Disusun Oleh :
Mochammad Raihan
B1A018131
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
ABSTRAK
Presiden memegang peranan penting dalam kekuasaan eksekutif, yakni sebagai kepala
Negara dan kepala pemerintahan, hal tersebut secara tegas dituangkan di dalam Konstitusi
Negara Indonesia. Sebagaimana menjalankan fungsinya, presiden membuat kebijakan-
kebijakan, termasuk dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, tindak pidana
korupsi di Indonesia terus menjadi budaya, mulai dari masyarakat hingga pejabat Negara.
Maka dari itu diperlukannya suatu reformasi birokrasi dan penerapan undang-undang
tindak pidana korupsi secara maksimal. Negara Cina merupakan salah satu contoh Negara
yang telah berhasil memberantas korupsi, yang semula salah satu Negara paling korup di
Asia. Keseriusan presiden Cina dalam menerapkan hukuman mati sebagai upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi terbukti efektif. Tak seperti Indonesia, yang mana
hukuman mati hanya sebatas aturan tertulis tetapi tidak pernah diterapkan dalam
menghukum koruptor sehingga mengakibatkan tindak pidana korupsi semakin meningkat
karena kurangnya efek jera dari hukuman yang diberikan.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia memiliki kasus korupsi yang tinggi, sehingga sering kali dianggap
“korupsi sebagai budaya”, karena begitu mengakar dan akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat maupun aparatur sipil Negara, tetapi
dapat dilakukan oleh siapa saja sampai kepada generasi muda. 1 Jenis korupsi sangat
beranekaragam, mulai dari korupsi materiil yaitu uang, sampai pada korupsi immaterial
yaitu korupsi waktu, sehingga warga Indonesia harus semakin menyadari pentingnya
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi untuk dapat mewujudkan
generasi bangsa yang berkualitas, khususnya kesadaran yang tumbuh kepada generasi
muda yang akan menjadi calon pemimpin di masa depan.
Korupsi berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain, yang menimbulkan
kerugian bagi orang lain baik dari segi materil dan immaterial. Pemberantaan korupsi
dimuli sejak 1999 dengan dikeluarkannya regulasi mengenai tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 2 Atas dasar tersebut,
terdapat upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah yang berwenang untuk
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yang semakin membudaya. 3 Namun
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak cukup dan terbatas pada regulasi yang bersifat
hukuman baik secara pidana maupun administrative, tetapi diperlukannya suatu upaya
yang lebih konkrit untuk memberantas tindak pidana korupsi, seperti pendidikan anti
korupsi , pemahaman korupsi sejak dini dari lingkungan keluarga, sosialisasi pemerintah ,
lingkungan sekolah dan kampus memegang peranan penting demi terlaksananya
penengakkan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor terdiri dari berbagai macam jenis, namun yang
mayoritas sering di lakukan oleh masyarakat Indonesia adalah penyuapan. Penyuapan
1
Andi Hamzah, 2001 Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Pidana, , hlm. 7
2
K. Wantjik Saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 79.
3
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Bandung: Sinar Grafika, hlm. 9.
merupakan pengadopsian dari pasal-pasal di KUHP yang diatur juga di dalam UU Tipikor,
namun permasalahannya penyuapan hanya menjadi pasal yang tidak mempunyai taring
dalam pengimplementasiannya, karena suap tergolong tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya.
Hal tersebut terbukti dari suap menjadi posisi yang strategis atas perkembangan
tindak pidana korupsi, sehingga dapat merugikan keuangan Negara. Penyuapan dapat
dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, yaitu dari masyarakat kepada pejabat Negara
atau pejabat hukum ataupun sebaliknya. Menurut data dari KPK, tingginya penyuapan
akibat ketidaksadaran masyarakat yang menganggap penyuapan merupakan hal yang wajar
saja dilakukan dan tidak menyalahi aturan, sehingga diperlukannya pemahaman
masyarakat dan pejabat yang bersangkutan mengenai UU Tipikor dan penyuapan.
Presiden Indonesia sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan harus senantiasa
berupaya dalam mencegah korupsi di Indonesia. Kekuasaan presiden di Indonesia cukup
luas, yang senantiasa memperhatikan asas check and balances , yaitu saling mengimbangi
dan mengawasi antar lembaga Negara, khususnya dalam membuat regulasi. Indonesia
menganut hukuman pidana yakni hukum mati, sebagaimana diatur di dalam Pasal 10
KUHP , yang berlaku pula bagi hukuman tindak pidana korupsi, namun permasalahannya
adalah tidak pernah untuk diterapkan, padahal korupsi khususnya korupsi yang merugikan
keuangan Negara harus dikenakan sanksi yang tegas agar dapat sepenuhnya memberantas
tindak pidana korupsi.
Seperti yang dilakukan oleh Cina, dimana kekuasaan presiden dalam memberantas
tindak pidana korupsi adalah memberlakukan hukuman maksimal yakni hukuman mati
yang berhasil memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yang menghukum pejabat
Cina yang melakukan korupsi, sehingga Cina berhasil bertransformasi dari Negara korup
menjadi Negara teladan yang bebas korupsi, sebagai hasil dari keseriusan Cina untuk
menerapkan hukuman yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-
undangan. Atas permasalahan tersebut, penulisan ini akan membahas dan membandingkan
mengenai “Kekuasaan Presiden dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia (Studi Komparatif Negara Cina)”.
BAB II
PEMBAHASAN
Suap merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi yang diatur di UU
Tipikor, suap umum dilakukan di aspek kehidupan manusia yang umumnya dilakukan
pejabat Negara dan penegak hukum yang bentuknya dikenal sebagai upeti. Seperti pada
perpolitikan, penguasa sering kali melakukan politik suap agar dirinya terpilih dalam suatu
pemilihan umum atau pemilihan daerah, sehingga hal ini tidak memenuhi unsur pemilihan
umum sebagaimana diatur di dalam konstitusi Pasal 22 E ayat (1) bahwa pemilihan harus
diselenggarakan berdasarkan LUBERJURDIL , yaitu langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Dengan memberikan “suap” maka unsur jujur sudah tidak dipenuhi lagi,
karena pemberian suap untuk membeli suara menghilangkan marwah dari demokrasi
Indonesia itu sendiri, khususnya adalah aspek “netral” dari hati nuraninya untuk memilih
calon pasangan. Sehingga suap berakibat pada hilangnya kesadaran akan “kewajiban” yang
seharusnya dilakukan karena jabatannya menjadi diperjualbelikan demi keuntungan pribadi
semata dengan menerima suap untuk melakukan atau idak melakukan sesuatu sesuai
dengan permintaan orang pemberi suap. 4
4
Leden Mapaung, 2001, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta:Djambatan,
, hlm. 35
Kemudian dalam partai politik, seorang yang ingin dicalonkan dalam suatu
pemilihan, wajib menyetor uang kepada partai politik pengusungnya agar mendapat
rekomendasi maupun suara demi dirinya terpilih, juga melakukan money politik kepada
masyarakat untuk menang, hal ini selain bertentangan dengan UU Tipikor tentunya juga
bertentangan dengan UU MD3 yang mengatur mengenai money politic yang mempunyai
ancaman pidana dan denda. Namun kasus ini adalah umum terjadi , padahal penyuapan
merupakan salah satu tindak pidana korupsi yang merusak integritas bangsa. Pejabat
Negara sebagai pejabat yang memberikan pelayanan public kepada masyarakat marak
terjadi penyuapan, Artinya adalah korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
sehingga menjadi suatu kebiasaan dan budaya, yang dijadikan pandangan dan jalan hidup. 5
b. Perbuatan tersebut memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi;
d. Perbuatan pertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain serta korporasi;
Pasal 2
“Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk
membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya,
yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya menyangkut kepentingan umum
dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun
dan denda sebanyakbanyaknya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).”
5
Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed), 2016, Menyikapi
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta dalam Elwi Danil, sebagaimana
dikutip oleh I Gst Agung Ayu Dike Widhiyaastuti dkk, Denpasar: Klinik Hukum Anti Korupsi Edukasi
Pencegahan Melalui Street Law, Udayana University Press, hlm. 23
6
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Jakarta : Alumni, hlm. 21.
Pasal 3
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat
menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap
dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.
15.000.000 (lima belas juta rupiah).”
Maka dari itu, penanggulangan tindak pidana dapat dilakukan melalui jalur
pengadilan yaitu penegakkan sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor,
ataupun penyelesaian yang dilakukan di luar ketentuam hukum pidana. Menurut Barda
Nawawi Arief, penanggulangan tindak pidana jalur pengadilan menitikberatan kepada
penumpasan, pemberantasan , dan penindasan setelah perbuatan itu terjadi sebagai
tindakan represif, sedangkan jalur di luar hukum pidana lebih menekankan pada sifat
pencegahan atau preventif, kedua upaya tersebut dikenal sebagai upaya penal dan non-
penal. 13
Pencegahan korupsi merupakan tugas dari KPK yaitu Deputi Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat yang menjadi sasaran penangggulangan korupsi dengan jalur non-
penal, dimana menangani factor yang menjadi penyebab terjadi nya korupsi baik dari segi
politik, sosial, ekonomi, budaya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
9
Wertheim dalam Muchtar Lubis dan James C Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi sebagaimana
dikutip oleh Elwi Danil, 2014, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, Hlm. 51
10
KPK. https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindakpidana-korupsi/tpk-berdasarkan-jenis-perkara , diakses
pada 31 Maret 2021.
11
Mahrus Ali, 2016, Hukum Acara Pidana , Malang: Setara Press, hlm. 101.
12
Supandji, Hendraman. 2009, Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 13
13
Ibid
mempengaruhi tindak kejatahan. Upaya ini yang seharusnya dapat menjadi kunci utama
dan berperan penting dalam posisi strategis menanggulangi tindak pidana korupsi. 14
1. Sanksi pidana merupakan ultimum remidium ata obat terakhir. Artinya adalah sanksi
pidana diberlakukan ketika sudah tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan atas perbuatan
pidana yang dilakukan.
3. Sifat yang kontradiktif dalam sanksi pidana sehingga dapat memberikan efek samping
yang negative, seperti fenomena overload pada Lapas (Lembaga Permasyarakatan) di
Indonesia.
4. Penggunaan hukum pidana hanya bersifat menyembuhkan gejala yaitu berupa obat yang
hanya siptomatik bukan kuasatif.
6. Efektifitas hukum pidana masih tergantung pada banyak factor baik internal maupun
eksternal sehingga masih menjadi perdebatan di kalangan ahli.
Maka dari iru diperlukannya suatu lembaga anti korupsi yang bersifat secara
independen yaitu Ombudsman, dimana lembaga ini akan memberikan edukasi kepada
pemerintah dan masyarakat mengenai kepedulian dan pengetahuan atas hak dan
kewajibannya dalam penanggulangan korupsi khususnya penyuapan. Di Indonesia sudah
terdapat lembaga independen yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bertugas
untuk memberantas tindak pidana korupsi baik secara preventif maupun represif. Selain itu
diperlukannya peningkatan kinerja seluruh aspek embaga penegak hukum mulai dari
14
Ikhwan Fahrojih, 2016, Hukum Acara Pidana Korupsi, Malang:Setara Press, hlm. 19.
15
Donny Gahral Adian dkk, 2002, Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan, Editor Aryo
Danusiri dan Wahmi Alhaziri, Jakarta:Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), hlm. 71
kepolisian, jaksa, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan. Pengadila harus bersikap
netral dan tidak memihak , jujur serta adil agar pelaku korupsi dapat dijerat sesuai dngan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat menciptakan efek jera bagi
pelakunya serta memberikan rasa takut kepada masyarakat agat tidak melakukan korupsi. 16
Korupsi harus segera diberantas sampai ke akarnya, yang dalam hal ini adalah
generasi muda. Generasi muda merupakan masyarakat yang berusia 0-30 tahun yang
merupakan calon pemimpin masa depan bangsa untuk mewujudkan Indonesia lebih baik,
sehingga generasi muda harus berperan aktif dalam menanamkan perilaku anti korupsi
sejak dini. Sebagai agent of change, generasi muda sangat berpotensi dalam
menanggulangi tindak pidana korupsi. 17 Menurut Abraham Samad, generasi muda
merupakan ase bangsa yang tak hanya akan memegang peranan penting dalam
pemberantasan dan penanggulangan korupsi, melainkan sebagai subjek yang mampu
berkontribusi secara nyata dengan idealism dan integritasnya, sehingga generasi muda
harus memiiki kesadaran hukum yang benar karena akan menyangkut kepada kepatuhan
seseorang kepada norma hukum yang ada , maka dari itu kesadaran hukum harus
diwujudkan dengan memberikan edukasi atau pendidikan sehingga dapat dilakukannya
“character building’ pada generasi muda, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
16
Ibid.
17
KPK. Generasi Muda Anti Korupsi. https://www.kpk.go.id/id/home-en/81-berita/siaran-pers/125-
bangun-generasi-antikorupsi-kpk-gandeng-para-pemuda-indonesia, diakses pada 31 Maret 2021.
18
H. Elwi Daniel, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta:Rajawali
Pers, hlm. 13
dapat mudah dipahami dan akses kebutuhan masyarakat atas pemahaman korupsi dapat
tersedia secara integrasi.
Negara Cina berhasil untuk menekan kasus korupsi di negaranya , dimana presiden
memiliki kekuasaan untuk menetapkan aturan yang berlaku untuk menghukum mati
koruptor, yang dibantu oleh Perdana Menter Zhu Rongji yang didukung pula oleh
pemerintah dan masyarakat. Dimana hukuman mati ini diterapkan bagi seluruh pejabat
Negara hingga masyarakat yang melakukan tindak pidana korupsi di Cina, seperti wakil
gubernur maupun deputi walikota. Sehingga memberikan efek jera bagi pejabat lainnya
dan masyarakat Cina untuk selalu hidup bersih tanpa koruupsi, sehingga rakyatnya dapat
sejahtera.
Terihat dari perbedaan antara Indonesia dan Cina terkait kekuasaan presiden dalam
upaya pemberantasan korupsi sangat jelas terlihat, dimana Negara Cina menunjukkan
keseriusannya dengan menerapkan aturan dan hukum yang berlaku di negaranya yakni
hukuman mati bagi para koruptor mulai dari pejabat Negara hingga lapisan masyarakat
seluruhnya mempunyai derajat yang sama sehingga dapat dihukum secara adil
menggunakan ketentuan hukum yang berlaku. Hasilnya adalah Cina yang adinya sebagai
Negara korup, kini telah berhasil dalam melakukan pemberantasan korupsi di negaranya.
Tak seperti Indonesia yang telah memiliki aturan dan regulasi yang lengkap, namun tidak
pernah menerapkan hukuman mati bagi koruptor padahal hukuman mati mempunyai
19
Admin, Demi 'pemberantasan korupsi', Xi Jinping bisa presiden seumur hidup,
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43286205, diakses pada 30 Mei 2021.
legalitas untuk dilakukan sesuai dengan KUHP dan UU Tipikor dan tidak merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, karena dalam menegakkan hak asasi manusia,
diperlukannya pembatasan terhadap hak asasi manusia lainnya yakni warga Negara
Indonesia yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi. Indoensia menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, dimana presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan mempunyai kewenangan yang luas dalam membuat kebijakan dan
menentukan sikap baik repsresif maupun preventif terhadap korupsi agar pemberantasan
korupsi dapat berjalan dengan baik dan efektif di Indonesia seperti yang dilakukan oleh
Cina.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mochammad Raihan, atau yang akrab disapa Raihan ini adalah anak bungsu dari 2
bersaudara. Lahir di Jakarta Barat pada Hari Selasa, 27 Juni 2000. Laki –laki bersio Naga
Emas ini merupakan salah satu Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang
cukup aktif berkecimpung di dunia perkuliahan dalam bidang akademik maupun non
akademik. Penulis saat ini menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Himpunan Komunitas
Peradilan Semu Indonesia (HKPSI) untuk wilayah Sumatera 2. Sebelum menjabat sebagai
sekretaris wilayah, penulis merupakan Ketua Bidang Internal di Perhimpunan Mahasiswa
Peradilan Semu (PARADISE) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu periode 2019-2020.