Anda di halaman 1dari 24

1

USULAN PENELITIAN

LEGAL MEMORANDUM SUBSTANSI KLAIM PELANGGARAN


PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PRINSIP UNJUST
ENRICHMENT TERKAIT PERLINDUNGAN PENANAM MODAL ASING
DALAM PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN ICSID KASUS
NO.12/14 DAN 12/40 OLEH CHURCHILL MINING. PLC DAN PLANET
MINING. LTD

A. KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM

1. Kasus Posisi

Kecamatan Busang, Kecamatan Telen, dan kecamatan Muara


Wahau Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur merupakan
situs yang mengandung deposit batubara terbesar ke-tujuh di dunia dan
ke-dua terbesar di Indonesia dengan klasifikasi unsur termuat yang sangat
tinggi.1 Berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan dalam periode
25 tahun, dikalkulasikan deposit batubara yang tersedia bernilai produksi
dengan perkiraan keuntungan 500 Juta Dollar Amerika per-tahunnya
dengan asumsi kapasitas produksi selama 20 tahun. 2.

Pada Tahun 2006, sebuah grup perusahaan Indonesia bernama


Ridlatama Group mempresentasikan penawaran prospektif proyek
penggarapan terhadap potensial tambang batubara di Kabupaten Kutai
Timur atas nama EKCP (The East Kutai Coal Project) kepada
perusahaan jasa pertambangan Inggris yaitu Churchill Mining Plc.
Ridlatama Group sendiri merupakan sebuah induk perusahaan dari tujuh
anak perusahaan yang menginduki PT.RTM (Ridlatama Tambang
Mineral), PT.RTP (Ridlatam Trade Powerindo), PT.RS (Ridlatama Steel),
PT.RP (Ridlatama Power), PT.INP (Investama Nusa Persada), dan
1
Churchill Mining and Planet Mining v Indonesia, ICSID (W.Bank) Case No.12/14 and
12/40 (Decision on Jurisdiction), para. 7
2
Ibid, para. 9
2

PT.TCUP (Techno Coal Utama Prima). Masing-masing perusahaan dari


Ridlatama Group memiliki fungsi menjalankan bisnis pertambangan yang
berbeda sesuai dengan izin dimilikinya. PT.RS dan PT.RP memiliki izin
Penyelidikan Umum pada dua blok wilayah EKCP, 3 PT.TCUP memiliki izin
pelayanan jasa geologis dan penambangan,dan enam perusahaan
lainnya kecuali PT.TCUP dan termasuk PT.RS dan PT.RP memiliki izin
penambangan di wilayah EKCP.4

Penawaran penggarapan potensi tambang pada Kecamatan


Muara Wahau melahirkan sebuah kesepakatan dari pihak Churchill
Mining Plc untuk mengakuisisi PT. ICD (PT.Indonesian Coal
Development), dimana PT.ICD sendiri merupakan perusahaan perseroan
bergerak dibidang bisnis pertambangan sebagai perusahaan penanaman
modal asing yang didirikan oleh Profit Point Group Ltd dan Andreas
Rinaldi.5 Proses akuisisi meliputi proses pemindahan saham PT.ICD yang
terbagi dalam pembagian saham sebesar 95% milik Churchill Mining Ltd,
dan 5% milik Planet Mining Plt. 6

Proses kerjasama Churchill Mining dengan PT.Ridlatama Group


berlanjut pada tanggal 25 Mei 2007, PT.ICD melakukan perjanjian
kerjasama dengan PT.TCUP, Ani Setiawan Rinaldi dan Florita atas nama
PT.RTM, PT.RTP, PT.RS, dan PT.RP. Perjanjian kerjasama yang
dibentuk meliputi kerjasama PT.ICD untuk melakukan perencanaan, dan
semua operasi penambangan dalam wilayah EKCP dengan substitusi
PT.ICD mendapatkan 75% keuntungan yang didapatkan dari hasil

3
Izin diberikan oleh Bupati Kutai Timur dengan cakupan wilayah 400 kilometer persegi
dengan lokasi 110 kilometer kearah Barat Daya dari Sanggata Kabupaten Kutai Timur
4
Churchill dan Planet, (Decision on Jurisdiction) Op. Cit. para.20
5
dengan pembagian saham masing masing 98:2 (BKPM, No.1304/I/PMA/2005, 23
November 2005)
6
Planet Mining Pty Ltd adalah sebuah perusahaan berjurisdiksi dan terdaftar pada
hukum Australia, perusahaan dengan status kepemilikan 100% dari Churchill Mining Plc. Pada 24
April 2006, akuisisi PT.ICD oleh Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd telah mendapat
persetujuandari BKPM atas dasar penerusan keputusan sebelumnya pada tahun 2005 Dan talah
terdaftar pada 8 April 2008 di Kementerian Hukum dan HAM terkait nota perubahan kepemilikan
saham
3

penggarapan.7 Dalam tanggal yang sama pula PT.ICD melakukan


perjanjian investasi dengan PT.TCUP, Ani Setiawan Rinaldi dan Florita
atas nama PT.RTM, PT.RTP, PT.RS, dan PT.RP. 8 Atas dasar perjanjian
kerjasama tersebut, PT.ICD mendapatkan wewenang penuh atas
pengaturan perpindahan saham PT.TCUP, PT.RTM, PT.RTP, PT.RS, dan
PT.RP. Pada 31 Maret 2008, PT.ICD melakukan perjanjian investasi
serupa dengan PT. INP dan PT.IR.

Beberapa bulan setelah terjalinnya sebuah perjanjian kerjasama


PT.ICD dengan PT.TCUP, Ani Setiawan Rinaldi dan Florita, Ani Setiawan
Rinaldi dan Florita pada tanggal 26 November 2007 memindahkan saham
miliknya dalam PT.RTM dan PT.RTP kepada PT.TCUP, yang atas hal ini
PT.TCUP memiliki saham sebanyak 75% atas PT.RTM dan PT.RTP. 9

Perjanjian PT.ICD dengan PT.RTM, RTP, PT.RS, PT.RP,PT.IR,


dan PT.INP mendapatkan respon postif dari pemerintah dengan
didapatkannya persetujuan perjanjian ko-operasi untuk melakukan
eksplorasi,eksploitasi, pengolahan,pemurnian penjualan, dan transportasi
batubara pada EKCP pada tanggal 8 April 2008 oleh Bupati Kutai Timur. 10

Pada Tanggal 10 Maret 2008, PT.RTM, PT.RTP, PT.IR, dan


PT.INP mendaftarkan izin penyelidikan umumnya untuk diperbaharui
menjadi Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Pendaftaran pembaharuan
izin PT.RTM, PT.RTP, PT.IR, dn PT.INP menjadi Izin Kuasa
Pertambangan Eksplorasi mendapatkan persetujuan dari Bupati Kutai
Timur pada tanggal 9 April 2008. 11

7
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction). Op. Cit, Para.25
8
Ani Setiawan Rinaldi dan Florita merupakan pemilik saham keseluruhan atas PT.RTM,
PT.RTP, PT.RS, dan PT.RP
9
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction). Op. Cit Para. 26
10
Ibid, para.29. Sertifikat Keputusan Bupati Kutai Timur terkait : No.
38/02.188.45/HK/IV/2008, No. 39/02.188.45/HK/IV/2008, No. 40/02.188.45/HK/IV/2008, No.
37/02.188.45/HK/IV/2008
11
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction), Op. Cit., para.30
4

Pada tanggal 30 Maret 2010 PT.ICD kembali mengakuisisi saham


atas anak perusahaan pada PT.Ridlatama Group dimana PT.TCUP dalam
sahamnya diakuisisi oleh PT.ICD dengan porsi saham 99,01% dan
Churchill Mining Ltd sebanyak 0,99%.12 Dengan ini Churchill Mining Plc
secara kepemilikan saham adalah pemilik penuh atas PT.TCUP.

Pada 1 Februari 2009, Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-


Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
menggantikan Undang-Undang No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. Menanggapi berlakunya Undang-
Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009, Pada tanggal
23 Maret 2009 PT.RTM, PT.RTP,PT.IR dan PT.INP mendaftarkan Izin
Kuasa Pertambangan Eksplorasinya untuk diperbaharui menjadi IUP
Eksploitasi. Pada tanggal 27 Maret 2009 Bupati Kutai Timur menyetujui
perubahan izin PT.RTM,PT.RTP,PT.IR dan PT.INP menjadi IUP
Eksploitasi.13

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 21


April 2010 menyurati Bupati Kutai Timur perihal rekomendasi dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut atau
membatalkan izin milik Ridlatama Group dalam wilayah EKCP dengan
dasar bahwa perusahaan-perusahaan Ridlatama Group telah beroperasi
tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Izin
Pinjam Pakai Hutan),14teridentifikasi tumpang tindihnya wilayah operasi
perusahaan dengan pemegang IUP Nusantara, dan diduga terdapat
pemalsuan dokumen perizinan yang dimiliki perusahaan-perusahaan

12
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction) Ibid, para 38
13
Ibid., para 32. Keputusan Bupati Kutai Timur terkait : No. 188.4.45/118/HK/III/2009,
No. 188.4.45/119/HK/III/2009, No. 188.4.45/116/HK/III/2009, No. 188.4.45/117/HK/III/2009
14
Berdasarkan Ketentuan Perundang-undangan pada Pasal 38 Ayat (3) Undang-Undang
No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan : “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan” jo.
Pasal 50 Ayat (3) g : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
5

Ridlatama Group terkait EKCP.15 Menanggapi surat dari Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bupati Kutai Timur mengeluarkan
keputusan untuk mencabut kebijakannya terkait persetujuan IUPK 16 milik
Ridlatama Group pada tanggal 4 Mei 2010.

Setelah Pencabutan IUPK milik Ridlatama Group, Pada Tanggal 25


Agustus 2010 PT.RTM, PT.RTP, PT.IR, dan PT.INP mengajukan
permohonan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda 17 dengan
permohonan bahwa pencabutan IUPK tidak bersifat prosedural formal,
bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan, dan ditetapkan
oleh Pejabat yang tidak berwenang. Namun Pengadilan Tata Usaha
Negara Samarinda menolak semua permohonan. 18 Pengadilan Tata
Usaha Negara Samarinda menilai bahwa seluruh prosedur, tata cara, dan
keputusan Bupati Kutai Timur telah sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan.19

Disisi lain, Ani Setiawan Rinaldi dan Florita melayangkan gugatan


kepada PT.TCUP, dan PT.ICD atas tidak dibayarkannya sejumlah uang
dalam hal kompensasi pengalihan saham Ani Setiawan Rinaldi dan Florita
dalam PT.TCUP kepada PT.ICD sebagaimana telah dijanjikan dalam
perjanjian investasi terkait. Melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Pemerintah Indonesia memutus bahwa pengalihan saham dari Ani

15
Surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Bupati Kutai Timur No.:
S.10/Menhut-III/Rhs/2010 didukung dengan surat pemberitahuan dari Dinas Pertambangan Kutai
Timur
16
Putusan Bupati Kutai Timur : No. 540.1/K.443/HK/V/2010, No.
540.1/K.444/HK/V/2010, No. 540.1/K.441/HK/V/2010, No. 540.1/K.442/HK/V/201. Didasari Pada
Haknya pada ketentuan Perundang-undangan Pasal 119 a Undang-Undang No.4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara : IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang IUP atau
IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan
perundang-undangan;
17
Terdaftar atas Kasus No. 31/G/2010/PTUN.SMD, No. 32/G/2010/PTUN.SMD, No.
33/G/2010/PTUN.SMD, dan No. 31/G/2010/PTUN.SMD
18
Putusan No. 31/G/2010/PTUN.SMD, No. 32/G/2010/PTUN.SMD, No.
33/G/2010/PTUN.SMD, dan No. 31/G/2010/PTUN.SMD.
19
Churchill dan Planet, Decision on Jurisdiction Op. Cit, Para.284
6

Setiawan Rinaldi dan Florita dalam PT.TCUP kepada PT.ICD batal demi
hukum.20

Pada tanggal 22 Mei 2012 dan 26 November 2012 Churchill Mining


Plc dan Planet Mining Pyt Ltd membawa kasus sengketa kepada arbitrase
ICSID (International Centre of Settlement for Investment Dispute) dengan
21
Tergugat Pemerintah Indonesia. Churchill Mining Plc menggugat atas
perbuatan yang dilakukan Pemerintah Indonesia mencabut IUPK dimana
berakibat Investasi/penanaman modalnya yang dilakukan di Indonesia
telah secara melawan hukum di-ekspropriasi (Unlawfully Expropriated)
dan diperlakukan dengan pelanggaran terhadap Prinsip Fair and Equitable
Treatment (FET) sebagaimana tertera pada perjanjian BIT UK-Indonesia
dan BIT UK-Indonesia.22 Atas hal itu Churchill Mining Plc dan Planet
Mining Pyt Ltd menggugat kerugian sebesar 1.300.000.000 Dollar
Amerika atas pelanggaran Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian BIT.
23

Setelah proses ajudikasi berlangsung selama empat tahun


tepatnya pada tanggal 6 Desember 2016 Tribunal mengeluarkan
putusannya memenangkan pihak Pemerintah Indonesia dengan dasar
bahwa ditemukannya dan dinyatakan dokumen-dokumen terkait milik Para
Penggugat atas izin kegiatan usaha pertambangannya di Indonesia tidak
autentik dan tidak terotorisasi24 berdasarkan praktik korupsi yang
dikonklusi sebagai dokumen-dokumen palsu (Fraud found on Forgeries)25
dan juga Tribunal membantah pembelaan Para Penggugat atas kepalsuan
dokumen berdasarkan prinsip due diligence.26 Atas semua temuan

20
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta SelatanNo. 604/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel
21
Churchill Mining and Planet Mining v Indonesia, ICSID (W.Bank) Case No.12/14 and
12/40 (Award), para. 11
22
Churchill’s Request for Arbitration
23
Churchill Mining and Planet Mining v Indonesia, ICSID (W.Bank) Case No.12/14 and
12/40 (Application for Annulment), para. 12
24
Ibid, para. 42
25
Ibid, 43
26
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction), Op. Cit, para.524
7

kepasluan dokumen, Tribunal menyatakan Para Penggugat tidak dapat


dan dilarang mendapatkan perlindungan dari hukum internasional. 27

Pada Maret 2017, pihak Churhchill Mining PLC dan Planet Mining
LTd mengajukan pembatalan putusan Tribunal tersebut.28 Dalam
gugatannya Para Penggugat membawa beberapa pembelaan baru dan
beberapa gugatan baru, salah satunya adalah menyatakan bahwa
Tribunal gagal dalam mempertimbangkan perlanggaran Pemerintah
Indonesia atas Prinsip Unjust Enrcichment.29 Dimana sebelumnya Panel
menilai bahwa prinsip ini beserta gugatan lainnya tidak dilanggar
Pemerintah Indonesia dengan dengan berpatokan pada terbuktinya
seluruh dokumen yang menjadi dasar gugatan Para Penggugat adalah
palsu (Forged and Void)30. Dalam gugatan barunya Para Penggugat
membawa pembelaan bahwa meskipun dokumen dasar gugatan terbukti
palsu, dengan tidak berjalannya proyek pertambangan, Pemerintah
Indonesia telah menikmati secara tidak berdasar(Unjustly Enriched) atas
sejumlah modal yang telah tanamkan sebesar US$ 70 Juta, dan telah
menikmati secara tidak berdasar Hak Cipta atas informasi informasi
tambang yang telah diberikan oleh Churchill Mining Plc dan Planet Mining
Pyt Ltd kepada Pemerintah Indonesia.31

Sebagai kasus pembanding, terdapat kasus yang serupa pada


substansinya kasus ini yaitu pada kasus Lena Goldfields. Prinsip Unjust
Enrichment pertamakali dibawa kedalam forum internasional pada tahun
1890 pada kasus Lena Goldfields yang dalam kasus ini pula dapat
diasumsikan sebagai kasus pertama yang terdapat klaim atas prinsip
Unjust Enrichment dan kasus ini merupakan kasus arbitrase pertama
sepanjang sejarah, proses perkara ini sejarah mencatatkan bahwa telah

27
Ibid, para. 508
28
Churchill dan Planet (Application for Annulment), Op. Cit
29
Churchill dan Planet (Awards),Op. Cit Para. 159
30
Churchill dan Planet (Application for Annulment), Loc.Cit, Para. 532
31
Churchill dan Planet (Decision on Jurisdiction) Op. Cit Para. 159
8

diadili oleh arbitrase ad-hoc.32 Dalam kasus ini, perkara berawal dari
terdapatnya penerapan kebijakan oleh USSR yang mengakibatkan suatu
kondisi kontrak konsesi antara USSR dan perusahaan tambang Lena
Goldfields menjadi fatal terhadap bisnis perusahaan. Perusahaan
mengklaim atas kerugian yang dideritanya sebagai wanprestasi terhadap
kontrak atau secara alternatif mengajukan restitusi atas seluruh nilai asset
yang dimiliki perusahaan yang dinilai bahwa Pemerintah telah
diuntungkan secara tidak berdasar (unjustly enriched).33

Panel arbitrase ad-hoc pada saat itu hanya memiliki waktu satu
hari untuk mempertimbangkan segala aspek dalam klaim ini melawan
sebuah pemerintahan dan yang pada akhirnya memutus atas kerugian
tersebut dalam prinsip Unjust Enrichment, berdasarkan pada hukum Uni
Soviet dan Hukum yang hidup di Eropa pada saat itu Panel memutus dan
menyatakan sebagaimana berikut :

“[T]he conduct of the Government was a breach of the contract going to


the root of it. In consequence Lena is entitled to be relieved from the
burden of further obligations thereunder and to be compensated in money
for the value of the benefits of which it has been wrongfully deprived. On
ordinary legal principles this constitutes a right of action for damages, but
the Court prefers to base its award on the principle of "Unjust Enrichment,"
although in its opinion the money result is the same”

Dengan adanya permasalahan hukum sebagaimana telah


diuraikan sebelumnya, penulis bermaksud mengkajinya dalam karya
ilmiah legal memoranfum berjudul :

32
VV Veeder, 1998 dalam Ana Vohryzek, Unjust Enrichment Unjustly Ignored:
Opportunities and Pitfalls in Bringing Unjust Enrichment Claims under ICSID, 31 Loy. L.A. Int' l &
Comp. L. Rev. 501, 2009, H. 520
33
Ibid
9

“LEGAL MEMORANDUM SUBSTANSI KLAIM PELANGGARAN


PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PRINSIP UNJUST
ENRICHMENT TERKAIT PERLINDUNGAN PENANAM MODAL ASING
DALAM PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN ICSID KASUS
NO.12/14 DAN 12/40 OLEH CHURCHILL MINING. PLC DAN PLANET
MINING. LTD”

2. Permasalahan Hukum:
1. Apakah Pemerintah Indonesia melanggar hukum
internasional terhadap prinsip Unjust Enrichment sebagaimana digugatkan
dalam permohonan pembatalan putusan ICSID Kasus No. 12/14 dan
12/40 oleh Penggugat?
2. Apakah Pemerintah Indonesia sebagai Tergugat
berkewajiban untuk bertanggung jawab dalam bentuk restitusi atau
kompensasi berdasarkan gugatan pelanggaran terhadap prinsip Unjust
Enrichment?

B. PEMERIKSAAN DOKUMEN

1. Fakta Persidangan Sebelumnya


a. Jurisdiksi
10

Penggugat mengajukan sengketa untuk diajudikasi badan arbitrase


ICSID berdasarkan mekanisme pada Article 36 ICSID Arbitration Rule.34
Badan Arbitrase ICSID menerima jurisdiksi permohonan untuk mengadili
penyelesaian sengketa dengan berdasar pada perjanjian BIT antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris serta perjanjian BIT antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, dimana dalam perjanjian-
perjanjian tersebut terdapat klausula mekanisme penyelesaian sengketa
yang menyatakan sengketa dapat diselsaikan melalui badan arbitrase
ICSID yang secara eksplisit dituangkan dalam Article 7 Perjanjian BIT
Indonesia–Inggris dan Article XI Perjanjian BIT Indonesia-Australia,
perjanjian-perjanjian tersebut menyatakan sebagaimana berikut:

Article 7 BIT Indonesia-Inggris

“ (1) The Contracting Party in the territory of which a national company of


the other Contracting Party makes or intends to make an investment shall
assent to any request on the part of such national or company to submit
for conciliation or arbitration, to the Centre established by the convention
of the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of
Other States opened for signature at Washington on 18 March 1965 (1)
any dispute that may arise in connection with the investment.
(2) A company which is incorporated or constituted under the law in
force in the territory of one Contracting Party and in which immediately
before such a dispute arises the majority id shares are owned by nationals
or companies of the other contracting party shall in accordance with Article
25 (2) (b) of the Convention be treated for the purposes of the Convention
as a company of the other Contracting Party ”35
Article XI BIT Indonesia-Australia

“ 1. In the event of a dispute between a Party and an investor of the other


Party relating to an investment, the parties to the dispute shall initially seek
to resolve the dispute by consultations and negotiations.
2. In the event that such a dispute cannot be settled through consultations
and negotiations, the investor in question may submit the dispute, for
settlement:

34
Churchill dan Planet (Award), Op. Cit Para. 3, dan Churchill’s Request for Arbitration
35
Perjanjian BIT Indonesia-Inggris, London, 1977, Art. 7
11

(a) in accordance with the laws and regulations of the Party which has
admitted the investment to the competent judicial or administrative bodies
of that Party; or
(b) to the International Centre for the Settlement of Investment Disputes
("the Centre") for the application of the conciliation or arbitration
procedures provided by the 1965 Convention on the Settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of Other States ("the
Convention").“36

Klausula mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pada


perjanjian BIT Indonesia-Inggris dan BIT Indonesia-Asutralia dapat
dikonklusikan sebagai deklarasi terhadap pengakuan jurisdiksi badan
arbitrase ICSID untuk dapat mengadili sengketa yang timbul dari
hubungan berdasarkan perjanjian BIT Indonesia – Inggris dan BIT
Indonesia –Australia. Deklarasi mengenai pengakuan jurisdiksi tersebut
didasari dengan lingkup jurisdiksi ICSID sebagaimana telah diatur dalam
Article 25 (2) (b) ICSID Convention yang menyatakan bahwa :

“(1) The jurisdiction of the Centre


shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment,
between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a
Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of
another Contracting State, which the parties to the dispute consent in
writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent,
no party may withdraw its consent unilaterally.

(2) “National of another Contracting State” means:


(b) any juridical person which had the nationality of a Contracting State
other than the State party to the dispute on the date on which the parties
consented to submit such dispute to conciliation or arbitration and any
juridical person which had the nationality of the Contracting State party to
the dispute on that date and which, because of foreign control, the parties
have agreed should be treated as a national of another Contracting State
for the purposes of this Convention.”37

Pengakuan jurisdiksi badan arbitrase ICSID berdasarkan Article 25


(2) (b) dapat ditelaah lebih lanjut dengan adanya fakta bahwa Indonesia,
Inggris, dan Australia adalah Negara anggota kontrak dari konvensi
36
Perjanjian BIT Indonesia-Australia, Jakarta, 1993, Art. XI
37
ICSID Convention, Washington, 1966, Art. 25 (2) (b)
12

tersebut.38 Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pyt Ltd merupakan
perusahaan yang telah terdaftarkan legalitasnya di Negara Inggris dan
Austraia yang dapat ditafsirkan tergolong dalam unsur pada poin b Article
25 sebagai “National of another Contracting State”

ICSID menerima jurisdiksi atas sengketa kasus ini berdasarkan


permintaan dari para pihak untuk pertimbangan status legal Para
Penggugat sebagai Penanam Modal Asing di Indonesia dengan dasar
hukum perjanjian BIT Indonesia-Inggris , perjanjian BIT Indonesia-
Australia, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Perubahan atas Undang-Undang Nol.1 Tahun 1967, yang merujuk pada
Surat-surat BKPM tentang persetujuan penanaman modal asing Para
Penggugat.39

Tribunal dalam analisisnya menarik klausula Article 2 (1) dalam


perjanjian BIT Indonesia-Inggris dalam awal simpulan jurisdiksi
sebagaimana perjanjian menyatakan sebagai berikut:

“This Agreement shall only apply to investments by nationals or


companies of the United Kingdom in the territory of the Republic of
Indonesia which have been granted admission in accordance with the
Foreign Capital Investment Law No. 1 of 1967 or any law amending or
replacing it”40
Dan dalam penentuan jurisdiksi Planet Mining Pty Ltd didasari oleh
Article III paragraph 1 a perjanjian BIT Australia-Indonesia yang
menyatakan sebagaimana berikut :

“investments by investors of Australia in the territory of the Republic of


Indonesia which have been granted admission in accordance with the Law
No. 1 of 1967 concerning Foreign Investment or with any law amending or
replacing it;”41

38
https://icsid.worldbank.org/en/Documents/icsiddocs/List%20of%20Contracting
%20States%20and%20Other%20Signatories%20of%20the%20Convention%20-%20Latest.pdf.
Diakses pada 15 Desember 2018 pukul 05.36 WIB.
39
BKPM, No.1304/I/PMA/2005, 23 November 2005
40
BIT Inggris, Op. Cit, Art 2 (1)
41
BIT Australia, Op. Cit, Art. III (1) (a)
13

Tribunal menaggapi bahwa dalam hal menilai jurisdiksi investasi


pada perjanjian BIT Indonesia-Inggris dan perjanjian BIT Indonesia-
Australia haruslah melihat ketentuan yang tertuang pada Undang-Undang
No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang mencabut Undang-
Undang No.1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Tribunal
menarik kesimpulan pada rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (3)
yang lebih lanjut mengenai pelaksanaanya terdapat pada Pasal 27 Ayat
(1) dan (2) terkait hal penanamanan modal asing. Pasal 1 Ayat (3) dan
(1) dan (2) Undang-undang No.25 Tahun 2007 menjelaskan penentuan
penanamanan modal asing secara eksplisit sebagai berikut:

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang No.25 Tahun 2007

“Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk


melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan
oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam
negeri.”42

Pasal 27 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.25 Tahun 2007.

“(1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik


koordinasi antar instansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan
Bank Indonesia, antara instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah,
maupun antarpemerintah daerah.
(2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal.”43

Dalam melaksanaan ketentuan Undang-Undang No.25 Tahun 2007


terdapat peraturan pelaksanaanya yang tertuang dalam Pasal 2 jo. Pasal
3 (l) Keputusan Presiden No.90 Tahun 2007 Tentang Badan Koordinasi
Penanaman Modal. Dalam ketentuan yang tercantum, dijelaskan bahwa
BKPM memiliki wewenang untuk menerbitkan izin penanaman modal
42
Undang-undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Pasal 1 Ayat (3)
43
Undang-Undang No.25 Tahun 2007, Op.cit. Pasal 27 Ayat (1) dan (2)
14

asing. Ketentuan tersebut secara jelas dapat disimpulkan secara eksplisit


dalam Keputusan Presiden No.90 Tahun 2007 sebagaimana diterangakan
sebagaimana berikut:

Pasal 2
“BPKM mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan
pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan..”44

Pasal 3 (l)
“Dalam melaksanakan tugas tersebut pada Pasal 2, BKPM
menyelenggarakan fungsi pemberian pelayanan perizinan dan fasilitas
penanaman modal”45

Tribunal pada akhirnya berkesimpulan bahwa para pihak terkait


aplikasi dari perjanjian BIT Indonesia-Inggris dan perjanjian BIT Indonesia-
Australia, BKPM lah lembaga yang dimaksud pada Pasal 27 Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No.25 Tahun 2007. Atas dasar itulah Tribunal menarik
kesimpulan bahwa penanamanan modal asing di Indonesia dapat diakui
keberadaannya jika sudah ada persetujuan khusus dari BKPM. Dalam
pengaplikasiannya penentuan jurisdiksi berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) dan
(2) Tribunal menilai bahwa persetujuan BKPM terkait susunan pemegang
saham PT.ICD pada Tahun 2005 dan 2006 sudah dapat memenuhi unsur
pada Pasal 27 Ayat (1) dan (2) yang menyimpulkan bahwa Penggugat
dalam kepemilikan sahamnya di PT.ICD dapat dikategorikan sebagai
penanamanan modal asing sebagaimana diatur dalam Article 2(1)
perjanjian BIT Indonesia- Inggris dan Article III paragraph 1 a perjanjian
BIT Australia-Indonesia.

Dengan dapat ditemukannya legalitas eksistensi penanaman modal


asing atas Para Penggugat sedarimana lahir dan berangkat dari perjanjian
BIT Para Penggugat dan Pemerintah Indonesia, pada 24 Februari 2014
44
Keputusan Presiden No.90 Tahun 2007, Pasal 2
45
Keputusan Presiden No.90 Tahun 2007, Pasal 3 l
15

ICSID memutus bahwa secara objek sengketa Jurisdiksi ICSID dapat


diberlakukan untuk mengadili kasus ini. Ditinjau dari segi administrasi
Para Pihak telah memenuhi Jurisdiksi ICSID dengan Para Penggugat
mengajukan permintaan pada Tribunal (Request for Arbitration) pada 22
Mei 2012 (oleh Churchill Mining Plc) dan 26 November 2012 (oleh Planet
Mining Pty Ltd). 46

Pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya dalam


proses arbitrase diwakilkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang
didasari oleh mandat Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan
Presiden No.30 Tahun 2012,47 dan juga diwakili oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal yang didasari oleh mandat Presiden
dalam Keputusan Presiden No.78 Tahun 2012. 48 Pihak Tergugat
direpresentasikan oleh Dr.Amir Syamsudin (Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia dan Kordinator Kuasa Hukum Presiden Republik
Indonesia), Didi Dermawan (Kuasa Hukum Bupati Kabupaten Kutai Timur
dan Menteri Hukum dan Ham), Cahyo R.Muzhar bersama Claudia Frutos
Peterson of Curtis, Mallet Prevost, Colt & Mosle LLP,(Anggota Kuasa
Hukum Presiden Republik Indonesia), Freddy Harris (Sekretaris Tim (Ad-
Hoc) Kasus Churchill dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia),
Richele Suwita bersama Marcia Tanudjaja, dan Dwi Deila Wulandari
Taslim (Firma Hukum DNC).

b. Permohonan dan Gugatan Para Pihak Pada Tribunal

46
ICSID Convention, Op. Cit, Article 36
47
Keputusan Presiden No.30 Tahun 2012 Tentang Penunjukan Pemerintah
Kabupaten Kutai TImur Untuk Menjadi Pihak Dalam Proses Arbitrase International Centre
For Settlements Of Investment Disputes Terkait Gugatan Churchill Mining
48
Keputusan Presiden No.78 Tahun 2012 Tentang Penugasan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Sebagai Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia
Dalam Penanganan Gugatan Arbitrase di International Centre For Settlements Of
Investment Disputes Terkait Gugatan Churchill Mining Kepada Pemerintah Republik
Indonesia
16

Dengan diterimanya Jurisdiksi permohonan kasus, para pihak


meminta kebijakan dari Tribunal dengan rincian sebagaimana berikut :

(1)Pemerintah Indonesia (Tergugat)

(a) Menetapkan bahwa pembaharuan izin atas Penyelidikan Umum


dan Eksplorasi adalah palsu dan tidak otentik
(b) Menetapkan dokumen-dokumen terkait lainnya yang
mencurigakan adalah palsu dan tidak otentik
(c) Menolak segala gugatan dan pembuktian yang diajukan oleh
Penggugat.
(d) Memutus Penggugat untuk membayar biaya persidangan
beserta pengeluaran dan biaya lainnya yang timbul dari pihak
Tergugat dalam hubungannya pada prosesi arbitrase ini, dan
(e) Memohon putusan lainnya yang pantas dalam kebijakan
Tribunal

(2) Penggugat
(a) Menolak segala permohonan Tergugat,
(b) Memutus Tergugat untuk membayar biaya persidangan yang
timbul dari Penggugat secara penuh

c. Ajudikasi dan Putusan Tribunal

Dalam pertimbangannya, Tribunal mensimpulkan bahwa gugatan


yang diajukan kepada Tribunal tidak dapat diterima atas dasar dokumen-
dokumen yang disertai dan didasari pada gugatan adalah palsu yang
didasari tindakan kecurangan guna memperoleh hak dalam kegiatan
pertambangan di EKCP. Dengan dilanggarnya prinsip untuk berlaku
dengan niat yang baik (good faith), dan larangan menyalahgunakan
bentuk proses (the prohibition of abuse of process) menimbulkan
17

konsekuensi atas gugatan yang diajukan tidak dapat diterima


sebagaimana Tribunal menyatakan dalam putusannya sebagai berikut :
“In conclusion, the Tribunal cannot but hold that all the claims before it are
inadmissible. This conclusion derives from the facts analyzed above,
which demonstrate that the claims are based on documents forged to
implement a fraud aimed at obtaining mining rights…..Notwithstanding, the
seriousness, sophistication and scope of the scheme are such that the
fraud taints the entirety of the Claimants’ investment in the EKCP. As a
result, the general principle of good faith and the prohibition of abuse of
process entail that the claims before this Tribunal cannot benefit from
investment protection under the Treaties and are, consequently, deemed
inadmissible.”49

“The inadmissibility applies to all the claims raised in this arbitration,


because the entire EKCP project is an illegal enterprise affected by
multiple forgeries and all claims relate to the EKCP.” 50

“Forged documents preceded and followed them in time with the Re-
Enactment Decrees, which under a non-authentic signature purported to
revoke the revocation of the Exploitation LicensesThe accumulation of
forgeries both before and after the Exploitation Licenses show that,
irrespective of their lawfulness under local law, the entire EKCP was
fraudulent, thereby triggering the inadmissibility of the claims under
international law”51

2. Pengajuan Pembatalan Putusan ICSID No. ARB 12/14 dan


12/40

Para Penggugat telah memenuhi syarat substansial untuk


mengajukan pembatalan putusan sebagaiamana termaktub dalam ICSID
Convention Article 52 dengan diajukannya pembelaan oleh Para
Penggugat pada Tribunal mengenai putusan Tribunal yang melampaui
batas kewenangannya (the Tribunal has manifestly exceeded its powers),
putusan Tribunal telah dipengaruhi oleh prosedur penting yang terlewati
yang dapat saja merubah hasil putusan dan pertimbangan (that there has
been a serious departure from a fundamental rule of procedure), dan
Tribunal tidak menjelaskan dasar-dasar pengambilan putusan yang
49
Churchill dan Planet (Awards),Op. Cit, Para. 528
50
Ibid Para. 529
51
Churchill dan Planet (Awards),Op. Cit Para. 530
18

memberatkan Penggugat (the award has failed to state the reasons on


which it is based).52

Penggugat menyatakan bahwa Tribunal telah melampaui


kewenangannya, Penggugat membawa kembali pertimbangan hukum
bahwa Pemerintah Indonesia telah melanggar prinsip Unjust Enrichment.
Penggugat menjelaskan bahwa prinsip ini merupakan prinsip hukum
umum dimana tidak dapat diterimanya putusan Tribunal yang didasari
oleh penetapan bahwa Penggugat serta merta tidak mendapatkan
perlindungan investasi dibawah perjanjian BIT atas pembuktian
ketidakotentikan-nya dokumen-dokumen yang dipersengketakan. 53 Atas
dasar ini Penggugat menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia telah
melanggar prinsip Unjust Enrichment dengan secara tidak berdasarnya
diuntungkan dari atas bentuk uang yang telah disetorkan ke Negara
Indonesia dan sumberdaya dalam lingkup jurisdiksi investasi dari pihak
Penggugat yang tidak memperoleh apa apa atas bentuk investasi
tersebut. Terlepas dari ditemukannya kecurangan dan pemalsuan
dokumen. Atas dasar itu Penggugat menggugat haknya dalam bentuk
kompensasi dengan niat baiknya menginvestasikan sejumlah modal dan
usaha mengembangkan EKCP.54

Dalam pemaparannya, Penggugat menyatakan telah mengambil


resiko dalam mendanai penyelidikan umum, eksplorasi dan aktifitas-
aktifitas eksploitasi di EKCP dengan prakiraan bernilai sebesar
70.000.000 Dollar Amerika55. Atas dasar itu Penggugat menambahkan
argument yang menyatakan bahwa terdapat hak kekayaan intelktual yang
menjadi dasar gugatannya yang telah didapatkan dalam menguntungkan
Pemerintah Indonesia sebagaimana menjadi tidak berdasar setelah
diberhentikannya kegiatan Penggugat di EKCP dan terlibatnya pihak
52
Churchill and Planet (Application for Annulment). Op. Cit, para. 4
53
Ibid, para 163
54
Churchill and Planet (Application for Annulment). Op. Cit, para.159 .
55
Ibid, para. 160. Didasari oleh keterangan dalam Surat Penggugat pada Tribunal
tertanggal 8 November 2014 dan 23 November 2014
19

Pemerintah Indonesia dalam kegiatan kecurangan yang dituduhkan


kepada Penggugat. Penggugat menjabarkan hal-hal yang menjadi
kerugian hak intelektual-nya menjadi tiga bagian yaitu Rancangan Kerja
beserta modal untuk penyelidikan umum; eksplorasi; dan eksploitasi,
laporan kegiatan termasuk data penggalian beserta hasilnya, dan Studi
Kelayakan. Penggugat dalam penjabannya menyatakan sebagaimana
berikut :

“The Claimants also pointed to the wide range of IP that they had
generated for the EKCP, including:
(a) work plans and budgets for general survey, exploration and
exploitation/production;
(b) quarterly activity reports, including drilling data and results; and
(c) feasibility studies.”56

Dokumen-dokumen yang berisi data tersebut, telah disampaikan


oleh Penggugat secara bermaksud baik dalam kewajibannya selama
bertahun-tahun kepada Pemerintah Indonesia yang ditunjukan kepada
tiga lapisan Pemrintahan termasuk Bupati, Pemerintah Provinsi Kutai
Timur, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Atas data-data
yang telah diberikan dan diterima Pemerintah Indonesia tersebut
Penggugat menilai bahwa Pemerintah Indonesia telah dan dapat
mempelajari lokasi dari sumberdaya batubara yang ditemukan Penggugat,
dan Pemerintah Indonesia pula dianggap telah mendapatkan tata cara
teknis dan tata cara pembiayaan untuk melakukan kegiatan eksploitasi
akan sumberdaya EKCP tanpa melibatkan pihak Penggugat yang telah
mengambil resiko dan mengorbankan sejumlah pengeluaran dalam usaha
mendapatkannya.57

Penggugat dalam argumennya juga menambahkan bahwa


Tergugat tidak dapat melakukan pembelaan (defence) atas
pelanggarannya pada prinsip Unjust Enrichment bahwa telah terdapat

56
Ibid. para. 160.
57
Churchill and Planet (Application for Annulment). Op. Cit, para. 162-163
20

tindakan illegal (illegality) pada pihak Penggugat dengan pertimbangan


bahwa Tergugat tidak menuduhkan Penggugat telah melakukan tindakan
terkait illegal atas temuan pemalsuan dokumen secara langsung. Maka,
meski telah ditemukannya tindakan pemalsuan dokumen Tergugat tidak
dapat membenarkan pelanggarannya tehadap prinsip Unjust Enrichment
58
dengan argument illegality. Pernyataan Penggugat tersebut menjadi
sorotan Panel sebagaimana dalam nota Penggugat dituliskan sebagai
berikut:
“illegality may operate as a defence to Unjust Enrichment – but only where
the illegal act was done by the party that brings the Unjust Enrichment
claim. The State is not alleging that the Claimants committed any acts of
forgery, so, even if there is a finding of forgery, the State will have no
illegality defence to a claim for Unjust Enrichment.”59

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN
ICJ Statute, Den Haag, 1945
Perjanjian Billateral Investment Treaty Indonesia-Inggris, London,
1977
Perjanjian Billateral Investment Treaty Indonesia-Australia, Jakarta
1993
ICSID Convention, Washington DC, 1966,
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Perubahan atas Undang-Undang Nol.1 Tahun 1967
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Keputusan Presiden No.90 Tahun 2007 Tentang Badan Koordinasi
Penanaman Modal

58
Ibid., para 165
59
Nota pembuktian Penggugat (Claimant’s Reply Memmorial) Para.221
21

Keputusan Presiden No.30 Tahun 2012 Tentang Penunjukan


Pemerintah Kabupaten Kutai Timur Untuk Menjadi Pihak Dalam
Proses Arbitrase International Centre For Settlements Of
Investment Disputes Terkait Gugatan Churchill Mining

Keputusan Presiden No.78 Tahun 2012 Tentang Penugasan


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri,
Jaksa Agung, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Sebagai Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia Dalam
Penanganan Gugatan Arbitrase di International Centre For
Settlements Of Investment Disputes Terkait Gugatan Churchill
Mining Kepada Pemerintah Republik Indonesia

JURNAL
Ana Vohryzek, Unjust Enrichment Unjustly Ignored: Opportunities
and Pitfalls in Bringing Unjust Enrichment Claims under ICSID,
31 Loy. L.A. Int' l & Comp. L. Rev. 501, 2009

OUTLINE

LEGAL MEMORANDUM SUBSTANSI KLAIM PELANGGARAN


PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PRINSIP UNJUST
ENRICHMENT TERKAIT PERLINDUNGAN PENANAM MODAL ASING
DALAM PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN ICSID KASUS
NO.12/14 DAN 12/40 OLEH CHURCHILL MINING. PLC DAN PLANET
MINING. LTD

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM

A. Kasus Posisi
B. Permasalahan Hukum
1. Apakah Pemerintah Indonesia melanggar hukum
internasional terhadap prinsip Unjust Enrichment
sebagaimana digugatkan dalam permohonan
pembatalan putusan ICSID Kasus No. 12/14 dan
12/40 oleh Penggugat?
22

2. Apakah Pemerintah Indonesia sebagai Tergugat


berkewajiban untuk bertanggung jawab dalam
bentuk restitusi atau kompensasi berdasarkan
gugatan pelanggaran terhadap prinsip Unjust
Enrichment?

BAB II PEMERIKSAAN DOKUMEN

A. Fakta Persidangan Sebelumnya


1. Jurisdiksi
2. Permohonan dan Gugatan Para Pihak Pada
Tribunal
3. Ajudikasi dan Putusan Tribunal
B. Pengajuan Pembatalan Putusan ICSID No. ARB 12/14
dan 12/40

BAB III TINJAUAN TEORITIK


A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Prinsip Unjust
Enrichment
1. Pengertian
2. Kedudukan Prinsip Unjust Enrichment Sebagai
Prinsip Hukum Umum
3. Unsur-Unsur Dalam Gugatan
4. Unsur Pembelaan Terhadap Gugatan
5. Pertanggung Jawaban (Restitusi)

B. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Pada Kasus


1. Prinsip Unjust Enrichment dalam Modal dan
Sumberdaya
2. Prinsip Unjust Enrichment Terkait Perlindungan
Rahasia Dagang

BAB IV PENDAPAT HUKUM


23

A. Gugurnya Gugatan Penggugat Atas Dasar Telah


Diuntungkannya Pemerintah Indonesia Terkait
Pengeluaran Penggugat Berbentuk Modal dan Sumber
Daya Dalam Upaya Penggugat Mengembangkan
EKCP Dengan Dasar Prinsip Unjust Enrichment.
(Substansial Funds and Effort The Claimants Have
Invested in Good Faith in Developing The EKCP).
1. Tidak Terdapatnya Kerugian yang Dapat Menjadi
Legitimasi Pengajuan Gugatan dan Sebagaiamana
Kemudian Tidak Terbuktinya Keterkaitannya Atas
Kerugian Tersebut
2. Tidak Terdapat Justifikasi Atas Kerugian Yang
Dinilai Diderita oleh Penggugat

B. Gugurnya Gugatan Penggugat Atas Dasar Telah


Diuntungkannya Pemerintah Indonesia Atas
Penerimaan Intellectual Property Penggugat Dengan
Dasar Prinsip Unjust Enrichment.
1. Tidak Berdasarnya Klaim Berdasarknan Jurisdiksi
Tribunal
2. Tidak Terbuktinya Atas Keberadaan Keuntungan
yang Didapat Oleh Pemerintah Indonesia
3. Tidak Terdapatnya Kerugian Moneter yang Diderita
Penggugat Atas Penerimaan Informasi Terkait
Oleh Pemerintah Indonesia
4. Terdapatnya Justifikasi Pemerintah Indonesia
Dalam Menguasai Informasi Terkait.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
B. Saran
24

Anda mungkin juga menyukai