Anda di halaman 1dari 13

CONTOH KEPUTUSAN NEGARA DALAM BENTUK BESCHIKING DAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam keputusan negara atau yang disebut Besluit terdapat dua bentuk antaralain adalah
Beschiking dan Peraturan Perundang-Undangan. Dimana dalam Beschiking keputusan
tersebut bersifat final individual, dan final. Sedangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan
memiliki sifat yang diantaranya berhirarki, bernorma, terdapat pelimpahan, prosedural, dan
mengikat umum. Maka atas penjabaran diatas terdapat contoh contohnya sebagaimana
berikut

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)


 Prosedural tertentu
Dalam UUD 1945 didalamnya tercantum sebuah prosedural khusus, seperti
conotohnya terdapat pada Pasl 7B yang mengatur sebagaimana berikut:

1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan


oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.***)
2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat.***)
3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah
Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam
sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil-adilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi.***)
5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat.*** )
6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang
untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling
lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat
menerima usul tersebut. ***)”

 Mengikat Umum
Sebagaimana UUD 1945 sebagai dasar yuridis pembentukan Negara Republik
Indonesia, maka ketentuan UUD 1945 mengikat secara umum untuk segenap
bangsa Indonesia. Hal itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa:
“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia...”

 Pelimpahan
Dalam UUD 1945 pula terdapat sebuah pelimpahan yang diatur didalamnya
sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan :
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat , dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”

 Bernorma
Norma dalam pembentukan UUD 1945 adalah Norma yang sesuai dalam
ketentuan Pancasila Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan dengan berbunyi:

“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu


Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”

 Hierarkis
Pembentukan UUD 1945 merupakan perwujudan dari Norma Pancasila
sebagaimana dicantumkan pada pembukaan yang menyatakan:

“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu


Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”

 Sanksi
Didalam ketentuan UUD 1945 mengatur mengenai beberapa sanksi, seperti
contohnya pada Pasal 7 Ayat (1) yang mengatur bahwa:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”

2. Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2019

 Dibuat oleh lembaga yang berwenang.

Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2019


dibuat oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam bagian lembar pembukaan
Kewenangan Presiden dalam pembentukan Undang-Undang ini tercantum dalam
bab VIII Undang-Undang Dasar 1945 Amendemen IV pasal 23 mengatur tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Bunyi pasal 23:

ayat (1): Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang
dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

ayat (2): Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara


diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

ayat (3): “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden,
Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
yang lalu”

 Prosedural Tertentu

Dalam Undang-Undang ini terdapat sebuah prosedural khusus yang diatur, seperti
contohnya yang terdapat pada Pasal 12 Ayat (3) yang menyatakan:

“Pengalokasian DAK Fisik sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf a


ditetapkan berdasarkan usulan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
prioritas nasional, kemampuan keuangan negara, dan tata kelolakeuangan negara
yang baik.”

Mekanisme prosedural dapat dilihat dari terdapatnya sebuah ketentuan untuk


pengalokasian Dana Alokasi Khusus adanya kewajiban prosedural untuk
mendapatkan ketetapan berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah.
 Mengikat Umum

Undang-Undang ini mengikat secara umum, kepada siapapun yang


berkepentingan memanfaatkan dan atau mengelola anggaran tersebut maka harus
berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang ini

 Pelimpahan

Dalam Undang-Undang ini terdapat sebuah peraturan pelimpahan sebagaimana


dalam contohnya terdapat pada Pasal 36 Ayat (5) pada Pasal 36 Ayat (2)

Pasal 36 Ayat (5)

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksiLindung Nilai


sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diaturdengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Pasal 36 Ayat (2)

“Pemerintah dapat melakukan transaksi Lindung Nilaidalam rangka


mengendalikan risiko fluktuasi bebanpembayaran kewajiban utang, danf atau
melindungi posisinilai utang, dari risiko yang timbul maupun yangdiperkirakan
akan timbul akibat adanya volatilitas faktor-faktor pasar keuangan.”

 Bernorma

Undang-Undang ini memiliki norma dasar dalam pembentukannya sebagaimana


dijelaskan dalam pertimbangan yang mencantumkan penjelasan seperti dibawah
ini:

“bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan wujud dari


pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

 Hierarkis

Undang-Undang ini memiliki dasar hierarkis dalam pembentukannya berdasarkan


ketentuan Undang-Undang Dasar sebagaimana dijelaskan dalam pertimbangan
yang mencantumkan penjelasan seperti dibawah ini:
“bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud dalam huruf a dan huruf
b, serta melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1)Undang-Undang Dasar Negara
Republik lndonesiaTahun 1945, perlu membentuk Undang-Undangtentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraTahun Anggaran 2Ol9”

 Sanksi

Dalam pelaksanaan Undang-Undang ini terdapat sanksi yang mengikat


barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur. Ketentuan sanksi tersebut,
tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara, sebagaiman diatur sebagai berikut:

(1) Menteri/ Pimpinan lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota yang terbukti


melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-
undang tentang APBN/ Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan
pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/ Lembaga/ Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran
yang telah ditetapkan dalam undang - undang tentang APBN/Peraturan Daerah
tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan
ketentuan undang - undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-
undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 7 TAHUN 1994


TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD
TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI
PERDAGANGAN DUNIA).

 Normatif
Dalam Penjelasan Undang-Undang ratifikasi dijabarkan bahwa secara hierarkis
normatif pembentukan dari ratifikasi perjanjian WTO dijelaskan sebagai berikut:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain
menegaskan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif yang makin mampu
menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk turut mewujudkan
tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional,
dengan lebih memantapkan dan meningkatkanperanan Gerakan Non-Blok.
 Hierarkis
Secara hierarki Perundang-Undangan pembentukan Undang-Undang ini
mempertimbangkan mandat dari Undang-Undang Dasasr 1945 sebagaimana
secara rinci dijabarkan dalam poin mengingat dalam pembukaan yaitu Pasal 5
ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

 Pelimpahan dan Prosedural.

Dalam Pasal ini dinyatakan bahwa :“Karena kepastian mengenai tanggal mulai
berlakunya Persetujuan tersebut baru akan ditetapkan pada sidang tingkat
Menteri yang bertanggung jawab di bidang Perdagangan yang masih
akan berlangsung selambat-lambatnya sebelum akhir tahun 1994, maka
pernyataan mulai berlakunya Undang-undang ini juga disesuaikan dengan
tanggal mulai berlaku efektifnya Persetujuan yang akan ditetapkan”. Maka dilihat
dari isi dalam penjelasan Pasal 2 tersebut telah dimandatkannya sidang Menteri
untuk dijalankan dalam ditandatanganinya Undang-Undang tersebut.

 Berlaku Umum

Dikarenakan dalam suatu proses ratifikasi merupakan suatu bentuk pengakuan


juga pemberlakuan ketentuan ketentuan perjanjian internasional, maka dengan itu
dengan diratifikasinya pembentukan WTO dalam Undang-Undang ini berlaku
pula ketentuan ketentuan perjanjian dibawahnya seperti Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights, yang akan diundang-undangkan kemudian dalam
Undang-Undang terkait.

4. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK


INDONESIA NOMOR XI/MPR/1998 TENTANG PENYELENGGARA
NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME

 Hierarkis
Ketetapan MPR ini dibawahi UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (2),
Pasal 4, Pasal 16 Pasal 17 Pasal 19, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
 Normatif
Norma dalam dasar pembentukan Ketetapan ini terdapat pada Pasal 2 yang
berbunyi
“(1)Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan
bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
(2)Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara
harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri
dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.”

 Pelimpahan
Dalam ketetapan ini telah dilimpahkan apa-apa yang dimaksud didalamnya
kepada pembentuk Undang-Undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5
sebagaimana berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan ini diatur lebih lanjut
dengan Undang-undang.”

 Prosedural
Ada pula ketentuan prosedural yang tercantum dalam Peraturan ini
sebagaimana dalam Pasal 3 dinyatakan :

“(1)Untuk menghindarkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme,


seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan
negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan
bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
(2)Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas
dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang
keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
(3)Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas
dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana
korupsi.”

5. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2007


 Normatif
Secara normatif dalam pembukaan dinyatakan dasar normatif PERPRES ini
adalah “bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif perlu dilakukan reorganisasi
dan revitalisasi organisasi Badan Koordinasi Penanaman Modal.”

 Hierarkis
Secara hierarkis PERPRES ini lahir dari Undang-Undang No.25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, sebagaimana dapat dilihat dalam mengingat
bagian dalam pembukaan

 Pelimpahan
Dalam PERPRES ini diatur sebuah perlimpahan wewenang sebagaimana
dalam Pasal 41 Ayat (2) disebutkan:
“Pejabat sebagimana dimaksud pada ayat (1) bertindak atas nama dan/atau
mewakili dan/atau menjadi penghubung dari instansi sektor dan
Pemerintah Daerah masing-masing”

 Prosedural
Dalam PERPRES ini juga ditetapkan mengenai sebuah prosedural
sebagaimana dalam Pasal 45 diatur sebagai berikut:
“(1) Dalam mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanaman modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, BKPM
mengadakan rapat-rapat koordinasi dengan perwakilan secara langsung
dari sektor dan daerah terkait secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
dibutuhkan. (2) Dalam rapat koordinasi sebagimana dimaksud pada ayat (1),
BKPM dapat megikutsertakan atau mengundang pihak-pihak lain yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan”

6. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA


7. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK BIDANG
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA.

 Normatif

Secara normatif pembentukan PERMEN ini didasarkan dari percepatan dan


peningkatan investasi dan pelaksanaan berusaha, perlu dilakukan
perubahan terhadap proses bisnis perizinan di lingkungan Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Hal itu dicantumkan dalam pembukaan PERMEN
ini

 Hierarkis

Dalam pembentukan PERMEN ini secara Hierarkis merupakan ketentuan khusus


dari Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881), Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor
4252);3, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 4843) sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
251, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 5952), Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negera Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5065.

 Prosesdural

PERMEN ini mengatur beberapa prosedural didalamnya, seperti dapat


dicontohkan dalam Pasal 2 yang berbunyi :

“Permohonan perizinan dan layanan di lingkungan Kementerian yang


diatur dalam Peraturan Menteri ini dilaksanakan melalui OSS dan
merupakan jenis izin komersial atau operasional”

 Sanksi

Sanksi adalah saah satu ketentuan yang diatur dalam PERMEN ini, contohnya
dapat dilihat pada Pasal 10 Ayat (6) yang mengatur bahwa:

“Dalam hal pernyataan komitmen tidak dipenuhi sampai dengan waktu


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan Izin Penyelenggaraan Pos”

BESCHIKING

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 25 TAHUN 1957.


TENTANG PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN HAKI-PERWIRA
DARI ANGKATAN DARAT PADA PENGADILA-PENGADILAN TENTARA
DI TERITORIUM IV.

 INDIVIDUAL

Contoh pada KEPPPRES ini hanya berlaku secara individual pada hakim
perwira yang diangkat dan diberhentikan

 FINAL dan BERAKIBAT HUKUM


Bersifat final dikarenakan setelah disahkannya KEPPRES ini akibat hukum
akan pengangkatan dan pencabutan jabatan yang dimaksud dapat langsung
diberlakukan.

Anda mungkin juga menyukai