Written by Maruf
Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia
Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair
sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada
kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam
bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga
dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna
dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit
tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang
berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat
Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di
daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam
lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun
l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan
indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam
memang sedang dilanda penyakit itu.
Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari
hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari
Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun
Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari
Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu"
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Matsnawi
Aku terus dan terus tumbuh seperti rumput;
Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh bentuk.
Aku mati dari mineral dan menjadi sayur-sayuran;