Anda di halaman 1dari 2

#Seri1

#KajianTematik

Mengenal Imam Muhammad Abu Zahrah

Dalam jejak pergulatan keilmuan Islam, Mesir termasuk wilayah yang tidak pernah absen
dalam melahirkan ulama dan pemikir di setiap masa. Sejak abad pertama Hijriah, tercatat sudah
lahir sosok Imam Laits bin Sa’ad, seorang ahli Hadis dan Fikih terkemuka di zamannya.
Produktifitas ini berhasil dipertahankan sampai era kontemporer sekarang, hingga tak ayal jika
Mesir mendapat predikat ‘kiblat ilmu’ dengan al-Azhar sebagai juru kuncinya. Tentu semua ini
tak lepas dari peran para ulama di sana yang terus kontinu menjaga estafet perkembangan ilmu
dalam dunia Islam. Salah satu di antara yang mempunyai peran besar ialah; Imam Muhammad
Abu Zahrah.

Imam Abu Zahrah dikenal sebagai seorang ulama, intelektual, pakar hukum Islam dan
juga penulis produktif yang unggul. Tercatat ia telah menulis tidak kurang dari 34 buku di
berbagai macam bidang, isu dan permasalahan. Tokoh kelahiran Mahallah al-Kubra, Mesir, 29
Maret 1898 M ini terlahir dari keluarga yang religius dan terhormat, sehingga pendidikan
agamanya sejak kecil sudah sangat diperhatikan oleh keluarga.

Abu Zahrah kecil memulai pendidikan di Kuttab (istilah orang Arab untuk menyebut
surau tempat anak-anak usia 5-6 tahun menghapal Alquran) hingga berhasil menyelesaikan
hapalannya pada usia 9 tahun. Kemudian ia melanjutkan jenjang pendidikannya di Madrasah
Awwaliyah, dan di sanalah ia mendapat pelajaran membaca dan menulis yang lebih dalam.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, membuatnya tidak membeda-
bedakan dalam memilih ilmu yang akan dipelajari, sehingga ketika pindah ke Madrasah Raqiyah,
di samping belajar ilmu agama ia juga belajar ilmu-ilmu sipil seperti Matematika, Geografi,
Sosiologi dan lainnya.

Pada tahun 1913 M, Abu Zahrah mengikuti kegiatan pengajian yang diselenggarakan di
masjid Ahmadi di daerah Thanta. Sejak saat itulah kecerdasan dan bakat keilmuannya mulai
terlihat menonjol dibandingkan teman-teman sebayanya. Tidak berhenti sampai di situ, ia pun
melanjutkan pendidikannya ke sekolah Lembaga Peradilan setelah berhasil meraih nilai terbaik
dalam seleksi masuk ke perguruan tersebut.

Kiprahnya dalam jabatan akademisi pun terbilang sangat cemerlang. Beliau pernah
menjabat sebagai pengajar di kuliah Ushuluddin al-Azhar, hingga diangkat menjadi ketua Dekan
Fakultas Syariah Islamiah di tempat yang sama. Puncaknya pada tahun 1962 M beliau mendapat
kehormatan untuk menjadi salah satu anggota Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Akademi
Pengkajian Islam) di al-Azhar.

Ada sebuah analogi menarik yang beliau sampaikan di akhir prakata kitabnya mengenai
pahit manis perjalanan hidup yang dilalui. Beliau mengibaratkan, “tumbuhan sebelum memiliki
akar yang kuat, ia akan hidup terlebih dahulu di dalam sebuah biji. Namun bentuk tumbuhan di
dalam biji tersebut sejatinya sudah bisa dilihat jika menggunakan mikroskop. Begitu juga
seseorang manusia yang tumbuh. Masa awal tumbuhkembangnya akan menyimpan segala
potensi yang ia miliki di dalam dirinya, yang akan menjadi identitasnya kelak di masa depan”.

Melalui analoginya di atas, beliau ingin menyampaikan bahwa ternyata semenjak di


Kuttab Abu Zahrah sudah merasakan dua factor penting yang terpendam dalam dirinya, ialah :
pertama, kebanggaannya terhadap pemikiran dan idealisme yang dimiliki, sampai terkadang
orang-orang banyak menyebutnya sebagai anak ngeyel ketika itu. Kedua, dirinya sangat tidak
suka hidup tertindas di bawah kezaliman yang ada di sekitarnya. Sehingga melalui kesadaran
atas karakter dasar yang dimilikinya, maka terbentuklah kepribadian Abu Zahrah kelak yang
cerdas, kritis, berani mengungkapkan kebenaran dan ulet hingga mampu menghasilkan banyak
karya sepanjang hidupnya.

Dengan segala teladan yang ditinggalkan, beliau pun mengakhiri pengembaraan ilmunya
pada Jumat petang tanggal 12 April 1974 di rumahnya di Zaitun, Kairo ketika berusia 76 tahun.
Beliau wafat dalam keadaan sedang memegang pena untuk menulis tafsir Alquran surat an-Naml
ayat 19 yang berbunyi, “maka tersenyumlah nabi Sulaiman mendengar kata-kata semut itu, dan
berdoa dengan berkata : Wahai Tuhanku, karuniailah aku agar tetap bersyukur atas nikmat-Mu
yang engkau berikan kepadaku dan ibu bapakku. Dan supaya aku tetap mengerjakan amal shaleh
yang engkau ridai, dan masukanlah aku—dengan rahmat-Mu, ke dalam golongan hamba-hamba-
Mu yang saleh”.

Anda mungkin juga menyukai