Anda di halaman 1dari 24

IMPEACHMENT DALAM KONSTITUSI INDONESIA

Jurnal Review ini diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ilmu Negara dan Pemerintahan

Dosen Pengajar :
Dr. Anis Farida, S.Sos, SH, M.Si.

Disusun Oleh:
ZAYNOLLAH
NIM : 02040422032

MAGISTER HUKUM TATA NEGARA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
IMPEACHMENT DALAM KONSTITUSI INDONESIA

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum (Rechstaat)

bukan Negara Kekuasaan (Machstaat), hukum merupakan kekuasaan tertinggi, hal ini

ditegaskan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan konstitusi

tertulis Indonesia, sebagai aturan dasar dan aturan tertinggi Negara. Pada pasal 1 ayat

(3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia setelah amandemen

menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,

perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi

(MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.

Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga

kemungkinan.

Kemungkinan dari amar memutuskan MK itu adalah; pertama, amar putusan

MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak

memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat

DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang

dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak

apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang

dituduhkan.

UUD 1945 sebelum amandemen tidak mengatur bagaimana mekanisme

impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachment

boleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail megenai hal

tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai proses penggantian kekuasaan

Presiden kepada Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat

melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana tertera dalam Pasal 8

UUD 1945. Tidak adanya mekanisme pengaturan mengenai alasan dan mekanisme
impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi

(constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 19451.

Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil

Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan

yudiris. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan

Presidensial. Oleh karena itu, perubahan ketiga UUD 1945 memuat ketentuan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang

semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yudiris dan hanya mengacu

pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi2.

Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului

adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan

memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR

atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah

impeachment.

Pemberhentian Terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dipandang hanya

beralasan kepada kepentingan politik, bila mengacu pada ketetapan MPR Nomor

III/MPR/1978 maka pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman Wahid tidak

sepenuhnya mengikuti aturan yang ada, pemberhentian tersebut terkesan hanya untuk

melawan Dekrit Presiden, sehingga mekanisme yang telah diatur tidak terlaksana

sebagaimana mestinya.

Pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menunjukan bahwa

tidak jelasnya dasar hukum, alasan dan mekanisme pemberhentian Presiden, sehingga

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, http://id.wikisource.org,akses pada
Februari 2010
2
Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Pusat
Penelitian dan pengkajian sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2005. hal. 5
pemberhentian Presiden didasarkan pada pandangan dan penilaian yang subjektif dari

anggota DPR, sehingga MPR dapat memberhentikan Presiden kapan saja tanpa alasan

yang jelas. UUD 1945 setelah perubahan mengatur secara terbatas tentang

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, pada Pasal 7A dan 7B yaitu

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,

perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.
ANALISIS YURIDIS MEKANISME PEMAKZULAN PRESIDEN DAN

WAKIL PRESIDEN MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1945 (SETELAH PERUBAHAN).

Zainal Arifin, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Indonesia.

Istilah pemakzulan tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945. Pasal 7a

perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden

dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila

terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun

apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil

Presiden.

Pemakzulan atau di negara-negara hokum pada umummnya lebih

mengenalnya sebagai Impeachment itu sendiri adalah tindakan menuntut

pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada presiden, apabila

presiden melanggar hukum. Mekanisme pemakzulan diatur dalam konstitusi agar

forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan atau Wapres.

Sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa

menjatuhkan Presiden dan atau Wapres kecuali Presiden dan atau Wapres terbukti

melakukan pelanggaran hukum

Pemakzulan presiden dan atau wakil presiden memang dimungkinkan dalam

UUD 1945 hasil amendemen. Tetapi agar pemakzulan tidak dijadikan bahan mainan,

UUD 1945 mengatur secara detail dan hati-hati. Dan berikut adalah mekanisme

pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden.

a. Mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Mekanisme pemakzulan diatur dalam UUD 1945 dan aturan-aturan lain yang

terkait, ketentuan dan mekanisme pemakzulan tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:
1) Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa

jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2) Pasal 7B perubahan ketiga UUD 1945

Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan

oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat

hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah

Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau

pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam

rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah

Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3

dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang

paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat.

Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus

dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut


paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan

Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan

usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang

untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga

puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari

jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota

yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan

menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan

Rakyat.

3) Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden sekaligus

Pasal 8 ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, jika

Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden

sampai habis masa jabatannya. Dengan kata lain, Wapres otomatis menduduki

jabatan Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan.

Sebagai seorang presiden, 'wapres lama' bisa memilih wakilnya lewat

mekanisme yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi, dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden,

selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan

Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua

calon yang diusulkan oleh Presiden. Proses yang sama juga dilakukan jika

yang dicopot adalah Wakil Presiden.

Pasal 8 ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, jika

Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak

dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,

pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam

Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya

tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat

menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari

dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai

politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil

Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan

umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

4) Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009

Terdapat tiga jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi yang bisa

dihasilkan melalui proses persidangan mengenai permohonan penilaian

dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan DPR

terkait dengan proses pemakzulan. Berdasarkan salinan Peraturan MK Nomor

21 Tahun 2009, tiga jenis amar putusan tersebut antara lain adalah :

Pertama, permohonan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi

kelengkapan seperti tercantum dalam Tata Cara Mengajukan Permohonan.

Kedua, MK membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela.
Ketiga, Permohonan ditolak MK apabila pendapat DPR terkait dugaan

pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjelaskan, kehati-hatian

pengaturan soal pemakzulan ini didasarkan pada alasan agar DPR tidak mudah dan

semena-mena menjatuhkan presiden. Setiap proses pemakzulan harus melalui

prosedur dan proses yang tidak mudah dan berliku. Sehingga, Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden mekanismenya sudah diatur di dalam Pasal 7A dan

7B UUD 1945. Sebelum MPR memberhentikan baik itu Presiden dan/atau Wapres,

mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah, usul pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil presiden tersebut diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

kepada MPR dengan hanya terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada

Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat

DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil

presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
PROSES PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN MENURUT UUD

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DIHUBUNGKAN DENGAN

HAK UNTUK MENYATAKAN PENDAPAT DPR-RI

Herman Bastiaji Prayitno, Fakultas Hukum Universitas pamulang

Setelah amandemen UUD 1945, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dilakukan menurut UUD 1945. Proses politik dan proses hukum

berjalan sekaligus dengan alur yang telah ditentukan oleh konstitusi. Yang mana,

pendapat DPR harus terlebih dahulu melalui forum previlegiatum di Mahkamah

Konstitusi agar menjaga kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat

diberhentikan dengan alasan subjektif. Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi

yang membenarkan pendapat DPR, oleh Mahkamah kemudian dikembalikan ke DPR

untuk diusulkan atau tidak diusulkan ke MPR.

Dengan adanya amandemen UUD 1945, diharapkan tidak ada lagi penjatuhan

Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya karena alasan alasan politis

dan memperkuat sistem ketatanegaraan berdasarkan Negara Hukum. Dalam kerangka

‘The rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai

kedudukan tertinggi adalah persamaan dalam hukum dan pemerintah , dan kenyataan

praktek termasuk dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Mekanisme awal dari proses pemberhentian itu dimulai dari kewenangan

lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menggunakan Hak Menyatakan

Pendapat. Dalam kaitannya dengan hak tersebut adalah karena adanya fungsi

pengawasan yang diberikan kepada DPR. “Usulan Pemberhentian” dari DPR tersebut

terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana diatur dalam

Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:

1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain

dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

interpretasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan

terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintah dan pembangunan oleh Presiden

(pemerintah). Pendapat DPR tersebut berisi tentang pernyataan DPR bahwa Presiden

dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela

dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden. UUD 1945 memberikan hak kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyatakan pendapat agar prinsip check and

balance dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga Negara terjaga dengan

baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah, berupa

kesempatan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Apabila Presiden dan/atau Wakil

Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,

dan atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam tindak lanjut pendapat DPR, UUD 1945 telah mengatur bahwa dengan

adanya hak menyatakan pendapat DPR tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diberhentikan Sebelum masa jabatannya berakhir. Namun proses

pemberhentian tersebut tidak serta dilakukan secara politis. Pendapat DPR tersebut

harus dibawa terlebih dahulu untuk diuji kebenarannya oleh lembaga peradilan

khusus ketatanegaraan, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Meskipun Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR tersebut, tidak

akan otomatis Presiden dan/atau Wakil Presiden langsung diberhentikan dari

jabatannya. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya merupakan sebuah pertimbangan

hukum oleh lembaga MPR sebagai pengambil keputusan terakhir dalam perkara
pemakzulan. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bukan

berarti keputusan politik menyampingkan putusan just Isil tetapi hal pemakzulan

Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan wewenang MPR, bukan kewenangan

peradilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi hanya sebagai pertimbangan bagi MPR dalam

memutuskan pendapat DPR, namun inti dari tindak lanjut pendapat DPR adalah

bagaimana pendapat DPR tersebut, yang merupakan pendapat politik, yang mana

dalam pengambilan keputusan melalui lembaga politik. Namun dengan adanya

putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR tersebut, maka pendapat yang

sebelumnya merupakan pendapat politik yang telah menjadi sebuah pendapat hukum.

Hal tersebut dimaksudkan sebagai konsekuensi sistem ketatanegaraan Indonesia yang

menganut prinsip negara hukum, artinya Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa

diberhentikan karena telah terbukti melakukan pelanggaran hukum sesuai yang telah

diatur dalam konstitusi. Jika pendapat DPR kemudian langsung saja diusulkan ke

MPR, hal tersebut akan berpotensi Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan

hanya dengan alasan-alasan politik semata.

Pada UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan

memutus pendapat DPR berada pada bagian berbeda dengan 4 kewenangan

Mahkamah Konstitusi lainnya. Hal ini kemudian dapat menjadi sebuah pro-kontra

pendapat atas pemisahan kewenangan mengadili tersebut, dinyatakan bahwa:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-

undang dasar, memutuskan sengketa wewenang kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus

pembubaran partai politik dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan

umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut undang-undang dasar.


Yang menjadi pertanyaan apakah putusan Mahkamah Konstitusi yang

merupakan sebuah pendapat hukum dalam sebuah kekuasaan kehakiman, dalam

perkara pendapat DPR tersebut berada pada tingkat final dan mengikat?

Apabila putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR,

kemudian DPR mengajukan usul pemberhentian tersebut kepada MPR, namun dalam

rapat paripurna MPR situasi politik berubah dan Presiden dan/atau Wakil Presiden

tidak dapat diberhentikan, maka Wibawa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian

of the constitution mungkin saja akan jatuh. Bahkan secara sosiologis masyarakat pun

bingung akan fenomena tersebut. Ataupun sebaliknya dapat saja secara sosiologis

MPR sebagai wakil rakyat tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri.

Jika pendapat DPR yang dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan pada

rapat paripurna MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari

jabatannya, namun pada proses di pengadilan umum mantan Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum, tentu kredibilitas Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung, dan MPR sebagai lembaga negara dipertanyakan,

terlebih khusus mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai wujud

terciptanya keadilan.

Beberapa permasalahan mungkin akan muncul ketika mekanisme pemakzulan

Presiden dan/atau Wakil Presiden ini kemudian dijalankan. Namun berdasarkan

akibat hukum dari tindak lanjut pendapat DPR ke mahkamah konstitusi adalah

pendapat DPR yang sebelumnya pendapat hukum karena telah diputus oleh

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia terlepas kemudian pendapat putusan akhir dalam

ranah politik, yang terpenting pendapat DPR yang telah mendapat legitimasi hukum

telah memenuhi syarat dalam mencapai mencapai tujuan negara hukum sehingga

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi diberhentikan karena alasan-alasan

politik semata seperti yang terjadi pada beberapa Presiden Indonesia sebelumnya dan

pendapat DPR yang merupakan pendapat politik setelah melalui proses Yudisial di

MK maka pendapat tersebut telah menjadi sebuah pendapat hukum.


MENGUJI LEGALITAS PEMAKZULAN BUPATI JEMBER

Satrio Alif Febriyanto, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Di Indonesia sendiri, pemakzulan terhadap kepala daerah merupakan hal yang

sangat jarang terjadi. Namun pada 22 Juli 2020, pemakzulan Bupati Jember Faida

dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember dalam rapat

paripurna. Sebelum kasus pemakzulan Bupati Jember, terdapat kasus pemakzulan

Aceng Fikri selaku Bupati Garut di tahun 2013 yang sangat menghebohkan publik.

Kehebohan publik tersebut dikarenakan salah satu alasan yang mendorong DPRD

Kabupaten Garut melakukan pemakzulan terhadap Aceng adalah pelanggaran hukum

yang Aceng lakukan dengan menikahi Fany Octora, seorang wanita berusia 18 tahun

selama 4 hari secara siri.

Sebagai suatu keputusan administrasi negara, pemakzulan kepala daerah harus

memenuhi syarat sah yang menentukan keberlakuan dari keputusan tersebut. Menurut

Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) disebutkan bahwa terdapat dua syarat

sah suatu keputusan administrasi negara. Kedua syarat sah tersebut adalah sesuai

dengan peraturan perundang -undangan dan memenuhi Asas – Asas Umum

Pemerintahan yang baik (AUPB).

AUPB sebagai asas yang terbuka dan dinamis eksistensinya tentu mengalami

penyesuaian dan perkembangan sesuai dengan realita masanya. Dalam hukum positif

Indonesia, jenis-jenis asas yang terdapat di dalam AUPB telah diatur pada pasal 10

UU Administrasi Pemerintahan, yakni : kepastian hukum, kemanfaatan,

ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan,

kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.

Dalam kasus pemakzulan kepala daerah, peraturan perundang – undangan

yang menjadi acuan adalah peraturan seputar hak DPRD untuk melakukan

pemakzulan. Hak angket yang dimiliki DPRD Kabupaten/Kota ialah hak untuk

melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting


dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara

yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, disebutkan bahwa hak menyatakan pendapat merupakan hak untuk

menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian

luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau

sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Secara prosedural, mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat oleh

DPRD telah diatur dalam Pasal 78 - 79 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun

2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan

Kota. Terdapat beberapa ketentuan terperinci mengenai tata cara penggunaan hak

menyatakan pendapat oleh DPRD yang jelaskan oleh Satrio Alif Febriyanto untuk

mengetahui legalitas penggunaan hak menyatakan pendapat oleh DPRD Jember

terhadap Bupati Jember dalam tinjauan mekanisme prosedural.

Mekanisme berjalannya acara rapat paripurna dengan pembahasan

penggunaan hak menyatakan pendapat juga dibahas pada peraturan ini. Pada pasal

selanjutnya, dijelaskan bahwa Rapat Paripurna mengenai usul pernyataan pendapat

dilakukan dengan tahapan: (a) pengusul menyampaikan. penjelasan lisan atas usul

hak angket; (b) Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan melalui Fraksi; (c)

Kepala Daerah memberikan pendapat; dan (d) pengusul memberikan jawaban atas

pandangan Anggota DPRD dan pendapat Kepala Daerah.

Pengaturan mengenai penentuan suatu usulan hak menyatakan pendapat

menjadi hak menyatakan pendapat oleh DRPD diatur di dalam peraturan yang sama.

Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menjadi hak menyatakan pendapat DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat

paripurna yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah Anggota

DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari

jumlah Anggota DPRD yang hadir.

Setelah DPRD menyatakan pendapatnya untuk memakzulkan kepala daerah,

langkah selanjutnya untuk membuat keputusan pemberhentian kepala daerah bersifat


mengikat secara yuridis adalah meminta keputusan dari lembaga yudikatif yang

dalam konteks ini adalah Mahkamah Agung (MA). Ketentuan tersebut diatur dalam

Pasal 80 ayat 1 poin C UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU

Pemerintahan Daerah) yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung memeriksa,

mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) Hari

setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.

Apabila pemakzulan tersebut telah mendapatkan putusan final dari MA, tahapan

selanjutnya adalah pengusulan Pemberhentian kepada Menteri Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri akan mengeluarkan surat keputusan pemberhentian

Bupati/Walikota berdasarkan putusan MA yang akan menguji apakah pemakzulan

yang dilakukan oleh DPRD sah atau tidak sah.

Pada rapat paripurna pernyataan pendapat pemakzulan yang dilakukan DPRD

Jember di tanggal 22 Juli 2020, Bupati Jember lagi-lagi tidak hadir. Bupati Jember

hanya mengirim pernyatan tertulis sebanyak 21 halaman terkait dengan pemakzulan

yang menimpa dirinya. Ketidakhadiran Bupati Jember dikarenakan takut terjadinya

kerumunan massa di depan Gedung DPRD Jember yang dikhawatirkan akan

melanggar protokol kesehatan COVID-19 dan ia meminta dapat dilaksanakan secara

daring. Alasan tersebut tidak dapat diterima oleh DPRD Jember karena sebelumnya

Bupati Jember menghadiri rapat Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) di

DPRD Jember pada 8 Juni 2020 secara langsung.

Dalam kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, penggunaan hak

menyatakan pendapat untuk mencopot Bupati Jember oleh DPRD Jember sesuai

dengan Pasal 371 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014. Hal ini dikarenakan hak

menyatakan pendapat untuk memakzulkan Bupati Jember merupakan tindak lanjut

dari tidak dipenuhinya hak interpelasi dan hak angket yang telah dikeluarkan DPRD

kepada Bupati Jember. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, DPRD

Jember telah mengeluarkan hak interpelasi pada tanggal 23 Desember 2019 dan

mengadakan rapat paripurna interpelasi pada tanggal 27 Desember 2019. Bupati


tidak menghadiri rapat tersebut dan hanya mengirimkan utusan serta meminta

penjadwalan ulang.

Setelah penggunaan hak interpelasi tidak mendapatkan respon positif dari

Bupati Jember untuk memberikan keterangan, DPRD Jember mengeluarkan hak

angket untuk melakukan penyelidikan terhadap kejanggalan yang merupakan alasan

pemakzulan Bupati Jember. Hak angket tersebut dikeluarkan pada 30 Desember

2019. Rapat paripurna angket digelar pada tanggal 20 Maret 2020 di mana Bupati

tidak menghadiri rapat tersebut. Salah satu rekomendasi panitia hak angket DPRD

Jember yang disampaikan di dalam rapat paripurna angket itu adalah usulan

pemberhentian Bupati Jember dari Jabatan. Hal ini dikarenakan Bupati Jember

melakukan beberapa jenis pelanggaran seperti kebijakan restrukturisasi organisasi di

Pemerintahan Daerah Jember yang membuat Jember tidak mendapatkan kuota CPNS

dan ditegur oleh Gubernur Jawa Timur.

Hasil rapat angket tersebut selanjutnya dilanjutkan pada rapat paripurna yang

membahas hak menyatakan pendapat DPRD untuk memberhentikan Bupati Jember.

Rapat paripurna tersebut dilaksanakan pada 22 Juli 2020. Hasil dari rapat tersebut

adalah 45 anggota DPRD yang hadir sepakat untuk melakukan pemakzulan kepada

Faida.80

Selain itu, rekomendasi DPRD Jember terkait hal-hal yang menjadi sebab

dilengserkannya Bupati Jember dan absennya Bupati Jember dalam rapat paripurna

interpelasi dan angket tanpa alasan yang jelas merupakan bukti kesesuaian Pasal 371

ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan

fakta kasus pemakzulan Bupati Jember. Bupati Jember menanggapi pemakzulan ini

dengan mengatakan bahwa semua hal yang menjadi permasalahan telah diselesaikan

di dalam mediasi yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur maupun Menteri Dalam

Negeri.

Pada kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, penggunaan hak

menyatakan pendapat diajukan oleh 47 dari 50 orang anggota DPRD Jember.83 Dari

fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa DPRD Jember telah memenuhi prosedur
dalam pelaksanaan hak menyatakan pendapat yang diatur di dalam Pasal 78 ayat 1

PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD

Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang menyatakan bahwa hak menyatakan pendapat

diusulkan oleh Anggota DPRD. Oleh karena itu ketentuan pasal tersebut telah

dipenuhi oleh DPRD Jember dalam keputusan Pemakzulan Bupati Jember.

Dalam Rapat Paripurna DPRD Jember tanggal 22 Juli 2020, jumlah anggota

yang hadir adalah 45 dari 50 anggota DPRD Jember yang setara dengan 90% atau

9/10 dari anggota DPRD Jember hadir dalam sidang tersebut. Jumlah tersebut

melebihi batas minimal kehadiran anggota DPRD yang ditentukan yaitu 3/4. Selain

itu, persetujuan 45 anggota DPRD Jember yang setara dengan 90% atau 9/10

anggota DPRD tersebut juga melebihi angka 2/3 yang menjadi batas minimal

persetujuan anggota DPRD dalam sahnya suatu hak menyatakan pendapat.

Keputusan penggunaan hak menyatakan pendapat tersebut perlu diajukan

kepada MA untuk menguji legalitas dari keputusan tersebut. Keputusan MA tersebut

apabila menyatakan bahwa penggunaan hak menyatakan pendapat tersebut sesuai

secara yuridis akan ditindaklanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan

Surat Keputusan tentang pemberhentian Kepala Daerah tingkat II yaitu Bupati dan

Walikota. Dalam kasus pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember, pihak DPRD

sedang mengurus berkas yang diperlukan mengajukan permohonan pemutusan kasus

tersebut kepada MA
PENUTUP
Jurnal Review

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden mekanismenya sudah diatur

di dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Sebelum MPR memberhentikan baik itu

Presiden dan/atau Wapres, mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah,

usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil presiden tersebut diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR dengan hanya terlebih dahulu mengajukan

permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden

dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil

presiden.3 Pada prinsipnya Impeachment tidak hanya diartikan sebagai prosedur

pemberhentian presiden ditengah masa jabatannya, melainkan pula mencakup

pemecatan terhadap pejabat tinggi negara lainnya seperti Gubernur maupun kepala

daerah dibawahnya.

Proses pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa

Mejalis Permusyawaratan (MPR), yang dalam pandangan ketatanegaraan Islam

dipersamakan dengan ahlul halli wal aqdi atau biasa juga disebut sebagai majelis

syura’. Proses pemakzulan melalui ahlul halli wal aqdi tanpa melalui pengujian

melalui lembaga judicial, dan hal yang sama terjadi pada pemberhentian Presiden

Abdurrahman Wahid, di mana UUD 1945 sebelum amandemen, tidak mengatur

mengenai pengujian proses politik pemberhentian presiden melalui lembaga judicial,

apalagi pada tahun 2001, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang

menguji usulan DPR belum terbentuk.4

Berdasarkan dari pembahasan berkaitan dengan Pelaksanaan Impeschment di

Indonesia melalui dua pembahasan jurnal dengan menggunakan berbagai teori dan

metode penelitian yang berbeda, pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman


3
analisis yuridis mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden menurut uud negara republik
indonesia tahun 1945 (setelah perubahan), zainal arifin, lembaga bantuan hukum (lbh)
4
pemakzulan presiden abdurrahman wahid menurut hukum tata negara islam, muh. Imam hasmar,
kurniati. Fakultas syariah dan hukum, universitas islam negeri alauddin makassar
Wahid adalah inkunstitusional disebabkan beberapa unsur-unsur terhadap undang-

undang yang mengatur pemakzulan tidak terdapat secara utuh dan hal itu dipandang

hanya beralasan kepada kepentingan politik, bermula dengan tidak diterimanya

penjelasan yang disampaikan oleh Presiden dalam Memorandum Pertama dan Kedua

dalam kasus buloggate dan bruneigate, yang akhirnya membuat Presiden Mengambil

tindakan politik dengan megeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan pembubaran

parlemen dan akan segera melakukan pemilihan umum, dekrit tersebut akhirnya

membuat anggota DPR mempercepat Memorandum Ketiga dengan agenda mencabut

mandat terhadap Presiden, bila mengacu pada ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978

maka pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman Wahid tidak sepenuhnya

mengikuti aturan yang ada, pemberhentian tersebut terkesan hanya untuk melawan

Dekrit Presiden, sehingga mekanisme yang telah diatur tidak terlaksana sebagaimana

mestinya.

Pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menunjukan bahwa

tidak jelasnya dasar hukum, alasan dan mekanisme pemberhentian Presiden, sehingga

pemberhentian Presiden didasarkan pada pandangan dan penilaian yang subjektif dari

anggota DPR, sehingga MPR dapat memberhentikan Presiden kapan saja tanpa alasan

yang jelas. UUD 1945 setelah perubahan mengatur secara terbatas tentang

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, pada Pasal 7A dan 7B yaitu

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,

perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Bahkan menurut Zainal Arifin diakhir pembahasannya, ia dengan tegas

menyatakan bahwasanya “Presiden keempat, “Gus Dur” yang secara demokratis

dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh

MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat:

korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus

Dur” tanpa dipanggil terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya

dengan tiba-tiba MPR langsung memakzulkannya. Contoh “masa lalu” pemakzulan


“Gus Dur” adalah contoh yang jelas-jelas terlihat oleh semua pihak bahwa bagaimana

lidah para politisi dan negarawan saat itu memiliki “lidah tak bertulang”.

Hal tersebut jauh berbeda dari apa yang ditulis oleh Satrio Alif Febriyanto

Terkait dengan Pemakzulan Bupati Jember yang telah memenuhi Syarat dan

dilakukan secara procedural. Terdapat beberapa kesimpulan bahwa: pertama, dari

segi AUPB, Keputusan Pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember telah sesuai

dengan AUPB yang ada pada UU Administrasi Pemerintahan. Hal ini dikarenakan

keputusan pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember memenuhi setiap asas yang

ada di dalam UU Administrasi Pemerintahan. Kedua, Dari segi peraturan perundang-

undangan, Keputusan Pemakzulan Bupati Jember oleh DPRD Jember telah sesuai

dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPRD yang diatur di dalam Undang-Undang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan mekanisme penggunaan hak DPRD yang telah

sesuai dengan PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman Penyusunan Tata Tertib

DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain itu, fakta bahwa keputusan Pemakzulan

Bupati Jember oleh DPRD Jember akan dibawa ke MA untuk diuji dan diputuskan

secara final dan mengikat telah memenuhi mekanisme pemberhentian kepala daerah

yang diatur di dalam UU Pemerintahan Daerah. Ketiga, Proses Pemakzulan kepala

daerah di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan negara lain seperti Amerika

Serikat yang keputusan pemakzulan kepala daerah berasal dari lembaga perwakilan

rakyat di tingkat daerah. Mekanisme tersebut berbeda dengan India yang membuat

keputusan pemakzulan kepala daerah berasal dari kehendak lembaga eksekutif di

tingkat nasional.

Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan impeachment ini masih

memerlukan beberapa penelitian yang lebih mendalam. Dari hasil Analisa

berdasarkan tiga pembahasan diatas, Terdapat beberapa pertanyaan dalam proses

pelaksanaan pemakzulan din Indoneisa, yakni; Apakah proses impeachment tunduk

pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum

acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri? Apakah diperlukan

semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan


penutupan terhadap Presiden didepan sidang yang di gelar oleh MK? Bagaimanakah

tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai kepada satu

kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden? Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat did

alam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas

dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden

dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan

terbingkai oleh norma-norma yudiris; apabila MK memutuskan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi

memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk

meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan

MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah dikemudian hari, setelah tidak

menjabat lagi Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum

dalam hukum pidana? Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi presiden

dan/atau wakil presiden ini tidak akan bertentangan dengan Asas Persamaan didepan

hukum, mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi

syarat tidak mengikat MPR.

Anda mungkin juga menyukai