Dosen Pengajar :
Dr. Anis Farida, S.Sos, SH, M.Si.
Disusun Oleh:
ZAYNOLLAH
NIM : 02040422032
bukan Negara Kekuasaan (Machstaat), hukum merupakan kekuasaan tertinggi, hal ini
ditegaskan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan konstitusi
tertulis Indonesia, sebagai aturan dasar dan aturan tertinggi Negara. Pada pasal 1 ayat
(3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia setelah amandemen
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
kemungkinan.
DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang
dituduhkan.
impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachment
boleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail megenai hal
Presiden kepada Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat
UUD 1945. Tidak adanya mekanisme pengaturan mengenai alasan dan mekanisme
impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi
yudiris. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan
Presidensial. Oleh karena itu, perubahan ketiga UUD 1945 memuat ketentuan
semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yudiris dan hanya mengacu
memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR
atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah
impeachment.
beralasan kepada kepentingan politik, bila mengacu pada ketetapan MPR Nomor
sepenuhnya mengikuti aturan yang ada, pemberhentian tersebut terkesan hanya untuk
melawan Dekrit Presiden, sehingga mekanisme yang telah diatur tidak terlaksana
sebagaimana mestinya.
tidak jelasnya dasar hukum, alasan dan mekanisme pemberhentian Presiden, sehingga
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, http://id.wikisource.org,akses pada
Februari 2010
2
Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Pusat
Penelitian dan pengkajian sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2005. hal. 5
pemberhentian Presiden didasarkan pada pandangan dan penilaian yang subjektif dari
anggota DPR, sehingga MPR dapat memberhentikan Presiden kapan saja tanpa alasan
yang jelas. UUD 1945 setelah perubahan mengatur secara terbatas tentang
perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
ANALISIS YURIDIS MEKANISME PEMAKZULAN PRESIDEN DAN
perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil
Presiden.
forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan atau Wapres.
Sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa
menjatuhkan Presiden dan atau Wapres kecuali Presiden dan atau Wapres terbukti
UUD 1945 hasil amendemen. Tetapi agar pemakzulan tidak dijadikan bahan mainan,
UUD 1945 mengatur secara detail dan hati-hati. Dan berikut adalah mekanisme
Mekanisme pemakzulan diatur dalam UUD 1945 dan aturan-aturan lain yang
terkait, ketentuan dan mekanisme pemakzulan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1) Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Permusyawaratan Rakyat.
untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Rakyat.
sampai habis masa jabatannya. Dengan kata lain, Wapres otomatis menduduki
mekanisme yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi, dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden,
calon yang diusulkan oleh Presiden. Proses yang sama juga dilakukan jika
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
21 Tahun 2009, tiga jenis amar putusan tersebut antara lain adalah :
perbuatan tercela.
Ketiga, Permohonan ditolak MK apabila pendapat DPR terkait dugaan
pengaturan soal pemakzulan ini didasarkan pada alasan agar DPR tidak mudah dan
prosedur dan proses yang tidak mudah dan berliku. Sehingga, Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden mekanismenya sudah diatur di dalam Pasal 7A dan
7B UUD 1945. Sebelum MPR memberhentikan baik itu Presiden dan/atau Wapres,
mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah, usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil presiden tersebut diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil
presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
PROSES PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN MENURUT UUD
Wakil Presiden dilakukan menurut UUD 1945. Proses politik dan proses hukum
berjalan sekaligus dengan alur yang telah ditentukan oleh konstitusi. Yang mana,
Konstitusi agar menjaga kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat
Dengan adanya amandemen UUD 1945, diharapkan tidak ada lagi penjatuhan
Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya karena alasan alasan politis
‘The rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai
kedudukan tertinggi adalah persamaan dalam hukum dan pemerintah , dan kenyataan
Pendapat. Dalam kaitannya dengan hak tersebut adalah karena adanya fungsi
pengawasan yang diberikan kepada DPR. “Usulan Pemberhentian” dari DPR tersebut
terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana diatur dalam
Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:
1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
(pemerintah). Pendapat DPR tersebut berisi tentang pernyataan DPR bahwa Presiden
negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. UUD 1945 memberikan hak kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyatakan pendapat agar prinsip check and
balance dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga Negara terjaga dengan
negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
Dalam tindak lanjut pendapat DPR, UUD 1945 telah mengatur bahwa dengan
adanya hak menyatakan pendapat DPR tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden
pemberhentian tersebut tidak serta dilakukan secara politis. Pendapat DPR tersebut
harus dibawa terlebih dahulu untuk diuji kebenarannya oleh lembaga peradilan
hukum oleh lembaga MPR sebagai pengambil keputusan terakhir dalam perkara
pemakzulan. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bukan
berarti keputusan politik menyampingkan putusan just Isil tetapi hal pemakzulan
peradilan.
memutuskan pendapat DPR, namun inti dari tindak lanjut pendapat DPR adalah
bagaimana pendapat DPR tersebut, yang merupakan pendapat politik, yang mana
putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR tersebut, maka pendapat yang
sebelumnya merupakan pendapat politik yang telah menjadi sebuah pendapat hukum.
menganut prinsip negara hukum, artinya Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa
diberhentikan karena telah terbukti melakukan pelanggaran hukum sesuai yang telah
diatur dalam konstitusi. Jika pendapat DPR kemudian langsung saja diusulkan ke
MPR, hal tersebut akan berpotensi Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan
Mahkamah Konstitusi lainnya. Hal ini kemudian dapat menjadi sebuah pro-kontra
pembubaran partai politik dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
perkara pendapat DPR tersebut berada pada tingkat final dan mengikat?
kemudian DPR mengajukan usul pemberhentian tersebut kepada MPR, namun dalam
rapat paripurna MPR situasi politik berubah dan Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak dapat diberhentikan, maka Wibawa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian
of the constitution mungkin saja akan jatuh. Bahkan secara sosiologis masyarakat pun
bingung akan fenomena tersebut. Ataupun sebaliknya dapat saja secara sosiologis
MPR sebagai wakil rakyat tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri.
Jika pendapat DPR yang dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan pada
jabatannya, namun pada proses di pengadilan umum mantan Presiden dan/atau Wakil
terciptanya keadilan.
akibat hukum dari tindak lanjut pendapat DPR ke mahkamah konstitusi adalah
pendapat DPR yang sebelumnya pendapat hukum karena telah diputus oleh
ranah politik, yang terpenting pendapat DPR yang telah mendapat legitimasi hukum
telah memenuhi syarat dalam mencapai mencapai tujuan negara hukum sehingga
politik semata seperti yang terjadi pada beberapa Presiden Indonesia sebelumnya dan
pendapat DPR yang merupakan pendapat politik setelah melalui proses Yudisial di
sangat jarang terjadi. Namun pada 22 Juli 2020, pemakzulan Bupati Jember Faida
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember dalam rapat
Aceng Fikri selaku Bupati Garut di tahun 2013 yang sangat menghebohkan publik.
Kehebohan publik tersebut dikarenakan salah satu alasan yang mendorong DPRD
yang Aceng lakukan dengan menikahi Fany Octora, seorang wanita berusia 18 tahun
memenuhi syarat sah yang menentukan keberlakuan dari keputusan tersebut. Menurut
sah suatu keputusan administrasi negara. Kedua syarat sah tersebut adalah sesuai
AUPB sebagai asas yang terbuka dan dinamis eksistensinya tentu mengalami
penyesuaian dan perkembangan sesuai dengan realita masanya. Dalam hukum positif
Indonesia, jenis-jenis asas yang terdapat di dalam AUPB telah diatur pada pasal 10
yang menjadi acuan adalah peraturan seputar hak DPRD untuk melakukan
pemakzulan. Hak angket yang dimiliki DPRD Kabupaten/Kota ialah hak untuk
luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
DPRD telah diatur dalam Pasal 78 - 79 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun
2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan
Kota. Terdapat beberapa ketentuan terperinci mengenai tata cara penggunaan hak
menyatakan pendapat oleh DPRD yang jelaskan oleh Satrio Alif Febriyanto untuk
penggunaan hak menyatakan pendapat juga dibahas pada peraturan ini. Pada pasal
dilakukan dengan tahapan: (a) pengusul menyampaikan. penjelasan lisan atas usul
hak angket; (b) Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan melalui Fraksi; (c)
Kepala Daerah memberikan pendapat; dan (d) pengusul memberikan jawaban atas
menjadi hak menyatakan pendapat oleh DRPD diatur di dalam peraturan yang sama.
Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi hak menyatakan pendapat DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah Anggota
DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari
dalam konteks ini adalah Mahkamah Agung (MA). Ketentuan tersebut diatur dalam
Pasal 80 ayat 1 poin C UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU
mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) Hari
setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
Apabila pemakzulan tersebut telah mendapatkan putusan final dari MA, tahapan
Jember di tanggal 22 Juli 2020, Bupati Jember lagi-lagi tidak hadir. Bupati Jember
daring. Alasan tersebut tidak dapat diterima oleh DPRD Jember karena sebelumnya
Dalam kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, penggunaan hak
menyatakan pendapat untuk mencopot Bupati Jember oleh DPRD Jember sesuai
dengan Pasal 371 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014. Hal ini dikarenakan hak
dari tidak dipenuhinya hak interpelasi dan hak angket yang telah dikeluarkan DPRD
Jember telah mengeluarkan hak interpelasi pada tanggal 23 Desember 2019 dan
penjadwalan ulang.
2019. Rapat paripurna angket digelar pada tanggal 20 Maret 2020 di mana Bupati
tidak menghadiri rapat tersebut. Salah satu rekomendasi panitia hak angket DPRD
Jember yang disampaikan di dalam rapat paripurna angket itu adalah usulan
pemberhentian Bupati Jember dari Jabatan. Hal ini dikarenakan Bupati Jember
Pemerintahan Daerah Jember yang membuat Jember tidak mendapatkan kuota CPNS
Hasil rapat angket tersebut selanjutnya dilanjutkan pada rapat paripurna yang
Rapat paripurna tersebut dilaksanakan pada 22 Juli 2020. Hasil dari rapat tersebut
adalah 45 anggota DPRD yang hadir sepakat untuk melakukan pemakzulan kepada
Faida.80
Selain itu, rekomendasi DPRD Jember terkait hal-hal yang menjadi sebab
dilengserkannya Bupati Jember dan absennya Bupati Jember dalam rapat paripurna
interpelasi dan angket tanpa alasan yang jelas merupakan bukti kesesuaian Pasal 371
ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan
fakta kasus pemakzulan Bupati Jember. Bupati Jember menanggapi pemakzulan ini
dengan mengatakan bahwa semua hal yang menjadi permasalahan telah diselesaikan
di dalam mediasi yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur maupun Menteri Dalam
Negeri.
Pada kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, penggunaan hak
menyatakan pendapat diajukan oleh 47 dari 50 orang anggota DPRD Jember.83 Dari
fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa DPRD Jember telah memenuhi prosedur
dalam pelaksanaan hak menyatakan pendapat yang diatur di dalam Pasal 78 ayat 1
Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang menyatakan bahwa hak menyatakan pendapat
diusulkan oleh Anggota DPRD. Oleh karena itu ketentuan pasal tersebut telah
Dalam Rapat Paripurna DPRD Jember tanggal 22 Juli 2020, jumlah anggota
yang hadir adalah 45 dari 50 anggota DPRD Jember yang setara dengan 90% atau
9/10 dari anggota DPRD Jember hadir dalam sidang tersebut. Jumlah tersebut
melebihi batas minimal kehadiran anggota DPRD yang ditentukan yaitu 3/4. Selain
itu, persetujuan 45 anggota DPRD Jember yang setara dengan 90% atau 9/10
anggota DPRD tersebut juga melebihi angka 2/3 yang menjadi batas minimal
secara yuridis akan ditindaklanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan
Surat Keputusan tentang pemberhentian Kepala Daerah tingkat II yaitu Bupati dan
Walikota. Dalam kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, pihak DPRD
tersebut kepada MA
PENUTUP
Jurnal Review
di dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Sebelum MPR memberhentikan baik itu
Presiden dan/atau Wapres, mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah,
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil presiden tersebut diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR dengan hanya terlebih dahulu mengajukan
memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
pemecatan terhadap pejabat tinggi negara lainnya seperti Gubernur maupun kepala
daerah dibawahnya.
dipersamakan dengan ahlul halli wal aqdi atau biasa juga disebut sebagai majelis
syura’. Proses pemakzulan melalui ahlul halli wal aqdi tanpa melalui pengujian
melalui lembaga judicial, dan hal yang sama terjadi pada pemberhentian Presiden
apalagi pada tahun 2001, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang
Indonesia melalui dua pembahasan jurnal dengan menggunakan berbagai teori dan
undang yang mengatur pemakzulan tidak terdapat secara utuh dan hal itu dipandang
penjelasan yang disampaikan oleh Presiden dalam Memorandum Pertama dan Kedua
dalam kasus buloggate dan bruneigate, yang akhirnya membuat Presiden Mengambil
parlemen dan akan segera melakukan pemilihan umum, dekrit tersebut akhirnya
mandat terhadap Presiden, bila mengacu pada ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978
mengikuti aturan yang ada, pemberhentian tersebut terkesan hanya untuk melawan
Dekrit Presiden, sehingga mekanisme yang telah diatur tidak terlaksana sebagaimana
mestinya.
tidak jelasnya dasar hukum, alasan dan mekanisme pemberhentian Presiden, sehingga
pemberhentian Presiden didasarkan pada pandangan dan penilaian yang subjektif dari
anggota DPR, sehingga MPR dapat memberhentikan Presiden kapan saja tanpa alasan
yang jelas. UUD 1945 setelah perubahan mengatur secara terbatas tentang
perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh
MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat:
korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus
lidah para politisi dan negarawan saat itu memiliki “lidah tak bertulang”.
Hal tersebut jauh berbeda dari apa yang ditulis oleh Satrio Alif Febriyanto
Terkait dengan Pemakzulan Bupati Jember yang telah memenuhi Syarat dan
segi AUPB, Keputusan Pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember telah sesuai
dengan AUPB yang ada pada UU Administrasi Pemerintahan. Hal ini dikarenakan
keputusan pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember memenuhi setiap asas yang
undangan, Keputusan Pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember telah sesuai
dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPRD yang diatur di dalam Undang-Undang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan mekanisme penggunaan hak DPRD yang telah
sesuai dengan PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman Penyusunan Tata Tertib
DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain itu, fakta bahwa keputusan Pemakzulan
Bupati Jember oleh DPRD Jember akan dibawa ke MA untuk diuji dan diputuskan
secara final dan mengikat telah memenuhi mekanisme pemberhentian kepala daerah
daerah di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan negara lain seperti Amerika
Serikat yang keputusan pemakzulan kepala daerah berasal dari lembaga perwakilan
rakyat di tingkat daerah. Mekanisme tersebut berbeda dengan India yang membuat
tingkat nasional.
pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum
acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri? Apakah diperlukan
tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai kepada satu
hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden? Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat did
alam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas
dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan
dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan
MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah dikemudian hari, setelah tidak
menjabat lagi Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum
dalam hukum pidana? Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi presiden
dan/atau wakil presiden ini tidak akan bertentangan dengan Asas Persamaan didepan
Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi