KELAS B
ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS RADEN INTAN LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur tim penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kami semua sehingga kami, penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa pula kami kirimkan
shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah
hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima
kepada pihak-pihak yang membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan
penulisan makalah ini, khususnya kepada Bapak Dr. H. Bukhori Abdul Shomad,
S. Ag, MA., selaku dosen pembimbing mata kuliah Manhaj Mufassirin, dan juga
teman-teman seperjuangan yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua
yang membaca makalah ini terutama dosen pembimbing mata kuliah yang kami
harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Penulis
PEMBAHASAN
Aisyah memulai pendidikannya pada tahun 1918 tepat pada usia lima tahun
yaitu belajar membaca dan menulis tulisan arab, kemudian ia melanjutkan ke
tingkat sekolah dasar untuk mempelajari gramatika bahasa arab dan dasar-dasar
kepercayaan Islam. Meskipun masa kanak-kanaknya tidak seperti anak-anak
umumnya dikarenakan ayahnya selalu mengasuhnya di dalam kamar rumahnya.
Dari kecil, Bintu Syath’ telah dipersiapkan menjadi seorang ulama Islam.
Keluarganya selalu menekankan untuk menghafalkan Al-Quran setiap harinya
hingga pada umur yang masih sangat muda, Bintu Syath’ sudah mampu
merampungkan hafalannya. Pada awalnya Aisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya
untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta
kakeknya Aisyah dapat melanjutkan pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya.
Tahun 1936 M Aisyah mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad
I Kairo Mesir dan lulus tahun 1939 M dengan meraih gelar Le. Di Universitas
yang sama, Aisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M serta menyelesaikan
program doktornya tahun 1950 M.
Nama Bint syathi’ bermula dari nama pena ketika Aisyah Abdurrahman
menulis di berbagai macam surat kabar, karena takut akan kemarahan sang ayah
ketika membaca artikelartikel yang ditulis, yang sejak awal memang menentang
pendidikannya di luar rumah. Ayahnya berpandangan bahwa seorang perempuan
hingga usia harus berdiam di rumah dan menempuh studinya disana. Beliau baru
mengizinkan Bint Syathi’ keluar rumah untuk menuntut ilmu setelah ibunya
meminta kakek dan guru sang ayah memintakan izin atas hal tersebut.
Sepeninggal kakeknya, Bint Syathi‟ kehilangan pendukung utama yang akhirnya,
ayahnya meminta untuk kembali tinggal di rumah. Meskipun demikian dia
menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang dipinjam dari teman-
temannya.[1]
Kecintaan Aisyah Bintu Syathi' dalam kajian tafsir Al-Qur'an diawali sejak
pertemuannya dengan Prof. Amin Al-Khuli di sebuah Unversitas di Kairo Mesir.
Aisyah Bintu Syathi' sangat terpengaruh oleh gaya dari sang guru yang juga
menjadi suaminya.
Bint Syathi’ meninggal dunia pada hari Selasa, 1 Desember 1998 dalamusia 85
tahun, karena serangan jantung mendadak2.
Dirasah Qur'aniyah telah lama beliau geluti semenjak masa kanak-kanak, hal
itulah yang setidaknya mendorong Binti al-Syathi' untuk mencoba mengkaji lebih
dalam tentang al-Quran. Kemampuan dalam sastra Arab sudah menjadi identitas
beliau, maka tak heran jika pendekatan bahasa-lah yang ia pilih untuk pertama
kalinya guna menggali al-Quran sebagai harta karun peradaban Islam yang tak
kunjung habis untuk diekplorasi. Kelihaian Binti al-Syathi' di bidang ini terlihat
jelas dalam masterpiecenya al-Ijaz al-Bayâni.
Karya Bint Syathi‟ sangat banyak, seluruh karya yang dilahirkannya menjadi
saksi kehebatannya. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah,
Fiqh, Tafsir, Adab, dan lainya telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Di
antaranya: Maqal fi al-Insan (Dirasah Qur‟aniyyah), Al-Quran wa al-Tafsir al-
„Aṣri, Al-Quran wa Qaḍaya al-Insan (Dirasah Qur‟aniyyah), al-I„jaz al-Bayani
wa Masa‟il Ibn al-Azraq dan al-Tafsir al-Bayani li Al-Quran alKarim, yang
banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer. Selain itu, karya-karya
yang telah dipublikasikan meliputi studi mengenai Abu al-„Ala‟ al Ma‟arri, al-
Khansa‟, serta biografi keluarga Nabi Muhammad SAW dan masih banyak lagi
karya-karya yang dilahirkannya dalam berbagai macam bidang.
3
Ridho Al-fansuri, Muhammad dkk, "Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim Karya’Aisya Abd al-
Rahman Binti al-Syathi’". Makalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, November 26 2016: halaman
4.
Diantara karya karyanya yang berbentuk non fiksi adalah: al-Ghufran li Abi
al-‘Ala’ alMa’arri, Qira’ah Jadidah fi Risalat al-Ghufran, Lughatuna wa al Hayah,
al-I’jaz al-Bayani li AlQuran wa Masa’il Ibn al-Azraq Dirasah Qur‟aniyyah
Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Tarajim Bayt al-Nubuwwah Raḍiya Allah
„anhunna. Sedangkan karya karyanya yang berbentuk fiksi antara lain: Fi al-
Imtiḥan, Sirr Syathi‟, Birrul Bik Bainal Fann wal Hayyah, ‘Asyiqat al-Layl, dan
‘Arus al-Badiyyah. Adapun Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim merupakan
magnum opus Bint Syathi’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak pada
tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969 M.
Meskipun karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas surat
pendek, namun publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini. Bahkan,
konon mereka mengharapkan ia bisa melanjutkan karya tafsirnya hingga
mencakup seluruh ayat Al-Quran, walaupun hal ini tidak sempat terealisasikan
sampai ajal menjemputnya.
Karya terakhir beliau yang terbit berjudul Ali bin Abi Thalib karrama Allahu
Wajhah, pada 26 Februari 1998. Beliau meninggal pada umur 85 tahun karena
terkena serangan jantung mendadak pada hari Selasa tanggal 1 Desember 1998.
Bintu Syathi‟ meninggal dunia tapi namanya akan selalu diingat karena telah
bayak memberikan sumbangsihnya dalam kemajuan ilmu-ilmu islam pada bidang
tafsir dan mengupayakan agar terus berkembang kedepannya.
5
Siful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h.
188.
beliau juga mulai melangkah dan menggunakan tawaran hermeneutik sebagai
salah satu media penafsirannya.
Corak yang digunakan dalam tafsir ini yakni corak adabi. Ā’ishaBinti al-
Shāthi dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan metode analisa bahasa &
munasabah antar ayat dan surat. Ā’ishaBinti al-Shāthi menafsirkan dengan corak
adaby atau yang belakangan popular dengan istilah bayani. Istilah bayani ini tidak
menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa selama ini pemahaman
kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam Tafsir cenderung
mengadopsi pendapat sebelumnya. Padahal ini merupakan area yang sangat
potensial dalam upaya memahami al-Qur‟an secara integral, sistemik dan relevan
dengan kondisi citarasa keArab-an6.[2]
Selain karakteristik diatas, Tafsir ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ tidak luput dari empat
prinsip penafsiran yakni:
6
Ushuluddin.blogspot.com, "Metodologi Penulisan Tafsir Bintu Syathi, Corak, Mazhab, dan Aliran
Kalam". Di akses pada 8 Maret 2023 pukul 21:50 WIB.
a. menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, yang berpegang pada prinsip al-
Qurân yufassiru ba’duhu ba’dl, bahwa ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan
sebagian lainnya.
b. Prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
c. Ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan dengan asbâb al-Nuzûl (al-
ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab), kecuali untuk lafadz yang
menunjukkan khusus.
d. Prinsip bahwa kata-kata dalam al-Quran tidak ada sinonim.
G. Contoh Penafsiran
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas surat
yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya mengandung
gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-
Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan satu surah yang menggunakan
qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint
Syathi perlu di apresiasi.
7
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani, hlm. 246
8
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua tempat
merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara langsung, akan
tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik pada hari
kiamat, yakni pada QS al-An’am:23 dan 30. Sedangkan empat tempat lainnya
ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأpada QS
al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فالpada QS al-Nisa: 65, atau ايpada QS
Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan
atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam 9. Kedua, wawu
qasam yang berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah,
seperti al-Dhuha, al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-
Sama’, al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.
9
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100
10
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25
Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan
perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu fenomena
alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau
mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu yang
maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi
bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih. Sehingga penafsiran atas al-Dhuha
(dan al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran
bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika
cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan
hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat
menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya
kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan
adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan,
cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus.
Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya
gemerlapan”11. Penafsiran seperti itulah menurut Bint Syathi penafsiran sesuai
dengan metode adabi atau kesusastraan yang ia ikuti dan kembangkan.
Uslub yang digunakan Bint al-Syati’ dalam tafsir ini sangat bagus, jelas dan
mudah dipahami. Penjabarannya sering kali diperkuat dengan hadis-hadis nabawi
dan mendiskusikannya dalam ayat-ayat yang ia tafsirkan dengan mencari
keterkaitan-keterkaitan untuk menemukan orientasi dan pemahaman dari suatu
surat ataupun ayat yang dikajinya. Begitu juga dengan pendapat-pendapat ulama
terdahulu, Bint al-Syati’ selalu merujuk dan memperkenalkan penafsiran dan
pemahaman ulama pakar bahasa dan agama seperti al-Thabari , al-Nisaburi, al-
Razi, al-Suyuti, al-Zamakhsari, ibn al-Qayyim,al-Hasan al-Bishri dan Muhammad
‘Abduh serta yang lainnya, untuk kemudian ia putuskan pendapatnya sendiri.
11
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26
Namun bagaimanapun, tafsir-tafsir yang bercorak bayani belum
mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an
yang fundamental. Karena seorang mufassir kadang terjebak dengan
keterkungkungan kesusasteraan dengan tidak menguak nilai-nilai yang lain.
Kelemahan