Maarif, 1119), Juz

III, h. 9
[5]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet. II, h. 43 46
31

[6]Ali

Sami al-Nasyr, Nasyah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islami, (Mesir: Dar al-Maarif,


1119), Juz III, h. 10
32

[7]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1973), h. 57 58
33

27
28
29
30
31
32
33

[8]Yayasan

Muthahhari, editor; Sukardi, Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka


Hidayah, 2000), h. 25 28
34

[9]A. Mustofa, Akhlak Tasawuf Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), h. 206
35

M. Sholihin,Tasawuf Tematik, Membedah tema-Tema Penting, (Bandung: CV.


Pustaka Setia, 2003), h. 17
36

[10]

[11]Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, Telaah Signifikansi


Konsep Tradisionalisme Islam Sayyed Hossein Nasr, (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003), h. 105
37

[12]Hamka, Tasauf perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas,


1994), Cet ke XIX, h. 43 50
38

[13]A.

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 48
39

[14]William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction, diterjemahkan oleh Zaimul Am,


Tasawuf di Mata Kaum Sufi, (Bandung: Mizan, 2002), h. 34
40

[15]Mohammad

Damami, Tasawuf Positif (Dalam Pemikiran HAMKA), (Yogyakarta:


Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 158
41

[16]Lihat, Asmaran As,

42

34
35
36
37
38
39
40
41

op. cit, h. 177 228

[17]M.

Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 31 32
43

[18]Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan: Sebuah Pengantar,


(Jakarta: Lentera, 2004), h. 40
44

45

[19]http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/prinsip-ilmu-tasawuf/
[20]Simuh,

46

dkk, Tasawuf dan Krisis, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), h. 130

[21]Emroni,

47

Ilmu Tasawuf, (Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin Fak. Tarbiyah,

2001), h. 46
[22]M. Amin

48

Syukur, op. cit, h. 36 38

[23]Ibnu

Khaldun, al-Muqaddimah, (Kairo: al-Mathbaah al-Babiyah, t.t)

[24]Ibid,

h. 39-41

49

50

[25]Ibnu Taimiyah, Tasawuf dan Kritik terhadap Filsafat tasawuf, terjemahan Asywadi
Syukur, Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
51

42
43
44
45
46
47
48
49
50
51

[26]Ibid

52

52

Anda mungkin juga menyukai