Anda di halaman 1dari 20

Kajian Reguler al-I’jaz

Ikatan Keluarga Pondok Modern cab.Kairo


Sabtu, 8 Ramadhan 1443 H
09 April 2022

Historis dan Metodologi Penafsiran Imam Thabari, Sang Maestro Tafsir al-Quran
Dalam Karyanya (Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Quran)

A. Pendahuluan

Historis mengenai tafsir al-Quran selalu berkembang sejak al-Quran diturunkan hingga
sekarang. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai macam metode
maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Quran tidak
pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya
ingin selalu menjadikan al-Quran sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan dan
mengembangkan peradaban. Proses dia-lektika antara teks yang terbatas dan konteks yang
tidak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu bagi perkembangan tafsir.
Munculnya berbagai macam corak dan karakter penafsiran disebabkan karena banyak faktor,
antara lain adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan
situasi politik yang terjadi ketika mufasir melakukan penafsiran sangat mewarnai produk
penafsirannya. Selain itu perbedaan dan corak penafsiran juga disebabkan keahlian yang
dimiliki oleh masing-masing mufasir.
Di antara ulama yang turut memperkaya khazanah ilmu keislaman adalah Ibnu Jarir al-
Tabari. Ia dipandang sebagai tokoh pewaris dalam tradisi keilmuan Islam klasik. Penguasaan
al-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri bagi para ulama
sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya.
Diantara ilmu yang ia miliki yaitu seperti ilmu hadis, fiqh, tarikh termasuk tafsir al-Quran.
Salah satu karya besarnya adalah Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur'an, yang menjadi
rujukan utama sehingga berhasil mendongkrak popularitasnya ke panggung dunia di tengah-
tengah masyarakat.
Tetapi disamping popularitasnya, bagaimana kehidupannya? apa faktor Imam Thabari
menulis karyanya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur'an? benarkah imam Al-Thabari
berfaham syiah?
Oleh karena itu, melalui makalah yang singkat ini penulis akan mencoba menguraikan
tentang metodologi penafsiran al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Quran
yang di dalamnya akan dijelaskan terkait dengan biografi sang mufasir, sejarah dan
sebagainya.
B. Biografi Imam Thabari
Sebelum masuk kedalam pembahasan tafsir al-Thabari, pemakalah akan mengenalkan
terlebih dahulu siapakah ulama yang dikenal dengan sang maestro tafsir al-Thabari ini?
Bagaimana kehidupannya? Maka simaklah pembahasan di bawah ini:

1
1. Nama, karakteristik dan lingkungan hidup
Ialah Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari. Dijuluki dengan nama Abu Ja’far1
yaitu seorang mujtahid agung, imam mulia, hujjatul islam, ia dilahirkan pada akhir tahun 224
H atau awal tahun 225 H, di Thabaristan tepatnya di kota Amul2 (kota terbesar di
Thabaristan), at-Thabari menisbatkan dirinya kepada Thabaristan. Ia wafat dan dimakamkan
di Baghdad pada tanggal 6 syawwal 310 H yang bertepatan dengan 17 Februari 923 M.3
Di kota Amullah Imam Thabari dibesarkan di bawah rangkulan orangtua yang berpegang
teguh kepada agama islam. Imam Thabari dididik dengan optimisme yang sangat kuat dari
kedua orang tuanya, ayahnya tergolong sebagai pecinta ilmu dan ulama, ia senantiasa
mensupport puteranya untuk menuntut ilmu dan yang peduli akan pendidikan dan
membimbing mengarahkan Thabari kecil untuk menghafal al-Quran.4 Hingga genap usianya
yang ketujuh, Thabari kecil sudah menyelesaikan hafalannya, ia juga mampu menuliskan
hadis-hadis Rasulullah di usianya yang belum genap sembilan tahun.5
Tanda-tanda kebaikan yang pernah dilihat oleh ayahnya dalam mimpinya telah
menambahnya semakin semangat untuk menuntut ilmu. Thabari mengatakan, “Ayahku
pernah bermimpi melihatku berada di hadapan Rasulullah SAW, dan aku melemparnya
dihadapan beliau. Kemudian ahli ta’bir pun mengatakan kepadanya bahwa kelak ketika
dewasa, ia akan menjadi seorang alim yang mengabdi kepada agamanya. Setelah mendengar
penjelasan mimpi tersebut, ayahku pun berteambah semangat dan memberikan dorongan
penuh untuk menuntut ilmu, padahal waktu itu aku masih sangat belia.6
Imam Thabari diunggulkan dengan perangainya yang baik, kejauhan dirinya dari segala hal
yang bersifat duniawi dan kesenangan, rendah diri, dermawan, sabar, juga memiliki
keberanian yang kuat untuk membela kebenaran dengan apa yang dipercayainya, dirinya
yang dikenal dengan ketoleransiannya kepada sesama yang kuat, penuh etika juga selalu
mempunyai asa yang tinggi. Ia juga dikenal sebagai seorang yang gigih dalam menuntut
ilmu, selalu menolak lelah, acuh tak acuh dan segala hawa nafsu tidak baik yang ada,
disayangi oleh banyak kalangan karena kelembutan tutur dan humorisnya.7
Dikarenakan ketekunannya dalam menuntut ilmu, Imam Thabari juga masyhur akan
kemampuannya pada setiap disiplin ilmu, yang belum ditemui ulama pada zamannya seperti
1
Muhammad al-Zuhailiy, al-Imam at-Thabari Syaikhu al-Mufassirin, Wa ‘Umdatu al-Muarrikhin Wa
Muqaddama al-Fuqaha al-Muhaditsin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), hal 28.
2
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami al-Bayan an Takwil Ayi al-Quran, (Beirut: Muassasahar-
Risalah, 1994), jilid. 1, hal. 9.Lihat juga Abd al-Fatah Abu Guddah, al-Ulama al-Uzzaballadzina Atsaru al-Ilma
‘Ala az-Zawaj, (Kairo: Darussalam, 2019), hal. 56.
3
Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’, al-Israiliyat fi tafsir al-Thabari Dirasah fi al-Lughohwa al-
Mashadir al-Ibriyah, (Kairo: Maktabah Majlis A’la, 2001), hal.13.
4
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 31.
5
Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’, Op.Cit., hal. 14.
6
Muhammad al-Zuhailiy, Loc.Cit., hal. 31.
7
Amal Muhammad Rabi’, Loc.cit., hal. 14.

2
Imam Thabari, yang mana hafal al-Quran disertai faham makna dan lafalnya, mengetahui
semua derajat hadis mulai dari sahih, hasan, makbul, daif sampai nasikh dan mansukh8nya.
Tidak hanya itu iapun menguasai perkataan para sahabat juga tabiin dan setelah-setelahnya,
permasalahan halal dan haram, juga imam yang paling faham akan keadaan para sahabatnya
pada masanya. Abu al-Abbas Bin Sarij mengatakan: Muhammad Bin Jarir adalah orang yang
fakih9 juga alim, kepiawaiannya dalam berbagai bidang ilmu sehingga sudah tidak ada celah
untuk masuknya keraguan, meliputi: ilmu qiraat, tafsir, hadis, fikih, dan tarikh dan lainnya.10
2. Keadaan Politik
Imam Thabari hidup diantara dua zaman keadaan politik yang bertentangan, zaman ini
dikenal dengan politik yang berkembang dan stabil didasari dengan kuatnya kekhilafahan
dipimpin seorang sultan yang kuat yaitu masa awal kekhilafahan Abbasiyah, atau yang
dikenal dengan zaman banyaknya kehancuran dan perpecahan disebabkan masuknya unsur
Turki kedalam wajah islam yang mana pengendaliannya saat itu atas dasar hukum sejak era
Mu’tashim, Muhammad Jamaluddin Surur mengatakan, “Pengaruh dari mulai masuknya
Turki ketika itu pada abad ke 3 hijriah, yang membuat keadaan ketika itu menjadi cengang
dan menghawatirkan diketahui orang-orang saat itu membenci Persia dan Arab, juga sifat
mereka yang angkuh sehingga tidak pernah sepakat satu sama lain”.11
3. Keadaan Sosial
Imam Thabari adalah seorang ulama yang uzab12 beliau tidak menikah selama hidupnya.
Bukan maksudnya Imam Thabari untuk tidak mengamalkan hadis Rasulullah yang menyeru
umatnya untuk menikah, namun dikarenakan menuntut ilmu, fokus beribadah dan
kesukarannya terhadap segala hal bersifat menyeru duniawi yang menjadi alasan kuat
mengapa beliau tidak menikah.
Seperti yang dikatakan Maslamah bin Qasim mengenai Aba Ja’far al-Thabari, bahwa ia
menahan diri untuk tidak mengenal wanita, kesukarannya dalam menuntut ilmu sejak dirinya
berusia 12 tahun, juga menyibukkan dengan menelaah menuntut ilmu hingga akhir
hayatnya.13
4. Keadaan Intelektual
Keadaan intelektual yang dilewati Imam Thabari saat itu dikatakan era mencapai keemasan
yang belum pernah tercapai sebelumnya, perkara ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah masuknya pengaruh dari segi bahasa, pemikiran, dan akidah yang
berbeda-beda, juga meluasnya filsafat dan mantik untuk meluruskan akidah mereka. Adapun
hasil dari faktor-faktor tersebut ialah:

8
Nasikh adalah hukum yang menjadi penghapus hukum yang ada sebelumnya. Mansuk adalah hukum
yang terhapus karena adanya nasikh.
9
Fakih adalah ahli fiqih.
10
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirūn, (Kairo: Darul Hadist 2012), hal. 180.
11
Ahmad Nasri, al-Manhaj al-Naqdi fi al-Tafsir al-Thabari Ushulihi wa Muqowamatihi, (Maghrib: Dar
Ibnu Hazm 2011), hal. 13.
12
Uzab adalah membujang atau tidak menikah.
13
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 33.

3
a. Dibangunnya forum untuk penyalinan dan terjemah yang sudah dimulai pada akhir
era Umawi berkembang pada era Abasiy.
b. Forum nasakh.
c. Didirikannya perpustakaan, observatorium14 dan laboratorium ilmiah, majelis-majelis
kajian juga diskusi di masjid-masjid dan tempat lainnya.
d. Penyusunan bidang ilmu, yang telah usai disusun pada era ini beberapa buku antara
lain adalah bahasa, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Sedang untuk penyusunan buku-buku keagamaan, terdapat ilmu Qiraat, hadis, tafsir dan
fikih. Perkembangan ilmu pada masa ini begitu baik, dapat ditinjau dari lahirnya empat
mazhab dan sudah banyak diketahui karangan-karangan yang ada pada era ini termasuk kutub
-al-Sittah15 dalam bidang hadis, ensiklopedia tentang tafsir bi al-Ma’tsur yang sudah
terbentang luas hingga pada masa munculnya tafsir bi al-Ra’yi.16
5. Mazhab dan Akidah Imam ath-Thabari
Imam Thabari hidup pada saat hilangnya salah satu aliran akidah, yaitu akidah mu’tazilah
setelah era al-Mutawakkil dan munculnya aliran tradisional Asy-‘ariyah yang belakangan
masuk kategori ahlu sunnah wal-Jama’ah.17
Al Faraghi berkata: “Harun bin Abdul Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far At Thobari
berkata: “aku memilih Madzhab imam Syafi’i, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10
tahun.18
As Suyuthi berkata dalam kitab “Thobaqotul Mufassirin” hal: 3: “Pertama, beliau
bermadzhab Syafi’i, lalu membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan
petikan-petikan sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang mengikutinya. Dan aqidahnya
adalah Aqidah Salaf as-Shalih.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan bahwa Imam Thabari adalah
imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakana ketika membahas mengenai al-Quran
kalamullah.19
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang maknanya adalah bahwa Imam Thabari adalah Ahlu
Sunnah. Hal ini dapat diketahui dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi
pernyataan para ulama mengenai aqidah beliau.
C. Perjalanan Ilmiah Imam Thabari
Amul (Thabaristan)

14
Gedung yang dilengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dan sebagainya) untuk keperluan
pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya.
15
'Enam Kitab', adalah sebutan yang digunakan untuk merujuk kepada enam buah kitab induk Hadits
dalam Islam. Keenam kitab ini merupakan kitab hadits yang disusun oleh para pengumpul hadits yang kredibel.
Kitab-kitab tersebut menjadi rujukan utama oleh umat muslim dalam merujuk kepada perkataan Nabi
Muhammad.
16
Ahmad Nasri, Op.Cit., hal. 17-18.
17
Kusnadi, M, Hubungan Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Absolute Media, 2013), cet.1, hal. 23.
18
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi, Siyar a’lam Nubala, (Beirut:
ar-Risalah al-Alamiyah, 2017), cet. 13, juz. 14, hal. 275.
19
Kusnadi, M, Op.Cit., hal. 24.

4
Mula-mula Imam Thabari menuntut ilmu di tanah kelahirannya sendiri, yaitu Amul. Imam
Thabari tidak melakukan perjalanan ke luar daerahnya kecuali setelah mengambil banyak
bekal ilmu yang ia dapatkan di Thabaristan dan beberapa daerah di Persia itu sendiri,
sehingga ia maksimalkan kegigihannya dalam menuntut ilmu juga sudah mulai sedikit-sedikit
mengamalkan ilmu-ilmunya di Thabaristan.
Setelahnya Imam Thabari bertekad untuk melanjutkan perjalanan ilmiahnya yang belum jelas
diketahui tahun kapan Imam Thabari memulai perjalanannya, namun Imam Ibnu Hajar al-
Asqolani memaparkan perkataan Maslamah Bin Qasim bahwa Imam Thabari memulai
perjalanan ilmiahnya pada saat usianya menginjak ke dua belas tahun yang bertepatan dengan
tahun 236 H.
Ray (Persia)
Rihlah ilmiah Imam Thabari dimulai dari wilayah Ray juga wilayah-wilayah sekitarnya, ia
tidak akan meninggalkan wilayah-wilayah itu kecuali sudah tercipta keakrabannya dengan
para ulama diantaranya Muhammad bin hamid al-Razi, Mutsana bin Ibrahim al-Amaliy,
Ahmad bin Hamad yang menulis kitab al-Mubtada, Salamah bin al-Mufadhol yang menulis
tentang al-Maghozi.
Baghdad
Baghdad menjadi terminal kedua yang ia hampiri setelah Ray, di Baghdad Imam Thabari
berguru kepada Abu Abdillah Ahmad Bin Hanbal dengan selalu mendatangi majelisnya juga
mendengarkan langsung ilmu darinya sampai terjalinlah keakraban antara keduanya, namun
takdir berkata lain, Imam Ahmad meninggal dunia di tengah perjalanannya menuntut ilmu.
Bashrah
Bashrah menjadi pilihan hatinya setelah Baghdad, ilmu yang ia dapatkan di Bashrah tidak
lain adalah dari ulama-ulama yang didatangi majelis-majelisnya, beberapa diantaranya adalah
Muhammad Bin Musa al-Harsy, Humad Bin Musa al-Qazaz, Muhammad Bin al-A’la al-
Sin’aniy, Basyar bin Mu’adz, dan sebagainya.
Kufah dan Syam
Tempat pendaratannya setelah Baghdad adalah Kufah, karena keingintahuannya terhadap
ilmu qiraat menjadi faktor yang ia hampiri. Kufah menjadi tempat yang ia jadikan sebagai
sandaran sanad ilmu qiraat yang kuat, sanad itu ia ambil dari gurunya yaitu Ahmad Bin
Yusuf al-Tsaglaby dan Sulaiman al-Thalhi, juga menuliskan hadis dari periwayatan Hunad
Bin al-Suri, Ismail Bin Musa, dan Abi Karib Muhammad Bin al-A’la al-Humdani. Kemudian
pergi ke Syam untuk membaca al-Quran seluruhnya di Beirut dengan riwayat ulama-ulama
Syam kepada al-Abbas Bin al-Walid al-Beiruti.20
Mesir
Pada tahun 253 H, Mesir yang ketika itu dipimpin oleh Ahmad Bin Tulun, menjadi salah satu
pilihannya untuk mempelajari mazhab Syafi’i baru kepada al-Rabi’ Bin Sulaiman al-Muradi,
Ismail Bin Ibrahim al-Muzni, juga mempelajari fikih Imam Malik kepada murid Imam Ibn

20
Ahmad Nasri, Op.Cit., hal. 27-28.

5
Wahab dan mengambil dua sanad qiraat Hamzah dan Warash dengan riwayat Yunus Bin Abd
al-A’la al-Shadafi.
Segera setelah memenuhi hajatnya dalam menuntut ilmu ke negeri tetangga, dalam perjalanan
kembalinya ke daerah asalnya, ia bermuara dalam beberapa waktu untuk menulis dan
mengarang juga menuntaskannya dengan beberapa ulama yang ada di kota al-Salam tepatnya
ada di Baghdad.21 Selain menulis dan mengarang, Imam Thabari juga mulai mengajar di
beberapa titik di Baghdad lagi meraup ilmu dari beberapa ulama yang ada di Baghdad,
sampai masyhurnya ia sebagai orang yang alim juga fakih kemudian kembali ke asalnya yaitu
Thabaristan dan kembali lagi ke Baghdad untuk menghabiskan hajatnya hingga akhir
hidupnya.22

D. Pandangan Ulama Terhadap Imam Thabari


Imam Thabari ulama yang mendapatkan pujian baik juga penghargaan emas dari banyak
ulama yang mengetahui akan ke waraan, ketaqwaan, karangan dan tulisan juga kebaikkannya.
Diantaranya yang telah diringkas sebagai berikut:
1. Abu Abu Sa’id bin Yunus berkata: “Muhammaad bin Jarir berasal dari daerah
Amal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang
beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau”.
2. Khatib Baghdadi (463 H):”Imam Thabari adalah salah satu pemimpin para ulama
yang selalu mengeluarkan hikmah-hikmah jika bertutur, juga seorang alim yang
menguasai banyak bidang ilmu dan belum ditemukan ulama sepertinya pada
zamannya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qiro’at, ilmu Ma’ani faqih
tehadap hukum-hukum Al Qur’an, mengetahui sunnah dan ilmu cabang-
cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya,
perkataan sahabat dan tabi’in, tahu sejarah hidup Manusia dan keadaanya. Beliau
memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab
tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang
bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat
semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang
membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqoha’.23
3. Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau adalah orang yang tsiqoh, jujur, hafidz, ahli
dalam ilmu tafsir, imam dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-hal) yang
diperselisihkan, alim tentang sejarah dan manusia, mengetahui tentang ilmu qiraat
dan bahasa, serta yang lainnya.24
4. Imam al-Nawawi dalam Tahdzibnya berkata: “ Kitab tafsir Ibnu Jarir adalah
karangan yang tidak ada satupun yang dapat menyainginya”.25

21
Ibid, hal. 28.
22
Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam), jilid 1,
hal. 11.
23
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 269-270.
24
Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’, Op.Cit., hal. 15. Lihat juga Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit.,
hal. 50.

6
E. Guru-guru dan murid Imam Thabari
Imam Thabari telah mendengar banyak ilmu dari banyaknya ulama ketika ia melakukan
perjalanan ilmiah, iapun telah hadir di majlisnya para ulama serta mengambil ilmu dan
riwayat dari mereka. Terbagi menjadi berbagai bidang, diantaranya yaitu:
Dalam bidang fiqih, ia mengambil fiqih Syafii di Baghdad dan berguru kepada Hasan bin
Muhammad al-Sabah al-Za’faroni dan Abi Said al-ishtohory. Di Mesir ia berguru kepada al-
Rabi bin Sulaiman al-Radiy, Ismail bin Ibrahim al-Mazani, dan Muhammad bin Abdullah bin
al-Hakim. Iapun mengambil fiqih Maliki berguru kepada murid Ibnu Wahab di Mesir.
Sedangkan dalam bidang qiraat ia mengambil dari Yunus bin Abdul A’la al-Shodafiy di
Mesir qiroat Hamzah dan Warsy, seperti qiraat yang telah dipelajari di Baghdad di bawah
naungan Ahmad bin Yusuf al-Tsa’labi. Di Beirut ia telah membaca al-Quran secara
keseluruhan dengan riwayat al-Syamiyin di bawah naungan Abbas bin al-Walid al-Beiruti.26
Dalam pembahasan guru-guru Imam Thabari juga disebutkan nama-nama guru yang banyak
disebut dalam tafsirnya karena memiliki peranan penting dalam perkembangan keilmuan
Imam Thabari, diantaranya ialah Ibrahim Bin Sa’id al-Jauhari yang berasal dari Thabaristan,
Ahmad Bin Abi Sarij al-Rozi seorang pembesar dalam mazhab Syafi’i, Ahmad Bin al-
Miqdam al-‘Ajli (253 H), Ahmad Bin Abdurrahman Bin Wahab, dan Ahmad Bin Humad al-
Dulabi, Al-Hafidz Abu Basyar al-Dulabi27.
Dalam riwayatnya, Imam Thabari berhasil melahirkan murid-murid dengan jumlah yang
tidak sedikit, ia mengajarkan juga membacakan kitab-kitab kepada murid-muridnya sehingga
mereka dapat menulis kembali ilmu-ilmu yang mereka dapat dari Imam Thabari. Disajikanya
segala ilmu juga banyak pengetahuan sampai ia dicintai oleh para murid-muridnya dan ia
mencintai murid-muridnya, beralasan karena murid-muridnya lah yang akan menjadi pewaris
ilmunya jika ia sudah meninggal nanti.
Diantara beberapa muridnya antara lain ialah Ibrahim Bin Habib al-Suqthi al-Thabari al-
Bushri, Ahmam Bin Kamil (260 H-350 H), Ahmad Bin Yahya Bin ‘Ali Bin Abi Mansur al-
Munjim, Sulaiman Bin Ahmad Bin Ayyub al-Lakhmi al-Thibrani (360 H), Abdullah Bin
Ahmad Bin ja’far Abu Muhammad al-Farghani (362 H) dan lainnya.28
F. Karya Tulis Imam Thabari
Imam Yaqut al-Hanawi menyebutkan dalam kitabnya ‘Mu’jam al-Udaba’ bahwa banyak
kitab-kitab karangan al-Thabari yang sebagian sudah dicetak dan sebagian masih dalam
proses penulisan pun sebagian ada yang belum sampai kepada kita kecuali namanya dan
dipelajari sisa-sisa pengaruhnya.
Diantaranya adalah kitab populer yaitu:
a. Jami’ al-Bayan an ta’wil ayi al-Quran .
b. Tarikh al-Umam al-Rasul wa al-Mulk yang Imam Thabari jelaskan di bagian awal
dari kitabnya yaitu mulai dari penciptaan dan dikeluarkannya Adam dan Hawa dari
25
Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulum al-Quran, (Kairo: Darussalam, 2021),
jilid. 2, hal. 400.
26
Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’, Op. Cit., hal. 16.
27
Ahmad Nasri., Op. Cit., hal. 41-42.
28
Ibid., hal. 45-46.

7
surga, kisah Qabil Habil dan kisah-kisah para nabi terdahulu kemudian dibagian
kedua kitabnya, Imam Thabari baru menjelaskan kehidupan Rasulullah, khalifah
empat setelah Rasulullah, juga menjelaskan tentang dua daulah besar Islam pada
masanya yaitu Umawiyah dan Abasiyah sampai tahun 302 H.
c. Dzail al-Mudzail termasuk kitab yang banyak disenangi para muridnya dari ahli
hadis dan ahli tarikh.
d. Ikhtilaf al-Fuqoha , pembahasan di dalamnya semua khilaf antar ulama dalam
hukum-hukum syariat islam yang Imam Thabari cangkupkan di dalamnya pendapat
Imam-imam fakih terdahulu seperti Imam Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik,
Imam al-Auza’i dan lainnya.
e. Tahdzib al-Atsar ‘an Rasulillah Sholalloh ‘Alaihi wa Salam.
f. Al-Jami’ fi al-Qiraat.
g. Adab al-Nufus.29

G. Profil Tafsir Imam Thabari


Banyak pengakuan bahwa tafsir Ibnu Jarir tafsir yang paling kuat dan populer, hal ini
memicu bahwa tafsir Ibnu Jarir menjadi rujukkan utama bagi para mufasir yang sedang
bermaksud untuk mempelajari tafsir naqly.30 Walaupun dalam kesempatan lain tafsir Ibnu
Jarir banyak menjadi rujukkan penting dari tafsir aqly, ditinjau dari pembahasan yang
mencakup pengembangan, pengarahan, pentarjihan satu pendapat dengan pendapat lain, dan
pentarjihan yang bersandar pada pengamatan akal bebas.31 Kembali ditinjau dari sosok Ibnu
Jarir al-Thabari yang diakui sebagai imam, fakih akan banyak ilmu pengetahuan,
meninggalkan jejak dengan karangan-karangan kitab klasik yang membentang di setiap masa
dan zaman.32
Sejarah penulisan
Tafsir mulai terbukukan pada masa akhir pemerintahan dinasti Umayyah dan awal masa
pemerintahan dinasti Abbasiyah.33 Pada masa itu yang membukukan tafsir di masa di zaman
ini antara lain Yazid bin Harun al-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H),
Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H), Adam bin Iyas (w.220 H) dan Abd bin Hamid (w. 249 H).
Mereka masih tergolong ahlu hadis, sehingga hasil kodifikasinya masih mengikuti suatu bab
dalam bab-bab hadis.34
Kemudian tafsir terus berkembang dan muncullah ide untuk memisahkan pembahasan tafsir
dari buku hadis dan mengkhususkannya dalam buku tersendiri. Mulailah tafsir ditulis perayat
runtut sesuai dengan tartib al-tilawah. Dari beberapa para mufassir terkemuka di era ini salah
satunya adalah Ibnu Jarir al-Thabari. Umumnya penafsiran masa ini mengambil bentuk al-
tafsir bi al-ma’tsur, menafsirkan ayat berdasarkan riwayat yang diterima.
29
Ibid., hal. 53-56.
30
Tafsir yang berdasarkan al-Quran dan Hadis.
31
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 182.
32
Mana’ Khalil Kathan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2015), hal. 352.
33
Pada masa ini, tafsir mulai terbukukan. Pada masa tabiin, tafsir ditransmisikan melalui riwayat dari
generasi kegenerasi. Tafsir dimasa ini bersumber dari Rasulullah SAW, sahabat dan tabiin.
34
Kusnadi, M, Op.Cit., hal. 27.

8
Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya juga mencantumkan rujukan arti bahasa dari syair
jahiliyah, perbedaan yang timbul karena variab bacaan (qiraat), serta permasalah –
permasalahn fikih dan kalam.
Disisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bil al-ma’tsur, yaitu dengan
munculnya riwayat yang shahih hingga riwayat dhaif menurut parameter sanad dan rijal al-
hadis dalam disiplin ilmu hadis. Konsekwensinya, tafsir bi al-ma’tsur sedang menghadapi
masalah yang serius, karena telah terjadi pembauran berbagai riwayat. Pengaruh unsur-unsur
di luar Islam turut mewarnai corak penafsiran, termasuk israiliyat.35
Imam Thabari dalam menulis tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayyi al-Quran mendapatkan
dorongan kuat dari salah seorang gurunya, Sufyan bin ‘Uyainah, Waqi’ bin al-Jarah, Syu’bah
bin al-Hajjah, Yazid bin Harun dan Abd al-Hamid. Dorongan guru-gurunya tersebut terus
menjadi motivasi pada pribadi al-Thabari dan dia mulai menghimpun seluruh manuskrip-
manuskrip tafsir kuno yang tercecer di beberapa tempat sejak zaman Abdullah bin Abbas,
peletak dasar (the founding father) tafsir bi al –ma’tsur, hingga paruh abad ke-3 H.36
Kitab tafsir al-Thabari ditulis pada tahun 283-290. Kitab tersebut tidak ditulis langsung oleh
al-Thabari sebagaimana karya-karyanya yang lain, akan tetapi dia mendiktekan langsung
kepada muridnya, yaitu Abu Bakar bin Baluyah.
Penamaan Tafsir Imam Thabari
Tafsir ini populer dikalangan para ulama dan masyarakat serta pelajar juga para penulis yang
dikenal dengan nama tafsir Thabari, tetapi Imam Thabari sendiri tidak menyematkan nama
tersebut untuk tafsirnya melainkan menamakan tafsirnya ini dengan “Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil Ayyi al-Quran” agar nama ini menjadi dalil atas tafsirnya juga judul yang
menggambarkan isinya, kemudian Imam Thabari telah merealisasikan dan menuliskan ke
dalam tafsirnya seluruh penjelasan, yang didapat dari perkataan-perkataan para ulama,
pendapat para mujtahid, ijtihad sahabat dan tabi’in, ma’tsur maupun manqul, ra’yi dan
ma’qul, mempertimbangkan antara pendapat yang berbeda, merajihkan pendapat yang lebih
dekat dan kuat, dari bahasa maupun kalam Arab, yang telah ditetapkan sesuai syariat dan
yang paling kuat sejarahnya.37
Karakteristik Penafsiran
Salah satu karya beliau dibidang tafsir ialah tafsir Jami’ albayan an ta’wili ayi al-Quran atau
juga yang paling masyhur, bahkan ia merupakan induknya tafsir, karena tafsir sebelum zaman
Ibnu jarir tidak ditulis, hanya berupa riwayat-riwayat saja. Maka datanglah tafsir Thabari,
yang tercantum di dalamnya aspek-aspek kebahasaan, tarjih, disebutkan kaidah-kaidah
bahasa dan istinbathnya, dan disebutkan syair-syair arab atas makna lafadz. 38
Belum pernah nampak sebelum kitab tafsir al-Thabari yang lebih besar, terhimpun, dan lebih
kokoh, begitulah perkataan para ulama karena belum pernah ditulis kitab yang semisal
dengan kitab beliau ini.

35
Ibid., hal. 28.
36
Loc. Cit., hal. 28.
37
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 100-101.
38
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 182.

9
Tafsir al-Thabari ini terdiri dari 30 jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir
ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali ketika didapatkan
satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan
diri, Amir Hamud bin Abdur Rasyid ia salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian
kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai ditangan kita, menjadi ensiklopedia kaya
tentang tafsir bi al-ma’tsur.
Tafsir al-Thabari adalah tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Sementara tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai
ke kita kecuali hanya sedikit sekali. Itupun terselin dalam celah-celah tafsir al-Thabari
tersebut.39
Sistematika, Metode, dan Corak Penafsiran Imam Thabari
Di dalam menyusun tafsirnya, Imam Thabari mengacu pada tartib mushafi. Dalam
sistematika ini, beliau menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah di
dalam mushaf al-Quran.40
Imam Thabari tidak akan memulai menafsirkan al-Quran kecuali setelah matangnya ilmu,
juga tidak akan memberanikan diri untuk menafsirkan hanyak dengan hawa nafsu, melainkan
mengambil metode yang jelas, dengan cara dan kaidah yang benar.
Adapun metode tafsir al-Thabari adalah metode tahlili41. Banyak peneliti yang mengakui
bahwa tafsir ini termasuk kategori tafsir bi al-Ma’tsur. Pengakuan ini nampak terlihat jelas
saat kita membaca potongan kecil dari kutipan dalam kitabnya, bahwa ketika Imam Thabari
menafsirkan ayat dalam al-Quran maka ia berkata: ‫الق ول يف التأوي ل قول ه تع اىل ك ذا و ك ذا‬
kemudian menafsirkannya dengan riwayat yang ia dapatkan dari para sahabat dan tabi’in dari
pada ayat ini. Jika didapatinya dua riwayat, atau lebih yang membahas penafsiran ini, maka ia
merujuk kepada penafsiran sahabat atau tabiin yang rajih.42
Corak (laun) penafsiran Imam al-Thabari adalah linguistik atau bahasa. Tafsirnya secara
umum Tafsirnya secara umum bertumpu pada analisa linguistik, utamanya nahwu dan
penjelasan makna kata (mufaradat) dengan mengutip syair-syair Arab kuno.43
Imam Thabari juga mengambil riwayat-riwayat israiliyat seperti Ka’ab al-Akhbar, Wahab
bin Munabbih, Ibnu Juraij, dan lain-lain,44 tentunya dengan pendapat yang kuat bahwa
riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbulkan kerugian
dan bahaya bagi agama.
Imam Ahmad Nasri dalam kitabnya al-Manhaj al-Naqdy mengungkapkan empat metode
yang digunakan Imam Thabari dalam tafsirnya antara lain:

39
Mana’ Khalil Kathan, Op.Cit., hal. 353.
40
Ahmad Mudakir, Gaya Bahasa al-Quran, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2020), hal. 20.
41
Metode tahlili seorang diajak untuk memahami al-Quran secara utuh dan menyeluruh.
42
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 184.
43
Mana’ Khalil Kathan, Ibid., hal. 353.
44
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 187.

10
Pertama, ketika ingin memulai untuk menulis tafsir, maka ia mulai dengan menjelaskan ayat
tersebut yang diawali dengan kalimat ‫ القول يف تأويل قوله تعايل‬juga dalam beberapa kesempatan
ia awali dengan pemaknaanya, seperti ‫ يع ين بقوله‬kemudian kata-katanya yang berasal dari
riwayat salaf, seperti ‫ ق ال أه ل التأوي ل أو ق ال مجاع ة من أه ل التأويل‬juga yang pada beberapa
kondisi Imam Thabari menyebutkan khilaf dengan kata:

‫ ذكر من‬.‫ معناه كذا‬:‫ وقال اآلخرون‬.‫ وذكر من قال ذالك‬:‫ فقال بعضهم‬,‫ا ختلف أهل التأويل يف معين قوله‬
‫ وأويل األقوال بالصواب هو قول من قال كذا‬:‫ قال ابو جعفر‬.‫قال بذالك‬
kemudian memberi dalil atas pendapat yang telah dirajihkan dengan naqly maupun aqly.45
Kedua, Imam Thabari juga memahamkan konteks nas serta tujuannya, seperti yang ada pada
ayat 37 dari surat al-Baqarah:

‫يم ۝‬ ٍ ‫فَتلَقَّى آدم ِمن ر ِبه َكلِم‬


ِ َّ ‫ات َفتَاب علَي ِه ِإنَّه هو الت ََّّواب‬
ُ ‫الرح‬ ُ َُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َُ
Setelah disebutkan banyak pendapat dari ahli takwil dalam menakwilkan kalimat ‫تلقاهن آدم من‬

‫ ربه‬Ia meringkas dengan penafsirannya bahwasanya kalimat ‫ تلقاهن آدم من ربه‬itu adalah kata-
kata antara apa yang Allah kabarkan dengan pertemuannya bersama Adam untuk mengakui
dosanya, terdapat dalam ayat 23 dari surat al-A’raf:
ِ ِ ِ
ُ َ‫قَاالَ َربنَّا ظَلَ ْمنَا َأن ُف َسنَا َوِإ ْن مَلْ َت ْغف ْر لَنَا َوَت ْرمَح نَا لَن‬
َ ‫ك ونَ َّن م ْن اخْلْاس ِر‬
‫ين ۝‬
Ketiga, terkadang juga ia memakai asli kata dalam Bahasa arab, khususnya dalam hal yang
bersangkutan dengan kosa kata dan susunan kalimat. Penggunaan Imam Thabari pada asli
kata Bahasa Arab sebagai alat untuk membandingkan dan mentarjih perbedaan pendapat.
Keempat, mengikuti jejak Ibnu Abbas, Imam Thabari juga merujuk tafsirnya kepada syair-
syair pujangga arab terdahulu karena pengaruh masyarakat pada masa Abdullah Bin Abbas,
namun disyaratkan pada poin ini untuk tafsir yang terbentuk nanti tidak bertentangan dengan
sirah Rasulullah, sahabat dan tabiin sampai tabi tabiin.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pada masa rihlah ilmiah Imam Thabari
mempelajari banyak ragam qiraat al-Quran yang kini pengaruhnya sampai pada ragam
metode Imam Thabari menafsirkan al-Quran, yaitu dengan memperhatikan secara detail,
kemudian menjelaskan perbedaan dan signifikansi qiraat-qiraat itu. Faktornya tidak lain
adalah untuk:
a. Menunjukkan qiraat yang masyhur dan yang tidak masyhur
b.Mengarahkan banyak qiraat daripada qiraat yang disebutkan, baik itu kedalam ranah
Bahasa, Nahwu, Balagah maupun sharf, terlepas dari tingkat bacaan ilmiah dalam hal
kemasyhuran dan ketidak wajaran atau bacaan syadz.

45
Ahmad Nasri, Op.Cit., hal. 102.

11
c. Menyeimbangkan dan mentarjihkan atau memotong.46
Contoh Penafsiran Dalam Tafsir al-Thabari
ِ ِ
)152 ‫ اية‬:‫(االنعم‬  ُ‫َأشدَّه‬ ْ ‫َواَل َت ْقَربُوا َم َال الْيَتي ِم ِإاَّل بِالَّيِت ه َي‬
ُ ‫َأح َس ُن َحىَّت ٰ َيْبلُ َغ‬
‘’Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang
baik sehinga sampai dia dewasa.”

} ‫ { وال تقربوا مال اليتيم إال باليت هي أحسن حىت يبلغ أشده‬: ‫القول يف تأويل قوله‬
’Beliau berkata di dalam Tafsirnya (Ath-Thabari), tentang firman Allah yang berbunyi :  Dan
janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik’.

‫ وال تقربوا ماله إال مبا فيه صالحه وتثمريه‬،)‫ (وال تقربوا مال اليتيم إال باليت هي أحسن‬:‫ يعين جل ثناؤه بقوله‬:‫قال أبو جعفر‬
‘’Abu ja’far berkata : Abu Ja’far mengharapkan dari firman Allah: (Dan janganlah Kamu
sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik ), dan janganlah
kamu sekalian mendekati karta tersebut kecuali ada kemanfaatan dan kemaslahatan.47
Sumber tafsir Imam Thabari
Seperti yang telah dipaparkan diawal Imam Thabari menulis tafsir ini karena adanya
pengaruh dari masa hidupnya pada abad ke 3 hijriah, masa ini merupakan masa perkembagan
sosial maupun keadaan intelektual yang maju, serta munculnya ilmu-ilmu syariat dan
ensiklopedia keagamaan, adanya forum terjemah berbagai macam ilmu tentang para umat
terdahulu. Bahwa tafsir ini juga mencakup ilmu agama, bahasa, akal, juga sejarah.48
Disebutkan bahwa sumber tafsir Imam Thabari beragam dari banyak sisi, termasuk dalam
tafsirnya Imam Thabari tidak satupun memasukkan perkataan-perkataan dari Muhammad Bin
al-Saib al-Kalby, Maqatil Bin Sulaiman juga Muhammad Bin Umar al-Waqidi, karena
mereka termasuk bagian dari para filosofis yang jika dimasukkan ke dalam ranah tafsir tidak
dapat diandalkan.
Namun, ketika masuk ke pembahasan sejarah atau pemberitaan orang-orang arab, Imam
Thabari menceritakan tentang Muhammad Bin al-Saib al-Kalby, Ibn Hisyam dan Muhammad
Bin Umar al-Waqidi juga lainnya yang termasuk di dalamnya. Imam Thabari juga bersandar
pada kitab-kitab hadis dan masyhur kitab sunah yang di dalamnya mencakup banyak riwayat
dan atsar49 yang ia masukkan ke dalam tafsirnya.50
Dalam pembahasan bahasa dan ma’ani, Imam Thabari bersandar pada kitab karangan Ali bin
Hamzah al-Kisaiy beliau merupakan salah satu dari tujuh Imam Qura yang ahli dalam bidang
nahwu dan bahasa. Juga merujuk pada kitab karangan Yahya bin Ziyad al-Fara ia merupakan
Alim yang berasal dari Kuffah yang juga piawai dalam bidang Nahwu, Bahasa, dan Sastra.
Disisi lain, Imam Thabari bersandar pada kitab karangan Abi al-Hasan Said bin Mas’adah al-
46
Ibid., hal. 102.
47
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Op.Cit., jilid. 3, hal. 380.
48
Ibid., hal.102.
49
Hadist yang diriwayatkan dari perkataan sahabat.
50
Ibid., hal.102.

12
Akhfasy al-Ausath ialah salah satu Ahli Nahwu berasal dari Basrah, juga Imam Bahasa. Juga
pada kitab karangan Abi Ali Quthrub Muhammad bin al-Mustanir al-Nahwiy al-Lughowiy
al-Bashriy ia merupakan Imam Shohib al-Tashonif al-Masyhuroh.
Tidak hanya itu, Imam Thabari juga merujuk pada kitab karangan tabi’ tabi’in dan ulama
Tafsir pada abad ke 2 hijriah, diantaranya tafsir karangan Sufyan bin Uyaynah, Waki’ bin al-
Jurah, Syu’bah bin al-Hijaj, Abdurrazaq bin Himmam al-Shuna’iy, Adam bin Abi Iyas, Ishaq
bin Rahawaih, Rauh bin Ubadah, Abd bin Humaid, Said bin Basyir al-Azdiy al-Syami, Abi
Bakar bin Abi Syaibah dan lainnya.51
Pada pembahasan ini Imam al-Suyuthi juga memaparkan dalam kitabnya al-Itqan mengenai
derajat para mufasir dari sahabat juga dari para tabi’in, mereka para mufasir terdahulu yang
mayoritas perkataan mereka langsung diambil dari perkataan para sahabat, kemudian
datanglah zaman yang muncul di dalamnya tafsir yang menghimpun semua perkataan sahabat
dan tabi’in, dan setelahnya datanglah tafsir Muhammad Bin Jarir al-Thabari yang tafsirnya
menjadi tafsir terbaik.52
Makna takwil bagi Imam Thabari
Meninjau dari nama yang disematkan pada kitab karangan Imam Thabari yakni Jami’ al-
Bayan an Ta’wil Ayi al-Quran, pemakalah akan membahas hakikat makna daripada ‘takwil’
bagi Imam Thabari, yang sudah diringkas ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
1. Imam Thabari memilih istilah ‘takwil’ dalam kitabnya juga pada setiap pembukaan sub
bab dalam kitabnya tidak lain adalah agar sampai kepada hakikat makna yang tersirat pada
asetiap ayatnya, juga tidak sewenang-wenang Imam Thabari menyematkan ‘takwil’ dalam
tafsirnya, namun juga atas dasar luasnya makna yang terkandung pada suatu ayat.
2. Tidak cukup dijangkau dari tafsir dan penjelasan saja, namun Imam Thabari memaparkan
juga di dalamnya tujuan daripada tafsir tersebut, dengan menjelaskan maksud dari penggalan
nas al-Quran kemudian mentarjih salah satunya dalam keadan banyak takwil dan makna,
dengan dalil aqli, naqly, bahasa maupun sejarah.
3. Takwil bagi Imam Thabari wajib ada di dalamnya makna awal yang dimaksudkan dalam
nas dari makna-makna yang tersirat dalam nas, dan di baguskan pada waktu yang sama
maknanya tidak keluar dari ranah Bahasa. Namun jika maknanya keluar dari makna yang
tersirat dan di luar ranah Bahasa maka dihukuminya makna takwil tersebut tidak benar.
4. Takwil bagi Imam Thabari juga harus jelas, karena tujuannya adalah pemahaman pembaca
agar sampai pada makna yang dimaksud.53
Meninggalkan apa yang tidak berfaedah
Dalam tafsirnya, Imam Thabari tidak menjelaskan dengan rinci ayat yang di dalamnya
terdapat sesuatu yang belum dapat diketahui bahkan tidak penting untuk mengetahuinya,
sebagai contoh dari ayat 112-114 pada surat al-Maidah:
ِِ ۟ ِ َّ ‫ِإ ْذ قَ َال ٱحْل وا ِريُّو َن يـٰعِيسى ٱبن مر هل يست ِطيع ربُّك َأن ينِّز َل علَينا مٓاِئد ۭةً ِّمن‬
َ ‫ٱلس َمٓاء ۖ قَ َال َّٱت ُقوا ٱللَّهَ ِإن ُكنتُم ُّمْؤ من‬
١١٢ ‫ني‬ َ َ َ َ ْ َ َُ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ‫َ َ ْ َ َ ْ مَي‬ ََ
51
Ibid., hal.103.
52
Ibid., hal.103-104.
53
Amal Muhammad Rabi’, Op.Cit., hal.

13
ِ َّٰ ‫وٱرز ْقنا وَأنت خير‬....‫إيل اآلية‬
َ ‫ٱلر ِزق‬
١١٤‫ني‬ َُْ َ َ َ ُ ْ َ
Dipaparkan riwayat yang membahas macam-macam makanan yang diturunkan dari langit itu,
kemudian Imam Thabari mengatakan dalam tafsirnya: sedangkan kebenaran akan
pembahasan makanan apa saja yang turun dari langit itu, kemudian dikatakan: itu adalah
makanan, dan boleh jadi itu ikan atau roti, juga boleh jadi itu adalah buah-buahan yang
diturunkan dari surga. Tidak dipentingkan untuk mengetahui macamnya juga tidak hina kalau
tidak mengetahui macamnya.
Urgensi tafsir Imam Thabari
Pengakuan banyak ulama bahwa tafsir Imam Thabari adalah tafsir yang paling baik dan
penting, menjadikan tafsir Thabari teratas pada masa itu, diantara faktor-faktornya antara
lain:

a. Segi sejarah
Tafsir Thabari ialah tafsir tertua yang sampai pada kita dari tahun ke-3 H, yang penulisannya
memakan waktu waktu selama tujuh tahun, dimulai pada tahun 283 H hingga 290 H.
Terdapat di dalamnya banyak kitab tafsir yang terdahulu yaitu dari yang sebelumnya, saat ini
juga yang akan datang, tafsir Imam Thabari juga dapat dikatakan referensi tafsir yang handal
karena mengumpulkan banyak perkataan dari para sahabat, tabiin sampai tabi’ tabiin beserta
pendapat dan kegigihan mereka dalam berijtihad. Kalau bukan karena tafsir Thabari, maka
hilanglah seluruh pendapat-pendapat dan sejarah emas yang terdapat pada mereka.

b. Segi Intelektual
Dalam tafsir Imam Thabari terhimpun dari banyak disiplin ilmu, termasuk apa yang ia
gunakan dalam menafsirkan ayat al-Quran. Diantaranya terdapat ilmu hadis, nahwu, balagah,
fikih juga ushul fikih, sejarah dan masih banyak lagi.

c. Segi pewarisan
Setelah meninjau dari dua segi sebelumnya, dapat menjadi alasan yang kuat untuk tafsir
Imam Thabari menjadi warisan keilmuan yang abadi diwariskan untuk zaman-zaman
selanjutnya, yang akan menjadi sumber pemikiran dan pengetahuan yang jernih dan tulus,
juga termasuk dalam ilmu yang memiliki relasi baik dengan al-Quran. Pusat referensi para
ulama juga penuntut ilmu.54

Kelebihan dan kekurangan tafsir Imam Thabari

Muhammad Ali al-Shabuni dalam al-Tibyan fi Ulum al-Quran mengemukakan beberapa


kelebihan yang dimiliki oleh tafsir Ibnu Jarir al-Tabari, antara lain sebagai berikut:

1. Kitab tafsir tersebut selalu berpegang pada ucapan-ucapan yang ma’tsur dari Nabi SAW,
para sahabat dan tabi’in.

54
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 104.

14
2. Ucapan-ucapan yang diriwayatkan selalu diikuti sanad-sanad yang lengkap. Dan ia selalu
berusaha memilih riwayat-riwayat yang rajih.
3. Menyebutkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh secara cermat, serta mengetahui jalan-
jalan riwayat yang sahih maupun yang tidak.
4. Senantiasa menyebutkan aspek-aspek nahwu (I’rab) dan istinbath ahkam.55

Adapun sisi kekurangan tafsir al-Thabari yaitu:


Pertama, banyak mengambil riwayat israiliyat dan mencantumkan perawi yang bernama
Kaab al Ahbar , salah satu tokoh israiliyat. Dalam hal ini al-Shabuni secara santun
mengatakan dengan tidak mengurangi kemegahan dan keagungan karta tersebut, patut
disayangkan terkadang beliau menyebutkan khabar-khabar dengan sanad yang tidak shahih,
tetapi tidak diperingatkan akan hal tersebut, misalnya dia menyelipkan khabar dari
israiliyat.56
Kedua, tidak menjelaskan kategori surah Makkiyah atau Madaniyah.
Ketiga, beberapa riwayat yang disebutkan tidak diberi penilaian antara shahih atau dhaif.57

Selain apa yang disebutkan di atas, masih banyak lagi catatan ulama terhadap tafsir al-
T{abariy. Banyaknya kritikan tersebut pada dasarnya cukup mempengaruhi nilai kualitas
tafsir al-T{abariy. Meski demikian dengan kelebihan-kelebihan lain yang dimilikinya di
banyak sisi membuat tafsir tersebut tetap mendapat apresiasi tinggi hingga saat ini.

H. Israiliyat dalam tafsir Imam Thabari


Israiliyat banyak didapatkan dari orang-orang Yahudi yang berlandaskan kitan mereka, juga
banyak didapatkan dari orang-orang Nasrani yang berlandaskan dari kitab mereka yaitu Injil.
Namun, saat ini israiliyat sudah ternaungi dibawah bendera islam dari sejak munculnya
orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka yang memiliki pengetahuan keagamaan.58

Sudah banyak didapati dalam al-Quran kisah-kisah dari kitab Taurat dan Injil, terlebih kisah-
kisah para nabi dan umat terdahulu. Namun kisah-kisah al-Quran bertujuan untuk
memberikan Ibrah atau hikmah tanpa harus menyebutkan rinci sejarahnya seperti kejadian,
nama negara, nama orang. Berbeda dengan taurat dan Injil yang menyebutkan secara rinci
kisahnya.

Tanggapan Ulama Tentang Israiliyat

Masuknya israiliyat yang menjadikan umat islam lalai terhadap turats dan tafsir al-Quran,
dengan ini para ulama ingin memurnikan kembali tafsir al-Quran dari Israiliyat, namun
ternyata tidak mudah bagi mereka untuk melakukannya dikarenakan banyak kisah-kisah
dalam al-Quran yang membahas bani Israil.

55
Muhammad Ali al-Shobuni, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, (Karachi: al-Bushra Publishers, 2011), hal.
131.
56
Ibid, hal. 131.
57
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 138.
58
Manna’ al-Qathan, Op.cit., hal. 344.

15
Imam Syafi’i mengatakan bahwa secara jelas Rasulullah tidak memperbolehkan berdusta
dalam perkataan. Dalam riwayat yang sudah disebutkan sebelumnya dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak ada larangan juga anjuran untuk menyampaikan Israiliyat, juga tidak
dikatakan bersalah bagi orang yang berbicara tanpa mengetahui ada kedustaan di dalamnya.

Adapun Ibnu Hajar berpendapat bahwa Rasulullah memperbolehkan berbicara tentang bani
Israil yang bersandar pada riwayatnya yakni ‫ وحدثوا عن بين إسرائيل وال حرج‬karena kisah-kisah
umat terdahulu yang dapat diambil ibrah juga hikmah yang mungkin dapat menambah
keimanan kita kepada Allah dan ditambah lagi bahwa larangan itu datang pada saat syariat
belum sepenuhnya ditetapkan karena ditakutkan akan terjadinya fitnah pada masa itu.59

Asas Imam Thabari dalam Israiliyat

Ditemukan dalam tafsirnya, bahwa Imam Thabari menafsirkan sebagian ayatnya


berlandaskan kisah-kisah orang-orang israil. Ia mengambilnya dari riwayat Ka’ab al-Ahbar, 60
Wahab Bin Munbih,61 Ibnu Jarij Wa al-Sudi, kemudian Imam Thabari juga menukil dari
Muhammad Bin Ishaq yang ia banyak meriwayatkan dari Maslamah al-Nashari, untuk
riwayat yang masih banyak dipertimbangkan, riwayat ini: dari Ibn Humaid, kemudian
dikatakan: dari Silmah an Ibn Ishaq an Abi ‘Itab ia adalah seorang Nasrani berasal dari
Dahrah yang masuk islam kemudian mempelajari al-Quran dan belajar agama, dikisahkan 40
tahun ia beragama Nasrani dan 40 tahun ia beragama islam. Imam Thabari mengambil
riwayat dari Silmah yang mengabarkan tentang kedatangan nabi terakhir bani Israil, yang
terdapat dalam surah al-Isra ayat tujuh:
‫ِإ اِ ْن اَ ْح َسْنتُ ْم اَ ْح َسْنتُ ْم اِل َْن ُف ِس ُك ْم َوۗاِ ْن اَ َسْأمُتْ َفلَ َه ۗا فَاِ َذا َجاۤءَ َو ْع ُد ااْل ٰ ِخَر ِة لِيَ ۤسـُْٔوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َولِيَ ْد ُخلُوا الْ َم ْس ِج َد َك َما‬
‫َد َخلُ ْوهُ اََّو َل َمَّر ٍة َّولِيُتَِّبُر ْوا َما َعلَ ْوا َتْتبِْيًر‬
Juga didapati dalam tafsirnya pada ayat 94 dalam surah al-Kahfi:
‫ك َخ ْر ًجا َع ٰلٓى اَ ْن جَتْ َع َل َبْيَننَا َو َبْيَن ُه ْم‬ ِ ‫قَالُْوا ٰي َذا الْ َق ْر َننْي ِ اِ َّن يَْأ ُج ْو َج َو َمْأ ُج ْو َج ُم ْف ِس ُد ْو َن ىِف ااْل َْر‬
َ َ‫ض َف َه ْل جَنْ َع ُل ل‬
‫َسدًّا‬
Yang diriwayatkan dari Ibnu Humaid, mengatakan: dari Silmah, mengatakan: dari
Muhammad Bin Ishaq ia mengatakan bahwa beberapa ahli kitab yang sudah masuk islam

59
Amal Muhammad Rabi’, Op.Cit., hal. 30-31.
60
Ia adalah Ka’ab bin Mati’ bin Amru bin Qais yang dijuluki Aba Ishaq. Ia adalah seorang lelaki pada
zaman Rasulullah, Yahudi yang alim akan kitabnya hingga ia dijuluki Ka’ab al-Hibr atau Ka’ab al-Ahbar yang
artinya seorang penulis, dijuluki karena ketekunannya dalam menulis dan mempelajari kitabnya. Muhammad
Bin Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyat wa al-Maudhuat fi kutub al-Tafsir, (Kairo: Maktabah Sunah 2006),
hal. 97.
61
Wahab Bin Munabbih al-Sin’ani al-Yamani, ia adalah tabiin yang lahir pada masa kekhalifahan
Utsman. Ibid., hal. 98.

16
berkata tentang Dzul Qarnain yang disebutkan dalam ayat di atas, bahwa ia adalah seorang
laki-laki dari Mesir yang bernama Murziban Bin Murdibah al-Yunani.62

Perlu diketahui bahwa israiliyat dibagi menjadi tiga bagian:


1. Riwayat yang sesuai dengan al-Quran dan hadist. Riwayat seperti ini shahih dan
dibenarkan penggunaanya sebagai dalil dan hujjah.
2. Riwayat yang sudah diketahui kebohongannya. Dalam hal ini, Rasulullah melarang
sahabat untuk meriwayatkannya.
3. Riwayat yang tidak diketahui status kebenarannya juga kedustaannya. Karena tidak
dalil yang menegaskan kebenaran dan kedustaannya.63

Bentuk Israiliyat Dalam Tafsir Imam Thabari

Para pengkaji israiliyat melihat bahwa cerita-cerita israiliyat jika dilihat dari segi
pembahasannya dibagi menjadi tiga bagian pertama, israiliyat yang berbicara tentang
akidah. Kedua, israiliyat yang berbicara tentang hukum, dan ketiga, israiliyat yang
berbicara tentang nasihat-nasihat. Hal ini juga dapat dilihat dalam karyanya Jami’ al-Bayan
‘an Ta’wil Ayi al-Qur'an. Pembicaraan ini tersebar pada kisah-kisah penciptaan langit, bumi,
gunung-gunung, sungai dan sebagainya dari berbagai ciptaan yang adadi langit dan di bumi,
demikian juga terdapat pada kisah-kisah yang berbicara tentang hari kebangkitan/kiamat,
pahala, dan siksa. Kemudian, juga terdapat pada kisah-kisah Nabi dan Rasul. 64

Adapun kisah-kisah israiliyat yang terdapat dalam dalam tafsir tersebut antara lain berikut:
Penciptaan Hawa

Al-Thabari cukup banyak mengemukakan riwayat-riwayat tentang bagaimana Hawa


diciptakan dari tulang iga Adam, dan itu terdapat diberbagai tempat. Misalnya atsar no 586
menceritakan secara singkat tentang proses penciptaan Hawa, sebagai hasil dari dicabutnya
salah satu tulang rusuk/iga Adam. Dalam hal ini dapat dilihat secara rinci proses
penciptaannya, waktunya dalam atsar yang lain seperti pada no. 710, 711, demikian juga pada
atsar no 8400-8407 ketika menafsirkan surah al-Nisa, demikian juga pada atsar 30058 ketika
menafsirkan surah al-Zumar, kemudian atsar no. 27931 pada saat menafsirkan surah al-Rum.
Dari atsar-atsar tersebut, akan dikemukakan salah satu di antaranya yakni atsar no. 8407

ketika menafsirkan al-Quran surah al-Nisa ayat 1:  ‫َكثِْي ًرا‬ ‫ث ِمْن ُه َم ا ِر َج ااًل‬
َّ َ‫َّو َخلَ َق ِمْن َه ا َز ْو َج َه ا َوب‬
ِ َّ
ً‫ۚ ون َساۤء‬.... …. Seperti ini:65

‫فيما بلغنا‬- ‫السنة‬ َّ ‫ ألقي على آدم صلى اهلل عليه وسلم‬:‫ عن ابن إسحاق قال‬،‫ حدثنا سلمة‬،‫حدثنا ابن محيد قال‬
‫ مث أخذ ِضلَ ًعا من‬-‫ عن عبد اهلل بن العباس وغريه‬،‫عن أهل الكتاب من أهل التوراة وغريهم من أهل العلم‬

62
Muhammad Husain al-Dzahabi, Op.Cit., hal. 187-188.
63
Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, Op.Cit., hal. 103.
64
Amal Muhammad Rabi’, Op.Cit., hal. 103
65
Ibid, hal. 107.

17
‫ حىت خلق اهلل تبارك وتعاىل من ِضلَعه‬،‫يهب من نومته‬
َّ ‫نائم مل‬ ِ
ٌ ‫ وآدم‬،‫ وألم مكانه‬،‫ من شقٍّه األيسر‬،‫أضالعه‬
‫ فقال‬،‫ رآها إىل جنبه‬،‫وهب من نومته‬ ِّ ‫ فلما ُك ِشفت عنه‬،‫فسواها امرأة ليسكن إليها‬
َّ ‫السنة‬ َّ ،‫تلك زوجته حواء‬
.‫ حلمي ودمي وزوجيت! فسكن إليها‬:-‫ واهلل أعلم‬،‫فيما يزعمون‬-

Artinya: Telah diberitakan kepada kami oleh Ibnu Hamid, dia berkata; diberitakan kepada
kami oleh Salamah dari Ibn Ishak, dia berkata: “Adam a.s diselimuti oleh rasa kantuk yang
sangat, sebagaimana disampaikan oleh Ahl al-Kitab yang terdapat dalam kitab taurat maupun
dari Ahl al-‘Ilm”. Dari Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa “ kemudian dia mengambil
salah satu tulang rusuknya (Adam) pada bagian kiri. Pada saat itu Adam dalam keadaan tidur
nyenyak, dan Allah swt. Menciptakan istrinya Hawa dari tulang rusuk Adam dalam bentuk
wanita untuk dia tinggal tenang bersamanya. Tatkala Adam bangun dari tidurnya, dia melihat
ke sampingnya lalu berkata dan mengklaim bahwa‚dagingku, darahku, istriku‛ dan tinggal
bersamanya”.

Perincian seperti yang disebutkan di atas, diduga diambil dari kitab Perjanjian Lama
sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian 2/21-23 sebagai berikut:
"Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan
dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang
perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah
dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia
diambil dari laki-laki."66

Benarkah Imam Thabari Berfaham Syiah?

Imam Thabari dengan segala karakteristik sifat baik dan rihlah ilmiahnya sempat dianggap
bahwa ia termasuk bagian dari orang-orang syiah, diakarenakan ada karangannya yang
membahas tentang sayyidina Ali. Tuduhan ini berasal dari Abu Bakar Muhammad bin
Dawud al-Ashbahani seorang faqih al-Dzahari yang mengarang buku untuk menentang Imam
Thabari yang ditulisnya yang berdasarkan pandangannya terhadap Imam Thabari, juga
anaknya Muhammad bin Daud ikut menentangnya, seperti apa yang dilakukan oleh orang-
orang awam Hanbali di Baghdad.67

Dikatakan oleh al-Dzahabi bahwa para pengikut Hanbali adalah kelompok Abu Bakar bin
Abu Daud, dimana jumlah mereka bertambah banyak lalu mereka memusuhi Imam Thabari
dan menyakitinya. Diantara tuduhan yang dilemparkan oleh Muhammad bin Daud kepadanya
adalah ia mengklainya sebagai pengikut kalangan Rafidhi.68

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa sebab dituduhnya Imam Thabari seperti ini karena
disana ada nama lain yang persis dengan namanya, yaitu Muhammad bin Jarir bin Rustum,
yang bergekar Abu Ja’far al-Thabari, salah seorang pengikut aliran rafidah. Al-Dzahabi
66
Ibid, hal. 107.
67
Muhammad al-Zuhailiy, Op.Cit., hal. 58.
68
Rafidhi adalah suatu aliran yang menisbatkan dirinya kepada syiah (pengikut) ahlul bait. Abu
Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op.Cit., hal. 25.

18
mengatakan bahwa penisbatan syiah adalah kepada orang tersebut bukan kepada Thabari
yang dikenal sejarawan dan mufassir yang terkenal ini, karena Ibnu Jarir termasuk salah
seorang imam sunnah yang diakui keilmuannya.

Demikianlah Thabari telah menjadi bahan tuduhan padahal ia terbebas sama sekali darinya.
Ia bahkan tidak jarang disiksa dan disakiti oleh mereka. Lalu salah seorang muridnya, yaitu
Ahmad bin Kamil menasihati menjelang wafatnya agar ia memaafkan semua orang yang
pernah menyakitinya. Maka Thabari mengatakan, “Semua orang yang pernah menyakitiku
dan mendengkiku telah aku maafkan, kecuali satu orang yang telah menuduhku melakukan
bid’ah”.69

I. Penutup
Lewat karya monumentalnya Jami al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an yang menjadi pencerah
di abad ke-3 hijriah, Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufasir yang
mampu memberikan inspirasi bagi para mufasir sesudahnya. Tidak hanya menjadi tokoh
penting iapun terkenal dengan perangainya yang baik. Ini semua tidak lain merupakan
dampak dari kegigihannya dalam disiplin terhadap ilmu sehingga ia membuatnya tidak
menikah juga kesukarannya terhadap segala hal yang bersifat duniawi.
Tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (al-ma’tsur) yang
disandarkan pada pendapat para sahabat, tabiin ini juga yang menjadi faktor tafsir Imam
Thabari menjadi tafsir terbaik pada masa itu. Serta tanggapan-tanggapan ulama yang positif
terhadap Imam Thabari membuatnya dihujani kagum oleh banyak kalangan ketika itu.
Wallahu A’lam bi al-Shawab

Diany Mumtaz Hanifiah


Mahasiswi Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar Kair

Daftar Pustaka

Abu Guddah, Abd al-Fatah, al-Ulama al-Uzzaballadzina Atsaru al-Ilma ‘Ala az-Zawaj,
(Kairo: Darussalam, 2019).
Abdurrahman Rabi’, Amal Muhammad, al-Israiliyat fi tafsir al-Thabari Dirasah fi al-
Lughohwa al-Mashadir al-Ibriyah, (Kairo: Maktabah Majlis A’la, 2001).
Ahmad bin Utsman al-Dzahabi, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin, Siyar a’lam Nubala,
(Beirut: ar-Risalah al-Alamiyah, 2017), cet. 13, juz. 14.

69
Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op.Cit., hal. 27.

19
Adzim al-Zurqani, Muhammad Abdul, Manahil Irfan fi Ulum al-Quran, (Kairo: Darussalam,
2021), jilid. 2.
Ali al-Shobuni, Muhammad, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, (Karachi: al-Bushra Publishers,
2011).
Al-Zuhailiy, Muhammad, al-Imam at-Thabari Syaikhu al-Mufassirin, Wa ‘Umdatu al-
Muarrikhin Wa Muqaddamah al-Fuqaha al-Muhaditsin, (Damaskus: Dar al-Qalam,
1999).
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirūn, (Kairo: Darul Hadist 2012).
Jarir Ath-Thabari, Abu Jafar Muhammad bin, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
jilid 1.
Kathan, Mana’ Khalil, Mabahis fi Ulum al-Quran, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2015).
Muhammad bin Jarir, Abu Ja’far, Jami al-Bayan an Takwil Ayi al-Quran, (Beirut:
Muassasahar-Risalah, 1994).
M. Kusnadi, Hubungan Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Absolute Media, 2013).
Muhammad Abu Syahbah Muhammad Bin, al-Israiliyat wa al-Maudhuat fi kutub al-Tafsir,
(Kairo: Maktabah Sunah 2006).
Nasri, Ahmad, al-Manhaj al-Naqdi fi al-Tafsir al-Thabari Ushulihi wa Muqowamatihi,
(Maghrib: Dar Ibnu Hazm 2011).

20

Anda mungkin juga menyukai