Anda di halaman 1dari 17

TUGAS HUKUM PEMILU

IMPLEMENTASI MASA JABATAN PRESIDEN 2


PERIODE DITINJAU DARI ASPEK POLITIK

Disusun Oleh :
Mochammad Raihan
B1A018131

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
ABSTRAK

Pembatasan masa jabatan presiden merupakan suatu upaya untuk mencegah adanya
Presiden yang memegang kekuasaan dalam waktu yang panjang dan memiliki
kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan (Abuse of Power) tersebut, hal ini
penting untuk diatur karena apabila tidak dibatasi maka akan membuka kemungkinan
terjadinya penyalagunaan wewenang dan timbulnya otoritarianisme pada suatu negara,
dapat dilihat bahwa hampir seluruh negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensial mengatur mengenai pembatasan masa jabatan untuk calon Presiden. Melihat
dengan adanya beberapa tipe yang dianut berbagai negara yang menganut sistem
presidensial, maka akan dikaji sistem mana yang paling baik untuk mengurangi
kesempatan untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Presiden.
Metode penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan
pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari 20 (dua puluh) negara
yang menganut sistem presidensial ini menunjukan bahwa sistem yang paling banyak
digunakan adalah sistem only one re-election dan no re-election, karena dengan sistem ini
dianggap dapat dengan mudah membatasi masa jabatan Presiden dan juga dapat
menentukan fixed government sehingga berkemungkinan untuk menyalahgunakan
kewenangan dapat diminimalisir, sedangkan sistem no immediate re-election dan no
limitation re-election merupakan negara yang memungkinkan Presidennya untuk berkuasa
dengan waktu yang panjang tanpa ada batasan untuk mencalonkan diri sebagai Presiden
sehingga berkemungkinan untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang yang lebih terbuka.
Kata Kunci : Pembatasan Masa Jabatan, Jabatan Presiden, Penyalahgunaan Kekuasaan.
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang berisi


aturan-aturan dasar yang disusun untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi
pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya yang sudah tertera dalam
undang-undang dan bukan atas kepentingan sepihak, juga menjadi ukuran
dalam hidup berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan bukti perjuangan dan
ide-ide dasar yang telah digariskan oleh Founding Fathers kita serta sebagai
arahan kepada generasi penerus bangsa dalam memimpin Indonesia ke
depannya. 1 Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat pembagian
kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hal ini sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh Montesquieu, yaitu teori Trias Politica. Dalam hal ini,
Strong juga menjelaskan, bahwa Trias Politica adalah pengertian dari
pemerintah dalam arti luas yang harus mempunyai, (1) kekuasaan perundang-
undangan (legislative power); (2) kekuasaan pelaksanaan (executive power);
dan (3) kekuasaan peradilan (yudicial power), yang disebut juga sebagai 3 (tiga)
bagian pemerintah dan menjelma menjadi kedaulatan dalam bernegara.2

Negara-negara yang berdasarkan kepada Demokrasi Konstitusional,


menganggap bahwa undang-undang dasar memiliki peranan penting sebagai
pembatas kekuasaan pemerintah hingga sedemikian rupanya sehingga
pemerintah itu sendiri tidak menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-
wenang agar tercapainya hak-hak rakyat yang terlindungi, 3 gagasan seperti
inilah yang dinamakan dengan konstitusionalisme, dan hal ini jugalah yang

1
Thalib, D., & Hamidi, J. Ni’matul Huda, (2008). Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Hlm. 19.

2
Ibid.
3
Suny, I. (1977). Pergeseran Kekuasaan Eksekutif: Suatu Penyelidikan Dalam Hukum Tatanegara. Aksara
Baru, Hlm, 42.
dianut pada pemerintahan di Indonesia yang tertuang di dalam Undang-Undang
Dasar 1945.4

Batasan masa jabatan Presiden mulanya tercipta pada saat pemilihan


Presiden di Amerika Serikat, George Washington, selaku Presiden pertama
Amerika Serikat yang membuat kebijakan tidak tertulis sewaktu ia menolak
untuk dicalonkan pada masa jabatan yang ketiga pada tahun 1796, lalu Franklin
D. Roosevelt lah yang menggunakan kekosongan hukum mengenai jabatan
presiden di Amerika Serikat tersebut dan memenangkan pemilihan Presiden
sebanyak 4 (empat) kali dari tahun 1932-1944, lalu sepeninggalan Franklin D.
Roosevelt, terciptalah batasan 2 (dua) periode untuk jabatan Presiden di
Amerika serikat yang dikodifikasikan di dalam Amanademen ke-22 Konstitusi
Amerika Serikat pada tahun 1951.5 Kemudian baru tercipta kesadaran oleh
negara-negara lain, seperti di Amerika Latin yang sukses menganut batasan
masa jabatan dalam masa kebangkitan diktator Argentina pada tahun 1853
setelah Juan Manuel de Rosas, dan Mexico pada tahun 1917 setelah Porfirio
Diaz. Negara-negara di Afrika juga mengadopsi batasan masa jabatan Presiden
yang dimulai pada awal tahun 1990 ketika timbul kekecewaan terhadap konsep
“Presidents of life”.6

Pada Disertasi Bill Gelfald, ia menjelaskan, bahwa apabila Presiden


memegang kekuasaan dalam waktu yang lama, maka nantinya akan terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden tersebut, yang akan menimbulkan
dampak negatif. Contohnya seperti di negara pecahan Uni Soviet, yang
pendapatan domestic bruto per kapitanya menurun pada tahun setelah masa
jabatan Presiden diperpanjang, sehingga sampai terjadi kemunduran aspek hak

4
Thalib, D & Hamidi, J. Ni’matul Huda, (2008). Ibid, Hlm, 27.

5
Kristen McKie, “Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail, or Respect, Jurnal
Comporative Political Studies, Vol. 52 No. 10 (2019), Hlm. 1502.

6
Maltz, G. (2007). The case for presidential term limits.Journal of democracy,18 (1), 128-142, Hlm. 135.
politik, khususnya setelah 4 (empat) tahun Presiden memperpanjang masa
jabatannya. 78

Oleh karena itu, belajar dan berefleksi dari sejarah ketatanegaraan


Indonesia pada masa orde lama dan orde baru serta sejarah ketatanegaraan
Amerika Serikat, sebaiknya diperlukan amandemen terhadap Pasal 7 Undang-
Undang Dasar NRI 1945 demi mencegah hal-hal negatif dari sejarah yang akan
terulang pada masa yang akan datang.9 Adanya amandemen Pasal 7 Undang-
Undang Dasar NRI 1945 ini menjelaskan, bahwa masa jabatan Presiden
dibatasi dengan hanya dengan 2 (dua) kali periode. Pembatasan masa jabatan
Presiden setelah diamandemen oleh Pasal 7 Undang-Undang Dasar NRI 1945
diharapkan dapat menghindari kekuasaan yang bersifat kontiuinitas, otoriter,
dan terhindar dari adanya Abuse of Power.

7
Gelfeld, B. (2018). Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low-and Middle-Income
Democracies (Doctoral dissertation, PARDEE RAND GRADUATE SCHOOL), Hlm. 41.

8
McKie, K. (2019). Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail, or Respect?. Comparative
Political Studies, 52 (10), 1500-1534, Hlm. 1515.

9
Hendra, H. (2016). Pertanggungjawaban Politik Presiden Pasca Amandemen UUD NRI 1945. JWP (Jurnal
Wacana Politik), 1 (1), Hlm. 33.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Karakter Desain dan Implementasi Masa Jabatan Presiden di


Indonesia
Istilah masa jabatan terbentuk dari 2 (dua) kata, yaitu “masa” dan
“jabatan”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “masa”
berarti “jangka waktu tertentu yang ada permulaan dan batasnya”.10 Adapun
kata “jabatan” diartikan sebagai “pekerjaan/tugas dalam
pemerintahan/organisasi. Hal ini mirip dengan makna Hukum Tata Negara
(HTN) sebagaimana yang dinyatakan oleh Logemann, bahwa HTN adalah
hukum yang mengatur organisasi negara,11 dan kata negara diartikan
sebagai organisasi jabatan (de staat is ambtenorganisatie).12
Jabatan (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van
vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilaksanakan guna kepentingan
negara (in casu/tujuan negara).13 Logemann lebih tegas menyatakan, bahwa
jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang
dibentuk untuk kurun waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan
wewenang tertentu.14 Dengan demikian, masa jabatan dapat diartikan
sebagai jangka waktu tertentu yang menandakan adanya permulaan dan
batas (akhir) dari pelaksanaan tugas dan wewenang suatu lembaga.
Sementara itu, kata desain diartikan sebagai kerangka, bentuk,
rancangan, motif, pola, maupun corak.15 Desain masa jabatan Presiden yang

10
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/masa. Diakses pada 12 Juni 2021.
11
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Depok: Rajawali Press, 2017), hlm. 22.
12
I Gde Pantja Astawa, "Pendapat Logemann tentang Hukum Tata Negara (Staatsrecht)", Bahan Ajar
Perkuliahan Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Disampaikan di Bandung pada
18 September 2017.
13
Ibid.
14
I Gde Pantja Astawa, "Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara di Indonesia," dalam
Susi Dwi Harijanti (eds), Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri
(Bandung: PSKN FH Unpad, 2016), hlm. 65.
15
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/desain. Diakses pada 12 Juni 2021.
dimaksud dalam di sini adalah kerangka, 16 rancangan, 17 dan pola18 yang
berkaitan dengan jangka waktu sejak mengawali hingga mengakhiri
pelaksanaan tugas dan wewenang yang dimilikinya.
Guna mengetahui desain masa jabatan Presiden, diperlukan
pengamatan terhadap proses perubahan konstitusi19 atau Undang-Undang
Dasar NRI 1945 yang terjadi pada tahun 1999-2002. Hal tersebut
diperlukan dikarenakan Undang-Undang Dasar NRI 1945 hasil amandemen
inilah yang nantinya menjadi penentu garis besar, arah, isi, dan bentuk
hukum20 yang berlaku di Indonesia pada saat ini, termasuk perihal masa
jabatan Presiden. Dengan pemahaman tersebut, desain masa jabatan
Presiden perlu untuk ditelusuri dari proses perancangan/perumusan
perubahan, sekaligus dari rumusan pasal-pasal hasil perubahan Undang-
Undang Dasar NRI 1945 yang relevan.
Dari segi eksekutif, diketahui bahwa prinsip masa jabatan dalam
sistem pemerintahan presidensial ialah fixed term of office21 atau masa
jabatan tetap. Eksekutif (Presiden) memiliki masa jabatan tertentu22 dan
tidak dapat diberhentikan pada masa jabatannya karena alasan politis atau

16
Kerangka berarti garis besar, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ kerangka. Diakses pada 12 Juni 2021.
17
Rancangan berarti hasil merancang, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ rancangan. Diakses pada 12 Juni
2021.
18
Pola berarti bentuk (struktur) yang tetap, https://kbbi.kemdikbud.go.id /entri/pola. Diakses pada 12 Juni
2021.
19
Hal ini karena konstitusi merupakan permulaan dari segala peraturan dalam negara, hukum dasar, dan
merupakan bentuk peraturan tertinggi yang berisi pokok-pokok atau dasar sebagai landasan mengenai
ketatanegaraan dari suatu negara. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan mengenai masa jabatan Presiden.
Lihat Philips A. Kana, "Konstitusi, Lembaga Negara, dan Sistem Pemerintahan", dalam Susi Dwi Harijanti
(eds), Interaksi Konstitusi dan Politik ..., hlm. 150.
20
A Ahsin Thohari dan Imam Syaukani, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 88.
21
Bilal Dewansyah and M Adnan Yazar Zulfikar, “Reafirmasi Sistem Pemerintahan Presidensial dan Model
Pertanggungjawaban Presidensial dalam Perubahan UUD 1945: Penelusuran Sebab dan Konsekuensi,”
Padjadjaran Journal of Law 3, no. 2 (2016), hlm. 289.
22
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008), hlm.
303.
kebijakan23 semata. Dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945, fixed term
bagi eksekutif sudah bisa kita lihat di dalam rumusan Pasal 7 yang mengatur
bahwa Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) memegang jabatan selama 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Sementara itu, di dalam Pasal
7A dinyatakan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa
jabatannya hanya dapat dilakukan apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres.
Di Amerika Serikat, senat yang memiliki masa jabatan 6 (enam)
tahun, sepertiga anggotanya diganti setiap 2 (dua) tahun. Di samping itu,
masa jabatan DPR juga hanya 2 (dua) tahun, yang berarti setengah dari
masa jabatan Presiden. Dengan sistem yang seperti itu, setiap 2 (dua) tahun,
diadakan pemilu untuk memperbarui sepertiga anggota senat dan seluruh
anggota DPR yang dilakukan pada pertengahan masa jabatan Presiden yang
4 (empat) tahun. Pemilu ini disebut dengan istilah midterm elections, yaitu
pemilu yang berlangsung pada paruh waktu masa jabatan Presiden. 24 Begitu
pula dengan Argentina, setengah anggota DPR dan sepertiga anggota senat
diperbaharui setiap 2 (dua) tahun,25 hal ini mengartikan bahwa pemilu
dilakukan pada pertengahan masa jabatan Presiden. Sementara di Chile,
senat yang memiliki masa jabatan selama 8 (delapan) tahun diperbaharui
secara bergantian setiap 4 (empat) tahun sekali. 26
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI 1945 menentukan, bahwa
pemilu untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD dilaksanakan setiap 5
(lima) tahun sekali. Praktiknya dapat diamati sejak pemilu pertama pasca
reformasi digelar pada tahun 2004, yaitu Pemilu Legislatif (DPR, DPD, dan

23
Lihat pandangan akhir F-PDKB yang disampaikan oleh Gregorius Seto Harianto. Tim Penyusun Naskah
Komprehensif, Naskah Komprehensif ..., Buku I, hlm. 623
24
“Congressional, State, and Local Elections.,” https://www.usa.gov /midterm-state-and-local-elections.
Diakses pada 12 Juni 2021.
25
“Article 50, 56 Constitution of Argentina – 1853 (Reinst. 1983, Rev. 1994).” 78 “Art.
26
“Article 49 Constitution of Chile – 1980 (Rev. 2015).”
DPRD, selanjutnya disebut Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres) selalu
diselenggarakan pada tahun yang sama, yakni tahun kelima. Perbedaanya
hanya pada perhitungan bulan. Pemilu 2004 (Pileg, 5 April dan Pilpres, 5
Juli), Pemilu 2009 (Pileg, 9 April dan Pilpres, 8 Juli), Pemilu 2014 (Pileg, 9
April dan Pilpres, 9 Juli) dan terakhir Pemilu 2019 (Pileg dan Pilpres, 17
April).
Perbedaan tanggal penyelenggaraan Pileg dan Pilpres di Pemilu
2004 dan Pemilu 2009 pada perkembangannya dipersoalkan melalui uji
materil pada Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Effendi Ghazali. Dia
berpandangan bahwa melalui Pasal 22E ayat (1) dan 22E ayat (2) Undang-
Undang Dasar NRI 1945, konstitusi mengamatkan hanya ada 1 (satu)
Pemilu dalam kurun waktu 5 (lima) tahun untuk sekaligus (serentak)
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres, dan DPRD.27
Melalui putusan bernomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi
(MK) menyatakan bahwa apabila diteliti lebih lanjut, maka makna asli yang
dikehendaki oleh para perumus perubahan Undang-Undang Dasar NRI
1945 adalah bahwa penyelenggaraan Pilpres dilakukan serentak dengan
Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. MK mendasarkan argument tersebut
pada Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945
yang memperlihatkan kesepakatan mengenai maksud dari Pemilu, bahwa :
“Yang dimaksud dengan pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu
untuk DPD, pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Jadi,
diletakkan di dalam 1 (satu) rezim pemilu. Secara teknis digambarkan pula,
bahwa dalam pelaksanaan pemilu itu terdapat 5 (lima) kotak melalui
pernyataan : kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3
adalah Presiden dan Wakil Presiden, dan kotak 4 adalah DPRD Provinsi,
kotak 5 adalah DPRD Kabupaten/Kota.”28
Dampak dari keluarnya putusan MK ini adalah, bahwa pemilu yang
sebelumnya memisahkan antara penyelenggaraan Pileg dengan Pilpres,
mulai tahun 2019 dan seterusnya akan diselenggarakan secara serentak
melalui 5 (lima) kotak pada hari dan tanggal yang sama. Hal ini juga

27
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.”
28
Ibid, Hlm. 82.
diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu dengan menyebut bahwa pemilu
merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota
DPD, Presiden dan Wapres, dan anggota DPRD29 yang dilaksanakan setiap
5 (tahun) sekali30 serta pemungutan suaranya akan dilaksanakan serentak
pada hari yang sama pula. 31
Pada penyelenggaraan pemilu serentak di tahun 2019, Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi ke MK
perihal penyelenggaraan Pemilu serentak dengan 5 (kotak) suara secara
langsung. Perludem dalam permohonannya menilai, bahwa sistem pemilu
serentak dengan model 5 (lima) kotak suara secara langsung tidak sesuai
dengan asas pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Selain itu, sistem pemilu serentak tersebut, menurut Perludem juga
berakibat pada lemahnya posisi Presiden untuk menyelaraskan agenda
pemerintahan dan pembangunan. Untuk itulah, pada permohonannya,
Perludem meminta agar Pemilu serentak dibagi menjadi Pemilu serentak
nasional dan Pemilu serentak daerah. 32

2. Desain Masa Jabatan Presiden : Perspektif Politik Hukum


Menurut Bagir Manan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa politik hukum itu ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang
bersifat temporer. Politik hukum yang bersifat tetap akan selalu menjadi
dasar kebijaksanaan pembentukan hukum, sementara yang bersifat temporer
akan selalu merujuk pada kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke
waktu. Lantas, di manakah letak politik hukum yang bersifat tetap maupun
yang bersifat temporer itu? Berkaitan dengan topik ini, Imam Syaukani dan
Ahsin Thohari berpandangan bahwa rumusan politik hukum dapat kita

29
Pasal 1 Angka 1, UU Pemilu.
30
Pasal 167 ayat (1), UU Pemilu.
31
Pasal 167 ayat (3) jo. Pasal 347 ayat (1), UU Pemilu.
32
“Pembentuk UU Diminta Menata Ulang Model Pemilu Serentak.,”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e65e4073c38c/pembentuk-uudiminta-menata-ulang-model-
pemilu-serentak?page=2 diakses 12 Juni 2021.
temukan di dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 (konstitusi) 33 dan UU
yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan Undang-Undang Dasar NRI
1945.34
Menurut Bagir Manan, Imam Syaukani, dan Ahsin Thohari, politik
hukum yang bersifat tetap itu terletak pada Undang-Undang Dasar NRI
1945. Sementara politik hukum yang bersifat temporer itu menurut Imam
Syaukani dan Ahsin Thohari ada terletak pada Undang-Undang Konstruksi,
demikian juga berlaku bagi politik hukum dalam pembentukan UU.
Artinya, ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang
berkaitan dengan pembentukan UU, mengandung rumusan politik hukum
tetap. Sementara ketentuan dalam pembentukan UU yang dituangkan
melalui UU, mengandung rumusan politik hukum yang bersifat temporer.
Dalam kaitannya dengan politik hukum, dari segi letak maupun
sifatnya, maka pola pembentukan UU yang terikat pada periode masa
jabatan adalah politik hukum (arah kebijakan) yang bersifat tetap. Sebagai
politik hukum tetap, maka pembentukan UU yang terikat dalam periode
masa jabatan haruslah selalu menjadi dasar kebijakan dalam pembentukan
UU itu sendiri. Lebih dari itu, pengaturan mengenai pembentukan UU juga
harus memperkokoh pola pembentukan UU yang terikat pada periode masa
jabatan, sebab pola tersebut juga merupakan bagian dari sendi-sendi
Undang-Undang Dasar NRI 1945.

33
Thohari and Syaukani, Dasar-Dasar Politik Hukum, hlm. 88.
34
Ibid, hlm. 111.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Guna mengetahui desain masa jabatan Presiden, diperlukan pengamatan
terhadap proses perubahan konstitusi atau Undang-Undang Dasar NRI 1945
yang terjadi pada tahun 1999-2002. Hal tersebut diperlukan dikarenakan
Undang-Undang Dasar NRI 1945 hasil amandemen inilah yang nantinya
menjadi penentu garis besar, arah, isi, dan bentuk hukum yang berlaku di
Indonesia pada saat ini, termasuk perihal masa jabatan Presiden. Dengan
pemahaman tersebut, desain masa jabatan Presiden perlu untuk ditelusuri dari
proses perancangan/perumusan perubahan, sekaligus dari rumusan pasal-pasal
hasil perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA

Thalib, D., & Hamidi, J. Ni’matul Huda, (2008). Teori dan Hukum Konstitusi,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Hlm. 19.

Ibid.
Suny, I. (1977). Pergeseran Kekuasaan Eksekutif: Suatu Penyelidikan Dalam
Hukum Tatanegara. Aksara Baru, Hlm, 42.

Thalib, D & Hamidi, J. Ni’matul Huda, (2008). Ibid, Hlm, 27.

Kristen McKie, “Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail, or


Respect, Jurnal Comporative Political Studies, Vol. 52 No. 10 (2019), Hlm. 1502.

Maltz, G. (2007). The case for presidential term limits.Journal of democracy,18 (1),
128-142, Hlm. 135.

Gelfeld, B. (2018). Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low-


and Middle-Income Democracies (Doctoral dissertation, PARDEE RAND GRADUATE
SCHOOL), Hlm. 41.

McKie, K. (2019). Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail,


or Respect?. Comparative Political Studies, 52 (10), 1500-1534, Hlm. 1515.

Hendra, H. (2016). Pertanggungjawaban Politik Presiden Pasca Amandemen UUD


NRI 1945. JWP (Jurnal Wacana Politik), 1 (1), Hlm. 33.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/masa. Diakses pada 12 Juni 2021.


Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Depok: Rajawali Press,
2017), hlm. 22.
I Gde Pantja Astawa, "Pendapat Logemann tentang Hukum Tata Negara
(Staatsrecht)", Bahan Ajar Perkuliahan Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran. Disampaikan di Bandung pada 18 September 2017.
Ibid.
I Gde Pantja Astawa, "Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara
di Indonesia," dalam Susi Dwi Harijanti (eds), Interaksi Konstitusi dan Politik:
Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri (Bandung: PSKN FH Unpad, 2016), hlm. 65.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/desain. Diakses pada 12 Juni 2021.
Kerangka berarti garis besar, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ kerangka. Diakses
pada 12 Juni 2021.
Rancangan berarti hasil merancang, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ rancangan.
Diakses pada 12 Juni 2021.
Pola berarti bentuk (struktur) yang tetap, https://kbbi.kemdikbud.go.id /entri/pola.
Diakses pada 12 Juni 2021.
Philips A. Kana, "Konstitusi, Lembaga Negara, dan Sistem Pemerintahan", dalam
Susi Dwi Harijanti (eds), Interaksi Konstitusi dan Politik ..., hlm. 150.
A Ahsin Thohari dan Imam Syaukani, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 88.
Bilal Dewansyah and M Adnan Yazar Zulfikar, “Reafirmasi Sistem Pemerintahan
Presidensial dan Model Pertanggungjawaban Presidensial dalam Perubahan UUD 1945:
Penelusuran Sebab dan Konsekuensi,” Padjadjaran Journal of Law 3, no. 2 (2016), hlm.
289.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2008), hlm. 303.
Lihat pandangan akhir F-PDKB yang disampaikan oleh Gregorius Seto Harianto.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif ..., Buku I, hlm. 623
“Congressional, State, and Local Elections.,” https://www.usa.gov /midterm-state-
and-local-elections. Diakses pada 12 Juni 2021.
“Article 50, 56 Constitution of Argentina – 1853 (Reinst. 1983, Rev. 1994).” 78
“Art.
“Article 49 Constitution of Chile – 1980 (Rev. 2015).”
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.”
Ibid, Hlm. 82.
Pasal 1 Angka 1, UU Pemilu.
Pasal 167 ayat (1), UU Pemilu.
Pasal 167 ayat (3) jo. Pasal 347 ayat (1), UU Pemilu.
“Pembentuk UU Diminta Menata Ulang Model Pemilu Serentak.,”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e65e4073c38c/pembentuk-uudiminta-
menata-ulang-model-pemilu-serentak?page=2 diakses 12 Juni 2021.
Thohari and Syaukani, Dasar-Dasar Politik Hukum, hlm. 88.
Ibid, hlm. 111.
Biografi Penulis

Mochammad Raihan, atau yang akrab disapa Raihan ini adalah anak bungsu dari 2
bersaudara. Lahir di Jakarta Barat pada Hari Selasa, 27 Juni 2000. Laki –laki bersio Naga
Emas ini merupakan salah satu Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang
cukup aktif berkecimpung di dunia perkuliahan dalam bidang akademik maupun non
akademik. Penulis saat ini menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Himpunan Komunitas
Peradilan Semu Indonesia (HKPSI) untuk wilayah Sumatera 2. Sebelum menjabat sebagai
sekretaris wilayah, penulis merupakan Ketua Bidang Internal di Perhimpunan Mahasiswa
Peradilan Semu (PARADISE) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu periode 2019-2020.

Penulis juga merupakan salah satu mahasiswa berprestasi di kampus. Ia merupakan


salah satu anggota delegasi PARADISE dalam Regional Moot Court Competition HUT ke-
9 Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Palembang pada tahun 2019 dan mampu
membawa Piala Bergilir Juara Umum dan Best Hakim pada kompetisi tersebut. Penulis
juga merupakan salah satu bagian dari delegasi PARADISE dalam National Moot Court
Competition Piala Prof. Hilman Hadikusuma Universitas Lampung pada tahun 2019
dengan memerankan sebagai Jaksa Penuntut Umum. Pada tahun 2019 akhir, penulis juga
merupakan salah satu dari delegasi Universitas Bengkulu dalam kompetisi Debat
Penegakan Hukum Pemilu yang diadakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) Republik Indonesia di Hotel Mercure Ancol.

Saat ini penulis masih menempuh semester 6 di Fakultas Hukum Universitas


Bengkulu dan akan terus berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan studi tanpa
hambatan. Salam Hangat.

Anda mungkin juga menyukai