Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM KONSTITUSI

DISUSUN OLEH :

DHAFA RIZKI FADILLAH


2008016114

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2020
A. Konstitusi Negara

Pengertian dan Konsep Dasar Konstitusi Istilah dalam bahasa


Inggris “constitution” atau dalam bahasa Belanda “constitutie “
secara harfiah sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
undang-undang dasar. Permasalahannya penggunaan istilah
undang-undang dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan
suatu naskah tertulis. Padahal istilah konstitusi bagi banyak sarjana
ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan
peraturan–peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Kebiasaan
menerjemahkan istilah konstitusi menjadi undang-undang dasar, hal
ini sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam
percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (Grond = dasar;
wet = undang-undang) dan grundgesetz (Grund = dasar ; gesetz =
undangundang) yang keduanya menunjukkan naskah tertulis
(Miriam Budiardjo, 2007: 95) Pengertian konstitusi dalam praktik
ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai dua arti: a) lebih luas
daripada undang-undang dasar; dan b) sama dengan pengertian
undang-undang dasar. Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih
luas daripada pengertian undang-undang dasar, karena pengertian
undang-undang dasar hanya meliputi naskah tertulis saja dan di
samping itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak
tercakup dalam undangundang dasar. Para penyusun Undang-
Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi lebih luas daripada
undangundang dasar, sebab dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 dikatakan: ”Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah
hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang
Dasar adalah hukum yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-
Undang Dasar berlaku juga Hukum Dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”. Namun dalam
masa Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949 – 17 Agustus
1950, penyusun Konstitusi RIS menerjemahkan secara sempit istilah
konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Hal ini terbukti
dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Menurut E.C.S
Wade dalam bukunya “Constitutional Law” (Miriam Budiardjo, 2007,
96) undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka
dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara
dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Ditinjau dari segi kekuasaan maka undang-undang dasar dapat
dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas yang
menetapkan bagaimana kekuasaan itu dibagi antara beberapa
lembaga kenegaraan. Mengacu konsep Trias politika kekuasaan
dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-
undang dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu
bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; undang-undang
dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
Negara. Dalam negara yang menganut asas demokrasi konstitusional
undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi
kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggara
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Pembatasan-
pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi dalam
anggapan ini undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus
dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang
tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi oleh
pemerintah serta penguasa sekalipun. Undang-Undang Dasar 1945
mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-
pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat
dan terpadu.

B. Konstitusi yang Berlaku Dan Perubahan Konstitusi DI


Indonesia

1. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-1966)


Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak
tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan
UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan
UUDS 1950 yang berlaku pada saat itu. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini disebut
masa Orde Lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan. Sistem penmntahan dijalankan tidak sesuai dengan
UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan itu ialah diantaranya:
1. Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua DPR, MPR, dan
MA serta wakil ketua DPA menjadi Menteri Negara.
2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3. Presiden mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-
undang tanpa persetujuan DPR.
4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih
dengan pemerintah mengenai RAPBN untuk tahun 1961. Dan
pada saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut.
Kemudian Presiden membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong)
melalui penpres no.4 tahun 1960 sebagai ganti dari DPR yang
dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi keanggotaan
DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai
yang dihasilkan pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh
presiden.

Masa orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI


dan rakyat menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan
negara yang otoriter karena pada masa ini dipaksakan doktrin
seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai
kepala negara otomati menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga
dengan hal-hal diatas lahirlah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat).
Dalam keadaan kacau itu presiden Soekarno mengeluarkan surat
perintah 11 Maret atau Supersemar kepada Letjen Soeharton
berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama Presiden/
Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangi
Keputusan Presiden No, 113/ 1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang
menyatakan pembubaran PKI. Untuk mengakhiri kemelut politik
tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967 diselenggarakan sidang
istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban
presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS menilai
presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban
konstitusionalnya selaku mandataris MPRS, khusunya yang
menyangkut kebijakan menghadapi G30S. Oleh karena itu, MPRS
mengeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan
mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden hingga
dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. Selanjutnya, dalam
sidang umum V MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat
menjadi presiden RI untuk masa 5 tahun (1968-1973)

2. Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)


Setelah orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang
diberi nama Orde Baru. Pada masa ini pemeritah menyatakan dan
bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan Pancasila secara murni
dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu pemerintah
Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1Badan
Permusyawaratan / Perwakilan rakyat. Pemerintah yang dibentuk
berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga- lembaga negara
dan pemerintah yang tidak sementara lagi. MPR kemudian
menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden dan
memberi mandat kepada presiden terpilih untuk melaksanakan
GBHN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan teratur dan
stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.
Setelah meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum
islam dalam spektrum politik pemerintah ORBA berupaya meredakan
konflik tersebut dengan membangun konsep “Demokrasi Pancasila”
yang sebenarnya otoriter dengan angkatan bersenjata menjadi
intinya. Pada masa Orde Baru, selain kekuasaan
eksekutif,kekuasaan legislatif dan yudikatif juga berada di bawah
presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas
pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan
pendapatan. Ada segelintir orang yang menguasai dua per tiga GNP
Indonesia sehingga semakin dalam jurang pemisah antara si miskin
dan si kaya.Sementara itu pihak lain yaitu pemerintah dan penguasa
menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan keluarga
pejabat. Apabila menengok kembali tekad awal dari pemerintahan
orde baru yang akan menjalankan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen agaknya masalah diatas sangat bertentangan dengan hal
itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah menyimpang
dari pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi
terjadi pelanggaran pasal 23 mengenai hal keuangan. Kareena
hhutang para komlomerat atau private debt dijadikan beban rakyat
Indonesia atau publik debt. Selain terjadi pelanggaran pasal 23,pasal
33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya pada pasal 33 ayat 3 “
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” akan tetapi pemerintah malah memberi kekuasaan pada
pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal
28 juga dilanggar, hal ini dapat kita lihat dengan adanya pembedelan
massa serta pembunuhan yang dilakukan kepada orang-orang yang
kritis terhadaap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada masa Orde
Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”,
diantara melalui melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR No:
I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa PMR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan
perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No : IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR
berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta
pendapat rakyat melalui referendum. Undang-undang No 5 tahun
1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR
No.IV/MPR/1983. Krisis moneter tahun 1997 berdampak pula
terhadap kehidupan sosial dan politik sehingga terjadi krisis
kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998 keadaan
negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik
terang penyelesaiaannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi
semakin marak menuntut pengunduran diri presiden Soeharto
hingga terjadilah peristiwa trisakti. Dan pada 21 Mei 1998 pukul
09.00 WIB di gedung istanta merdeka, presiden soehaarto
menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan
demikian berakhirlah masa kekuasaan Orde Baru selama tiga puluh
dua tahun.

3. Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden.
Karena dianggap hanya sebagai tokoh transisi, ia dapat berusaha
mengurusi transisi itu sebagai tugas yang istimewa sehingga
perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah mewujudkan
reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu
hasilnya adalah Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang
itu antara lain menghasilkan keputusan memberi mandat pada
presiden untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Partai-
partai baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR
dalam pemilu 1999 tersebut yang diikuti oleh 48 parati. Pemilu 1999
adalah pemilu paling demokratis bila di bandinngkan pemilu-pemilu
jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu 1999 pemilih presiden KH.
Abdurrahman Wahid dan wakil presiden megawati Soekarno Putri.
Pada era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas
UUD 1945 semakin menguat karena adanya tuntutan dari
mahasiswa untuk mengamandemen UUD 1945,bahkan beberapa
partai politik mencantumkan ”amandemen” di dalam program
perjuangan dan platform politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum
tata negara, dan politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD
1945 berkenaan dengan krisis nasional yang kini sedang menimpa
bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan ada yang mengusulkan
dilakukannnya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah
UUD 1945 dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya
tambal sulam saja.
Alasan pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen
atau perubahan terhadap UUD 1945 antara lain :
 Fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945
bukanlah bangunan yang demokratis.
 Pada masa ORBA, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada
kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat
besar pada presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes”
(sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta kenyataan
perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara
yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan
perubahan UUD waktu itu adalah menyempurnakan aturan
dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum.
 Hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan
kebutuhan bangsa.
 Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak
boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya
merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain
sebagai upaya memulai ”kontrak sosial” baru antara warga
negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama
yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar yaitu sebuah
konstitusi.
Terkait dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting
dalam sidang MPR 1999 tersebut. Kesepakatam politik seluruh
anggota MPR untuk mengamandemen secara bertahap pasal-pasal di
dalam UUD 1945 agar lebih klengkap, lebih jelas ( tidak multi
interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta
perkembangan jaman. Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep
negara kesatuan sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 ayat 1
tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi periode
diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen Perubahan, tambahan
dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37
UUD 1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula,
maka yang dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya
sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD 1945 adalah merubah,
menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya lagi
UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah
bahwa UUD’45 tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan
konsekuen sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan,
antara lain banyak lembaga-lembaga negara sebagaimana di
kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga
tersebut belum atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam
UUD.

4. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari


Diberlakukannya Kembali UUD 1945 Sampai Amandemen
UUD 1945 I,II,III, dan IV.
Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem
constitutional amandement yaitu perubahan tidak dilakukan
langsung terhadap UUD lama, UUD lama masih tetap berlaku,
sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan
adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu,
yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang
asli. Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode
diberlakukannya kembali UUD ’45 sampai dengan amandemen UUD
‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen.Dalam
mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan
hasil dari perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang
asli. Perubahan tentang UUD ’45 sudah bisa diramal oleh para
penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45
disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi
dimungkinkan tata cara perubahan untuk penyempurnaan, bahkan
kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru.
Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara
Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945. Walaupun
diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45 tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah
konstitusipun mulai banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan
lain-lain yang senantiasa berubah, juga mewajibkan untuk
menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi
perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat.
Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga
dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam
pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan “staatsidee”
mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan
demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal
seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka,
serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang
terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45
sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama
ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata cara
perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik
dan social yang dominan pada saat-saat tertentu. UUD ’45
menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD
di Negara-negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan
dan aturan Tambahan. Belum pernah dijumpai ada UUD yang
mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu
dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik (1946) dan
Lembaran Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD.
Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-
keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi
maupun penyusunannya kurang memperhatikan syarat, unsur, dan
asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik. Pada saat ini
tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku,
dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak
dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula
aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya
berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD ’45. Cara perubahan
konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu
perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia,
tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45
pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan
merubah UUD yaitu MPR.
Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di
Indonesia sebagai berikut:
 Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam
sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota MPR.
 Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis
dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk
diubah beserta alasannya.
 Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
 Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah
satu anggota dari seluruh anggota MPR.
C. PENUTUP

Sejarah konstitusi Indonesia dapat dikatakan telah melewati


berbagai tahap perkembangan. Tiap tahap memunculkan model
ketatanegaraan yang khas, sampai karena trauma masa lalu
terutama akibat praktik politik Orde Baru yang menyalah gunakan
konstitusi untuk tujuan kekuasaannya yang sentralistik dan otoriter,
memunculkan ide untuk mengamandemen UUD 1945.
Mengamandemen konstitusi (undang-undang dasar) jelas bukan
urusan sederhana. Sebab undang-undang dasar merupakan desains
untama negara untuk mengatur berbagai hal fundamental dan
strategis, dari soal struktur kekuasaan dan hubungan antar
kekuasaan organ negara sampai hak asasi manusia. Sistem
ketatanegaraan dalam UUD akan menentukan nasib bangsa dan
negara. Proses amandemen UUD 1945 terjadi secara bertahap selama
empat kali yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun
2002. Ada berbagai kekurangan dalam empat tahap amandemen
tersebut yang mendapat sorotan tajam diantara para pengamat.
Adanya kekurangan dalam amandemen UUD 1945 adalah
merupakan hal yang manusiawi karena banyaknya materi yang
diubah, dikurangi, atau ditambah dengan amandemen pertama
sampai keempat. Bertolak dari kekurangan inilah, memunculkan ide
perlunya
dibentuk Komisi Konstitusi yang akan membantu melakukan koreksi
dan mengatasi kekurangan-kekurangan itu untuk amandemen
mendatang

D. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik yang
membangun dari para pembaca.

E. Daftar Pustaka
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9044

https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3786

Miriam Budiardjo. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit


Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai