Anda di halaman 1dari 12

PEMBATASAN MASA JABATAN

PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Bagir Manan

1. Pendahuluan
Menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu (2019),
ada pelajaran konstitusional yang baik dari Jusuf Kalla dan Mahkamah
Konstitusi.
Jusuf Kalla pernah menjabat dua kali tetapi tidak berturut turut
sebagai Wakil Presiden. Menjelang pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang lalu cukup banyak suara yang mendorong agar Jusuf
Kalla menjadi Wakil Presiden lagi (untuk ketiga kalinya).
UUD 1945, Pasal 7 (Perubahan I, 1999) berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,
hanya utuk satu kali masa jabatan” (gr. bawah: Pen).
Ketentuan ini diberi makna “hanya boleh menjabat dalam jabatan
yang sama dua kali”. Tidak ada kejelasan: “apakah larangan dua kali
tersebut kalau berturut-turut atau termasuk tidak berturut-turut”.
Jusuf Kalla menyampaiakn permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi, untuk mendapat kepastian konstitusional makna “dua kali”:
“apakah hanya kalau berturut-turut” atau termasuk “tidak berturut-
turut?”
Mahkamah Konstitusi memutus: “pengertian atau makna dua kali”:
“baik dalam arti berturut-turut maupun tidak berturut-turut”.
Berdasarkan pelajaran konstitusional tersebut, merupakan satu
kepastian konstitusional: “Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya
dapat menjabat dua kali dalam jabatan yang sama baik berturut-turut
maupun tidak berturut-turut.
Perlu ditambahkan, pelajaran konstitusional itu, didapat dari
putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya mengikat (binding),
tetapi sebagai “precedent”.
Dengan demikian sepanjang ada keinginan untuk membangun
budaya taat konstitusi atau taat hukum pada umumnya, berbagai
selentingan agar Presiden diperbolehkan menjabat masa jabatan ketiga
(tiga kali) adalah bertentangan secara nyata dengan UUD 1945.
Pada tahun 1966, dalam salah satu kunjungan Hatta ke Bandung,
ada pertemuan terbatas disuatu rumah keluarga. Selain orang-orang
yang sudah dewasa, ada juga beberapa mahasiswa yang diikutkan
mendengar yang disampaikan Bung Hatta. Salah seorang mahasiswa
bertanya kepada Bung Hatta: “Mengapa UUD 1945 tidak memuat
ketentuan tentang batas masa jabatan Presiden (periode jabatan)
Presiden dan Wakil Presiden?” Bung Hatta menjawab: “Jabatan Presiden
itu berat. Tidak terpikirkan akan ada orang yang akan terus menerus
menjadi Presiden” (mohon maaf kalau kutipan ini tidak tepat benar,
tetapi esensinya benar). Mungkin premis ini pula yang ada penyusun
UUD Amerika Serikat (1787) (sebelum Amandemen Ke-XXII, 1951), tidak
mencantumkan periode maksimum jabatan Presiden dan Wakil
Presiden. Namun, persamaan itu, menunjukkan praktek yang berbeda.
Di Amerika Serikat, mulai dari Presiden pertama sampai pada Presiden
Hoever (± 140 tahun), praktek yang berkembang, Presiden tidak pernah
menjabat lebih dari dua kali masa jabatan. Di Indonesia, seorang
Presiden dipilih (oleh MPRS/MPR), sampai tujuh kali berturut-turut.
Kalau tidak dipaksa mengundurkan diri, mungkin Presiden yang sama
akan dipilih lagi pada periode-periode berikutnya (seumur hidup).
Persoalan konstitusional tidak sekedar dipilih terus-menerus tanpa
batas, melainkan kekuasaan yang menetap pada satu orang tanpa
penggantian itu, membenarkan yang ditulis Montesquieu.
“…constand experience shows us that every man invested with
power is apt to abuse it, and to carry his authority as far as it will
go”.
(Montesquieu, The Spirit of The Laws, hlm. 150)
(… pengalaman senantiasa menunjukkan kepada kita, setiap orang
yang dilekati kekuasaan, selalu cenderung menyalahgunakan
kekuasaan itu, dan menjalankan kekuasaanya kemana-mana saja).
Bagaimana cara mencegah hal semacam itu?

2
“To prevent this abuse, it is necessary from the very nature of things
that power should be a check to power” (ibid, supra).
(Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut, sangatlah
perlu dari segala hak, kekuasaan harus dikontrol oleh kekuasaan
juga).
Salah satu bentuk kontrol atau kendali adalah pembatasan masa
menjabat suatu jabatan.

Pada saat ini “berdengung” suara berharap Presiden menjabat tiga


kali masa jabatan. Suka atau tidak suka, harapan ini ditujukan kepada
Presiden Joko Widodo yang sedang menjalankan masa jabatan kedua.
Presiden Joko Widodo sudah menyatakan tidak tertarik terhadap hal itu.
Tetapi ada yang mengajarkan, politik itu adalah “permanent interest”.
Tentu saja keberhasilan politik ditentukan juga oleh keberhasilan
“political mobilization” – mobilisasi politik. Suatu mobilisasi politik akan
ditentukan oleh budaya politik (political culture) dan tanggung jawab
intelektual – apakah akan sekedar sebagai “the dumy of politics” atau
sebagai “the guardian of politics”. Dapatkah kita meresepsi menjadi
aspirasi sikap Presiden George Washington. Peran yang begitu besar
dalam mempertahankan kemerdekaan (melawan Inggris) dan sangat
dihormati, tetapi Presiden George Washington menyatakan tidak
bersedia dicalonkan sebagai Presiden untuk periode ketiga (cukup dua
kali). Kaisar Meiji menerapkan UUD (dikenal sebagai “UUD Meiji, 1889)
yang berisi ketentuan-ketentuan yang membatasi kekuasaannya dan
menjamin hak-hak warga negara (seperti hak atas kebebasan berbicara,
memutus, menyebarkan tulisan, rapat dan berkumpul, beragama dan
lain-lain). Raja INggris (King John) yang maha kuasa, menandatangani
“Magna Carta” (1215) yang membatasi kekuasaannya.

2. Ketentuan-ketentuan konstitusional masa jabatan Presiden dan


Wakil Presiden di beberapa negara
Sebelum perubahan, UUD 1945, Pasal 7 menyebutkan:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”

3
Ketentuan di atas tidak mengubah batas waktu dapat dipilih
kembali.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ketentuan tersebut
ditafsirkan “tidak ada batas Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
dipilih kembali”. Presiden Soeharto dipilih 7 (tujuh) kali masa jabatan
berturut-tutrut.
Praktek ini hanya berlaku terhadap Presiden Soeharto, tidak pada
Wakil Presiden. Semua Wakil Presiden di masa pemerintahan Soeharto
hanya dipilih untuk satu kali masa jabatan.
Meskipun UUD 1945 tidak mencantumkan pembatasan periode
jabatan, reformasi memandang, Presiden Soeharto berulang-ulang tanpa
batas bertentangan dengan dasar-dasar konstitusional UUD 1945.
Perubahan UUD 1945, Pasal 7 dimaksudkan untuk mencegah terulangnya
praktek masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dipilih 7 (tujuh) kali
berturut-turut.
Sebelum perubahan, UUD 1945, Pasal 7 serupa dengan UUD
Amerika Serikat Pasal II, Sec. I:
“The executive power shall be vested in a President of the United
States. He shall hold his office during the Term of four years, and
together with the Vice President chosen for the same Term, be
elected as follows:”
(Kekuasaan eksekutif ada pada Presiden Amerika Serikat. Dia
akan memangku jabatan selama empat tahun, dan bersama Wakil
Presiden dipilih untuk masa jabatan yang sama, sebagai berikut”).
Ketentuan di atas hanya menyebut masa jabatan empat tahun
dan tidak ada ketentuan mengenai dipilih kembali untuk masa jabatan
berikutnya. Tetapi praktek ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan),
dari Presiden Geooge Washington (Presiden pertama) sampai Presiden
Herbert Hoever (sebelum Presiden Franklin D. Roosevelt), Presiden
hanya dipilih (menjabat) dua kali berturut-turut. Praktek ketatanegaraan
ini dimulai Presiden George Washington yang tidak bersedia dipilih lagi
untuk masa jabatan ketiga. Sebagai alasan, Presiden Washington
menyatakan, kita memilih bentuk Republik. Masa jabatan harus
dibatasi, berbeda dengan raja dalam kerajaan.

4
Praktek ketatanegaraan ini terlanggar pada masa Presiden
Franklin D. Roosevelt yang dipilih empat kali berturut-turut. Masa
jabatan terakhir (keempat), hanya dijalani ± 3 tahun, Presiden Roosevelt
meninggal dan digantikan Wakil Presiden Hanry Truman. Di masa
Truman lahir Amandemen Ke-XXII (1951) yang membatasi masa jabatan
hanya dua kali.
“sec. 1: No person shall be elected to the office of the President more
than twice, and no person who has held the office of the President,
or acted as Presidentt, for more than two years of a ferm to wich
some other person was elected President shall be elected to the
office of the President more than once”.
(Tidak seorangpun akan dipilih sebagai Presiden lebih dari dua
kali masa jabatan, dan tidak seorangpun yang telah menjabat
sebagai Presiden atau sebagai pejabat Presiden, lebih dari dua
tahun untuk satu masa jabatan orang lain yang dipilih sebagai
Presiden lebih dari satu kali masa jabatan).
Berdasarkan Amandemen di atas, Presiden Amerika Serikat hanya
dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan (8 tahun). Dalam hal ada
penggantian Presiden yang sedang menjalankan jabatan, dan sebagai
Presiden pengganti lebih dari dua tahun, Presiden pengganti hanya
dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan. Sekedar contoh karena
waktu itu belum ada Amandemen Ke XXII. Presiden Lincoln meninggal
ditambah ± dua minggu dalam masa jabatan kedua. Presiden pengganti
(Wakil Presiden – Andrew Johnson), akan menjabat Presiden hampir
empat tahun (empat tahun kurang dua minggu). Seandainya telah ada
Amandemen Ke-XXII, Presiden Andrew Johnson hanya dapat dipilih
untuk satu kali masa jabatan. Namun perlu pula di catat, Presiden
Andrew Johnson, tidak pernah dicalonkan apalagi dipilih setelah sebagai
pengganti Presiden Lincoln. Malahan, dikenai impeachment, walaupun
tidak berhasil. Begitu pula Presiden Truman sebagai pengganti Presiden
Roosevelt yang meninggan ± 3 tahun 4 bulan setelah terpilih untuk masa
jabatan keempat. Presiden Truman hanya berkesempatan dipilih satu
kali (sudah berlaku Amandemen Ke-XXII), tetapi Presiden tidak
mencalonkan diri dan Eisenhower terpilih sebagai Presiden (dua kali
masa jabatan). Pernah ada diskursus yang memandang masa jabatan

5
dua kali berturut-turut (8 tahun) terlalu lama, dipihak lain, masa
jabatan empat tahun terlalu singkat. Ada gagasan, masa jabatan
Presiden enam tahun dan hanya satu kali masa jabatan. Sekedar
diskursus (intellectual expercise).
Contoh lain, yang membatasi Presiden hanya dapat dipilih dua
kali adalah Jerman dan Afrika Selatan. UUD Jerman menyebutkan:
“The term of office of the Federal President is five years. Re-election
for a consecutive term is permitted only once” (Pasal 54 ayat 2).
(Masa jabatan Presiden Federal adalah lima tahun. Pemilihan
kembali untuk masa jabatan berikutnya hanya diperbolehkan
satu kali).
Berdasarkan ketentuan di atas, Presiden Jerman, hanya dapat
dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Dengan perkataan lain,
seseorang hanya dapat menjabat sebagai Presiden Jerman, paling lama
sepuluh tahun.
UUD Afrika Selatan, Pasal 87 dan Pasal 88 menyebutkan:
“The President is elected for a term of five years. Nuperson may
held the office of President for more than two terms”. (Presiden
dipilih untuk masa jabatan lima tahun. Tidak seorangpun dapat
sebagai Presiden lebih dari dua kali masa jabatan).
Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 (setelah perubahan),
Amandemen Ke-XXII UUD Amerika Serikat, dan UUD Jerman (supra),
berbeda dengan Perancis.
UUD Perancis 1958 (Republik Kelima), juga (hingga saat ini) tidak
mencantumkan pemilihan Presiden (masa jabatan kedua dan
seterusnya). Mula-mula UUD Perancis yang ditetapkan tahun 1958,
menetapkan masa jabatan Presiden tujuh tahun. Amandemen tahun
2000, menetapkan masa jabatan Presiden lima tahun. Baik sebelum
maupun sesudah Amandemen tahun 2000, UUD Perancis tidak
mencantumkan ketentuan pemilihan kembali seorang Presiden.
Sebelum Amandemen, UUD Perancis, Pasal 6 berbunyi: “The
President of the Republic shall be elected for seven years” (Presiden
Republik dipilih untuk masa jabatan tujuh tahun). Setelah Amandemen
(2000), Pasal 6 berbunyi: “The President of the Republic is elected for five

6
years ...”. (Presiden Republik dipilih untuk masa jabatan lima tahun).
Walaupun tidak ada ketentuan batas dapat atau tidak dapat dipilih
kembali, dalam praktek hingga saat ini hanya tiga orang Presiden yang
pernah di pilih dua kali, dan tidak ada yang pernah dipilih tiga kali.
Sebelum Amandemen tahun 2000, mantan Presiden Giscard d’Estaing,
mengusulkan masa jabatan Presiden lima tahun dan tidak dapat dipilih
kembali (hanya satu kali masa jabatan). (Catherine Elliott, et., al, Frech
Legal System, hlm. 22).
Ada juga negara yang menegaskan Presiden hanya menjabat satu
kali masa jabatan, misalnya Filipina, UUD Filipina (UUD 1987), Pasal
VII. sec. 4 menyebutkan:
“The President and the Vice President shall be elected by direct vote
of the people for a term of six years …. The President shall not
eligible for any reelection. No person who has succeeded as
President and has seved as such for more than four years shall be
qualified for election to the some office at any time”.
(Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan enam tahun … Presiden tidak dapat dipilih kembali.
Tidak seorangpun Presiden pengganti dan telah menjabat selama
lebih dari empat tahun dapat dipilih dalam jabatan yang sama).
Presiden (dan Wakil) Presiden Swiss hanya menjabat selama satu
tahun dan tidak dapat (tidak boleh) dipilih kembali. Hal ini serupa
dengan “Konsul” dimasa Republik Romawi (sebelum berubah menjadi
kekaisaran dibawah Julius Caesar dan seterusnya).
“1. The chairman of the Federal Council shall be the President of
the Confederation; he and the Vice President shall be chosen
by the Federal Assembly from among the members of the
Council for a term of one year.
2. The outgoing President is not eligible to the President or Vice
President for the following year. The same member may not
hold the office of Vice President for two successive years” (UUD
Swis, Pasal 89).
(1. Ketua Dewan Federal adalah Presiden Konfederasi; dia
(Presiden) dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Federal dari
anggota Dewan Federal untuk masa jabatan satu tahun.
2. Presiden yang habis masa jabatannya tidak dapat dipilih lagi
menjadi Presiden atau Wakil Presiden untuk tahun
berikutnya. Anggota (Dewan Federal) yang sama tidak boleh

7
menjabat sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan
berikutnya).
Catatan: Federal Assembly (Majelis Federal) adalah kekuasaan
atau badan yang menjalankan kekuasaan tertinggi, serupa
dengan MPR Indonesia sebelum perubahan UUD 1945.
Perbedaannya Majelis Federal berwenang membuat undang-
undang tertentu dan wewenang lain (UUD, Pasal 85). Federal
Council (Dewan Federal) adalah pemegang kekuasaan eksekutif
tertinggi (UUD, Pasal 95).

Berdasarkan catatan di atas – sepanjang dalam negara demokrasi


– tidak ada Presiden yang menjabat lebih dari dua kali masa jabatan
berturut-turut atau tidak berturut-turut. Ada negara-negara yang
menetapkan “Presiden seumur hidup” atau “memaksa” dipilih lebih dari
dua kali masa jabatan, tetapi dipertanyakan: “Apakah negara-negara
tersebut negara demokrasi atau negara dengan sistem kediktatoran
terselubung (verkapte democratie), ketentuan UUD hanyalah “kosmetik”
belaka.

3. Mengapa perlu pembatasan jabatan?


Di atas telah dicatat, pandangan Montesquieu yang menyatakan
“siapapun yang berkuasa senantiasa cenderung menyalahgunakan
kekuasaan itu”. Dibagian lain, Montesquieu menyatakan: “kekuasaan itu
mengandung sifat atau pembawaan “gready” – suatu keserakahan atau
kenikmatan yang berlebihan”. Kita umumnya lebih mengenal ungkapan
Lord Action: “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
Bagaimana mencegah kecenderungan tersebut?
Pertama; demokrasi. Demokrasi bukan saja dalam makna pemerintahan
berdasarkan “volonté général”, tetapi juga “responsible government”.
Kedua; negara hukum yang sekaligus melekat konstitusionalisme yang
antara lain – dalam bentuk “limited government”.
Ketiga; pemisahan kekuasaan yang disertai “ckecks and balances”.
Keempat; pembatasan masa jabatan.

8
4. Dasar-dasar pembatasan masa jabatan
Dasar-dasar pembatasan masa jabatan tertentu, seperti jabatan
Presiden dapat ditinjau dari berbagai segi seperti “ajaran konstitusi-
onalisme, ajaran negara hukum, ajaran demokrasi”. Perlu di catat,
meskipun berbagai ajaran tersebut berakar dasar pemikiran yang
berbeda bahkan lahir pada masa yang berbeda, tetapi dari segi
kepentingan publik sebagai pembentuk negara, merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Kita mengenal
misalnya sebutan: “negara hukum demokrasi” atau “demokrasi
berdasarkan hukum” (democracy under the rule of law, democratische
rechtsstaat) UUDS RI, 1950 menyebutkan “Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan” (Pasal 1 ayat 1). Meskipun bentuk negara
(kesatuan), bentuk pemerintahan (republik), demokrasi (kedaulatan
rakyat) dan “negara hukum”, dicantumkan dalam ayat-ayat yang
berbeda, tetapi dalam satu pasal (Pasal 1), menunjukkan, berbagai
konsep atau prinsip tersebut merupakan satu kesatuan dan peri
kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat
dan tercantum dalam UUD (Constitution) sebagai “the supreme law of the
land” atau “the higher law”.
Mengapa UUD merupakan “the supreme law of the land” atau “the
higher law”. Bukan semata-mata karena cara pembentukan dan perubahan
yang khusus, bukan karena menjadi sumber hukum bagi hukum yang lain,
melainkan karena UUD itu merupakan: “Charter of state” (piagam negara),
the guardian of people (pelindung yang menjamin hak-hak dasar rakyat),
dan sebagai “the Covenant of nation” (perjanjian luhur warga bangsa). Atas
dasar hal tersebut sudah semestinya UUD dipelihara kelanggengannya dan
dilaksanakan sebaik-baiknya.
Tidak kurang penting, memelihara stabilitas UUD dari kepentingan
demokrasi dan negara hukum.
Demokrasi adalah tata cara menyelenggarakan pemerintahan secara
dalam (peaceful) menghadapi perbedaan-perbedaan. Untuk menjamin
pelaksanaan negara secara damai, diatur dalam UUD yang tidak hanya

9
“memfasilitasi” tetapi juga mengatur pembatasan-pembatasan (constain)
demi keadaan serba damai tersebut. Demikian pula negara hukum. Selain
prinsip pembatasan kekuasaan, dan pemerintahan dijalankan menurut
hukum, negara hukum memungkinkan adanya prediksi mengenai hal-hal
dimasa datang. UUD sebagai salah satu wadah negara hukum, adalah
tempat utama prediksi-prediksi tersebut. Baik dari segi demokrasi maupun
negara hukum, perlu stabilitas ketentuan-ketentuan UUD. Sangat tidak baik,
kalau UUD itu berganti-ganti sesuai dengan kemampuan seseorang atau
kelompok melakukan mobilitas politik.

5. Penutup
Bagaimana semestinya sikap alumni HMI sebagai “insan
akademik yang bertanggungjawab” merespons “dengungan” menambah
periode masa jabatan Presiden menjadi tiga kali berturut-turut?
Dalam kaitan ini, ada baiknya kita mengingat pernyataan
“dissenting opinion” Oliver Wendell Homes – Hakim Agung Amerika
Serikat selama 30 tahun (1902-1932) dalam perkara “US v Sshwimmer”
(1929) – antara lain:
“…it is… not free thought for those who agree with us, but freedom
for the thought that we hate”.
(Tidaklah tergolong kebebasan berpendapat bagi mereka yang
menyatakan setuju dengan kita, tetapi kebebasan menyatakan hal
yang kita benci).
Dengan bahasa yang lebih sederhana, kebebasan berpendapat,
kebebasan menyampaikan gagasan, termasuk hak menyatakan sesuatu
yang berbeda (the right to dissent). Dengan demikian, sebagai insan
akademis, kita akan menempatkan keingingan agar periode jabatan
Presiden menjadi tiga kali, sebagai suatu bentuk “freedom of thought,
freedom of idea, freedom of opinion”, dan kita mendiskusikan hal itu
sebagai bentuk “free market of ideas” atau “exchange of ideas”. Sebagai
konsekuensi ada kemungkinan kita memiliki cara pandang yang
berbeda. Sesuai pula dengan tatanan demokrasi, segala bentuk
“exchange of ideas” dijalankan dengan diskusi yang “peaceful dan
oppeness”. Tidaklah termasuk demokrasi kalau suatu gagasan diiringi

10
dengan “mobilisasi”. Setiap bentuk mobilisasi akan memudarkan
demokrasi.
Seandainya dengungan menambah periode masa jabatan Presiden
menjadi tiga kali berturut-turut menjadi gagasan publik, semestinya
akan didahului dengan perubahan UUD 1945 cq perubahan UUD 1945,
Pasal 7. Namun, perlu diingat dalam tatanan negara hukum yang
demokratis ada yang disebut “stability expectation” atau “stable
expectation” dan “legitimate expectation”. Belum lagi berbagai
konsekuensi lain yang mungkin lebih besar. Dalam suatu tulisan
“Menuju Perubahan Kelima”, pembuat catatan ini mengingatkan gagasan
perubahan bagi UUD 1945 (untuk memasukkan GBHN), seperti
membuka kotak Pandora. Mungkin ada baiknya kita memperhatikan
pendapat James Madison (salah seorang penyusun dan penandatangan
UUD Amerika Serikat dan sering disebut “Father of the Constitution”, dan
juga menjadi Presiden): “…that a constitution subject to frequent
amandement would promote factionalisme and provide no firm basis for
republican self-government” (UUD yang terlalu sering diubah akan
mendorong penguatan faksimalisme dan tidak dapat menjadi dasar yang
kuat bagi kemandirian negara republik) (lihat, Vicki C. Jackson – Mark
Tushnett, Comparative Constitutional Law, hlm. 190).
Perubahan-perubahan UUD 1945 dimasa reformasi, selain karena
berbagai kekosongan, juga belajar dari pengalaman RI sendiri. Dimasa
UUDS ‘50, kita dihadapkan pada pemerintahan yang tidak stabil (gonta
ganti kabinet), dimasa Orde Lama kita terombang ambing atas nama
“revolusi belum selesai”, dan dimasa Orde Baru, atas nama “stabilitas
ekonomi”, mengakibatkan tatanan konstitusional tidak dapat berjalan
secara wajar. Berbagai perubahan mendasar, termasuk “memastikan”
batas periode masa jabatan Presiden (dan Wakil Presiden), agar tidak
terulang kembali praktek dimasa lalu. Secara konseptual ketentuan baru
pembatasan periode masa jabatan Presiden (dan Wakil Presiden), selain
dalam rangka memaknai prinsip “pembatasan kekuasaan”, juga
memperhatikan sepenuhnya kelaziman yang hidup dan dijalankan pada

11
negara-negara konstitusional dinegara-negara lain (akan dicatat
dibawah).
Selain faktor “stability expaction”/“stable expectation”, “legitimate
expectation” dan pelajaran masa lalu, dalam konteks Indonesia sekarang
perlu pula kearifan dalam memunculkan gagasan, apalagi yang
menyentuh dasar-dasar penyelenggaraan negara seperti menambah
masa jabatan Presiden menjadi tiga kali berturut-turut.
Akan sangat monumental, seandainya Presiden Joko Widodo lebih
menegaskan sikap konstitusional, tidak akan periode masa jabatan
ketiga dan tidak akan perubahan UUD tentang masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden yang telah diatur dalam UUD 1945, Pasal 7. Izinkan
saya mengutip yang ditulis Dr. Michael Arnheim (U.S Constitution For
Dummies, hlm.312).
“George Washington was elected President without any opposition
in 1788 and again in 1792. He would undoubtly have been
reelected without any problem in 1796 as well, but he decided that
he’d enough. So he delivered his famous Farewell Adress – not a
live speech, incidently, but an open letter to the nation carried by
mary newspaper – and retired to Mount Vernon to dedicate himself
to farming and to construction of a large whiskey distillery”.
(George Washington dipilih sebagai Presiden tanpa ada yang
menentang pada tahun 1788, dan sekali lagi pada tahun 1792.
Tidak diragukan, Presiden George Washington akan terpilih
kembali tanpa masalah tahun 1796, tetapi Presiden George
Washington memutuskan sudah cukup. Amanat perpisahan yang
terkenal itu kepada seluruh bangsa – tetapi tidak secara lisan
melainkan dalam surat terbuka yang dimuat banyak surat kabar –
dan pensiun di Mount Vermon membaktikan diri pada dunia
pertanian dan membangun tempat penyulingan wiski yang besar).

12

Anda mungkin juga menyukai