Anda di halaman 1dari 11

Al-Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim karya Aisyh Bintu Syathi’ (W.

1998)
Oleh:
Ning Qurrotu A’yun (18010803)
Program Studi Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran dalam Islam. Di dalamnya memuat
ajaran nilai-nilai universal kemanusiaan. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk
bagi seluruh umat hingga akhir zaman. Untuk mendapat petunjuk tersebut, manusia
harus membaca dan mengkaji kemudia mengamalkan apa yang ada didalamnya.
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan segala macam problematika umat dan
ilmu pengetahuan, maka semakin berkembanga pula penafsiran terhadap AlQur’an
sebagai usaha untuk menjawab persoalan yang dihadapi.
Ilmu tafsir Al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud-maksud ayat-ayat Al-Qur’an telah melahirkan sejumlah karya tafsir. Dinamika
kegiatan penafsiran tersebut berkembng seirirng dengan tuntutan zaman.
Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia, turut pula
memperkaya tafsir dan metode pendekatan memahami Al-Qur’an. Dalam
perkembangan tafsir Al-Qur’an dari waktu kewaktu hingga masa sekarang dikenal
berbagai corak penafsiran, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dan
perkembangan zaman yang melingkupinya.1 Quraish Shihab dalam salah satu bukunya
mengatakan bahwa ada enam corak tafsir yang dikenal dewasa ini, yakni corak sastra
kebahasaan (balaghah), filsafat dan teologi, ilmiah, fiqih dan hukum (ahkam), tasawuf,
abadi ijtima’i.2
Dalam usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, manusia tentu tidak terlepas
dari latar belakang backgroundnya sendiri. Sehingga tidak heran masing-masing setiap
mufasir memiliki karakteristik dan kecenderungan yang berbeda satu dengan lainnya
dalam penafsiran. Hal tersebut adalah wajar sebab adanya perbedaan kondisi sosio-
politik sertaperkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.

1
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi,”, jurnal Al-
Ulum, Vol. 11, No. 1, 2011, hlm. 80.
2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm 72-73.

1
Salah satunya adalah penafsir yang terkenal di era modern-kintemporer ini,
yakni Dr. Aisyah Abdul ar-Rahman atau yang lebig dienal dengan nama penanya Bintu
Syathi’. Ia adalah seorang wanita yang berhasil mendobrak dunia penafsiran yang
selama ini didominasi kaum adam. Oleh karenanya ini merupakan suatu revolusi besar
dalam dunia penafsiran. Dimana seorang perempuan berkecimbung dalam dunia tafsir.
Dimana karya ini penting sebagai karya pengantar untuk memasuki belantara karya
tafsir modern.3
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas terksit tentang tafsir Bintu Syathi’
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an melihat pada hasil tafsirnya dalam kitab Al-
Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim.

B. Biografi Bintu Syathi’


Di wilayah sebelah barat Delta Nil, tepatnya di Dumyat, Aisyah
Abdurrahaman yang dikenal dengan nama samara Bintu Syathi’ lahir pada tanggal
6 November 1913. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat dan
tergolong konservtif. Walaupun ia memiliki pandangan dan sikap yang konservatif,
ia memiliki daya tarik unutk seorang perempuan Arab modern yang berbudaya,
yang harus diperhitungkan dan dicirikan oleh kemampuan pengungkapan diri yang
kuat dan artikulatif, yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi pengetahuan
yang meluap, sebagai seorang pakar yang hidup di era modern.4
Abdurrahman, ayah Bintu Syathi’ adalah salah seorang anggota kerukunan
sufi, di samping itu ia adalah guru di sekolah teologi di Dumyat. Dengan pandagan
yang sangat konservatif, ia berasumsi bahwa seorang anak gadis yang telah
menginjak masa remaja harus tinggal di rumah untuk belajar.
Ayah Bintu Syathi’ sebenarnya bukan penduduk asli Dumyat. Ia berasal
dari salah satu kampong kecil yang disebut Shubra, di Manufiyyah. Setelah berhasil
menyelesaikan pendidikannya pada Universitas Al-Azhar di Kairo, ia diangkat
menjadi guru SD di Dumyat. Di tempat yang terakhir disebutkan inilah ia bertemu
dan mempersunting seorang gadis, putrid Syeh Ibrahim Damhuj (Ibu Bintu
Syathi’).

3
J. J. G. Jansen, Dirkursus Tafsir Al-Qur’an Modern,terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. vii.
4
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi,”, hlm. 82.

2
Pada masa kescil, Bintu Syathi’ hampit tidak memiliki waktu untuk bermain
dengan teman-teman sebyanya. Karena ayahnya selalu mengikutsertakan di
kamarnya baik di rumah maupun di kantornya di Universitas al-Bahr untuk belajar
sampingan semacam “ngaji”, ketika itu ia sering mendengar Al-Qur’an dibaca
ayahnya dan temannya. Berkat kemampuan intelektual yang dimiliki oleh Bintu
Syathi’, ia mampu menghafal beberapa ayat Al-Qur’an, terutama surah-surah
pendek yang ia dengar Al-Qur’an berulangkali dibaca.5
Bintu Syathi’, pada tahun-tahun belakang ini telah mengukuhkan dirinya
lantara studinya mengenai sastra dan tafsir Al-Qur’an. Ia adalah guru besar sastra
dan bahasa arab pada Universitas AYN Syams, Mesir, dan kadang-kadang menjadi
guru besar tamu pada Universutas Iskam Umm Durman, Sudan, dan juga menjadi
guru besar tamu pada Universitas Qrawiyyin, Maroko. Pada tahun 60-an, ia telah
berbicara di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Bghdad, Kuwait,
Yerusalem, Rabat, Fez, Khartoum, dan lain-lain.6
Kajian-kaijiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenal
Abu Al-A’la Al-Ma’arri, Al-Khansa, dan penyair-penyair atau penulis-penulis lain
biografi ibunda Nabi Muhammad, istri-istri beliau, anak-anak perempuannya, serta
cucu dan buyut perempuannya. Monografi-monografi dan cerita-cerita pembahasan
pemahaman perempuan dalam pemahaman Islam dan karya-karya kesejarahan
mengenai hidup dan masa Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis mengenai isu-isu
mutakhir di dunia Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan
budaya masa lampau tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah,
dan tentang dimensi-dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang
melawan Imperialisme Barat dan Zionisme.7

C. Latar Belakang Intelektual Bintu Syathi’


Bintu Shathi’ memulai pendidikannya pada tahun 1981, dan ketika itu dia
berumur 5 tahun. Meskipun ia tidak menikmati masa kanak-kanaknya sebagaimana
anak-anak kecil yang lain karena sang ayah selalu mengasuhnya di dalam kamar
rumahnya, namun sejak dini ia telah dididik serta dipersiapkan untuk menjadi

5
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi,”, hlm. 83.
6
Saiful Amin Ghafur, Mozaik Musafir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta:
Kaukaba, 2013), hlm. 147.
7
Muhammad Amin, “A Study of Bint al-Syathi’ Exeges, Tesis, (Kanada: Mcgill, 1992), hlm. 6.

3
seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk senantiasa
memperdalam khazanah pemikiran Islam. Hafalan Al-Qur’an telah menjadi
hidangan setiap Harinya. Sehingga di usianya yang masih sangat balia, Bintu
Syathi’ telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an.8
Pada tahun 1920, Bintu Syathi’ menyatakan dengan terus terang hsratnya
untuk masuk sekolah formal, akan tetapi ia sangat bersedih karena keinginan
tersebut ditolak oleh ayahnya. Menurut ayahnya, tidak layak bagi putrid syekh
bersekolah di ekolah sekuler, dalam pandangan ayahnya seorang anak perempuan
seharusnya belajar di rumahnya. Karena rasa simpati Ibu Bintu Syathi’ terhadap
anaknya yang tidak mendapat restu dari ayahnya untuk melanjutkan studi, ibunya
menyampaikan hal itu kepada kakeknya, Syekh Ibrahim Damhuji. Setelah
didahului pembicaraan khusus dengan kakek Bintu Syathi’ ayahnya menyetujui
keputusan cucunya untuk belajar pada level yang lebih tinggi dengan syarat-syarat
tertentu. Setelah menamatkan pelajaran pada sekolah dasar dengan niali istimewa.
Bintu Syathi’ kembali meminta kepada kakenya agar ia berkenan mempengaruhi
anaknya (ayah Bintu Syathi’) supaya ia dapat mengizinkannya untuk melanjutkan
studi ke tingkat yang lebih tinggi, namun sangat disayangkan karena ayahnya tetap
menolak. Akan tetapi di saat pendaftaran masuk dimuali, kakeknya berusaha
memasukkannya di sekolah.
Setelah menamatkan sekolah menengah pertama selamah tiga tahun, Bint
al-Syathi’ tetap berkeinginan untuk melanjutkan studi di sekolah keguruan, tetapi
sungguh sangat disayangkan, karena belum ada sekolah menengah lanjutan atas
pada saat itu. Di samping itu ia sudah mencapai usia 13 tahun yang berarti sudah
waktunya untuk tinggal di rumah sesuai doktrin keagamaan ayahnya. Sewaktu
ayahnya mengadakan suatu perjalanan selama sepuluh hari, ibunya mendorong Bint
al-Syathi’ untuk pergi ke al-Mansyûrah untuk mengikuti test masuk sekolah guru.
Setelah pengumuman lulus ujian, Bint alSyathi’ tidak menerima surat tanda lulus
dari guru sekolah sementara semua temannya yang telah mengikuti test yang sama
telah menerima surat tanda lulus, karena itulah sehingga Bintu Syathi’ memutuskan
untuk menyurat kepada sekolah yang bersangkutan untuk menanyakan tentang
masalahnya, kemudian dia menerima surat yang sangat mengejutkan yang

Fatimah Bintu Thohari, “Aishah Abd al-Rahman bint Al-Shati’: Mufasir Wanita Zaman
8

Kontemporer”, jurnal Of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 90.

4
memberitahukannya bahwa permohonannya telah ditarik kembali oleh ayahnya.
Ketika itu ia sangat kaget dan terganggu mendengar berita tersebut, sebagai bentuk
protes atas ayahnya maka ia “mogok makan”, sehingga semua keluarga dan teman-
teman ayahnya kawatir akan kesehatannya. Selanjutnya mereka menyampaikan
kepada ayah Bintu Syathi’ mengenai situasi itu sekaligus meminta kepada ayahnya
agar mengirimkan kembali berkas permohonannya. Mendengar kabar tersebut,
ayahnya mengirim surat (yang dikirim bukanlah surat, akan tetapi blanko kosong)
ke sekolah. Akhirnya Bintu Syathi’ sangat beruntung karena mendapat persetujuan
dari atasan ayahnya, Syekh Mansur Ubayy Haykal al-Sharqaw untuk melanjut
studinya.
Bintu Syathi’ belajar pada sekolah keguruan di Tanta hanya satu tahun dan
segera setelah tamat, ia pulang kampung dan berhenti sekolah karena kakeknya
telah meninggal, dan ayahnya mengharapkannya tinggal di rumah. Musibah
tersebut membuat Bintu Syathi’ dan ibunya merasa bahwa mereka kehilangan
orang penting yang selalu mendukung dan membantunya untuk melanjutkan
studinya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memenuhi ambisinya untuk
mengejar studi lebih lanjut adalah meminjam buku yang bertalian dengan
pendidikan keguruan yang diperlukan untuk tahun yang ketiga dari temannya untuk
bersiap-siap menghadapi ujian. Setelah ia berhasil menyelesaikan studinya dari
sekolah keguruan tersebut dengan kualifikasi rangking pertama dari sejumlah
seratus tiga puluh peserta, ia menjadi seorang guru di al-Manshûrah. Di samping ia
aktif mengajar, ia menghabiskan waktunya menelaah berbagai buku sebagai
persiapan test masuk perguruan tinggi.
Setelah dua tahun berkecimpung di dunia perguruan tinggi, Bintu Syathi’
memperoleh gelar B. A dan pada tahun 1939 ia mendapatkan sarjana dalam bidang
Bahasa dan Sastra Arab dari Universitas Fuad I di Cairo. Kemudian pada tahun
1941 ia menyelesaikan program master dalam bidang studi yang sama. Akhirnya ia
dianugerahi Doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab pada tahun 1950 pada
perguruan tinggi yang sama.9

9
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi,”, hlm. 84-86..

5
D. Al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim
Kitab Al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim merupakan masterpiece Bintu
Syathi’ dalam bidang tafsir. Terdiri dari dua jilid, dengan masing-masing mencakup
tujuh surat Makkiyah pendek (yang termasuk dalam juz amma) kecuali surat al-Qalam
[68]. Di antara surat-surat yang ditafsirkan adalah al-Dhuha [93], al-Syarh [94] atau al-
Insyirah [94], al-Zalzalah [99], al-‘Adiyat [100], al-Nazi’at [79], al-Balad [90], dan al-
Takatsur [102] pada jilid pertama. Kemudian ada al-‘Alaq [96], al-Qalam [68], al-
‘Ashr [103], al-Lail [92], al-Fajr [89], al-Humazah [104], dan al-Ma’un [107] pada
posisi jilid kedua.
Nampaknya bukan tanpa alasan Bintu Syathi’ hanya menafsirkan beberapa
surat yang terpilih tersebut. Mengutip dari pandagan M. Jadul Maula 10 yang
mengatakan bahwa untuk menghindari pro-kontra dari berbagai kalangan pengkaji
Alquran terhadap metodologi tafsir sastra yang ia gunakan, maka strategi yang ia
gunakan adalah dengan membatasi ayat-ayat teologis yang tidak menimbulkan
implikasi sosial untuk ditafsirkan.
Sebelum memulai menafsirkan ayat demi ayat, terlebih dahulu Bintu Syathi’
menuliskan secara sempurna ayat-ayat dalam surat itu secara utuh tanpa menulisa
penomoran ayat. Baru kemudian menyebutkan satuan ayat yang akan diuraikan.
Kitab yang penafsirannya menggunakan mashadir bi al-ra’yi, memiliki
kecenderungan khusus menggunakan satu corak yakni sastra, dan Bint al-Syathi
menafsirkan Alquran dengan metode maudhu’i.11
Bintu Syathi’ dalam menulis tafsirnya mendasarkan pada metode yang telah
dirumuskan oleh Amin al-Khulli (w. 1966 M), rumusan metode tersebut telah
dijelaskan oleh al-Khulli dalam bukunya yang berjudul Manahij al-Tajdid fi al-Nahw
wa al-Balagha wa al-tafsir wa al-Adab. Al-Khulli menyarankan menggunakan metode
maudhu’i (tematik) dalam upaya menafsirkan Alquran dan menekankan pada
signifikansi interpretasi yang didasarkan pada kronologis teks dan menggunakan
pendekatan semantik bahasa Arab dalam menganalisis mufradat Alquran. Al-Khulli
menyuguhkan dua prinsip metodologis. Pertama, studi terhadap sesuatu yang berada di
sekitar teks Alquran (dirasat ma hawl al-nash). Kedua, studi terhadap teks Alquran itu

M. Jadul Maula, “Pengantar” dalam Aisyah Abd al-Rahman, Manusia, Sensivitas


10

Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al Arief, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hlm. V.


11
Maudhu’i disini dalam artiain berangkat dari satu ayat atau satu masalah yang akan ditafsirkan
kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang setema kemudian baru menafsirkan yang menggunakan pendekatan
sastra.

6
sendiri (dirasat ma fi al-nash). Studi pertama mengarah pada kajian ulum Alquran,
termasuk untuk menggali aspek sosio-historis saat Alquran turun. Kemudian studi yang
kedua seperti yang telah ditulis sebelumnya, bahwa menurut al-Khulli studi teks
Alquran dimulai dengan penafsiran makna mufrodat dengan menggunakan analisis
balaghah.12 Metode tersebut kemudian digunakan sebagai jalan oleh Bintu al-Syathi
dalam mencari makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut Steffan Wild (1994) yang kemudian disitir oleh M. Jadul, betapapun
Bint al-Syathi adalah murid Amin al-Khulli bahkan kemudian menjadi istrinya, namun
ia justru membawa metode tafsir (hermeneutika) Amin al-Khulli (w. 1966) ke jalur
“Neotradisionalisme, wasfiyah muhafidiyah hadisah.” Ia bertolak belakang dengan Dr.
Muhamad Ahmad Khalafallah yang menulis disertasi Al-Fann al-Qasasi fii al-Quran
al-Karim (1947) dan Dr. Nasir Hamid Abu Zaid yang menulis antara lain Naqdi al-
Khitab ad-Dini (1993), kedua orang ini termasuk orang yang memanfaatkan kotak
pandora yang dibuka secara brilian oleh Amin Khulli untuk berbasah-basah dengan
tekstualitas Nash Alquran, mengungkapkan jarak epistimologis teks dengan tafsir-
tafsirnya yang sering dimutlakkan, sejak dari era-era awal hingga sekarang, serta
meneguhi historisitas dan subjektivitas penafsiran nash. Nada kritis mereka, tentu saja
terdengar sebagai sarkasme ditelinga para ulama al-Azhar yang tak segan-segan
menghukumi mereka sebagai kafir, penghujat Islam.13
Namun demikian, Steffan Wild dalam bukunya yang kemudian dikutip oleh M.
Jadul, menetralisir penilaiannya diatas dengan mengatakan bahwa Bint al-Syathi
termasuk orang yang harus dicatat mempunyai saham yang penting dalam
perkembangan hermeneutika Alquran ini; suatu trend melihat kembali Alquran
sebagai teks sastra tinggi, dengan metode-metode yang selalu terbuka untuk
dipertanyakan, sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan kontemporer.14
Berdasar pada dua metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khulli yang telah
disebutkan sebelumnya, kemudian Bint al-Syathi mengembangkan dan menjadikan
metode dan prinsip dasar dalam mengupas makna-makna bayani dalam Alquran.
Metode dan prinsip yang dilakukan dan dipegang Bintu al-Syathi tersebut diantaranya;
pertama, berprinsip bahwa Alquran yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (sebagian ayat

12
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an, hlm. 135-136.
13
M. Jadul Maula, “Pengantar” dalam Aisyah Abd al-Rahman, Manusia, Sensivitas
Hermeneutika al-Qur’an,hlm. v-vii.
14
Ibid.,

7
Alquran menafsirkan sebagian yang lain). Kedua, metode yang oleh M. Yusron bisa
dikatakan sebagai metode munasabah, metode mengkaitkan kata atau ayat dengan kata
atau ayat yang di dekatnya, atau pun yang jauh darinya. Ketiga, prinsip bahwa al-
‘ibratu bi umumi al-lafdzi la bi hushushi al-sabab (ketentuan suatu masalah berdasar
atas bunyi umumnya teks bukan karena adanya sebab yang khusus. Keempat,
keyakinan bahwa kata-kata di dalam bahasa Arab Alquran tidak ada sinonim, satu kata
hanya mempunyai satu makna.15
Bintu al-Syathi dalam menafsirkan dengan pendekatan sastra ini terlebih dahulu
menghimpun ayat-ayat Alquran menyangkut masalah yang akan dibahas dengan
memperhatikan kemungkinan seluruh arti yang dapat dikandung oleh kata tersebut
menurut penggunaan bahasa. Selanjutnya memperhatikan bagaimana Alquran
menggunakan kata-kata tersebut dengan melihat susunan redaksi secara utuh, dengan
maksud melihat konteks kata tersebut dalam kalimat secara utuh.
Sebelum Bintu al-Syathi menjelaskan panjang lebar pendapatnya sendiri,
terlebih dahulu ia menjelaskan penafsiran dari beberapa mufasir yang telah lebih
dahulu menafsirkan ayat-ayat Alquran, misalnya pendapat Muhammad Abduh,
Fakhruddin al-Razi, juga mufasir klasik seperti al-Thabari, dengan maksud sebagai
bandingan dan juga sebagai data sejarah, bukan digunakan sebagai penguat pendapat
ataupun rujukan utama dalam penafsiran. Sebagaimana mufasir-mufasir sebelumnya,
Bintu al-Syathi juga selalu menyebutkan status surat yang akan dia tafsirkan,
maksudnya selalu menyebutkan Makkiyah atau Madaniyahnya. Selain itu dia juga
selalu menyisipkan riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul yang melatarbelakagi
turunnya surat tersebut.
Dalam menafsirkan suatu ayat Bintu al-Syathi selalu menjelaskan dari aspek
kosa kata dengan panjang lebar dan ditinjau dari berbagai sisi. Terlihat pada surat
pertama yang ia tafsirkan, al-Dhuha. Al-Dhuha diawali dengan huruf waw qasam,
menurut Bintu al-Syathi wawu qasam pada umumnya adalah gaya bahasa untuk
menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Sedangkan muqsam bih (objek
yang dijadikan sumpah) dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan
keadaan. Menurutnya qasam dalam Alquran berfungsi sebagai latifah (penarik
perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera dan realitas yang dapat

15
M. Yusron, “Mengenal Pemikiran Bint al-Syati’ tentang Al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, 2005, hlm. 218.

8
dilihat, untuk mengilustrasikan gambaran lain yang maknawi, tidak dapat dilihat dan
diindera.
Kemudian lebih lanjut Bint al-Syathi berbicara tentang muqsam bih di dalam
dua ayat surat al-Dhuha adalah gambaran bersifat fisik dan realita konkret yang setiap
hari dirasakan oleh manusia, ketika waktu dhuha matahari memancarkan cahaya
kehangatan dan keramahan, kemudian malam hari matahari menghilang dan
menyerahkan langit pada kesunyian dan kegelapan, tanpa mengganggu sistem alam.
Sama halnya dengan keadaan menyenangkan sesudah wahyu turun kemudia tiba-tiba
sunyi saat-saat kekosongan wahyu yang terputus. Begitulah kiranya penafsiran Bintu
al-Syathi terkait penggunaan qasam dalam surat al-Dhuha.
Bintu al-Syathi membatasi penggunaan hadis dan tidak terlihat sama sekali
hadirnya israiliyyat dalam penafsirannya, nampaknya Bint al-Syathi menolak
penafsiran menggunakan israiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran hanya
sedikit sekali Bintu al-Syathi menyebutkan riwayat untuk landasan penafsirannya, ia
lebih banyak mengelaborasi penafsirannya dengan argumentasi-argumentasi dari
tinjauan bahasa yang panjang lebar. Setiap mengupas ayat dari segi mufradat, ia selalu
membandingkan dengan ayat-ayat yang lain dalam penggunaan kata tersebut untuk
mencari dan membandingkan maknanya.

E. Contoh Penafsiran
Misalnya dalam menafsirkan surat al-Syarh, surah Makiyyah ini turun
sesudah Ad-Dhuha dan dirangkaikan dengan ad-Dhuha. Sebuah riwayat
mengatakan bahwa ad-Dhuha dan al-Syarh adalah satu surah karena adanya
munasabah (kaitan). Yaitu kaitan mengitung-hitung nikmat yang terdapat didalam
surah ad-Dhuha: alam yajid ka yatiman faawa dengan firman-Nya didalam surah
al-Syarh: alam nasyrah laka shadrak.
‫فان مع اليسر يسرا‬
Fainna ma’al yusri yusra
Artinya:“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Fa’ disini disamping mengandung makna tertib, mengandung pula makna
sebab-akibat, ia menetapkan apa yang akan terjadi, misalnya pelapangan dada,
peletakan beban, terpengankatan. Penetapan ini dikukuhkan dengan Inna.Kemudian

9
bertambah kuatlah ketetapan itu dengan pengulangan kalimat itu sebanyak dua kali
untuk meniadakan keraguan dan mengukuhkan kesenangan. Para ahli Balaghah
(gaya bahasa) menganggap pengulangan tersebut termasuk ithnab yang berlebihan
musawah. Dan ia memalingkan kita dari Bayan Qurani (keterangan Al-Quran)
bahwa pengulangan juga terjadi dalam surah-surah yang pendek, diantaranya surah
al-Qadr, at-Takasur, al-Kafirun dan an-Nas dimana dalam keadaan yang seperti ini
tidak ada pengulangan kalimat atau kata.
Surat Al-Syarh, surah makiyyah, turun secara langsung sesudah ad-Dhuha
yang datang pada masa kesenggangan wahyu. Maka, pengulangan didalamnya
menumbuhkan ketentraman didalam jiwa, disamping pemeliharaan Allahazza wa
jalla, serta menyenangkan dengan urusan yang akan beliau hadapi.
Kedalaman analisi sastra yang dilakukan Bint al-Syathi juga terlihat ketika
menafsirkan QS. Al-Balad [90]: 4.
‫لقد خلقنا اإلنسان في كبد‬
Kata kabad yang oleh kebanyakan mufasir hanya dimaknai dengan
kesusahan, justru Bint al-Syathi lebih jauh memahami makna tersebut dengan
caraya sendiri, myakni dengan menelusuri latar belakang keadaan kabad dari ayat-
ayat lain yang menggunakan kata tersebut. Akhirnya Bint al-Syathi menemukan
kesimpulan bahwa kabad dalam ayat gtersebut mengacu pada kualitas alamiah
manusia untuk memikul tanggung jawab pada pilihannya.

F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pemaparan di atas penulis menyimpulkan bahwa:
Tafsir Binti Syathi’ adalah tafsir yang ditulis Aisyah Abdul Ar-Rahman. Ia adalah
seorang penafsir wanita yang lahir di abad modern berasal dari Mesir. Tafsirnya
banyak dipengaruhi oleh suaminya sendiri yakni Amin Al-Khulli.
Sebagai mufassir era modern yang juga menggunakan metode penafsiran
modern dengan latar belakang keilmuan sastranya, Bintu Syathi’ merupakan salah
satu mufassir yang mengangkat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan
menonjolkan segi semantik. Metode yang digunakannya adalah dengan musabah
ayat dan tidak terlalu berkutat di dalam lingkup asbabun nuzul ayat. Beliau
berusaha seobyektik mingkun dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ghafur, Saiful Amin, Mozaik Musafir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
Yogyakarta: Kaukaba, 2013.

J, J. G. Jansen, Dirkursus Tafsir Al-Qur’an Modern,terj. Hairussalim dan Syarif


Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Maula, M Jadul, “Pengantar” dalam Aisyah Abd al-Rahman, Manusia, Sensivitas


Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al Arief, Yogyakarta: LKPSM, 1997.

Muhammad Amin, Muhammad, “A Study of Bint al-Syathi’ Exeges, Tesis,


Kanada: Mcgill, 1992.

Quraish, M. Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.

Thohari, Fatimah Bintu, “Aishah Abd al-Rahman bint Al-Shati’: Mufasir Wanita
Zaman Kontemporer”, jurnal Of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, 2016.

Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-


Syathi,”, jurnal Al-Ulum, Vol. 11, No. 1, 2011.

Yusron, M, “Mengenal Pemikiran Bint al-Syati’ tentang Al-Qur’an”, Jurnal Studi


Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai