dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 menentukan tiga jenis alasan yang dapat menjadi
dapat dilaksanakan dengan dukungan sedikitnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sedikitnya 2/3 dari jumlah
92
Dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat, impeachment merupakan mekanisme yang
digunakan untuk kasus-kasus ekstrem, hanya untuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan,
penyuapan dan kejahatan berat serta perbuatan tercela (treason, bribery and other crimes and
misdemeanors), istilah ini dikutip dari Janedri M. Gafar, Hal Ikhwal Impeachment, Harian Seputar
Indonesia, Jakarta,03 Februari 2010.
57
anggota DPR. Selanjutnya DPR akan melakukan fungsi pengawasan berupa
penggunaan Hak Interpelasi dan Hak Angket kepada pemerintah. Rapat paripurna
kemudian akan mengambil keputusan mengenai disetujui atau tidak usul hak
pendapat tersebut setelah prosedur rapat dengan presiden dan/atau wakil presiden
atau para perwakilannya, dapat berujung pada dua skenario yakni penyampaian
Maka dapat dikatakan bahwa usulan pemberhentian oleh DPR ini sangat rentan
dengan muatan politis, karena sangat mungkin bahwa DPR mengajukan usulan
pemberhentian hanya atas dasar dugaan semata. Rumusan yang seperti ini sangat
waktu paling lama 90 hari setelah permintaan DPR, Mahkamah Konstitusi wajib
93
Muhklis dan Moh. Saleh, Konstitusionalitas Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, hal. 109.
58
pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut
dari DPR.
Di dalam penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga
dijelaskan bahwa jika DPR menganggap bahwa presiden dan/atau wakil presiden
Dasar atau oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk persidangan istimewa
MPR setelah didapatnya kesimpulan dari DPR bahwa presiden dan/atau wakil
presiden telah sungguh melanggar haluan negara. Walaupun dalam penjelasan ini
tidak secara eksplisit bahwa pertanggungjawaban yang ditolak oleh MPR nanti
diatur dalam ketetapan MPR yang menentukan bahwa MPR berwenang meminta
94
Nadir, Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment
Presiden, Jurnal konstitusi Vol. 9 No. 2, Jakarta, 2012, hal. 343.
59
atau peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan melanggar haluan
didasari pada kajian terhadap berbagai ketetapan MPR yang ada dan praktek
ketetapan MPR mengenai garis -garis besar haluan negara maupun ketetapan
MPR lainnya serta pelanggaran terhadap UUD 1945. Sekecil apapun kesalahan
yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, Pasal 7A UUD 1945
yang terjadi kepada dua presiden pada waktu itu beralasan pada karena presiden
yang menjabat pada waktu itu telah kehilangan legitimasi karena tindakan dan
should resign from his office when he loses the support if the mayority of
95
Saldi Isra, Gerbang Menuju Pemberhentian, Artikel Surat Kabar Media Indonesia, 04 November
2009.
96
Lisdhani Hamdan Siregar, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemberhentian
Presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia,Jurnal Konstitusi Vol. 9 No.2, Juni 2012, hal. 298.
60
menggunakan sistem pemerintahan presidensial.97 Nyatanya, alasan yang
digunakan untuk memakzulkan kedua presiden pada waktu itu masih bersifat
alasannya.
oleh instabilitas situasi dan kondisi politik karena adanya peristiwa G.30 S/PKI,
menentunya situasi politik pada masa itu. Maraknya kriminalitas dan krisis
beberapa pokok yang menjadi isi pidato tersebut adalah sebagai berikut:
seumur hidup;
dalam ekonomi;
97
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan Intrans, Malang, 2004, hal. 32.
98
Ibid, hal. 57.
61
3. Pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan pembangunan politik dan
pembangunan ekonomi;
keputusan No. 5/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966, yang berisi meminta kepada
Soekarno.
62
4. Yang bersalah harus dihukum karena itu telah dibentuk MAHMILUB
pimpinan MPRS yang menggelar rapat berturut-turut dari tanggal 20-21 Januari
100
Ibid, hal. 94-95.
63
Atas dasar tersebut, DPR Gotong Royong menganggap bahwa Presiden
MPRS pada tanggal 7-11 Maret 1967 di Jakarta. Hasil dari sidang istimewa
No.13/B/1967, yang isi nya menolak pidato pelengkap nawaksara dengan alasan
sebagai berikut :
MPRS;
terhadap MPRS.101
101
Didit Hariadi Estiko & Prayudi, Berbagai Perspektif Tentang Memorandum Kepada
Presiden:Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum DPR-RI Kepada Presiden
Abdurrahman Wahid, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI,
Jakarta, 2002, hal. 80-81.
64
kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi
kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan
102
Ibid.
65
Pemberhentian ini dilakukan dengan cara pencabutan kekuasaan atau mandat oleh
MPR melalui sidang istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001. Adapun alasan
pemberhentian oleh MPR ini diantaranya karena Presiden Gus Dur terindikasi
membentuk Pansus tentang dugaan keterlibatan Presiden Gus Dur dalam kasus
bulog dan kasus Brunei dan menyimpulkan adanya keterlibatan Presiden Gus Dur
dalam kedua kasus tersebut. Sehingga sidang paripurna DPR pada waktu itu
mengingatkan bahwa Presiden Gus Dur sungguh melanggar haluan negara, yakni:
menganggap, bahwa Presiden Gus Dur sungguh telah melanggar haluan negara
103
Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009,
hal. 62.
66
Atas dasar permintaan DPR kepada MPR untuk menggelar sidang
2001.104 Namun jadwal sidang istimewa itu dipercepat satu minggu lebih awal
yakni tanggal 21 Juli 2001 dengan alasan memburuknya situasi dan kondisi
politik pada waktu itu akibat dari diumumkannya Maklumat Presiden oleh
Dekrit Presiden itu kemudian tidak diakui oleh mayoritas anggota DPR
dan reaksi atas dikeluarkan dekrit tersebut adalah memorandum ketiga yang
dipercepat oleh DPR dengan agenda mencabut mandat terhadap Presiden Gus
negara karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Gus Dur untuk memberikan
pada waktu itu menjabat sebagai wakil presiden. Jabatan wakil presiden kemudian
diisi oleh Hamzah Haz berdasarkan TAP MPR tersebut. Dengan demikian, unsur
utama yang dijadikan alasan pemberhentian Presiden Gus Dur adalah dilihat
104
Ni’Matul Huda, Politik Ketatangeraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 174.
105
Ibid, hal. 175.
67
berdasarkan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap haluan negara, termasuk
peraturan lainnya.
ketatanegaraan Indonesia, sangat jelas terlihat bahwa apa yang terjadi pada
oleh lembaga DPR dan MPR. Prosedur pemberhentian Presiden Gus Dur memang
telah dilandasi oleh aturan yang sedikit lebih maju dibandingkan pemberhentian
kenyataannya ketentuan yang ada itupun tidak sepenuhnya ditaati oleh anggota
MPR ketika memakzulkan Presiden Gus Dur yang menafsirkan bahwa MPR dapat
bersifat memaksa.106 Selain itu, pandangan sebagian besar anggota MPR yang
nyata adalah, bahwa MPR setiap waktu dapat memberhentikan Presiden dari
106
Laporan Penelitian Mekanisme Impeachment………, Ibid., hal. 46.
107
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal.
102.
68
Sedangkan, Pemberhentian yang dilakukan terhadap Presiden Soekarno
tidak didasari pada ketentuan yang jelas, tetapi hanya berdasarkan bahwa menurut
atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. Adanya wewenang MPR untuk
108
Soimin, Op.Cit., hal. 64
69
2. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang quorum DPR sebagai syarat
3. Apabila UUD 1945 tidak menentukan batasan waktu paling lama dan
rumusan dalam Pasal 7B ayat (5) Amandemen ketiga UUD 1945 yang
70
istimewa akan sangat bergantung kepada dua hal. Pertama, adanya
undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR
berhenti nya Presiden Soeharto pada masa waktu itu karena mengundurkan diri
akibat desakan dari seluruh rakyat Indonesia yang sudah tidak percaya lagi pada
kepemimpinannya.
109
Saldi Isra, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-
jurnalnasional/384-perubahan-undang-undang-dasar-1945-dan-implikasinya-terhadap-sistem-
ketatanegaraan-indonesia.html, diakses pada 24 Desember 2019.
71
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada era awal reformasi, kran
demokrasi mulai terbuka, kebebasan berpendapat bagi semua warga negara tanpa
harus dihantui oleh rasa takut, egaliterisme di antara warga negara dalam alam
perubahan UUD 1945 yang sebelumnya terlalu disakralkan oleh orde baru sering
Demokrasi dan kebebasan yang demikian di alam reformasi yang baru itu
terhadap tata nilai dan sistem ketatanegaraan Indonesia, dari sistem pemerintahan
menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM). Agenda amandemen UUD 1945 ini
penjaga UUD 1945 dari segala bentuk penyimpangan kekuasaan (abuse of power)
terjadi konflik di antara lembaga negara yang saling menjatuhkan satu sama lain
dibubarkannya lembaga DPR dan era pemerintahan Presiden Gus Dur yang
72
Di Indonesia, tercatat sudah dua kali terjadi pemberhentian terhadap
Presiden, yaitu pada masa Presiden Soekarno era Orde Lama dan Presiden
pemberhentian tersebut adalah adanya sengketa antara dua lembaga negara yakni
DPR dengan Presiden. Kedua Presiden yang memimpin Republik Indonesia harus
jabatannya harus terlebih dahulu diuji kebenaran atas dugaan yang diajukan oleh
73
Hasil dari reformasi konstitusi yang berikutnya adalah dengan adanya
UUD 1945 pasca amandemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa Article 2 Section 4
dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya di Pasal 7A dan 7B. Setelah di
MPR atau usul DPR. Alasan pemberhentian ini disebutkan secara limitatif dalam
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden. Dugaan mengenai salah satu syarat dapat
diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi, apakah pendapat DPR mengenai
yaitu asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes) dan
pada tingkat pertama dan tingkat terakhir, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final, dan mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap sejak
dibacakan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. 110 Sementara
110
Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) beserta penjelasannya
dan Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
74
pengertian putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan hukum mengikat (erga
omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya akan berlaku sama bagi semua
perkara yang mengandung persamaan yang bisa saja terjadi di masa yang akan
datang. Putusan yang bersifat erga omnes maka implikasinya adalah akan
mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan
daerah.
Sesuai dengan pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Amandemen ketiga UUD
perkara, yaitu:
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan secara otomatis langsung dapat
gewijsde tanpa menunggu lagi keputusan dari lembaga negara lainnya yaitu
putusan tentang pembubaran partai politik, dan putusan tentang sengketa hasil
75
pemilu, Sedangkan putusan yang menyangkut tentang adanya dugaan pelanggaran
oleh presiden dan/atau wakil presiden adalah tidak mempunyai kekuatan hukum
pada akhirnya apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dapat saja
presiden dan/atau wakil presiden tersebut tidaklah bersifat final, karena meskipun
tidak berhenti di putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi masih harus melalui sidang
berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden tersebut tergantung pada
hasil keputusan politik di dalam rapat paripurna MPR sebagai lembaga yang
presiden.111
111
Mukhlish dan Moh. Saleh, Op.Cit., hal. 95.
76
Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kekuatan hukum yang
hanyalah sebatas menjadi pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. 112 Ketentuan
ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) amandemen ketiga
Dasar.
tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final hanya terhadap
112
Ibid, hal. 96
77
Mahkamah Konstitusi mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
putusannya bersifat final hanyalah diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) Amandemen
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden diatur secara terpisah di dalam
Pasal 24C ayat (2) Amandemen ketiga UUD 1945. Di dalam Pasal 24C ayat (2)
Amandemen ketiga UUD 1945 ini, tidak ditentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi ini juga ditemukan di dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
78
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
ayat itu hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 115.
Jadi, pemisahan antara ayat yang berisi tentang kewenangan dengan ayat yang
mempunyai sifat final hanya ada pada urusan pengujian undang-undang terhadap
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
114
Sudah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
115
Ibid, hal. 98.
79
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji pendapat DPR tentang
dugaan adanya pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden yang tidak
bersifat final dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap DPR dan
yudikatif hanya memberikan legalitas atas pendapat DPR ada atau tidaknya bukti
sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
wakil presiden terbukti secara hukum melakukan pelanggaran maupun tidak lagi
atau sudah tidak lagi memenuhi syarat konstitusional sebagai presiden dan/atau
wakil presiden dalam sidang paripurna bisa saja bukan untuk melaksanakan
presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur pada Pasal 7A UUD 1945
hasil amandemen.
penuh kepada keputusan politik MPR, hal ini berarti tetap mengacu pada
80
rakyat dalam representasi MPR sebagai lembaga lembaga perwakilan rakyat
itu, akibat adanya ikut campur Mahkamah Konstitusi dalam prosedur pamakzulan
presiden dan/atau wakil presiden, pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
negara hukum” menjadi semu dan tidak jelas, karena dalam praktiknya bukan
dalam rangka pelaksanaan prinsip checks and balances di satu sisi merupakan
langkah nyata untuk dapat saling mengkoreksi kinerja antar lembaga negara 117,
dianut di dalam UUD 1945 itu sendiri. Sebab, kedaulatan rakyat di Indonesia di
Konstitusi tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung oleh
rakyat melainkan diusulkan dan dipilih masing-masing 3 orang oleh DPR, 3 orang
116
Ibid, hal. 100.
117
Bambang Sutiyoso, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pemberhentian Presiden
dan/atau wakil presiden di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol.7 No.1, Jakarta, 2010, hal 97.
81
konstitusi118, sehingga memberikan peluang bagi DPR, presiden, dan Mahkamah
yang bersifat transparan, objektif, dan akuntabel. Hingga saat ini, pelaksanaan
Contoh lainnya yang tidak kalah kontroversi adalah pada saat Presiden
Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi tanpa melalui mekanisme
82
objektifitas sebagai prosedur dari prinsip kedaulatan rakyat yang di anut di
konstitusi Indonesia.
Dari apa yang dipaparkan diatas jelas bahwa seleksi hakim konstitusi
selama ini dapat dikatakan tidak transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel
Indonesia.
presiden di Indonesia adalah tata cara pengambilan keputusan oleh para hakim
mufakat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim melalui sidang pleno tertutup yang
dipimpin oleh ketua sidang. Di dalam rapat pengambilan keputusan oleh hakim
tidak ada suara abstain dalam pada tahap ini. Selanjutnya apabila putusan tidak
dapat dihasilkan melalui musyawarah oleh para hakim konstitusi, maka putusan
83
Setelah prosedur yang dilalui di Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan
usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari DPR, maka MPR
memutuskan usul dari DPR tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 hasil
diambil di dalam sidang yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota MPR dan harus pula disetujui oleh sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari
jumlah anggota MPR yang hadir. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B
122
Adventus, Pemberhentian Presiden: Dari Prosedur Politik Ke Prosedur Hukum, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, Juni 2013, hal. 11.
84
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
Permusyawaratan Rakyat.”
oleh Mahkamah Konstitusi.123 Semua kembali lagi pada kekuatan dan kesepakatan
jabatannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 ayat (3)
123
Ibid.
85
UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang menyatakan bahwa yang mempunyai
keputusan.
(3) UUD 1945 tersebut juga bersandar pada asas contrario actus yang berarti
dan/atau wakil presiden juga dilakukan oleh MPR.124 Maka dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi. Hal ini didasari pada ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 1945
dalam masa jabatannya dan juga didasari pada asas contrario actus. Jika MPR
124
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 478.
86
dan/atau wakil presiden merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan
peradilan.125
presiden baru dapat terjadi apabila didasarkan atas dua dasar hukum. Pertama,
ini menjadi suatu kelemahan tersendiri. Karena keutamaan dari putusan tersebut
otomatis akan menjadi yang baik dan benar (majority rule). Perumusan putusan
MPR ditentukan bukan oleh musyawarah diskursif berdasarkan akal budi dan
adalah adu kuat berdasarkan jumlah.128 Dengan demikian, voting sangat identik
125
Laica Marzuki, Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar
1945, Jurnal Konstitusi Vol. 7 No.1, Februari 2010, hal. 26.
126
Pasal 7B ayat (5) amandemen ketiga UUD 1945
127
Pasal 7B ayat (7) amandemen ketiga UUD 1945
128
https://www.kompasiana.com/stlknt/59f36cb48dc3fa7b470e4182/titik-lemah-demokrasi-di-
indonesia?page=all. Diakses pada tanggal 25 Desember 2019.
87
dengan pertarungan kekuatan politik, yang jauh dari sifat musyawarah. Dalam
Jika secara a contrario ditafsirkan, rumusan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945
hasil amandemen ketiga diatas, maka DPR berarti tidak boleh meneruskan usul
presiden dan/atau wakil presiden dinyatakan ditolak atau tidak terbukti. Akan
tetapi, jika DPR tetap meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden tersebut kepada MPR karena desakan politik dari dalam maupun dari
luar (dari rakyat) DPR sangat kuat, maka tindakan DPR tersebut dapat dianggap
Walaupun aturan ini telah dirumuskan dalam Pasal 7B ayat (5) UUD 1945
amandemen ketiga, akan tetapi tidaklah menutup kemungkinan bahwa DPR akan
kepada MPR meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak
hukum. Dikarenakan bahwa di dalam rumusan Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 hasil
88
rumusan bahwa MPR wajib memutuskan usul pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden yang diajukan oleh DPR. Dengan kata lain, yang wajib diputuskan
pada saat sidang paripurna oleh MPR adalah mengenai “usul DPR” mengenai
Konsekuensi hukum dari rumusan Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 tersebut
adalah ketika DPR tetap mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dalam rangka menjalankan mandat yang telah diberikan oleh rakyat
sesuai dengan asas kedaulatan rakyat kepada MPR, maka MPR tetap wajib
meskipun tindakan DPR tersebut bersifat kontradiktif dengan apa yang diputuskan
permintaan DPR akan tetap dianggap konstitusional. 129 Dengan demikian, apabila
hal ini terjadi dikemudian hari, maka dapat dikatakan mekanisme pemberhentian
melanggar ketentuan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 hasil amandemen ketiga.
adalah jika dalam sidang MPR pengambilan keputusannya berdasarkan pada suara
terbanyak yang dipengaruhi oleh situasi politik yang cepat berubah ternyata
129
Berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945 amandemen ketiga.
89
menimbulkan kebingungan di kalangan rakyat dan MPR sebagai lembaga
perwakilan pemegang mandat rakyat tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri.
90