Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AT-TAFSIR AL-BAYAN LI AL-ALQURAN AL-KARIM


Karya Aisyah Abdurrahman

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manhaj Mufassirin


Dosen Pengampu: Dr. H. Bukhori Abdul Shomad, S. Ag, MA.

Disusun Oleh Kelompok 12 :


Hijrah Zahrani Putri 2131030007
Putri Wahyuni 2131030019

KELAS B
ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS RADEN INTAN LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur tim penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kami semua sehingga kami, penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa pula kami kirimkan
shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah
hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima
kepada pihak-pihak yang membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan
penulisan makalah ini, khususnya kepada Bapak Dr. H. Bukhori Abdul Shomad,
S. Ag, MA., selaku dosen pembimbing mata kuliah Manhaj Mufassirin, dan juga
teman-teman seperjuangan yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua
yang membaca makalah ini terutama dosen pembimbing mata kuliah yang kami
harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Bandar Lampung, 8 Maret 2023

Penulis
PEMBAHASAN

A. Biografi ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’


Aisyah Bintu Syathi' atau yang lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi'
memiliki nama asli yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi", lahir di Dumyath
sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M bertepatan pada tanggal 6
Dzulhijjah 1331 H, dari pasangan Shaykh Muhammad Ali Abd al-Rahman dan
Faridah Abd alSalam Muntasir. Aisyah Bintu Syathi' lahir di tengah-tengah
keluarga muslim yang saleh, Abdurrahman ayahnya adalah seorang guru teologi
di daerahnya. Syaikh Ibrahim Al-Damhuji Al-Jabir, kakek beliau merupakan salah
satu ulama besar di Al-Azhar.

Aisyah memulai pendidikannya pada tahun 1918 tepat pada usia lima tahun
yaitu belajar membaca dan menulis tulisan arab, kemudian ia melanjutkan ke
tingkat sekolah dasar untuk mempelajari gramatika bahasa arab dan dasar-dasar
kepercayaan Islam. Meskipun masa kanak-kanaknya tidak seperti anak-anak
umumnya dikarenakan ayahnya selalu mengasuhnya di dalam kamar rumahnya.
Dari kecil, Bintu Syath’ telah dipersiapkan menjadi seorang ulama Islam.
Keluarganya selalu menekankan untuk menghafalkan Al-Quran setiap harinya
hingga pada umur yang masih sangat muda, Bintu Syath’ sudah mampu
merampungkan hafalannya. Pada awalnya Aisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya
untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta
kakeknya Aisyah dapat melanjutkan pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya.
Tahun 1936 M Aisyah mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad
I Kairo Mesir dan lulus tahun 1939 M dengan meraih gelar Le. Di Universitas
yang sama, Aisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M serta menyelesaikan
program doktornya tahun 1950 M.

Setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia


pendidikan, ia menjadi guru besar bahasa serta sastra arab di Universitas "Ain Al-
Syams Mesir, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyin. Selain dalam
bidang sastra arab, Aisyah juga mempunyai bakat dalam dunia jurnalistik terlihat
dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa'iyyah pada 1933,
dimana ia bertindak sebagai redakturnya. Bint Syathi’ memulai karirnya menjadi
Penulis di sebuah lembaga di Giza. Ia banyak melayangkan tulisan di berbagai
media massa terkenal di Mesir. Dari sinilah nama Bint Syathi’ mulai memuncak 1.
Karir kepenulisannya berkembang terus berkembang. Kesibukannya dalam meulis
tidak meghambat proses studinya.

Nama Bint syathi’ bermula dari nama pena ketika Aisyah Abdurrahman
menulis di berbagai macam surat kabar, karena takut akan kemarahan sang ayah
ketika membaca artikelartikel yang ditulis, yang sejak awal memang menentang
pendidikannya di luar rumah. Ayahnya berpandangan bahwa seorang perempuan
hingga usia harus berdiam di rumah dan menempuh studinya disana. Beliau baru
mengizinkan Bint Syathi’ keluar rumah untuk menuntut ilmu setelah ibunya
meminta kakek dan guru sang ayah memintakan izin atas hal tersebut.
Sepeninggal kakeknya, Bint Syathi‟ kehilangan pendukung utama yang akhirnya,
ayahnya meminta untuk kembali tinggal di rumah. Meskipun demikian dia
menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang dipinjam dari teman-
temannya.[1]

Kecintaan Aisyah Bintu Syathi' dalam kajian tafsir Al-Qur'an diawali sejak
pertemuannya dengan Prof. Amin Al-Khuli di sebuah Unversitas di Kairo Mesir.
Aisyah Bintu Syathi' sangat terpengaruh oleh gaya dari sang guru yang juga
menjadi suaminya.

Bint Syathi’ meninggal dunia pada hari Selasa, 1 Desember 1998 dalamusia 85
tahun, karena serangan jantung mendadak2.

B. Latar Belakang Penafsiran Aisyah Bint al-Syathi’

Binti al-Syathi' dilahirkan dan dibesarkan ketika kondisi lingkungan sama


sekali tidak mendukung terhadap aktivitas perempuan, apalagi sampai dikenal
1
Biografi Bint Syathi‟ seleruhnya Penulis ambil dari Fatimah Bintu Thohari, “Aishah „Abd al
Rahman bint al Shati‟: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal of Islamic
Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016), hlm. 90-91
2
Nasaiy Aziz, “ Metode Penafsiran Al-Quran Versi Bint Syathi‟ “, Al Mu’ashirah, (Vol.10, No.1,
Januari 2013), hlm. 37
masyarakat luas. Terlebih sang ayah adalah seorang ulama tradisional yang sangat
berpegang teguh terhadap tradisi keluarga ketika itu, sehingga sepak terjang Binti
al-Syathi' tidak sepenuhnya bebas.

Dirasah Qur'aniyah telah lama beliau geluti semenjak masa kanak-kanak, hal
itulah yang setidaknya mendorong Binti al-Syathi' untuk mencoba mengkaji lebih
dalam tentang al-Quran. Kemampuan dalam sastra Arab sudah menjadi identitas
beliau, maka tak heran jika pendekatan bahasa-lah yang ia pilih untuk pertama
kalinya guna menggali al-Quran sebagai harta karun peradaban Islam yang tak
kunjung habis untuk diekplorasi. Kelihaian Binti al-Syathi' di bidang ini terlihat
jelas dalam masterpiecenya al-Ijaz al-Bayâni.

Penghargaan terhadap dedikasi wanita kenamaan ini, dalam bidang Tafsir


khususnya, tidak hanya didapatkan dari Mesir saja, namun hampir seluruh
kawasan Timur Tengah mengakui ke- intelektual-an beliau. Terbukti dari
beberapa karyanya yang mulai membahana serta turut meramaikan beberapa
kajian tafsir3.

C. Karya-karya dari Aisyah Bint al-Sythi’

Karya Bint Syathi‟ sangat banyak, seluruh karya yang dilahirkannya menjadi
saksi kehebatannya. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah,
Fiqh, Tafsir, Adab, dan lainya telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Di
antaranya: Maqal fi al-Insan (Dirasah Qur‟aniyyah), Al-Quran wa al-Tafsir al-
„Aṣri, Al-Quran wa Qaḍaya al-Insan (Dirasah Qur‟aniyyah), al-I„jaz al-Bayani
wa Masa‟il Ibn al-Azraq dan al-Tafsir al-Bayani li Al-Quran alKarim, yang
banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer. Selain itu, karya-karya
yang telah dipublikasikan meliputi studi mengenai Abu al-„Ala‟ al Ma‟arri, al-
Khansa‟, serta biografi keluarga Nabi Muhammad SAW dan masih banyak lagi
karya-karya yang dilahirkannya dalam berbagai macam bidang.

3
Ridho Al-fansuri, Muhammad dkk, "Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim Karya’Aisya Abd al-
Rahman Binti al-Syathi’". Makalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, November 26 2016: halaman
4.
Diantara karya karyanya yang berbentuk non fiksi adalah: al-Ghufran li Abi
al-‘Ala’ alMa’arri, Qira’ah Jadidah fi Risalat al-Ghufran, Lughatuna wa al Hayah,
al-I’jaz al-Bayani li AlQuran wa Masa’il Ibn al-Azraq Dirasah Qur‟aniyyah
Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Tarajim Bayt al-Nubuwwah Raḍiya Allah
„anhunna. Sedangkan karya karyanya yang berbentuk fiksi antara lain: Fi al-
Imtiḥan, Sirr Syathi‟, Birrul Bik Bainal Fann wal Hayyah, ‘Asyiqat al-Layl, dan
‘Arus al-Badiyyah. Adapun Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim merupakan
magnum opus Bint Syathi’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak pada
tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969 M.
Meskipun karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas surat
pendek, namun publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini. Bahkan,
konon mereka mengharapkan ia bisa melanjutkan karya tafsirnya hingga
mencakup seluruh ayat Al-Quran, walaupun hal ini tidak sempat terealisasikan
sampai ajal menjemputnya.

Karya terakhir beliau yang terbit berjudul Ali bin Abi Thalib karrama Allahu
Wajhah, pada 26 Februari 1998. Beliau meninggal pada umur 85 tahun karena
terkena serangan jantung mendadak pada hari Selasa tanggal 1 Desember 1998.
Bintu Syathi‟ meninggal dunia tapi namanya akan selalu diingat karena telah
bayak memberikan sumbangsihnya dalam kemajuan ilmu-ilmu islam pada bidang
tafsir dan mengupayakan agar terus berkembang kedepannya.

D. Sumber dan Matode Penafsiran

Metode tafsir yang digunakan ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ merupakan metode


untuk memahami al-Quran secara objektif. Menurutnya, metode ini diambil dan
dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran Amin al-Khulli (1895-
1966) yang terdiri dari empat langkah:

1. Metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Quran


secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan semua surat dan ayat
mengenai topik yang akan dipelajari4.
4
‘Ā’isya Abdurahman Binti al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1977), h. 10.
2. Surat dan ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologi
pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempatnya (asbâb al-
nuzȗl) dapat diketahui. Namun asbâb al-nuzȗl di sini tidak dipandang sebagai
penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai keterangan kontekstual yang
berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus diperhatikan di sini adalah
generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan peristiwa pewahyuannya
(al-’ibrah bi ‘umūm al-lafdz lâ bikhusūs al-sabab). Oleh karena itu, tidak ada
alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan dikacaukan oleh
perdebatan ulama tentang asbâb al-nuzūl. Pentingnya pewahyuan terletak pada
generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa
pewahyuannya5.

3. Untuk memahami petunjuk lafadz, karena al-Qurân menggunakan bahasa Arab,


maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa
kebahasaan bagi lafadz-lafadz yang digunakan secara berbeda, kemudian
disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafadz yang ada di
dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat
al-Quran secara keseluruhan, maka diperlukan pemahaman yang mendalam
tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli. Di sinilah digunakan
“analisa bahasa” (semantik).

4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus


berpegang pada makna nash (maqâshid asy-syarî’) dan semangatnya, kemudian
dikonfrontasikan dengan pendapat para ulama.

Objektivitas merupakan sebuah mimpi yang selalu didambakan Binti al-


Syāthi’ dalam upayanya membedah Kalam Tuhan. Sikap yang diambilnyapun
terkadang elastis, terlebih ketika beliau menilai bahwa al-Qurân tidak dapat
ditafsirkan dengan hanya mengandalkan satu metode saja (induktif). Untuk itu,
Binti al-Syāthi’ selain menggunakan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran,

5
Siful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h.
188.
beliau juga mulai melangkah dan menggunakan tawaran hermeneutik sebagai
salah satu media penafsirannya.

Menurutnya, metode ta'wil memang dibutuhkan, terutama dalam rangka


menghubungkan teks itu sendiri dengan konteks (siyâq al-kalâm). Yang
selanjutnya berkembang menjadi sebuah metode baru objective comprehension
(al-tanawul al-maudlu'i). Yaitu mengumpulkan seluruh ayat al-Qur'an yang
mempunyai keterikatan tertentu dengan sebuah tema pembahasan, maka dengan
sendirinya ayat-ayat tersebut akan berbicara tentang apa dan bagaimana, serta
sebab utama ayat tersebut diturunkan. Jelas jauh berbeda dengan metode maudlu'i
yang hanya membahas per-surat saja. Keuntungan yang didapatkan dari metode
baru ala Binti al-Syāthi’ ini yaitu dapat memberikan penjelasan retorika
pembahasan sesuai dengan tema al-Quran, sehingga dari sini lafadz al-Quran
dapat dimengerti sebagai lafadz yang multimakna. Artinya, sebuah lafadz tidak
dapat digunakan untuk menafsirkan ayat lain dengan arti yang sama.

Dengan metode ini, ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ sengaja mematok aturan-aturan


yang ketat, agar al-Qur’an benar-benar berbicara tentang dirinya sendiri tanpa
campur tangan mufassir, dan dipahami secara langsung sebagaimana oleh para
sahabat. Karena itu rujukan-rujukan seperti yang terkait dengan asbâb al-nuzȗl
hanya dipahami sebagai data sejarah, sehingga apa yang dimaksud Tuhan dalam
suatu pewahyuan benar-benar pesan yang melampaui peristiwa tertentu. Karena
itu pula, pandangan-pandangan para mufassir sebelumnya, terutama al-Thabâri
(w. 923), al-Zamakhsyâri (w. 1143), Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 1210), Isfahâni,
Nizhâm al-Dîn al-Naisabȗri, Abu Hayyân al-Andalȗsîy (w. 1344), Ibn Qayyim al-
Jauziyyah, al-Suyȗthi dan Muẖammad Abduh (w. 1905) yang sering dikutip
‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam tafsirnya, bukan dijadikan rujukan melainkan justru
sering menunjukkan kekeliruannya dan alasannya yang terlalu dibuat-buat, karena
tidak sesuai dengan maksud al-Quran sebagaimana yang dipahami lewat metode
yang dikembangkan.
E. Corak Penafsiran

Corak yang digunakan dalam tafsir ini yakni corak adabi. Ā’ishaBinti al-
Shāthi dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan metode analisa bahasa &
munasabah antar ayat dan surat. Ā’ishaBinti al-Shāthi menafsirkan dengan corak
adaby atau yang belakangan popular dengan istilah bayani. Istilah bayani ini tidak
menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa selama ini pemahaman
kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam Tafsir cenderung
mengadopsi pendapat sebelumnya. Padahal ini merupakan area yang sangat
potensial dalam upaya memahami al-Qur‟an secara integral, sistemik dan relevan
dengan kondisi citarasa keArab-an6.[2]

F. Karakteristik Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim

Diantara karakteristik Tafsir ‘Ā’isyah Binti al-Syāthi’ ialah:

1 Mengungkap makna-makna dibalik sinonim kata.


2 Menemukan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar bermakna sama
karena tiap kata mempunyai sebuah makna dan cita-rasa tersendiri,
sebagaimana contoh :

‫ =خلق‬menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi, semisal bumi seisinya.

‫ = جعل‬menciptakan sesuatu yang langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan


semisal air.

‫خر‬bb‫ = س‬menciptakan sesuatu sebagai bahan mentah yang masih memerlukan


pengolahan semisal bahan tambang dan kekayaan bumi lainnya.

3 Mengungkap kemukjizatan jumlah pengulangan kata dalam al-Quran.


4 Mengungkap munasabah antara ayat dan surat dan mengaitkannya satu
sama lain terutama dari sudut pandang kebahasaan.

Selain karakteristik diatas, Tafsir ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ tidak luput dari empat
prinsip penafsiran yakni:

6
Ushuluddin.blogspot.com, "Metodologi Penulisan Tafsir Bintu Syathi, Corak, Mazhab, dan Aliran
Kalam". Di akses pada 8 Maret 2023 pukul 21:50 WIB.
a. menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, yang berpegang pada prinsip al-
Qurân yufassiru ba’duhu ba’dl, bahwa ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan
sebagian lainnya.
b. Prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
c. Ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan dengan asbâb al-Nuzûl (al-
ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab), kecuali untuk lafadz yang
menunjukkan khusus.
d. Prinsip bahwa kata-kata dalam al-Quran tidak ada sinonim.

G. Contoh Penafsiran

Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas surat
yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya mengandung
gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-
Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan satu surah yang menggunakan
qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint
Syathi perlu di apresiasi.

Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara eksplisit. Dia


sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau menyimpan
definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya
mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk penetapan (li al-iqrar’) 7.
Namun Bint Syathi membedakan antara qasam dengan khalaf. Qasam
menurutnya adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan
dilanggar oleh pengucapnya. Sedangkan al-khalf digunakan khusus pelanggaran
atau ingkar terhadap sumpah8.

Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka ragam bentuknya, begitu pula


dengan huruf qasam itu sendiri. Namun penulis membatasi kepada huruf qasam
berupa wawu (‫)و‬. Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu
mempunyai dua kategori. Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb.

7
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani, hlm. 246
8
Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua tempat
merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara langsung, akan
tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik pada hari
kiamat, yakni pada QS al-An’am:23 dan 30. Sedangkan empat tempat lainnya
ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh ‫ الفأ‬pada QS
al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau ‫ فال‬pada QS al-Nisa: 65, atau ‫ اي‬pada QS
Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan
atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam 9. Kedua, wawu
qasam yang berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah,
seperti al-Dhuha, al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-
Sama’, al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.

Dengan pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa ada


tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para mufassir terdahulu,
menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam, seperti penafsiran pada
Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam bih. Mereka
berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak memandang tingakt
kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat10. Atau Mereka hanya
menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya waktu tersebut.

Dengan demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan


huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam bih dengan hikmah
diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya hikmah penciptaan
semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan Allah yang tidak
mempunyai hikmah. Itu semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan,
dalam artian memaksakan hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal
tersebut menjadi muqsam bih dengan huruf wawu.

Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan adanya


makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti pemakaian
amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti perintah maupun larangan.

9
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100
10
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25
Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan
perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu fenomena
alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau
mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu yang
maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi
bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih. Sehingga penafsiran atas al-Dhuha
(dan al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran
bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika
cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan
hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat
menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya
kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan
adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan,
cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus.
Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya
gemerlapan”11. Penafsiran seperti itulah menurut Bint Syathi penafsiran sesuai
dengan metode adabi atau kesusastraan yang ia ikuti dan kembangkan.

H. Keistimewaan dan Kelemahan


 Keistimewaan

Uslub yang digunakan Bint al-Syati’ dalam tafsir ini sangat bagus, jelas dan
mudah dipahami. Penjabarannya sering kali diperkuat dengan hadis-hadis nabawi
dan mendiskusikannya dalam ayat-ayat yang ia tafsirkan dengan mencari
keterkaitan-keterkaitan untuk menemukan orientasi dan pemahaman dari suatu
surat ataupun ayat yang dikajinya. Begitu juga dengan pendapat-pendapat ulama
terdahulu, Bint al-Syati’ selalu merujuk dan memperkenalkan penafsiran dan
pemahaman ulama pakar bahasa dan agama seperti al-Thabari , al-Nisaburi, al-
Razi, al-Suyuti, al-Zamakhsari, ibn al-Qayyim,al-Hasan al-Bishri dan Muhammad
‘Abduh serta yang lainnya, untuk kemudian ia putuskan pendapatnya sendiri.

11
Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26
Namun bagaimanapun, tafsir-tafsir yang bercorak bayani belum
mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an
yang fundamental. Karena seorang mufassir kadang terjebak dengan
keterkungkungan kesusasteraan dengan tidak menguak nilai-nilai yang lain.

 Kelemahan

Ketika kita berbicara kelemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Bayan


khususnya pada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji
lewat pemahaman Bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal
kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak
dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring
masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu
yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.

Bint al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan,


yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik.
Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia
mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan,
kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Hal ini tampak pada
penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata
al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif,
melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang
dilontarkan. Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten
dengan metode yang dikemukakannya.
PENUTUP

Bintu Syati ’ merupakan nama pena dari Aisyah ‘Abdurrahman. Ia terlahir


dari keluarga yang konservatif, begitu pula lingkungan masyarakatnya. Namun,
tidak memudarkan semangatnya untuk belajar dan berkarya.

Dalam metode penulisannya, Bintu Syathi‟ mengakui sendiri bahwa


metode yang digunakan dalam tafsirnya menganut pada metode yang ditawarkan
oleh suaminya sendiri, Amin Al-Khulli. Metode tersebut adalah metode tematik
(maudhu’i) yang mana dalam menafsirkan AlQur‟an hanya fokus pada satu tema
tertentu dan penekanan dalam mengungkap suatu maknanya harus berdasar pada
kronologis teks serta penggunaan ilmu bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA

[1] D. T. H. Sya’dyya, “Studi Terhadap Metodologi Kitab Tafsir Al Tafsir Al


Bayani Lil Quran Al Karim Karya Aisyah Bint Syathi’,” Al-Wajid, vol. 1,
no. 2, pp. 144–157, 2020.

[2] W. Ramadhani, “Bintu Syati’ Dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-‘Asr


Dalam Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’Anil Karim,” J. At-Tibyan J.
Ilmu Alquran dan Tafsir, vol. 3, no. 2, p. 265, 2018, doi:
10.32505/tibyan.v3i2.717.

Makalah Tafsir Bayani Selasa, 29 November 2016. at-Tafsir al-Bayani li


al-Qur'an al-Karim, Aisyah Abdurrahman Bint Syathi'
http://ayisyahfitri18.blogspot.com/

Ushuluddin.blogspot.com, "Metodologi Penulisan Tafsir Bintu Syathi,


Corak, Mazhab, dan Aliran Kalam". 8 Maret 2023 pukul 21:50 WIB.

Anda mungkin juga menyukai