Anda di halaman 1dari 34

BAB III

PROBLEMATIKA PEMBERHENTIAN PRESIDEN (PEMAKZULAN)

PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA

A. Pengaturan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di dalam

UUD 1945 yang tidak tegas

Pada tahun 1999, MPR melakukan amandemen pertama terhadap UUD

1945.Setelah itu, dalam tiga tahun berturut-turut, MPR melakukukan tiga

perubahan lainnya. prosedur pemberhentian dalam UUD 1945 hasil amandemen

secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, usul pemberhentian

dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan

permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan

memberikan putusan mengenai pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil

presiden terbukti melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B

UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 menentukan tiga jenis alasan yang dapat menjadi

dasar pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yaitu pelanggaran hukum,

perbuatan tercela (misdemeanor)92, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai

presiden dan/atau wakil presiden. Pengajuan kepada Mahkamah Konstitusi hanya

dapat dilaksanakan dengan dukungan sedikitnya 2/3 dari jumlah anggota DPR

yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sedikitnya 2/3 dari jumlah

92
Dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat, impeachment merupakan mekanisme yang
digunakan untuk kasus-kasus ekstrem, hanya untuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan,
penyuapan dan kejahatan berat serta perbuatan tercela (treason, bribery and other crimes and
misdemeanors), istilah ini dikutip dari Janedri M. Gafar, Hal Ikhwal Impeachment, Harian Seputar
Indonesia, Jakarta,03 Februari 2010.

57
anggota DPR. Selanjutnya DPR akan melakukan fungsi pengawasan berupa

penggunaan Hak Interpelasi dan Hak Angket kepada pemerintah. Rapat paripurna

kemudian akan mengambil keputusan mengenai disetujui atau tidak usul hak

menyatakan pendapat tersebut atau tidak. Apabila disetujui hak menyatakan

pendapat tersebut setelah prosedur rapat dengan presiden dan/atau wakil presiden

atau para perwakilannya, dapat berujung pada dua skenario yakni penyampaian

pendapat ke presiden dan/atau wakil presiden atau masuk ke prosedur

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi.

Maka dapat dikatakan bahwa usulan pemberhentian oleh DPR ini sangat rentan

dengan muatan politis, karena sangat mungkin bahwa DPR mengajukan usulan

pemberhentian hanya atas dasar dugaan semata. Rumusan yang seperti ini sangat

berpengaruh terhadap objektifitas penggunaan hak menyatakan pendapat DPR.93

Prosedur ini berlanjut ke Mahkamah Konstitusi yang mana dalam

waktu paling lama 90 hari setelah permintaan DPR, Mahkamah Konstitusi wajib

memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya pendapat DPR

mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Putusan Mahkamah

Konstitusi terdapat 3 kemungkinkan : (i) Permohonan tidak dapat diterima,

apabila permohonan tidak memenuhi syarat; (ii) Membenarkan pendapat DPR,

apabila terbukti melakukan pelanggaran yang berakibat pada pemberhentian; dan

(iii) Permohonan ditolak, apabila tidak terbukti melakukan pelanggaran pasal

pemberhentian. Apabila amar putusannya adalah membenarkan pendapat DPR,

maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul

93
Muhklis dan Moh. Saleh, Konstitusionalitas Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, hal. 109.

58
pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk

memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut

dari DPR.

Di dalam penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga

dijelaskan bahwa jika DPR menganggap bahwa presiden dan/atau wakil presiden

sungguh melanggar Haluan Negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang

Dasar atau oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk persidangan istimewa

agar supaya bisa meminta pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden.

Prosedur meminta pertanggungjawaban tersebut melalui persidangan istimewa

MPR setelah didapatnya kesimpulan dari DPR bahwa presiden dan/atau wakil

presiden telah sungguh melanggar haluan negara. Walaupun dalam penjelasan ini

tidak secara eksplisit bahwa pertanggungjawaban yang ditolak oleh MPR nanti

nya akan berakibat pada diberhentikannya seorang presiden dan/atau wakil

presiden. Tindakan DPR ini merupakan bagian dari perwujudan fungsi

pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang, dan peraturan pelaksanaannya.94

Pengaturan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

diatur dalam ketetapan MPR yang menentukan bahwa MPR berwenang meminta

pertanggungjawaban presiden mengenai pelaksanaan garis besar haluan negara

dan menilai pertanggungjawaban tersebut serta mencabut kekuasaan dan menganti

presiden dan/atau wakil presiden dalam jabatannya apabila presiden dan/atau

wakil presiden sungguh-sungguh melanggar garis-garis besar haluan negara dan

94
Nadir, Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment
Presiden, Jurnal konstitusi Vol. 9 No. 2, Jakarta, 2012, hal. 343.

59
atau peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan melanggar haluan

negara tidak didefinisikan dalam perundang-undangan yang ada, namun lebih

didasari pada kajian terhadap berbagai ketetapan MPR yang ada dan praktek

ketatangaraan Indonesia, pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan MPR baik

ketetapan MPR mengenai garis -garis besar haluan negara maupun ketetapan

MPR lainnya serta pelanggaran terhadap UUD 1945. Sekecil apapun kesalahan

yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, Pasal 7A UUD 1945

memungkinkan adanya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.95

UUD 1945 pasca amandemen memang secara mendasar telah banyak

mengubah ketentuan mengenai alasan, tahapan, dan tata cara pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Dibandingkan dengan pada masa

sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 dimana pemberhentian

yang terjadi kepada dua presiden pada waktu itu beralasan pada karena presiden

yang menjabat pada waktu itu telah kehilangan legitimasi karena tindakan dan

perbuatannya yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum baik

hukum pidana maupun hukum ketatanegaraan yang di dalamnya termasuk

pelanggaran sumpah jabatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap

konstitusi. Sistem yang demikian membawa konsekuensi bahwa “the president

should resign from his office when he loses the support if the mayority of

parliament”.96 Konsekuensi demikian tidak lazim terjadi di negara yang

95
Saldi Isra, Gerbang Menuju Pemberhentian, Artikel Surat Kabar Media Indonesia, 04 November
2009.
96
Lisdhani Hamdan Siregar, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemberhentian
Presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia,Jurnal Konstitusi Vol. 9 No.2, Juni 2012, hal. 298.

60
menggunakan sistem pemerintahan presidensial.97 Nyatanya, alasan yang

digunakan untuk memakzulkan kedua presiden pada waktu itu masih bersifat

rancu dikarenakan UUD 1945 sebelum di amandemen tidak mengatur dengan

tegas mengenai pemberhentian presiden di masa jabatannya termasuk alasan-

alasannya.

Terjadinya pemberhentian terhadap Presiden Soekarno adalah disebabkan

oleh instabilitas situasi dan kondisi politik karena adanya peristiwa G.30 S/PKI,

yang disusul kemudian terjadinya krisis ekonomi nasional akibat tidak

menentunya situasi politik pada masa itu. Maraknya kriminalitas dan krisis

moralitas hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Situasi yang demikian

akhirnya memicu perseteruan antara Presiden Soekarno dengan MPRS, sehingga

Presiden Soekarno membuat laporan pertanggungjawaban dan dibacakan

dihadapan sidang MPRS yang dikenal sebagai “Pidato Nawaksara”.98 Adapun

beberapa pokok yang menjadi isi pidato tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ajakan melakukan retrospeksi tentang posisi Presiden sebagai

Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPRS serta Presiden

seumur hidup;

2. Laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno mengenai

pelaksanaan GBHN yang terkandung dalam ketetapan MPRS No. I

dan II tahun 1960, yaitu pelaksanaan Trisaksi, yaitu berdaulat dan

bebas dalam politik, kepribadian dalam kebudayaan dan berdikari

dalam ekonomi;
97
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan Intrans, Malang, 2004, hal. 32.
98
Ibid, hal. 57.

61
3. Pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan pembangunan politik dan

pembangunan ekonomi;

4. Penjelasan lainnya tentang Demokrasi Terpimpin, pelaksanaan

GBHN yang akan dibicarakan di DPR, rencana pemurnian

pelaksanaan UUD 1945 dan terkait dengan tugas MPR/MPRS serta

kedudukan Presiden dan Wakil Presiden.99

Pidato Nawaksara tersebut ditanggapi oleh MPRS dengan mengeluarkan

keputusan No. 5/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966, yang berisi meminta kepada

Presiden Soekarno agar melengkapi laporan pertanggungjawaban kepada MPRS

khusus hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa G.30 S/PKI, kemunduran

ekonomi, dan merosotnya moralitas bangsa Berdasarkan keputusan tersebut, pada

tanggal 22 Oktober 1966 MPRS menyampaikan surat lanjutan kepada Presiden

Soekarno.

Terhadap surat dari MPRS tersebut, tanggal 10 Januari 1967, Presiden

Soekarno menanggapinya dengan membuat Surat Presiden No.01/Pres/67 yang

dikenal dengan “Pelengkap Nawaksara” yang pada intinya berisi:

1. Ajakan sekuat tenaga bersama-sama untuk meniadakan “suatu konflik”

demi menyelamatkan revolusi, membangun persatuan dan kesatuan,

menekankan kewaspadaan istimewa terhadap kekuatan kontra-revolusi,

karena situasi politik di tanah air sudah gawat;

2. Peristiwa G. 30 S adalah satu “complete overrompeling”;

3. Telah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober) pada pidato Presiden

tanggal 17 Agustus 1966;


99
Hamdan Zoelva, Impeachment……, Op.Cit., hal. 93.

62
4. Yang bersalah harus dihukum karena itu telah dibentuk MAHMILUB

(Mahkamah Militer Luar Biasa);

5. Terjadinya peristiwa G.30 S karena bertemunya tiga sebab yaitu:

Keblingeran pimpinan PKI, Kelihaian subversi Nekolin, dan memang

adanya oknum-oknum yang tidak benar;

6. Masalah kemerosotan ekonomi, bukanlah disebabkan oleh satu orang saja

tetapi satu resultante daripada prosedur faktor-faktor objektif dan tindakan

dari keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat;

7. Masalah kemerosotan akhlak adalah hasil perkembangan daripada

prosedur kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya

yang tidak mungkin oleh satu orang saja.100

Pelengkap Pidato Nawaksara tersebut mendapat tanggapan kembali dari

pimpinan MPRS yang menggelar rapat berturut-turut dari tanggal 20-21 Januari

1967 yang menyimpulkan bahwa Presiden Soekarno telah lalai memenuhi

ketentuan-ketentuan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden

No.01/Pres/67, yaitu mengingkari keharusan bertanggung jawab kepada MORS

dan hanya menyataan semata-mata bertanggung-jawab mengenai GBHN

saja.Selain itu, MPRS juga menganggap bahwa Surat Presiden No.01/Pres/67

tersebut hanya merupakan surat jawaban atas Nota Pimpinan MPRS

No.2/Pim.MPRS/1966, bukan merupakan pelengkap Nawaksara yang ditentukan

oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.

100
Ibid, hal. 94-95.

63
Atas dasar tersebut, DPR Gotong Royong menganggap bahwa Presiden

Soekarno telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD

1945 dan meminta MPRS untuk menetapkan penyelenggaraan sidang istimewa

MPRS pada tanggal 7-11 Maret 1967 di Jakarta. Hasil dari sidang istimewa

tersebut melahirkan putusan yang tertuang dalam Keputusan Pimpinan MPRS

No.13/B/1967, yang isi nya menolak pidato pelengkap nawaksara dengan alasan

sebagai berikut :

1. Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggunjawaban

konstitusional, sebagaimana layaknya seorang mandataris terhadap

MPRS;

2. Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan

putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang mandataris

terhadap MPRS.101

Sidang istimewa MPRS juga mengeluarkan Ketetapan MPRS No.

XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara

dari Presiden Soekarno; dengan alasan-alasan sebagaimana tercantum

dalam bagian pertimbanganya:

1. Pidato nawaksara dan pelengkap nawaksara, tidak memenuhi

harapan rakyat pada umumnya, anggota MPRS pada khususnya

karena tidak memuat secara jelas pertanggungan jawab tentang

101
Didit Hariadi Estiko & Prayudi, Berbagai Perspektif Tentang Memorandum Kepada
Presiden:Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum DPR-RI Kepada Presiden
Abdurrahman Wahid, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI,
Jakarta, 2002, hal. 80-81.

64
kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi

G.30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan

kemerosotan akhlak bangsa;

2. Pengumuman penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno

kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967;

3. Adanya petunjuk-petunjuk bahwa Presiden Soekarno telah

melakukan gerakan politik yang secara tidak langsung

menguntungkan G.30 S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G.30

S/PKI sesuai laporan tertulis Panglima Operasi Keamanan dan

Ketertiban tanggal 1 Februari 1967 dan dilengkapi pidato laporan

di hadapan Sidang Istimewa MPRS.102

Dimakzulkannya Presiden Soekarno pada tahun 1967 disebabkan oleh

ditariknya mandat oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

dengan alasan mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato

pertanggungjawaban yang dinamai Nawaksara. Meskipun sejak berlakunya

kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan

dimakzulkannya Presiden Soekarno, blm ada aturan yang jelas mengenai

pemberhentian terhadap presiden pada saat itu. Tetapi dalam praktek

ketatanegaraan Indonesia, hal tersebut sudah menunjukkan bahwa pernah

terjadinya prosedur pemberhentian terhadap Presiden.

Pemberhentian kedua yang pernah terjadi di Indonesia adalah pada saat

masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tahun 2001.

102
Ibid.

65
Pemberhentian ini dilakukan dengan cara pencabutan kekuasaan atau mandat oleh

MPR melalui sidang istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001. Adapun alasan

pemberhentian oleh MPR ini diantaranya karena Presiden Gus Dur terindikasi

penyalahgunaan dana bulog (buloggate) dan dana dari Bruneidarrussalam

(Bruneigate), melakukan pergantian jabatan Kapolri Jenderal Polisi S. Bimantoro

tanpa persetujuan DPR, dan seringnya mengeluarkan pendapat ancaman akan

mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pembubaran DPR dan MPR.

DPR pada saat itu kemudian mengajukan memorandum pertama dan

membentuk Pansus tentang dugaan keterlibatan Presiden Gus Dur dalam kasus

bulog dan kasus Brunei dan menyimpulkan adanya keterlibatan Presiden Gus Dur

dalam kedua kasus tersebut. Sehingga sidang paripurna DPR pada waktu itu

memutuskan menerima dan menyetujui laporan hasil kerja pansus dan

memutuskan untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan memorandum untuk

mengingatkan bahwa Presiden Gus Dur sungguh melanggar haluan negara, yakni:

1. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan Presiden;

2. Melanggar Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.103

Tahapan berlanjut dengan adanya memorandum kedua di mana DPR

menganggap, bahwa Presiden Gus Dur sungguh telah melanggar haluan negara

seperti yang sudah dijabarkan di atas.

103
Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009,
hal. 62.

66
Atas dasar permintaan DPR kepada MPR untuk menggelar sidang

istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Gus Dur, MPR kemudian

menetapkan jadwal sidang istimewa akan dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus

2001.104 Namun jadwal sidang istimewa itu dipercepat satu minggu lebih awal

yakni tanggal 21 Juli 2001 dengan alasan memburuknya situasi dan kondisi

politik pada waktu itu akibat dari diumumkannya Maklumat Presiden oleh

Presiden Gus Dur yang kemudian dikenal dengan “Dekrit Presiden”.105

Dekrit Presiden itu kemudian tidak diakui oleh mayoritas anggota DPR

dan reaksi atas dikeluarkan dekrit tersebut adalah memorandum ketiga yang

dipercepat oleh DPR dengan agenda mencabut mandat terhadap Presiden Gus

Dur. Sehingga sidang istimewa pun digelar dengan agenda pemberhentian

Presiden Gus Dur karena dinyatakan telah sungguh-sungguh melanggar haluan

negara karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Gus Dur untuk memberikan

pertanggungjawaban dalam sidang istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan

Maklumat Presiden yang dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No.III/MPR/2001

tentang Pemberhentian Jabatan Presiden Abdurrahman Wahid.

Dalam TAP MPR tersebut berisikan materi pemberhentian Presiden Gus

Dur yang kemudian jabatannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang

pada waktu itu menjabat sebagai wakil presiden. Jabatan wakil presiden kemudian

diisi oleh Hamzah Haz berdasarkan TAP MPR tersebut. Dengan demikian, unsur

utama yang dijadikan alasan pemberhentian Presiden Gus Dur adalah dilihat

104
Ni’Matul Huda, Politik Ketatangeraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 174.
105
Ibid, hal. 175.

67
berdasarkan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap haluan negara, termasuk

konstitusi, TAP MPR maupun pelanggaran terhadap Undang-undang serta

peraturan lainnya.

Dari kedua peristiwa pemberhentian Presiden RI sepanjang sejarah

ketatanegaraan Indonesia, sangat jelas terlihat bahwa apa yang terjadi pada

pengalaman pemberhentian terhadap Presiden Soekarno dan Presiden

Abdurrahman Wahid di atas menunjukkan bahwa tidak adanya ketentuan yang

jelas pada masa itu mengenai alasan pemberhentian dan mekanisme

pemberhentian itu sendiri sehingga cenderung ditentukan oleh penafsiran subjektif

oleh lembaga DPR dan MPR. Prosedur pemberhentian Presiden Gus Dur memang

telah dilandasi oleh aturan yang sedikit lebih maju dibandingkan pemberhentian

yang dilakukan terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu pemberhentian terhadap

Presiden Gus Dur, sudah ada ketentuan mengenai prosedur memorandum

sebanyak tiga tahapan sebelum dapat dilakukan pemberhentian terhadap Presiden

yang diatur di dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978, meskipun pada

kenyataannya ketentuan yang ada itupun tidak sepenuhnya ditaati oleh anggota

MPR ketika memakzulkan Presiden Gus Dur yang menafsirkan bahwa MPR dapat

melakukan percepatan terhadap memorandum apabila terdapat keadaan yang

bersifat memaksa.106 Selain itu, pandangan sebagian besar anggota MPR yang

nyata adalah, bahwa MPR setiap waktu dapat memberhentikan Presiden dari

jabatannya (kan hem op elk gewenst van ontslag).107

106
Laporan Penelitian Mekanisme Impeachment………, Ibid., hal. 46.
107
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal.
102.

68
Sedangkan, Pemberhentian yang dilakukan terhadap Presiden Soekarno

tidak didasari pada ketentuan yang jelas, tetapi hanya berdasarkan bahwa menurut

UUD 1945, lembaga MPRS memiliki wewenang mengangkat dan

memberhentikan Presiden apabila Presiden dinilai telah melakukan penyimpangan

atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. Adanya wewenang MPR untuk

melakukan pemberhentian terhadap Presiden ini menunjukkan MPR di Indonesia

memiliki hak Supremacy of the People’s Consultative Assemble.108

Setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada periode tahun

1999-2002, UUD 1945 hasil amandemen ternyata masih memiliki beberapa

permasalahan dalam rumusan pasal-pasalnya. Khususnya, terkait dengan konteks

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia di dalam Pasal 7B

antara lain mempunyai permasalahan sebagai berikut:

1. Tidak ditentukannya batasan waktu paling lama untuk DPR dalam

mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada

MPR setelah DPR menerima putusan dari Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan yang membenarkan pendapat dari DPR. Seperti yang

diketahui bahwa DPR merupakan lembaga politik, dimana dinamika

politiknya sangat sangat besar. Perubahan dan konsolidasi politik di

dalamnya terjadi sangat cepat, sehingga sangat memungkinkan keputusan

politik DPR saat akan mengajukan permintaan kepada Mahkamah

Konstitusi akan berbeda dengan dinamika politik pasca lahirnya putusan

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan membenarkan pendapat DPR.

108
Soimin, Op.Cit., hal. 64

69
2. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang quorum DPR sebagai syarat

untuk dapat mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden kepada MPR. Prosedur pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden menjadi semakin tidak jelas legalitas politiknya dan sampai

kapan selesainya. Putusan dari Mahkamah Konstitusi tidak serta merta

mewajibkan kepada DPR untuk segera mengajukan usul pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR, karena Mahkamah

Konstitusi tidak mempunyai hak menurut UUD 1945.

3. Apabila UUD 1945 tidak menentukan batasan waktu paling lama dan

batasan quorum, dengan demikian usulan pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden kepada MPR bergantung sepenuhnya pada dinamika politik

di dalam DPR, sehingga diteruskannya maupun tidak usul pemberhentian

tersebut kepada MPR juga tergantung pada dinamika dan kesepakatan

politik di DPR dikarenakan lembaga yang sejatinya mempunyai hak untuk

mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden adalah

DPR. Dengan demikian, apabila DPR tidak jadi meneruskan usul

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR, maka ini

tidaklah melanggar kontitusi. Hal ini disebabkan oleh tidak jelasnya

rumusan dalam Pasal 7B ayat (5) Amandemen ketiga UUD 1945 yang

hanya menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang

paripurna”. Bunyi pasal ini sangat tidak memberikan sebuah kewajiban

kepada DPR untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau

wakil presiden kepada MPR. Dengan demikian, pelaksanaan sidang

70
istimewa akan sangat bergantung kepada dua hal. Pertama, adanya

pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil

presiden dalam bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar;

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR

setelah dilakukan memorandum pertama dan memorandum kedua.109

B. “Kewajiban” Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia.

Dalam ilmu tata negara, pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

di tengah masa jabatannya disebut sebagai kekuasaan pemberhentian.

Pemberhentian dalam sistem ketatanegaraan di dunia sering digunakan untuk

memberhentikan suatu jabatan pada kekuasaan eksekutif (executive of power).

Yang sering terjadi dalam pemberhentian atau pemberhentian jabatan dari

kekuasaan eksekutif disebabkan oleh karena melanggar ketentuan-ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang terjadi pada Presiden

Soeharto di awal masa reformasi bukanlah pemberhentian oleh MPR, melainkan

berhenti nya Presiden Soeharto pada masa waktu itu karena mengundurkan diri

akibat desakan dari seluruh rakyat Indonesia yang sudah tidak percaya lagi pada

kepemimpinannya.

109
Saldi Isra, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-
jurnalnasional/384-perubahan-undang-undang-dasar-1945-dan-implikasinya-terhadap-sistem-
ketatanegaraan-indonesia.html, diakses pada 24 Desember 2019.

71
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada era awal reformasi, kran

demokrasi mulai terbuka, kebebasan berpendapat bagi semua warga negara tanpa

harus dihantui oleh rasa takut, egaliterisme di antara warga negara dalam alam

demokrasi kian terbuka, hingga suara-suara kritis yang menyuarakan tentang

perubahan UUD 1945 yang sebelumnya terlalu disakralkan oleh orde baru sering

terdengar dari banyak kalangan.

Demokrasi dan kebebasan yang demikian di alam reformasi yang baru itu

kemudian memunculkan semangat perubahan terhadap UUD 1945. Semangat itu

pulalah yang kemudian mengantarkan pada prosedur amandemen UUD 1945

yang merupakan konsekuensi dari reformasi yang menghendaki perubahan

terhadap tata nilai dan sistem ketatanegaraan Indonesia, dari sistem pemerintahan

yang bersifat otoriter sentralistik menjadi pemerintahan yang demokratis serta

menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM). Agenda amandemen UUD 1945 ini

kemudian juga dikenal sebagai reformasi konstitusi. Di dalam prosedur reformasi

konstitusi ini, muncul beberapa gagasan dan pemikiran untuk memperkuat

kekuasaan yudikatif dengan pembentukan lembaga negara yang dapat menjadi

penjaga UUD 1945 dari segala bentuk penyimpangan kekuasaan (abuse of power)

yang dilakukan oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif akibat seringnya

terjadi konflik di antara lembaga negara yang saling menjatuhkan satu sama lain

seperti yang terjadi pada era pemerintahan Presiden Soekarno dengan

dibubarkannya lembaga DPR dan era pemerintahan Presiden Gus Dur yang

dengan mudahnya diberhentikan oleh MPR.

72
Di Indonesia, tercatat sudah dua kali terjadi pemberhentian terhadap

Presiden, yaitu pada masa Presiden Soekarno era Orde Lama dan Presiden

Abdurrahman Wahid era Orde Reformasi Hal yang melatarbelakangi

pemberhentian tersebut adalah adanya sengketa antara dua lembaga negara yakni

DPR dengan Presiden. Kedua Presiden yang memimpin Republik Indonesia harus

berakhir karena diberhentikan oleh MPRS/MPR.

Berdasarkan pengalaman dari ketatanegaraan Indonesia tentang

pemberhentian presiden yang pernah terjadi Indonesia tersebut, maka di dalam

amandemen UUD 1945 diperkenalkan sebuah lembaga baru yang bernama

Mahkamah Konstitusi untuk memperkuat kekuasaan yudikatif. Mahkamah

Konstitusi dibentuk dengan maksud sebagai lembaga yang memiliki otoritas

dalam menafsirkan konstitusi, sekaligus menyelesaikan sengketa yang terjadi

antar lembaga negara dan menguji pendapat DPR mengenai pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden.

Dari sudut pandang tata negara pasca di amandemennya UUD 1945,

mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

jabatannya harus terlebih dahulu diuji kebenaran atas dugaan yang diajukan oleh

sebagian atau keseluruhan anggota DPR di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah

Konstitusi dalam menguji keabsahan hukum atas dugaan sebagian atau

keseluruhan anggota DPR terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan

pada UUD 1945 yang sudah di amandemen.

73
Hasil dari reformasi konstitusi yang berikutnya adalah dengan adanya

pengaturan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di dalam

UUD 1945 pasca amandemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa Article 2 Section 4

UUD Amerika Serikat banyak mengilhami negara-negara lain dalam mengatur

mengenai impeachment di dalam konstitusinya termasuk di dalam UUD 1945

pasca amandemen yang melahirkan ketentuan mengenai pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya di Pasal 7A dan 7B. Setelah di

amandemen, terdapat ketentuan yang sangat eksplisit mengatur tentang

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya oleh

MPR atau usul DPR. Alasan pemberhentian ini disebutkan secara limitatif dalam

UUD 1945, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

presiden dan/atau wakil presiden. Dugaan mengenai salah satu syarat dapat

diberhentikannya presiden dan/atau wakil presiden itu selanjutnya akan diperiksa,

diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi, apakah pendapat DPR mengenai

pemberhentian tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.

Mahkamah Kontitusi dalam hukum acaranya mengenal dua asas putusan,

yaitu asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes) dan

asas putusan yang bersifat final. Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan

pada tingkat pertama dan tingkat terakhir, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final, dan mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap sejak

dibacakan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. 110 Sementara

110
Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) beserta penjelasannya
dan Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

74
pengertian putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan hukum mengikat (erga

omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya akan berlaku sama bagi semua

perkara yang mengandung persamaan yang bisa saja terjadi di masa yang akan

datang. Putusan yang bersifat erga omnes maka implikasinya adalah akan

mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan

daerah.

Sesuai dengan pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Amandemen ketiga UUD

1945, bahwa Mahkamah Konstitusi hanya memberikan putusan terhadap 5 (lima)

perkara, yaitu:

1. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan

5. Memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau wakil presiden.

Dari kelima bentuk putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hanya empat

yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan secara otomatis langsung dapat

dilaksanakan sejak putusan Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan in kracht van

gewijsde tanpa menunggu lagi keputusan dari lembaga negara lainnya yaitu

putusan dalam hal pengujian undang-undang, putusan dalam sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,

putusan tentang pembubaran partai politik, dan putusan tentang sengketa hasil

75
pemilu, Sedangkan putusan yang menyangkut tentang adanya dugaan pelanggaran

oleh presiden dan/atau wakil presiden adalah tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat, sehingga putusan ini belum bisa langsung dilaksanakan.

Berdasarkan Pasal 7B ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 bahwa

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih harus disampaikan kepada DPR

yang kemudian DPR akan meneruskannya kepada MPR untuk usulan

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Secara konstitusional,

Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga negara yang berwenang untuk

memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, yang berarti dengan demikian

pada akhirnya apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dapat saja

tidak dilaksanakan oleh MPR.

Maka dapat dikatakan bahwa putusan Mahkamah Kontitusi terhadap

pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh

presiden dan/atau wakil presiden tersebut tidaklah bersifat final, karena meskipun

putusan Mahkamah Konstitusi telah membenarkan pendapat DPR tersebut, namun

pada kenyataannya prosedur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

tidak berhenti di putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi masih harus melalui sidang

paripurna di lembaga DPR dan kemudian diteruskan ke lembaga MPR. Jadi,

berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden tersebut tergantung pada

hasil keputusan politik di dalam rapat paripurna MPR sebagai lembaga yang

berwenang melakukan pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil

presiden.111

111
Mukhlish dan Moh. Saleh, Op.Cit., hal. 95.

76
Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kekuatan hukum yang

bersifat mengikat terhadap DPR dan MPR dikarenakan bahwah Mahkamah

Konstitusi bukanlah lembaga negara yang berwenang memberhentikan presiden

dan/atau wakil presiden, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

hanyalah sebatas menjadi pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. 112 Ketentuan

ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) amandemen ketiga

UUD 1945, yaitu:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-

undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengeketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau wakil presiden menurut Undang-Undang

Dasar.

Berdasarkan rumusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutus pada

tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final hanya terhadap

perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, pembubaran

partai politik, dan perselisihan tentang hasil pemilu. Sedangkan putusan

112
Ibid, hal. 96

77
Mahkamah Konstitusi mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

tidak bersifat final dan mengikat.

Mahkamah Konstitusi memutus tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final hanyalah diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) Amandemen

ketiga UUD 1945, sedangkan mengenai kewajiban Mahkamah Konstitusi

mengenai pemberian putusan atas pendapat DPR tentang dugaan adanya

pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden diatur secara terpisah di dalam

Pasal 24C ayat (2) Amandemen ketiga UUD 1945. Di dalam Pasal 24C ayat (2)

Amandemen ketiga UUD 1945 ini, tidak ditentukan bahwa Mahkamah Konstitusi

merupakan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.113

Pengaturan serupa yang memisahkan antara kewenangan dan kewajiban

Mahkamah Konstitusi ini juga ditemukan di dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.


113
Ibid, hal 97.

78
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat

DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercelan, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Di dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,114 ditentukan bahwa dalam satu

ayat itu hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 115.

Jadi, pemisahan antara ayat yang berisi tentang kewenangan dengan ayat yang

berisi tentang kewajiban Mahkamah Konstitusi dapat diartikan bahwa keduanya

mempunyai norma yang berbeda, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi yang

mempunyai sifat final hanya ada pada urusan pengujian undang-undang terhadap

UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai pendapat DPR terkait dengan dugaan pelanggaran oleh

presiden dan/atau wakil presiden tidaklah bersifat final dan mengikat.

114
Sudah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
115
Ibid, hal. 98.

79
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji pendapat DPR tentang

dugaan adanya pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden yang tidak

bersifat final dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap DPR dan

MPR seharusnya disamakan dengan perkara lainnya yang menjadi kewenangan

Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan berkekuatan hukum mengikat, dan harus

dilaksanakan oleh DPR maupun MPR. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

yudikatif hanya memberikan legalitas atas pendapat DPR ada atau tidaknya bukti

secara hukum Presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran atau

sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Apabila kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau

wakil presiden terbukti secara hukum melakukan pelanggaran maupun tidak lagi

memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden , maka dengan

demikian telah sah untuk dinyatakan telah melakukan pelanggaran konstitusional

atau sudah tidak lagi memenuhi syarat konstitusional sebagai presiden dan/atau

wakil presiden. Namun, keputusan MPR tentang pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden dalam sidang paripurna bisa saja bukan untuk melaksanakan

putusan dari Mahkamah Konstitusi tetapi sebagai pelaksanaan ketentuan

konstitusional karena telah terpenuhi dan terbuktinya alasan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur pada Pasal 7A UUD 1945

hasil amandemen.

Jika pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden didasarkan secara

penuh kepada keputusan politik MPR, hal ini berarti tetap mengacu pada

ketentuan konstitusional, namun berarti Indonesia masih menerapkan kedaulatan

80
rakyat dalam representasi MPR sebagai lembaga lembaga perwakilan rakyat

sebagaimana pada masa UUD 1945 sebelum diamandemen meskipun Mahkamah

Konstitusi telah memberi putusan bahwa presiden dan/atau wakil presiden

terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan konstitusional. Selain

itu, akibat adanya ikut campur Mahkamah Konstitusi dalam prosedur pamakzulan

presiden dan/atau wakil presiden, pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

hasil amandemen ketiga yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah

negara hukum” menjadi semu dan tidak jelas, karena dalam praktiknya bukan

hukum yang berdaulat tetapi politik.116

Karenanya, lahirnya Mahkamah Konstitusi akibat reformasi UUD 1945

dalam rangka pelaksanaan prinsip checks and balances di satu sisi merupakan

langkah nyata untuk dapat saling mengkoreksi kinerja antar lembaga negara 117,

namun disisi lainnya dalam kaitannya dengan pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden di Indonesia bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang

dianut di dalam UUD 1945 itu sendiri. Sebab, kedaulatan rakyat di Indonesia di

implementasikan melalui sistem pemilu sepertinya yang tertuang di dalam Pasal

6A dan 22E UUD 1945 pasca amandemen. Sementara hakim di Mahkamah

Konstitusi tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung oleh

rakyat melainkan diusulkan dan dipilih masing-masing 3 orang oleh DPR, 3 orang

oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Presiden. Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi sendiri tidak secara tegas mengatur mengenai seleksi hakim

116
Ibid, hal. 100.
117
Bambang Sutiyoso, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pemberhentian Presiden
dan/atau wakil presiden di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol.7 No.1, Jakarta, 2010, hal 97.

81
konstitusi118, sehingga memberikan peluang bagi DPR, presiden, dan Mahkamah

Agung sebagai lembaga pengusul hakim konstitusi untuk melaksanakan seleksi

dengan persepsi masing-masing.

Konsekuensinya, prosedur seleksi hakim konstitusi yang dibuat oleh

masing-masing lembaga pengusul dengan mengesampingkan prosedur seleksi

yang bersifat transparan, objektif, dan akuntabel. Hingga saat ini, pelaksanaan

seleksi hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung cenderung dilaksanakan secara

tertutup dan bersifat internal, seperti pengajuan Suhartoyo dan Manahan MP

Sitompul pada tahun 2014.119 Mahkamah Agung mengesampingkan prinsip

partisipasi masyarakat sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat sehingga tidak

banyak masyarakat yang mengetahui pelaksanaan seleksi calon hakim konstitusi

yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.

Contoh lainnya yang tidak kalah kontroversi adalah pada saat Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan penunjukan langsung Patrialis

Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi tanpa melalui mekanisme

pemilihan yang merepresentasikan objektivitas.120 Akibatnya, pelaksanaan seleksi

hakim konstitusi oleh SBY tersebut menurunkan kepercayaan publik terhadap

seleksi hakim konstitusi karena tidak dipenuhinya prinsip transparansi dan


118
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa ketentuan
mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing
lembaga yang berwenang yakni Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Akan tetapi, sampai saat
ini belum ada pengaturan internal baik Perma, Peraturan Presiden, maupun peraturan lainnya yang
terkait dengan hal tersebut.
119
Indramayu, Jayus, Rosita Indrayati, Rekapitulasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya
Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkuaifikasi, E-Journal Lentera Hukum Universitas Jember,
Volume 4, 2017, hal.4
120
Winda Wijayanti, Nuzul Quraini M & Siswantana Putri R, Transparansi dan Partisipasi
Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi, Jurnal Konstitusi Vol. 12 No. 4, 2015, hal.673–
674.

82
objektifitas sebagai prosedur dari prinsip kedaulatan rakyat yang di anut di

konstitusi Indonesia.

Dari apa yang dipaparkan diatas jelas bahwa seleksi hakim konstitusi

selama ini dapat dikatakan tidak transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel

sehingga kerap melahirkan hakim konstitusi yang kurang berkuallitas yang

kemudian tentunya akan berdampak pula prosedur pemberian keputusan atas

usulan DPR mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di

Indonesia.

Hal lainnya yang menjadi permasalahan yang berkaitan dengan

Mahkamah Konstitusi dalam konteks pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden di Indonesia adalah tata cara pengambilan keputusan oleh para hakim

konstitusi. Cara pengambilan keputusan akan dilakukan dengan musyawarah

mufakat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim melalui sidang pleno tertutup yang

dipimpin oleh ketua sidang. Di dalam rapat pengambilan keputusan oleh hakim

konstitusi ini setiap hakim konstitusi akan menyampaikan pertimbangan atau

pendapat tertulis terhadap permohonan (legal opinion)121. Dengan demikian maka

tidak ada suara abstain dalam pada tahap ini. Selanjutnya apabila putusan tidak

dapat dihasilkan melalui musyawarah oleh para hakim konstitusi, maka putusan

akan diambil dengan suara terbanyak (voting).

C. Anomali penerapan kedaulatan rakyat di MPR


121
Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan Praktik, Jurnal
Konstitusi, Vol. 8, No.6, Desember 2011, hal. 859.

83
Setelah prosedur yang dilalui di Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan

Rakyat akan meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

kepada MPR. Lembaga MPR, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam

perkara pemberhentian berdasarkan Pasal 7B UUD 1945.122 Setelah diterimanya

usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari DPR, maka MPR

mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan sidang guna membahas dan

memutuskan usul dari DPR tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari

sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 hasil

amandemen ketiga yang berbunyi:

”Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan

sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut

paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan

Rakyat menerima usul tersebut”

Prosedur pengambilan keputusan di sidang paripurna MPR mengenai

diberhentikannya atau tidak seorang presiden dan/atau wakil presiden harus

diambil di dalam sidang yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah

anggota MPR dan harus pula disetujui oleh sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari

jumlah anggota MPR yang hadir. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B

ayat (7) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang berbunyi:

“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul

pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden harus diambil

122
Adventus, Pemberhentian Presiden: Dari Prosedur Politik Ke Prosedur Hukum, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, Juni 2013, hal. 11.

84
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan

disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang

hadir, setelah Presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan

menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.”

Seperti yang tertuang di dalam pasal tersebut, presiden dan/atau wakil

presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan mengenai kasus

yang menjadi alasan dilakukannya pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat memberikan keputusan. Yang

kemudian menjadi permasalahan adalah apakah penjelasan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden di hadapan sidang paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat tersebut bisa merubah keputusan Majelis

Permusyawaratan Rakyat atau tidak. Penjelasan atau pembelaan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden hanyalah sebatas bahan pertimbangan bagi

Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menentukan keputusannya.

Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan MPR ditentukan

berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan putusan hukum yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Konstitusi.123 Semua kembali lagi pada kekuatan dan kesepakatan

politik di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, karena yang mempunyai

wewenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa

jabatannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 ayat (3)

123
Ibid.

85
UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang menyatakan bahwa yang mempunyai

wewenang untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

jabatannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan lembaga negara lain.

Maka penjelasan presiden dan/atau wakil presiden di sidang paripurna

pemberhentian atau putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa

presiden dan/atau wakil presiden terbukti bersalah hanyalah merupakan bahan

pertimbangan hukum bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengambil

keputusan.

Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Pasal 3 ayat

(3) UUD 1945 tersebut juga bersandar pada asas contrario actus yang berarti

MPR Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (1)

UUD 1945 hasil amandemen pertama, maka pengesahan pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden juga dilakukan oleh MPR.124 Maka dengan demikian,

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat bersifat berbeda dengan putusan

Mahkamah Konstitusi. Hal ini didasari pada ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 1945

yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat lah yang hanya

mempunyai wewenang untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden

dalam masa jabatannya dan juga didasari pada asas contrario actus. Jika MPR

tidak memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, bukan berarti keputusan

politik menyampingkan putusan justisil tetapi hal pemberhentian presiden

124
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 478.

86
dan/atau wakil presiden merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan

peradilan.125

Dengan demikian, pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil

presiden baru dapat terjadi apabila didasarkan atas dua dasar hukum. Pertama,

atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa presiden

dan/atau wakil presiden telah terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum

setelah sibuktikan melalui special legal proceedings.126 Kedua, adalah

berdasarkan pada keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menyatakan

bahwa presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan dari jabatannya setelah

dimintai keterangan di dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat

yang dilakukan dengan cara legislatif.127

Mekanisme pengambilan keputusan di dalam sidang paripurna MPR

mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ditentukan berdasarkan

pengambilan suara terbanyak (voting). Mekanisme pengambilan keputusan seperti

ini menjadi suatu kelemahan tersendiri. Karena keutamaan dari putusan tersebut

akan ditambatkan berdasarkan kuantitas, bukan kualitasnya. Yang banyak secara

otomatis akan menjadi yang baik dan benar (majority rule). Perumusan putusan

MPR ditentukan bukan oleh musyawarah diskursif berdasarkan akal budi dan

hikmat kebijaksanaan, melainkan melalui suara terbanyak yang pada hakikatnya

adalah adu kuat berdasarkan jumlah.128 Dengan demikian, voting sangat identik
125
Laica Marzuki, Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar
1945, Jurnal Konstitusi Vol. 7 No.1, Februari 2010, hal. 26.
126
Pasal 7B ayat (5) amandemen ketiga UUD 1945
127
Pasal 7B ayat (7) amandemen ketiga UUD 1945
128
https://www.kompasiana.com/stlknt/59f36cb48dc3fa7b470e4182/titik-lemah-demokrasi-di-
indonesia?page=all. Diakses pada tanggal 25 Desember 2019.

87
dengan pertarungan kekuatan politik, yang jauh dari sifat musyawarah. Dalam

pertarungan tersebut, yang menjadi penentu dalam pengambilan putusan bukan

rasionalitas yang diperjuangkan melalui debat argumentatif berdasarkan prinsip

kebenaran dan keadilan, melainkan hanya berdasarkan banyaknya suara yang

setuju atau tidak.

Jika secara a contrario ditafsirkan, rumusan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945

hasil amandemen ketiga diatas, maka DPR berarti tidak boleh meneruskan usul

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR ketika Mahkamah

Konstitusi memustuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak terbukti

melakukan pelanggaran hukum atau pendapat DPR tentang usul pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden dinyatakan ditolak atau tidak terbukti. Akan

tetapi, jika DPR tetap meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden tersebut kepada MPR karena desakan politik dari dalam maupun dari

luar (dari rakyat) DPR sangat kuat, maka tindakan DPR tersebut dapat dianggap

sebagai tindakan yang inkonstitusional.

Walaupun aturan ini telah dirumuskan dalam Pasal 7B ayat (5) UUD 1945

amandemen ketiga, akan tetapi tidaklah menutup kemungkinan bahwa DPR akan

tetap mengusulkan pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil presiden

kepada MPR meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak

pendapat DPR mengenai pemberhentian tersebut karena tidak terbukti melanggar

hukum. Dikarenakan bahwa di dalam rumusan Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 hasil

amandemen ketiga masih memberikan peluang untuk tetap terlaksananya

pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil presiden, yaitu masih adanya

88
rumusan bahwa MPR wajib memutuskan usul pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden yang diajukan oleh DPR. Dengan kata lain, yang wajib diputuskan

pada saat sidang paripurna oleh MPR adalah mengenai “usul DPR” mengenai

pemberhentian, bukan memberikan keputusan atas “putusan Mahkamah

Konstitusi” atas pengajuan usul DPR.

Konsekuensi hukum dari rumusan Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 tersebut

adalah ketika DPR tetap mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden dalam rangka menjalankan mandat yang telah diberikan oleh rakyat

sesuai dengan asas kedaulatan rakyat kepada MPR, maka MPR tetap wajib

menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutuskan pendapat DPR tersebut

meskipun tindakan DPR tersebut bersifat kontradiktif dengan apa yang diputuskan

oleh Mahkamah Konstitusi. Tindakan DPR ini akan dianggap inkonstitusional,

sedangkan tindakan MPR yang mengadakan sidang paripurna pemberhentian atas

permintaan DPR akan tetap dianggap konstitusional. 129 Dengan demikian, apabila

hal ini terjadi dikemudian hari, maka dapat dikatakan mekanisme pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden tersebut tetap akan inkonstitusional, karena

melanggar ketentuan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 hasil amandemen ketiga.

Implikasi lainnya adalah terhadap tindak lanjut pendapat DPR tersebut

adalah jika dalam sidang MPR pengambilan keputusannya berdasarkan pada suara

terbanyak yang dipengaruhi oleh situasi politik yang cepat berubah ternyata

berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka secara sosiologis akan

129
Berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945 amandemen ketiga.

89
menimbulkan kebingungan di kalangan rakyat dan MPR sebagai lembaga

perwakilan pemegang mandat rakyat tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri.

90

Anda mungkin juga menyukai