Anda di halaman 1dari 100

1

BAB I

“PENERAPAN ASAS NETRALITAS DALAM BENTUK

POLITISASI APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM

PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 5

TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dengan paham

demokrasi, istilah mengenai negara hukum yang dianut Indonesia

disadur melalui terjemahan langsung dari rechsstaat.1 Penegasan

bahwa Indonesia merupakan negara hukum jelas tertuang dalam

amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945. Pada Pasal 1 ayat (3)

negara Indonesia adalah negara Hukum. 2 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945

menjelaskan bahwa kekuasaan negara Indonesia dijalankan

melalui ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Semua aspek

kehidupan bernegara sudah diatur melalui hukum yang sah, hal itu

merupakan upaya untuk menjalankan kehidupan bernegara yang

adil tanpa kesewenang-wenangan.

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membentuk

satu masyarakat yang adil dan makmur, seimbang material dan

1
Padmo wahjono, ilmu negara suatu sistematik dan penjelasan 14 teori ilmu
negara dan jellinek, melati study group 1977. hlm 30.
2
Pasal 1 ayat 3 UUD negara republik indonesia tahun 1945.
2

spiritualnya berdasarkan pancasila diwilayah negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan nasional itu dipengaruhi berbagai aspek salah

satunya tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang

pada pokoknya tergantung juga dari kesempurnaan pegawai negeri

(sebagai bagian dari aparatur negara). 3

Dalam konsep demokrasi, bahwa setiap orang memiliki hak

asasi dalam kehidupannya termasuk berpolitik dan mengikuti partai

politik, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar

1945 pasal 28 yang menyatakan “kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan

sebagainya ditetapkan oleh undang-undang”, Hak dasar dan hak

asasi tidak dapat dilepaskan dari prinsip kebebasan. Salah satu

hak asasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran

melalui kebebasan berserikat dan berkumpul. Dalam tataran

implementasi, masalah dasar yang timbul dalam hak asasi manusia

adalah keberadaan dari pembatasan kebebasan warga negara

dalam turut serta berperan aktif dalam pemerintahan. 4

Pada dasarnya kebebasan dalam sikap politik adalah

jaminan atau konsekuensi logis dari negara yang telah

menegasakan penganutan paham demokrasi. Negara dengan

3
Padmo Wahjono, Op.cit hlm 98
4
Sri Hartini, hukum kepegawaian di indonesia, sinar grafika jakarta 2008. Hlm
24
3

paham demokrasi yang ditekankan pada prinsip kebebasan politik

yang salah satunya dituangkan dalam bentuk pemilihan umum

(pemilu), Akan tetapi penganutan paham demokrasi dengan

konsekuensi kebebasan dalam politk praktis ataupun bentuk

kebebasan demokrasi lainya sering kali menuai persoalan

tersendiri dalam prakteknya, khusunya persoalan praktek kegiatan

politik praktis sering melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) baik

secara kehendak individu ASN itu sendiri atau karena adanya

upaya politisasi terhadap ASN. Sebagai abdi negara dan

masyarakat yang dituntut untuk lepas dari berbagai intervensi

kepentingan yang bersifat praksis untuk individu atau golongan

atau adanya asas netralitas yang mengikat ASN.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 1 UU no 5 Tahun 2014

tentang ASN, Aparatur sipil negara yang selanjutnya disingkat ASN

adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 5

Baik di negara manapun keberadaan pegawai negeri sipil atau ASN

tentu sangat penting karena sangat menentukan dalam setiap

kegiatan pemerintahan, di Indonesia Aparatur Sipil Negara

merupakan unsur aparatur untuk menyelenggarakan pemerintahan

dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara, dalam

hal ini pegawai negeri sipil bertindak sebagai abdi negara, abdi

5
Pasal 1 UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur sipil Negara
4

masyarakat, pelaksana pemerintahan yang dituntut untuk

menyelenggarakan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan

nasional.

Secara sekilas larangan bagi ASN untuk berpolitik akan

terlihat bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang

dasar 1945, akan tetapi perlu diketahui juga bahwa hubungan

hukum antara ASN dengan negara, telah ditegaskan dalam Pasal 2

huruf F Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil

negara bahwa salah satu asas yang mengikat ASN adalah

netralitas, yang hal itu berarti bahwa ASN harus bersikap netral

dalam berprilaku dan bekerja dalam instansi negeri.

ASN memiliki hubungan hukum yang menurut Philipus M.

Hadjon hubungan hukum antara negara dan pegawainya disebut

dengan hubungan Openbare Diensbeterking (hubungan dinas

Publik).6 Inti dari hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi

pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan

dalam beberapa macam jabatan tertentu yang mengakibatkan

pegawai yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa

syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan

oleh pemerintah. Pemerintah sebaliknya berhak mengangkat

seorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa adanya

6
Phlilipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University press, Yogyakarta, 2005, hlm 214.
5

penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan. 7 Hubungan dinas

publik dalam penerapannya, hubungan ini berkaitan dengan segi

pengangkatan birokrasi pemerintah yang dikenal dengan teori

Contract Sui Generis. teori yang dikemukakan oleh Buys ini

menyatakan bahwa Contract Sui Generis mesyaratkan birokrat

pemerintah harus setia dan taat selama berstatus pegawai negeri,

meskipun ASN dapat mengundurkan diri. Dari pendapat Buys ini

dapat disimpulkan bahwa selama menjadi pegawai negeri, ASN

tidak menjalankan hak asasinya secara penuh. 8 Berdasarkan hal

tersebut serta dikaitkan pada konteks netralitas, bahwal larangan

ASN dalam berpolitik bukanlah suatu bentuk pelanggaran terhadap

Hak Asasi Manusia, akan tetapi merupakan suatu konsekuensi dari

adanya ikatan dinas publik.

Pengaturan tentang Netralitas ASN ini dalam UU ASN

sendiri dimulai dari ketentuan umum mengenai pengelolaan ASN

dalam manajemen ASN Pasal 1 angka 5 bahwa adanya

pengelolaan ASN diperuntukkan untuk menghasilkan ASN yang

bebas dari intervensi politik. Dalam penyelenggaraan kebijakan dan

manajemen ASN, selanjutnya pada Pasal 2 huruf F ditegaskan

kembali bahwa ASN berasaskan pada Netralitas, yang memiliki

maksud bahwa pegawai ASN harus tetap loyal hanya pada satu

7
S.F Marbun dan Mahfud M.D, pokok-pokok Hukum Adminitrasi Negara,
Liberty, Yogykarta, 1987, hlm 98-99
8
Ibid, hlm 99-100
6

pihak yaitu pemerintah (negara), hal inilah yang dikenal dengan

istilah Monoloyalitas dalam ASN, sehingga ASN tidak dibenarkan

loyal terhadap organisasi apapun selain pada pemerintah (negara).

Dalam undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilu

juga telah jelas ditegaskan tentang larangan terhadap ASN untuk

terlibat dalam kegiatan politik, pada Pasal 93 huruf F UU pemilu

ditegaskan bahwa bawaslu salah satunya memiliki tugas dalam

mengawasi netralitas ASN, netralitas TNI dan Netralitas kepolisian

negara republik indonesia.9

Setelah berbagai tumpukan regulasi mengenai ASN serta

ketentuan larangannya untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis

ternyata masih sering ditemukan berbagai kasus yang menyangkut

kegiatan politik praktis ASN secara terselubung, penelitian yang

dilakukan oleh Komisi Pemantau Pelekasanaan Otonomi Daerah

(KPPOD) Merilis hasil penelitian terkait keterlibatan aparatur sipil

negara (ASN) dalam politik praktis. Menurut hasil riset itu,

ditemukan 80 kasus ASN melanggar netralitas dalam pelaksaan

Pilkada Serentak 2018 di lima provinsi“. Adapun bentuk kasus

pelanggaran ASN yang dijumpai antara lain seperti ikut kegiatan

kampanye, menyosialisasikan visi dan misi calon kepala daerah,

ikut acara pengukuhan tim relawan calon, memasang APK (alat

peraga kampanye), berfoto bersama kandidat kepala daerah,

9
Pasal 93 Huruf F Undang-Undang no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
7

memiliki hubungan dengan partai politik, menjadi tim sukses, hadir

dalam pendaftaran calon, dan ikut acara pengundian nomor urut

pasangan calon10. Belum lagi temuan kasus yag ditemukan Badan

Pengawas pemilu (BAWASLU) pada pilkada serentak tahun 2018

saja Bawaslu menemukan 500 kasus yang menyangkut ASN dalam

berb agai kegiatan politis didaerah. 11 Berbagai kasus ini tentu

membuktikan kegiatan politik praktis terselubung ASN begitu nyata

terjadi.

Selain berbagai kasus temuan dari KPPOD dan Bawaslu

tersebut penulis juga menemukan salah satu kasus yang terjadi

diwilayah Provinsi Riau, kabupaten Siak tepatnya kecamatan

tualang, bahwa dalam kasus ini penulis menemukan adanya

indikasi beberapa ASN yang terlibat dalam gelaran kampanye

suksesi salah satu calon anggota legislatif kabupaten siak, penulis

mencoba menelusuri kebenaran kasus tersebut, dan penulis

menemukan adanya beberapa ASN yang tergabung dalam salah

satu Group watshapp pemenangan salah seorang peserta pemilu

legislatif. Setelah menelusuri dan sempat menanyakan secara

singkat terhadap salah seorang yang tergabung dalam jaringan

10
Utama felldy https://www.inews.id/news/read/159997/peneliti-ungkap-80-
kasus-asn-terlibat-politik-praktis-di-5-provinsi (diakses pada jum’at 28 Oktober 2018,
pukul 19.46)
11
sakinah Rakhmah DIan setiawan
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/25/18180101/bawaslu-temukan-
500-kasus-asn-tak-netral-pada-pilkada-serentak “sakinah Rakhmah DIan setiawan”
(diakses pada jum’at 16 Oktober 2018, pukul 20.15)
8

maya itu, yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya di undang

kedalam group tersebut adalah oleh kepala Unit Pelaksana Teknis

Daerah (UPTD) pendidikan Kecamatan Tualang, sehingga beliau

merasa sungkan untuk menghindar dan secara langsung diminta

menyukseskan salah seorang peserta pemilu legislatif kabupaten

siak, yang kandidat tersebut adalah suami dari Kepala UPTD

pendidikan itu sendiri, kasus ini sejatinya menunjukkan adanya

upaya reorientasi politik ASN oleh pimpinan yang diakibatkan

adanya tekanan oleh atasan terhadap ASN, walau dalam ketentuan

perundang-undangan jelas di atur bahwa ASN hanya dibenarkan

mengikuti perintah pimpinan yang sesuai ketentuan, akan tetapi

ASN selalu dibayang-bayangi sanksi oleh pimpinan, dalam

beberapa kasus biasanya ada sanksi berupa mutasi kewilayah

pelosok terhadap ASN yang tidak mengindahkan perintah pimpinan

walaupun itu perintah yang dilarang oleh Undang-Undang karena

berupa bentuk upaya politisasi ASN

Dengan berbagai kasus diatas baru-baru ini justru ditambah

pula dengan berbagai deklarasi dukungan yang dilakukan

beberapa kepala daerah baik tingkat provinsi atau kabupaten kota

terhadap salah satu calon presiden, deklrasi dukungan yang

dilakukan oleh Gubernur dan Bupati/ Walikota tentu akan sangat

berdampak bagi ASN didaerah, karena bagaimanapun jabatan

gubernur dan Bupati/walikota adalah pimpinan diwilayah


9

administratifnya masing-masing tentunya mau tidak mau akan

membawa dampak politis bagi bawahan mereka yang berstatus

sebagai ASN.

Selain berbagai dukungan yang di deklarasikan oleh

gubernur atau walikota di berbagai wiliyah yang paling terbaru

kasus yang menyangkut netralitas ASN adalah, seruan yang

disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika

(Menkominfo) di hadapan ASN yang terkesan bernuansa politis dan

begitu mencederai netralitas yang semestinya di utamakan di

hadapan selurus pegawai ASN, karena bagaimanapun kalimat

yang di sampaikan Menkominfo tersebut akan sangat menggiring

pada pilihan politik.

Berbagai persoalan netralitas ASN dalam pemilu tersebut

tumpukan regulasi hanya berkutat pada soal larangan dan

ketentuan sanksi bagi ASN yang tidak menerapkan asas netralitas,

berbagai regulasi itu justru tidak ada yang menyasar pada Pihak

yang menyebabkan ASN menjadi tidak netral, singkatnya Politisasi

ASN, dari kasus diatas tampak pada kontestasi pilkada beberapa

waktu lalu ratusan kasus mengenai netralitas ASN menjadi

tumpukan masalah yang tidak pernah terjawab, dan tidak terdapat

sanksi tegas bagi pihak yang melakukan penggiringan bagi ASN,

tidak juga jelas ada perlindungan hukum bagi ASN yang dipaksa

secara terang-terangan untuk masuk pada ruang politik yang


10

notabene hal itu bertentangan pada prinsip asas netralitas

sebagaimana yang telah penulis bahas diatas.

Penulis telah melakukan pencarian terhadap skripsi yang

membahas mengenai status Aparatur sipil negara yang menjadi

anggota atau pengurus partai politik oleh Ilham Baginda Wibisono

Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) 110110110226 dengan judul “

Tinjauan Terhadap Status Aparatur Sipil Negara Yang Menjadi

Anggota Dan/Atau Pengurus Partai Politik Dalam Undang-Undang

No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara”. Penulis menilai

terdapat perbedaan mendasar antara kedua skripsi yaitu Objek

penelitian yang berbeda, bahwa penelitian sebelumnya membahas

mengenai hilang atau dikebirinya hak-hak politis ASN karena

diberlakukannya UU No 5 tahun 2014 tentang ASN, sedangankan

skripsi penulis lebih pada penerapan asas netralitas bagi ASN yang

menjadi korban politisasi.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, penulis

merasa perlu untuk melakukan pengkajian melalui penelitian dalam

rangka penyusunan skripsi dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS

PENERAPAN ASAS NETRALITAS DALAM BENTUK

POLITISASI APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM

PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN

2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”


11

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah Penerapan Asas Netralitas Aparatur Sipil

Negara dalam kegiatan pemilu berdasarkan ketentuan

Perundang-Undangan ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Aparatur sipil negara

sebagai korban politisasi dikaitkan dengan Undang-Undang No

5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan identifikasi masalah diatas maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk Mendeskripsikan penerapan Asas Netralitas Aparatur

Sipil Negara dalam kegiatan pemilu berdasarkan ketentuan

perundang-undangan.

2. Untuk Menentukan perlindungan hukum bagi Aparatur Sipil

Negara sebagai korban politisasi dikaitkan dengan Undang-

Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharap dapat menambah wawasan serta

memperluas cakrawala pandangan terhadap pembaharuan

hukum nasional, khususnya menambah pengetahuan bagi


12

pengembangan ilmu hukum berkaitan dengan hukum

kepegawaian.

2. Kegunaan Praktis

Peneliti berharap secara praktis hasil penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam menambah literatur

bagi masyarakat dan bagi praktisi hukum secara khusus agar

dapat memahami kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penerapan

asas netralitas bagi aparatur sipil negara sebagai korban

politisasi dalam pemilu, serta penelitian ini diharapkan dapat

menambah pengetahuan bagi ASN terkait larangan untuk

terlibat dalam kegiatan politik praktis.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara yang bedasarkan atas hukum

(rechtstaat) sebagaimana yang telah di amanatkan dalam UUD

1945 pada pasal 1 ayat (3), konsepsi negara hukum adalah suatu

bentuk penentangan terhadap absolutisme yang melahirkan suatu

bentuk negara yang bedasarkan atas kekuasaan semata

(machstaat). pada konsep negara hukum kekuasaan penguasa

dibatasi dengan adanya supermasi hukum, yang artinya semua

tindakan penguasa negara harus berdasarkan dan berakar pada

hukum12

12
A Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Banyumedia, Malang, 2003, hlm 18-
19
13

Dalam suatu negara demokrasi kekuasaan tertinggi harus

diletakkan pada tangan seluruh rakyat, bukan pada salah satu elit,

kelompok atau golongan tertentu dalam negara tersebut. Terkait

demokrasi ini Sri Soemantri mengatakan bahwa selain asas

demokrasi yang digunakan dalam kehidupann berbangsa dan

bernegara, digunakan juga asas negara hukum yang

dimplementasikan kedalam sistem hukum nasional. 13

Antara hukum dan kekuasaan adalah hubungan yang tidak

mungkin dapat dipisahkan satu sama lain, hukum memerlukan

kekuasaan untuk pelaksanaanya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri

deberi batasan-batasannya oleh hukum, untuk itu dikenal adagium

kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Hukum dan kekuasaan

adalah unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum, dalam

arti masyarakat yang di atur oleh dan berdasarkan hukum hukum

yang menjadikan kekuasaan merupakan fungsi dari masyarakat

yang teratur.14

Max Weber seorang sosiolog kenamaan asal jeraman

menulis suatu karya yang sangat berpengaruh, karya itu sampai

sekrang dikenal dengan konsep ideal birokrasi. Konsep ideal

birokrasi ini dikenal tentang kritikannya terhadap seberapa jauh

peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran

13
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tatat Negara Indonesia, Alumni,
Bandung,1992, hlm 28.
14
Mochtar Kusumaatmadja dan Arif Sidharta, pengantar imu hukum: suatu
pengenalan pertama ruang lingkup berlakuknya ilmu hukum, alumni, bandung, 2009,
hlm 34-35
14

politik terhadap birokrasi, birokrasi weberian hanya menekankan

bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan

rasional dijalankan.

Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan

bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu

bentuk yang pasti yang semua fungsi dijalankan dalam cara yang

rasional. Istiah rasional dengan segala aspek pemahamannya

merupakan kunci dari konsep administrasi tipe ideal birokrasi

weberian.

Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu

dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut :

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi

oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau

kepentingan individu dalam jabatanya. Pejabat tidak bebas

menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan

pribadinya termasuk keluarganya.

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas

kebawah dan kesamping, konsekuensinya ada jabatan atasan

dsn bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih

besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu

secara spesifik berbeda satu sama lainya


15

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus

dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing

pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan

tanggung jawab yang harus dijankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi

profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian

yang kompetitif.

6. Setiap pejabat menerima gaji termasuk hak untuk menerima

pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang

disandangnya, setiap pejabat bisa memutuskan keluar dari

pekerjaanya dan jabatanya sesuai dengan keinginnya dan

kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan

promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan

pertimbangan yang objektif.

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan

jabatanya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi

dan keluarganya.

9. Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan

suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. 15

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di

mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas


15
Miftah Thoha, prilaku organisasi : konsep dasar dan aplikasinya, PT raja
Grafindo Persada, jakarta, 2010, hlm, 17-18
16

bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek

“disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai

sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan

tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya

dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya,

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat

atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan,

berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat.

Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan

sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan

pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi.

Dalam hal keterkaitan antara birokrasi dan politik merupakan

saran kepegawaian yang memiliki kedudukan dan peranan yang

sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah. Arti

penting dari saran kepegawaian tersebut oleh Utrecht dikaitkan

dengan pengisian jabatan pemerintahan yang di isi oleh pegawai

negeri sipil, jabatan merupakan personifikasi hak dan kewajiban

dlam struktur organisasi pemerintahan, agar dapat berjalan maka

jabatan memerlukan suatu perwakilan yang menjalankan

perwakilan itu, yakni suatu penjabat, manusia dan badan hukum,

oleh karena itu suatu penyelenggaran pemerintahan diwakili oleh

pejabat yang menjalankan hak dan kewajiban. 16


16
Achmad Mansyur, Teori-Teori Mutahir Administrasi Publik, Rangkan
Education, Yogyakarta, 2010, hlm 35
17

Transformasi birokrasi menuntut sikap profesionalisme yang

berlaku untuk semua aparat mulai dari tingkat atas sampai tingkat

bawah. Profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan

dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut

tingkat dan bidang masing-masing.17

Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya dan

diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola

pemerintahan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh

karena itu tentu efektifitasnya tentu harus diukur berdasarkan

sejauh mana kemampuan pemrintah dalam melahirkan

kesejahteraan masyarakatnya.

UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

menjelaskan Aparatur sipil negara yang selanjutnya disingkat ASN

adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 18

Dalam teori hukum kepegawaian, untuk menentukan status

seseorang sebagai pegawia negeri dipergukan dua (2) macam

kriteria, yaitu (1) berdasarkan adanya hubungan dinas publik, yaitu

manakala seseorang mengikatkan diri untuk tunduk pada

pemerintah dan melakukan jabatan atau tugas tertentu dan (2)

berdasarkan pengangkatannya (aanstelling). Yaitu diangkat melalui

17
Agung Kurniawan, Transformasi Birokrasi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
2009, hlm 13.
18
Pasal 1 UU no 5 Tahun 2014 tentang Aparatur sipil Negara
18

surat keputusan (Berschiking) gunaa ditetapkan secara sah

sebagai pegawai negeri sipil.19

Sehubungan dengan hubungan dinas tersebut secara tidak

langsung memberikan peran dalam suatu pelaksanaan dan

penyelenggaraan pemerintahan. Terdapat tiga peran yang sangat

substansial dalam tercapainya reformasi birokrasi, pertama sebagai

pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan

pemerintah, kedua netralitas pegawai negeri sangat diperlukan,

ketiga melakukan fungsi manajemen pelayanan publik.

Pengertian netralitas menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, “Netralitas” berasal dari kata netral yang berati tidak

memihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak), jadi

netralitas adalah keadaan dan sikap tidak memihak atau bebas.

Menurut Miftah Thoha, Netralitas birokrasi pada hakikatnya

adalah suatu sistem dimana birokrasi tida akan berubah dan

memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang

memerintah).20 Lebih lanjut dikatakan bahwa netralitas pegawai

negeri sipil dalam menjalankan roda administrasi pemeritahan tidak

bergeser walaupun pejabat politik dan parpol yang memerintah itu

berubah.

19
Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2008, hlm 150.
20
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik Indonesia, Grafindo Persada, jakarta
2008,hlm 168
19

Seorang Aparatur sipil negara harus bersikap netral diatur

dalam Pasal 9 dan 12 UU No 5 tentang Aparatur Sipil Negara,

Dalam UU ASN Pasal 9 dijelaskan bahwa:

1. Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan

oleh pimpinan Instansi Pemerintah.

2. Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi


21
semua golongan dan partai politik.

Pasal 12 UU ASN mengatur:

Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan


pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan
pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi
politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme.22
Pengaturan yang lebih tegas mengenai netralitas ASN ini

terdapat pada Pasal 283 ayat 1 UU no 7 Tahun 2017 tentang

pemilu, dalam Pasal 283 ayat 1 dijelaskan

“Pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam

dalam jabatan negeri serta Apartur sipil negara lainya

dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada

keberpihakan pada peserta pemilu selama masa

kampanye”23

21
Pasal 9 no 5 Tahun 2014 Tentang, Aparatur Sipil Negara
22
Undang-Undang no 5 Tahun 2014 Tentang, Aparatur Sipil Negara
23
Pasal 283 ayat 1 Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang pemilu
20

Melalui Undang-Undang No 5 Tahun 2014 dengan

manajemen ASN diselenggarakan melalui sistem merit yang

berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil

dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras,

warna kulit, agama, asal-usul jenis kelamin, status pernikahan,

umum atau kondisi kecacatan, manajemen ASN ini meliputi

manajemen Pegawai Negeri Sipil dan manajemen Pegawai

Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 24

Melihat konsep Merit System yang diadopsi dalam Undang-

Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur sipil Negara persoalan

netralitas atau bebasnya ASN dari pusaran kepentingan politis

menjadikan Merit System begitu berat untuk di implementasikan,

hal tersebut dibuktikan dengan masih sangat terbuka dan seringnya

ASN melakukan kegiatan politik praktis khususnya pada kondisi

politisasi ASN oleh pejabat Politik, hal ini khususnya di daerah

seringkali detemui kasus ASN terlibat dalam kegiatan politik praktis

netralitas ASN terus di uji.

Keberadaan dan kondisi Aparatur Sipil Negara sangat

dilematis, disatu sisi ASN dituntut untuk netral, sementara disi lain

mereka tetap memiliki hak pilih, ditambah lagi posisi ASN yang

berada dibawah kepala pemerintahan baik Negara atau daerah

24
http://www.kopertis12.or.id/undang-undang-nomor-5-tahun-2014-tentang-
aparatur-sipil-negara.html#EltPQFL.dpuf. (diakses pada 29 november 2018, pukul 21.45)
21

yang notabene adalah atasan mereka, yang berada pada jabatan

politis. Kondisi demikian seringkali menjadi persoalan tersendiri

untuk rentannya ASN digiring orientasi politiknya pada salah satu

peserta pemilu yang ini biasanya pada calon petahana pada suatu

kontestasi politik atau bahasa yang penulis gunakan yaitu Politisasi

ASN.

Pengertian politisasi menurut kamus besar bahasa indonesia

adalah “hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan

sebagainya) bersifat politis” dari pengertian tersebut dapat

disimpukan politisasi adalah upaya agar sesuatu sesuatu sesuai

dengan kepentingannya, Politisasi Aparatur sipil negara seringkali

dikenal dengan istilah politisasi birokrasi, dapat diartikan membuat

agar birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan kepentingan

politik yang mengintervensi birokrasi, atau dari eksekutif itu sendiri

yang mempoloitisir birokrasi untuk kepentingan (kekuasaan)

sendiri, tapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu

melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan. 25.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sri Hartini,S.H.,M.H.

beliau memberikan suatu kriteria yang digunakan dalam

mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan politik sebagai pelanggaran

Netralitas PNS. Pertama, keikutsertaan PNS dalam pelaksaan

25
Rina martini,”Politisasi Birokrasi Indonesia”,Program Studi Sagister Ilmu Politik
Universitas Diponegoro, Vol 1 No 1, 2010 hlm 70
22

kampanye. kedua menjadi peserta Kampanye dengan

menggunakan atribut partai/PNS. Ketiga, sebagai peserta

kampanye dengan mengarahkan PNS dilingkungan kerjanya.

keempat, sebagai peserta kampanye dengan menggunakan

fasilitas negara. Kelima, membuat keputusan atau tindakan

menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa

kampanye. Keenam, mengadakan suatu kegiatan yang mengarah

kepada keberpihakan terhadap calon pasangan yang menjadi

peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah kampanye yang

meliputi pertemuan, ajakan, himbauan seruan dan pemberian

barang kepada PNS dilingkungan kerjanya, anggota keluarga dan

masyarakat. Ketujuh, mejadi anggota panitia pemilihan kecamatan

(PPK), panitia pemungutan suara (PPS) dan kelompok

penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dalam kegiatan

pemilukada tanpa izin dari atasan langsung. 26

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematikan dan pemikiran tertentu yang

bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum

26
Sri Hartini, Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, “Kebijakan Netralitas
Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilukada (Studi dijawa Tengah), Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Vol 1 No 3, tahun 2014, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung 2014,
hal 550.
23

tertentu dengan jalan menganalisanya. 27Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Metode pendekatan

Pendekatan masalah yang dilakukan dengan pendekatan secara

yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang dilakukan secara melihat

kenyataan dalam praktek, mengadakan pengamatan pada objek

penelitian secara langsung untuk memperoleh data sesuai

kenyataanuntuk mecari tahu hal yang berkaitan dengan praktek

mengenai kegiatan politik praktis oleh ASN di masyarakat.

2. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis yaitu melakukan deskripsi terhadap hasil penelitian dengan

data primer dan juga sekunder yang berkaitan dengan penerapan

asas netralitas terhadap ASN sebagai korban politisasi dalam

pemilu.

3. Tahapan penelitian

Penelitian kepustakaan (library research) dengan cara membaca,

menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan

peraturan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

Penelitian dilakukan terhadap beberapa data sekunder yang terdiri

dari :

a. Bahan Hukum Primer


27
Soerjono Soekanto, pengengantar penelitian hukum, cet-3, UI-press,jakarta
2005, hlm 48
24

Adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat yang berhubungan dengan penulisan ini, yaitu

setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan skripsi, meliputi :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang perubahan

atas Undang Undang-Undang No 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik

3. Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara

4. Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan

5. Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilu

6. Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2004 tentang

Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota

Partai Politik

7. Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil

b. Bahan Hukum Sekunder

Terdiri dari bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang

memberikan penjelasan bahan hukum primer, berupa

kumpulan buku-buku hukum, literatur hasil karya ilmiah


25

sarjana-sarjana, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan

penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

berupa penelitian hukum, majalah, artikel-artikel di internet

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan

dengan studi kepustakaan dan studi lapangan berupa wawancara

dengan informan yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah pengolahan data dengan

menggunakan cara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah

yang dibahas, kemudian data primer dan sekunder yang diperoleh

dari penelitian disususun dengan sistematis lalu ditarik suatu

kesimpulan.

6. Lokasi penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,

untuk itu penelitian dilakukan di :

a) Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum

Universiatas Padjadjaran, jalan dipati Ukur No 35 bandung.


26

b) Perpustakaan CISRAL pusta Universiatas Padjadjaran, jalan

Dipatiukur No 46 bandung

c) SMKN 1 Tualang kabupaten Siak,provinsi Riau.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini maka

sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini terbagi pada beberapa sub bab yang

menjelaskan mengenai latar belakang masalah, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, manfaat penlitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan, pada

bab I adalah untuk memberikan gambaran awal mengenai hal-

hal yang akan dibahas dalam penelitian ini.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Netralitas Aparatur Sipil

Negara

Dalam bab ini dibahas mengenai landasan teori penelitian yang

akan dijadikan dasar atau pedoman dalam menganilisis

masalah yang ditemukan dalam penelitian ini. Bab ini akan

membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan

birokrasi, netralitas ASN, hak dan kewajiban ASN, pengawasan

terhadap ASN, kedudukan ASN, serta pengertian tentang politik

dan bentu kegiatan politik praktis.


27

BAB III Tindakan ASN Sebagai Korban Politisasi Dalam

Pemilu Serentak 2019 Diwilayah Kabupaten Siak.

Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai kasus yang

terjadi diwilayah kabupeten siak yang menyangkut Adanya

upaya politisasi terhadap ASN, serta juga beberapa kasus

pembanding yang penulis temukan.

BAB IV Penerapan Asas Netralitas Bagi Aparatur Sipil

Negara Sebagai Korban Politisasi Dalam Pemilu

Berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 2014 Tentang

Aparatur Sipil Negara

Dalam bab ini penulis akan menganalisa terhadap

Bagaimanakah Penerapan Asas Netralitas Aparatur Sipil

Negara dalam kegiatan pemilu berdasarkan ketentuan

perundang-undangan, serta Bagaimanakah perlindungan

hukum bagi Aparatur sipil negara sebagai korban politisasi

dikaitkan dengan Undang-Undang No 5 tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara

BAB V Penutup

Dalam bab ini penulis akan menarik suatu kesimpulan serta

saran berupa hasil penelitian yang telah dilakukan penulis,

kesimpulan merupakan ineterprestasi dari hasil penelitian

penulis yang dibentuk dalam pernyataan, saran merupakan


28

masukan yang bernilai praktis terhadap Hukum kepegawaian

khusunya menyangkut Aparatur Sipil Negara.


29

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NETRALITAS APARATUR SIPIL

NEGARA

A. TINJAUAN UMUM MENGENAI APARATUR SIPIL NEGARA

1. Pengertian Aparatur Sipil Negara

Menurut ketentuan pada pasal 1 Undang-Undang No 5 tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara beberapa pengertian tentang aparatur

sipil negara adalah sebagai berikut :

(1) Aparatur Sipil Negara atau yang selanjutnya disingkat ASN

adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai

pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada

instansi Pemerintah.

(2) Pegawai Aparatur Sipil negara yang selanjutnya disebut

sebagai pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan

pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat

oleh pejabat pembina kepegawaian yang diserahi tugas dalam

suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainya

dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.


30

(3) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya PNS adalah adalah

warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu,

diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat

pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan

pemerintahan.28

Menurut Mohamad Ismail dalam bukunya bejudul Aktualisasi

pelayan Prima dalam kapasitas PNS sebagai abdi negara dan abdi

masyaraka, Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah mereka yang telah

memenuhi syarat yang ditentukan dalam perundang-undangan yang

berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainya berdasarkan

perundang-undangan dan digaji menurut perundang-undangan yang

berlaku.29

Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika merujuk pada defenisi yang

dituangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki penegertian

“Pegawai” berarti orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan,

kantor dan sebagainya), sedangkan “Negeri” berarti negara atau

28
Pasal 1 UU no 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
29
Mohamad ismail, Aktualisasi pelayan Prima dalam kapasitas PNS sebagai
abdi negara dan abdi masyarakat, mandar maju, bandung. Hlm 32.
31

pemerintah, jadi pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada

pemerintah atau negara.30

Melihat Undang-Undang lain yang berlaku, Terdapat pengertian

Pegawai Negeri Sipil yang agak berbeda dari apa yang telah disebutkan

dalam UU no 5 Tahun 2014 tentang ASN, seperti dalam Undang-Undang

pemberantasan tindak pidana korupsi, pengertian Pegawai Negri Sipil

menyebutkan, Pegawai Negeri yang dimaksud oleh Undang-Undang ini,

meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu

badan/badan hukum yang menerima bantuan keuangan dari negara atau

daerah atau badan hukum lain yang menggunakan modal kelonggaran-

kelonggaran dari negara atau masyarakat.31

2. Kedudukan Aparatur Sipil Negara

Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang

no 5 tahun 2014 :

a. Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur Aparatur Sipil Negara

b. Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh

pimpinan instansi pemerintah

30
W,J,S, Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, balai pustaka,
Jakarta,1986, hlm 702.
31
Faizal Abdullah, Hukum Kepegawaian Indoneisa, Rangkang Education,2011,
hlm 2.,
32

c. Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua

golongan dan partai politik.32

3. Hak dan Kewajiban Aparatur Sipil Negara

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 21 Undang-Undang No 5

tahun 2014 tentang hak-hak pegawai negeri sipil (PNS) adalah sesuatu

yang diterima oleh PNS, antara lain

a. Gaji, tunjangan dan fasilitas;

b. Cuti;

c. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan

d. Pengembangan kompetensi.33

Sedangkan dalam pasal 22 Undang-Undang No 5 Tahun 2014

diatur tentang hak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

yang berhak memperoleh

a. Gaji dan Tunjangan;

b. Cuti;

c. Perlindungan; dan

d. Pengembangan kompetensi

32
Pasal 8-9 UU no 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
33
Ibid., Pasal 21
33

Jaminan pensiun dan jaminan hari tua merupakan pembeda

antara hak yang diperoleh oleh pegawai ASN. Hanya Pegawai Negeri Sipil

saja yang diberikan hak untuk mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan

hari tua, sedangkan hak lainya sama-sama dapat diperoleh oleh kedua

jenis pegawai yang ada.

Sedangkan terkait dengan kewajiban baik antara ASN dan PPPK

tidak dibedakan satu sama lainya, sebagaimana yang terdapat pada pasal

23 Undang-Undang No 5 Tahun 2014 menyebutkan Pegawai ASN wajib :

a. Setia dan taat pada pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan pemerintah yang sah;

b. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c. Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah

yang berwenang;

d. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,

kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;


34

f. Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, prilaku,

ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun

di luar kedinasan;

g. Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan

rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

dan

h. Bersedia ditempatkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
35

B. Tinjauan Umum Mengenai Netralitas Aparatur Sipil Negara

1. Hakikat Netralitas Dalam Birokrasi

Pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik,

pelayan publik serta perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-Undang no 5 Tahun 2014 tentang ASN,

sebagai pelaksana kebijakan publik, pegawai ASN bertugas Untuk

melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat pembina

kepegawaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan

sebagai pelayan publik, pegawai ASN bertugas memberikan pelayanan

publik yang profesional dan berkualitas, disamping menjalankan tugasnya

pegawai ASN juga berperan sebagai perencana,pelaksana, dan

pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan

pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan

publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari

praktik, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Frase bebas dari intervensi politik dalam pasal 1 angka 5

mengamanatkan bahwa selaku pegawai ASN dituntut harus dapat

terlepas dari segala bentuk pengaruh apapun baik politik atau kepentingan

yang lain yang memaksa untuk mengabaikan aturan dan tata laksana
36

yang harus dikedepankan dalam melaksanakan tugas yang diemban dan

juga sebagai pegawai ASN dituntutut untuk bersikap netral.

Menurut Miftah Thoha, netralitas birokrasi pada hakekatnya

adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah memberikan

pelayanan kepada masternya (dari partai politik yang memerintah). Lebih

lanjut dikatan bahwa netralitas PNS adalah membuat PNS dalam

menjalankan roda administrasi kepemerintahan tidak bergeser walaupun

pejabat politik dari Partau politik yang memerintah itu berubah. 34 Asas

netralitas yang terkandung dalam Undang-Undang ASN dilandasi akan

pentingnya kesatuan aparatur dalam mengorganisir suatu perangkat

dalam kerja dengan menjaga nilai-nilai etik serta prilaku saling

menghargai satu sama lain dengan adil.

Pada prinsipnya pegawai ASN hanya dapat menjalankan

pekerjaan untuk kepentingan kelancaran pemerintahan sesuai ketentuan

perundang-undangan serta demi kepentingan bangsa dan negara,

bukanlah untuk kepentingan subjektif dari seseorang atau golongan

tertentu walupun yang bersangkutan adalah pimpinan. Dalam hal ini

loyalitas tidaklah hanya diukur dari segi kepatuhan seseorang pada

34
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik Indonesia, Grafindo Persada, jakarta
2008,hlm 168
37

pribadi pimpinan, tetapi kepatuhannya menjalankan tugas-tugas

pemerintahan yang dibebankan kepadanya, serta ketaatannya dalam

menjalankan dan menenegakkan peraturan perundang-undangan.

2. Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

Sebagai aparatur sipil negara, PNS memberikan pelayanan

kepada masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan nasional dituntut

kesetiaan dan ketaatannya kepada pancasila dan UUD 1945, bekerja

secara profesional dan tanggung gugat (akuntabel), serta berorientasi

pada hasil (outcome) bukan pada input. Untuk itu dalam mewujudkan

good governance yang netral perlu memahami akan keinginan dan tujuan

yang akan dicapai dalam sebuah tata pemerintahan. Good governance

menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata

dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada

pelaksanaan fungsi pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah,

masyrakat madani, dan pihak swasta. Good governance juga berarti

implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak,

bukan hanya untuk kemakmuran orang-perorang atau kelompok tertentu.


38

Melihat sejarah mengenai netralitas ASN ini sejatinya dalam

ketentuan Undang-Undang kepegawaian tahun 1999 juga telah cukup

dijelaskan mengenai netralitas ini, hal itu lebih rinci diatur dalam Pasal 3

Undang No 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No

8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara

yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam

penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan

pembangunan.

(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana diatur ayat (1)

Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan

dan partai tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana

dimaksud ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi

anggota/atau pengurus partai politik.35

35
Pasal 3 Undang Undang No 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No 8 Tahun 1974 Pokok-Pokok Kepegawaian
39

Melihat sejarah mengenai netralitas ASN penulis mengira melalui

Undang-Undang 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ini

adalah menjadi batu loncat pertama untuk menjadi dasar pertama

mengkaji sejarah netralitas ASN dalam birokrasi Indonesia.

Melalui peran pemerintah dalam upaya tujuan pembangunan

nasional maka perlu juga dilakukan reformasi birokrasi yang merupakan

program prioritas nasional yang dicantumkan sebagai agenda utama

pembangunan nasional yang dicanangkan sejak tahun 2010 dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan di implementasikan

dalam program Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN).

Dasar hukum pelaksanaan reformasi birokrasi :

1. Kepres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand desain

Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025

2. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008 Tentang Pedoman Umum

Reformasi Birokrasi

3. Permenpan & Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010

Tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2010-2014


40

menetapkan delapan (8) area perubahan adalah sebagai

berikut :

a. Pola pikir dan budaya kerja (manajemen perubahan),

b. Penataan peraturan perundang-undangan,

c. Penataan dan penguatan organisasi

d. Penataan tatalaksana,

e. Penataan sistem manajemen SDM aparatur,

f. Penguatan pengawasan

g. Pengutan akuntabilitas kinerja,

h. Peningkatan kualitas pelayanan publik.

Undang-Undang no 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam upaya

menghasilkan sebuah manjemen Aparatur Sipil dengan sistem merit

diarapkan dapat mengaplikasikan semua tuntutan reformasi birokrasi

terkait tuntutan 8 point diatas maka diwajibkan pegawai ASN terlepas dari

segala pengaruh baik dari dalam maupun dari luar birokrasi itu sendiri

dikarenakan intervensi politik dapat menganggu ketidakstabilan kinerja

setiap ASN, maka seyogyanya harus dapat mengedepankan landasan

dari apa yang telah diamanatkan dalam UU ASN BAB II yakni asas,

prinsip, nilai dasar, kode etik serta prilaku yang mana dialammnya
41

subtansi Pasal-Pasal yang menguraikan akan kenetralan bagi setiap ASN

yang harus ditaati, Antara lain :

Pasal 1

(5). Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk

menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai

dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari

praktik korupsi, kolusi dan nepotisme

(19) komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah

lembaga Nonstruktural yang mandiri dan bebas dari

intervensi politik.

(22) sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang

berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja

secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar

belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis

kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan.

Pasal 2 ; penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN

berdasarkan pada asas ;

f. netralitas

j. nondiskriminatif
42

k. persatuan dan kesatuan

l. keadilan dan kesetaraan

Pasal 3; ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip

sebagai berikut ;

f. Jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas

Pasal 4

Nilai dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf (a)

meliputi

d. Menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak

f. Menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif

g. Memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang

luhur

n. Mendorong kesetaraan dalam pekerjaan

o. Meningkatkan efektifitas sistem pemerintahan yang

demokratis sebagai perangkata sistem karier

Pasal 5

(1). Kode etik dan kode prilaku sebagaimana dimaksud

dalam pasal 3 huf b bertujuan untuk menjaga martabat

dan kehormatan ASN


43

(2). Kode etik dan kode prilaku sebagaimana dimaksud ayat

(1) berisi pengaturan prilaku agar pegawai ASN :

d. Melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan

perundang-undangan.

Pasal 9

(2). Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi

semua golongan dan partai politik

Pasal 12

Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana. Dan

pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan

pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan

pelayanan publik yang profesional bebas dari intervensi

politik serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pasal 31 :

(1) KASN bertugas :

a. menjaga netralitas pegawai ASN;

Pasal 72

(1). Promosi dilakukan berdasarkan perbandingan objektif

antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang


44

dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja,

kepemimpinan, kerja sama, kreativitas, dan

pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada

instansi pemerintah, tanpa membedakan jender,

suku. Agama, ras dan golongan

(2) Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak

yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan

yang lebih tinggi.

Kembali kepada latar belakang dibentuknya Undang-Undang ASN

adalah sebagaimana yang telah penulis kemukakan diawal untuk

membangun aparatur sipil negara yang tujuannya lebih ditekankan untuk

memiliki integritas, profesional, dan bebas dari intervensi politik serta

bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, maka untuk tujuan

tersebut melalui UU ASN ini menginginkan sebuah manajemen yang

menghasilkan pegawai ASN diamanatkan sesuai Pasal 1 ayat 5 UU ASN,

maka melalui penjabaran diatas penulis mencoba menggambarkan

bagaimana netralitas birokrasi didalam ketentuan perundang-undangan.


45

C. Tinjauan Umum Tindakan Politisasi Aparatur Sipil Negara

1. Pengertian Politisasi

Politisasi berasal dari kata politik, yang secara etimologis, politik

berasal dari kata polis (bahasa Yunani), yang artinya negara kota,

kemudia diturunkan kata lain seperti Polities (warga negara), politikos

(kewaganegaraan atau civics) dan politike tehne (kemahiran politik) dan

politike episteme (ilmu politik).

Secara etimologi Meriam Budiardjo mengartikan politik yaitu

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang

menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan

melaksanakan tujuan-tujuan itu36. Pengertian yang lebih komprehensif

tentang politik dikemukakan oleh Ramlan Surbakti yaitu interaksi antara

pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan

pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama

masyarakat yang tinggal diwilayah tertentu 37

Sedangkan Politisasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) diartikan sebagai hal membuat keadaan

(perbuatan,gagasan dan sebagainya) bersifat politis. Juga berarti


36
Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,Ombak, Yoyakarta, 2008, hlm 8
37
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasmara Indonesia,
Jakarta, 2010, hlm 10-11
46

membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan

kepentingannya. Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi

birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan kepentingan politik yang

berkuasa38. Politisasi birokrasi berada didua sisi; berasal dari sisi partai

politik yang mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang

mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaaan) sendiri. Tetapi

keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu merebut,

melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.

Politisasi birokrasi dapat diartikan hal yang membuat keadaan

birokrasi menjadi bersifat politis. Keadaan tersebut sebagai akibat dari

adanya sejumlah politisi yang melihat birokrasi sebagai alat yang dapat

membantu memenangkan pertarungan dan atau melanggengkan suatu

kekuasaan, dalam hubungan ini birokrasi menjadi alat dalam pertarungan

kekuasaan dan menjadi ajang tarik menarik kepentingan kekuasaan.

Politisi seringkali memanfaatkan jaringan birokrasi kearena politik, paling

tidak merebut atau mempertahankan kekuasaan politiknya. Sedangkan

birokrat membuka diri ke arena politik, paling tidak untuk mencapai

38
Rina Martini “Politisasi Birokrasi Indonesia”, prorgam studi magister ilmu
politik Universitas Diponegoro, Vol 1 No 1, 2010, hlm 70.
47

jabatan yang lebih tinggi atau sekedar mempertahankan posisi jabatan

yang strategis dalam jabatan birokrasi.

Dalam konteks hubungan politik dan birokrasi, sebenarnya

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ujian untuk menilai apakah

birokrasi telah bersikap profesional, netral, dan betul-betul berfungsi

sebagai pelayan publik bukan alat kekuasaan yang mudah terkooptasi

oleh kepentingan politik kelompok tertentu. Tetapi melalui beberapa

pemilu yang telah dilewati terdapat tanda-tanda dalam beberapa kasus

yang membuktikan bahwa netralitas birokrasi masih sangat lemah. Dalam

beberapa perhelatan pesta demokrasi, ASN (telah dijadikan alat untuk

membentuk kekuatan politik yang sangat sentral, dijadikan roda

penggerak dukungan oleh para peserta pemilu yang akan bertarung.


48

2. Tindakan Politisasi Aparatur Sipil Negara Dalam Peraturan

Perundang-Perundangan

Berbagai persoalan netralitas ASN dalam pemilihan umum (Pemilu)

serta berbagai tumpukan regulasi yang ada hanya berkutat pada soal

larangan dan ketentuan sanksi bagi ASN yang mengindahkan atau

melakukan pelanggaran terhadap asas netralitas. Berbagai regulasi yang

adas aat ini justru tidak ada yang mampu menyasar pada Pihak yang

menyebabkan ASN menjadi tidak netral atau atau pihak-pihak yang

melakukan penggiringan ataupun me Re-orientasi pilihan atau sikap politik

ASN, dari kasus diatas tampak pada kontestasi pilkada beberapa waktu

lalu ratusan kasus mengenai netralitas ASN menjadi tumpukan masalah

yang tidak pernah terjawab, dan tidak terdapat sanksi tegas bagi pihak

yang melakukan penggiringan bagi ASN, tidak juga jelas ada perlindungan

hukum bagi ASN yang dipaksa secara terang-terangan untuk masuk pada

ruang politik yang notabene hal itu bertentangan pada prinsip asas

netralitas sebagaimana yang telah penulis bahas diatas.

Penulis telah mencoba mencari dan menelusuri berbagi regulasi

khususnya dalam setiap pasal yang terdapat pada UU ASN dan UU

Pemilihan Umum tentang adanya ketentuan atau sanksi terhadap pihak-

pihak atau oknum yang melakukan Politisasi terhadap ASN, namun

sampai saat ini penulis tidak sama sekali menemukan ketentuan tersebut,

semua hanya membahas tentang bagaimana larangan atau sanksi bagi


49

ASN yang melakukan pelanggaran terhadap asas netralitas tanpa lebih

dalam melihat persoalan netralitas ASN atau birokrasi.

Netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk

kebobobrokan birokrasi dewasa ini, netralitas birokrasi hanya salah satu

aspek yang harus diperhatika dari agenda besar reformasi birokrasi.

Netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapat prioritas dan harus

didahulukan, bahkan menjadi prasyarat bagi percepatan pelaksanaan

reformasi birokrasi itu sendiri. Agar terciptanya Aparatur Sipil Negara

yang bebas dari intervensi politik atau upaya politisasi.

Pasal-Pasal dalam UU ASN diatas yang telah penulis sebutkan

sebelumnya ingin menunjukkan kenetralan birokrasi yang harus di taati

oleh setiap elemen pegawai ASN, namun ada beberapa pasal yang juga

memberikan celah bagi setiap pimpinan dengan kewenangan yang dimiliki

untuk menunjukkan the power of leaders melakukan kebijakan tunggal

dalam mengedepankan otoritas yang dimilikinya.

Pasal-Pasal tersebut yakni Pasal (5) ayat (2) berisi pengaturan

prilaku agar pegawai ASN; (e) melaksankan tugasnya sesuai dengan

perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan

dengan ketentuan Perundang-Undangan dan etika pemerintahan, dan (h)

menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan

tugasnya, namun dalam peraturan pelaksananya tidak sejalan dengan

ketentuan dengan Peraturan Pemrintah (PP) No. 53 Tahun 2010 tentang


50

disiplin PNS yakni Pasal 3 ayat 5 menyebutkan “ setiap PNS wajib;

melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan

penuh pengabdian, kesadara, dan tanggung jawab” dalam penjelasannya

menurut ayat tersebut tugas kedinasan yang dimaksud adalah tugas yang

diberikan oleh atasan yang berwenang dan berhubungan dengan ;

a. Perintah kedinasan;

b. Peraturan Perundang-Undangan dibidang kepegawaian atau

peraturan yang berkaitan dengan kepegawaian;

c. Peraturan kedinasan;

d. Tata tertib dilingkungan kantor, atau

e. Standar prosedur kerja (Standar Operasional Procedure

atau SOP)

Kedua ayat dalam UU ASN tersebut mengharuskan bahwa seorang

bawahan untuk melaksanakan perintah atasan, sejauh tidak bertentangan

dalam perundang-undangan dan sedapat mungkin menghindari terjadi

konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya, namun tidak sejalan

dengan PP 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS Pasa 3 ayat 5 yang

dipertegas dalam tugas kedinasan sesuai penjelasan diatas

Upaya menjaga kenetralitasan bukan sebaliknya diterapkan oleh

pimpinan melainkan bawahanlah yang harus menjaga agar tidak terjadi

perbedaan sikap yang menimbullkan kerengangan kepada atasan

mengingat tugas kedinasan dilaksanakan dengan penuh pengabdia,


51

kesadaran dan tanggung jawab sebagaimana terkait pasal 3 ayat 5 (PP

53 Tahun 2010). Ini tentu berarti seorang bawahan tidak dapat memiliki

wewenang lebih pada saat telah diintervensi oleh atasan apabila sudah

adanya perintah kedinasan dengan kewenangan yang dimilikinya untuk

mengambil pengamana diluar ketentuan perundang-undangan dalam

menangani persoalan disiplin PNS dan bawahan diwajibkan untuk diam.

Dalam kajian Mahfud MD yang berasumsi bahwa hukum adalah

produk politik dan kekuasaan politik mempengaruhi wajah hukum hanya

terbatas padahukum dalam konteks perundang-undangan 39.oleh karena

sebuah produk Undang-Undang tidak dipungkiri akan adanya substansi

politik yang dikemas sehingga pandangan yang dikemukakan Mahfud itu

dapat dibenarkan. Lebih lanjut dikatan Prof. Mochtar Kusuma Atmaja

menyatakan bahwa “pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk

merekayasa masyarakat menuju skenario kebijakan pemerintah

(eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara berkembang,

jauh melebihi kebutuhan negara-negara industri maju yang telah mapan,

karena negara-negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah jalan

untuk mengakomodasi perubahan nilai-nilai hukum yang ada

dimasyarakat, sedangkan negara-negara berkembang tidaklah demikian” 40


39
Sarifuddin Sudding, Perselingkuhan Hukum dan Politik dalam Negara
Demokrasi, Rangkang Education, Yogyakarta, 2014, hlm 104. dikutip dari Irvan Mawardi,
Relasi Politik dan Hukum Kritik Atas Pikiran Mahfud MD, http://-makasar.go.id/relasi-
politik-dan-hukum-kritik-atas-pemikiran-mahfud-md; diakses 18 januari, 2018
40
Sarifuddin Sudding, Perselingkuhan Hukum dan Politik dalam Negara
Demokrasi, Rangkang Education, Yogyakarta, 2014,hlm 166-167 dikutip dari Soetandyo
Wignjosoebroto, Konsep Hukum, Tipe kajian dan Metode Penelitiannya. Maklah
disampaikan pada Penalaran Metode Penelitian Hukum di Fakultas Hukum Unhas:
Makasar 4-5 Februari 1994
52

Apa yang dituangkan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2014

Tentang ASN terkait netralitas tentu menjadi sulit untuk ditegakkan

mengingat pasal 5 dan ayat 2, (e) dan (h) menjadi disharmoni dengan

pasal 3 ayat (5) PP No 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS, jika

dikaitakan dengan tindakan politisasi aparatur sipil negara yang akhir-

akhir ini terjadi tentu penjabaran diatas juga menjadi salah satu sebabnya

serta atasan yang berhak memberikan hukuman atau sanksi.

Penjabaran diatas adalah bentuk politisasi aparatur sipil negara

dalam ketentuan perundang-undangan, yang pada akhirnya penulis

menilai bahwa regulasi-regulasi yang ada baik tentang ASN, Pemilu atau

sebagainya tidak ada satupun yang dapat menjerat pihak-pihak yang

berupaya atau melakukan politisasi terhadap ASN atau birokrasi, serta

disharmonisan peraturan antara Undang-Undang dan aturan

pelaksananya yang tentu menjadi celah untuk adanya upaya intervensi

terhadap ASN sebagaimana yang telah penulis jabarkan diatas.

BAB III

TINDAKAN ASN SEBAGAI KORBAN POLITISASI DALAM

PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019 DIWILAYAH KECAMATAN

TUALANG KABUPATEN SIAK


53

A. Profil Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan dan

Kebudayaan Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak

Berlandaskan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999

tentang pembentukan Kabupaten Siak, maka berdirilah Dinas

Pendidikan Kabupaten Siak, yang terletak dijalan DR. Sutomo. Dinas

Pendidikan Kabupaten Siak Pertama kali di kepalai oleh H. Wan Amir.

SH Digantikan lalu digantikan oleh Drs. H. Kadri Yafis, M.pd.

Kemudian Pada Juni tahun 2005 kantor Dinas pendidikan dipindahkan

ke Jalan Komplek Perkantoran Tanjung agung, yang dikepalai oleh

Drs. H. Riduan Kadir, SH, M.M. pada Februari 2006 diganti lagi,  Dinas

Pendidikan Kabupaten Siak dikepalai oleh Drs. Zakaria, pada oktober

2007 hingga tahun Agustus 2011 Dinas Pendidikan Kabupaten Siak di

kepalai oleh Drs. H. Arfan Usman. M.pd. lalu diganti lagi oleh Drs.

H.Kadri Yafis  M.Pd sampai sekarang.

Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan

Kecamatan Tualang yang didirikan pada tahun 1998   merupakan

reorganisasi atau lebih tepatnya penggabungan dari dua instansi yaitu

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) yang beralamat di jalan

SMA tepatnya di Jalan AR. Rahman Hakim. Berdasarkan UU No. 5

Tahun 1999 dan Peraturam Pemerintahan (PP) No. 25 Tahun 2000,

maka Kantor Wilayah Bidang Kesenian dan Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan (Depdikbud) menjadi suatu Dinas Pendidikan

Kecamatan Tualang pada tahun 2001  Setelah mendapat otonomi


54

penuh maka semua yang berhubungan dengan pendidikan baik

sekolah dasar (SD), Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan Sekolah

Lajutan Tinggat Atas (SLTA), segala urusannya harus diselesaikan

melalui Dinas Pendidikan Kecamatan Tualang. Dalam rangka

meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan yang ada di Kecamatan

Tualang, maka peranan Dinas Pendidikan Kecamatan Tualang sangat

penting. Karena dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia yang

bermutu dan berkualitas khususnya di  Kecamatan Tualang maka

harus dapat mengikuti perkembangan dalam bidang pendidikan di era

globalisasi yang kita hadapi sekarang.

Visi dan Misi UPTD Pendidikan dan Kebudayaan

1. Visi

“Terwujudnya sistem dan Iklim Pendidikan yang demokratis

sehingga terwujud mutu Pendidikan yang mampu berdaya saing global

dengan berlandaskan pada nilai-nilai Agama dan akar budaya

setempat (budaya melayu)”

2. Misi

1. Mengembangkan sistem yang komperehensif dan terpadu

berorientasi pada kepuasan pelanggan (costumers satisfaction) 

2. Memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) untuk semua jalur,

jenjang dan jenis pendidikan


55

3. Mempersiapkan peserta didik untuk memasuki pendidikan lanjutan

dan dunia kerja

4. Mengembangkan sumber daya pendukung pendidikan sesuai

dengan perkembangan IPTEK dan tututan globalisasi 

5. Membangun budaya organisasi pendidikan yang bercirikan good

governance (kepamongan yang baik) dan clean government (bebas

KKN)

6. Mendorong lahirnya komitmen yang tinggi untuk percepatan

terwujudnya otonomi sekolah;

7. membina sekolah kejuruan yang berwawasan sains, ekologi,

teknologi dan sosial budaya (SETS).

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

1.      Tugas Pokok

Berdasarkan Peraturan Bupati Siak No. 23 Tahun 2008 tentang

organisasi dan tata kerja unit pelaksana dinas pendidikan kabupaten

siak mempunyai tugas pokok penyelenggraan dibidang dinas

pendidikan, dikecamatan sesuai dengan peraturan perundang –

undangan  yang berlaku.

2.      Fungsi

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, maka UPTD

Pendidikan Kecamatan Tualang mempunyai fungsi :


56

a. Penyelenggaraan sebagaian bidang teknis yang berhubungan

dengan pendidikan, sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Siak.

b. Pelaksanaan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya.

c. Melakukan koordinasi dan konsultasi dalam rangka

penyelenggaraan pelaksaan dan prasarana bidang pendidikan,

terutama dengan camat, yang berada diwilayahnya.

d. Membantu Kepala Dinas Pendidikan untuk menyelenggrakan

pengawasan, monitoring dan pelaporan terhadap pelaksaan

pekerjaan yang berhubungan dengan pendidikan diwilayah

kecamatan.

B. Tindakan Politisasi Aparatur Sipil Negara Di UPTD Pendidikan

Kecamatan Tualang Kabupaten Siak


57

Politisasi birokrasi di negara berkembang sudah menjadi

strategi dalam perbutan kekuasaan pemerintah, pejabat dengan

dengan hierarki atas gencar memobilisasi bawahannya untuk

menciptakan sebuah kekuatan politik yang besar yang nantinya

diharapkan akan mampu merebut atau mempertahankan

kekuasaaan tersebut. Konstelasi kekuasaan seperti ini yang

menciptakan birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada rakyat.

Adapaun yang amat menonjol ialah diperkuatnya kewajiban untuk

melakukan responsibilitas terhadap pejabat pada hierarki atas.

Oleh karena itu ada semacam kewajiban mutlak untuk tunduk dan

bertanggung jawab pada pejabat atasan tersebut.

Fenomena politisasi birokrasi banyak kita lihat dalam

pertarungan politik di indonesia, hal itu sudah menjadi rahasia

umum bagi para politisi yang bertarung dalam perebutan sebuah

kekuasaan. Masalah politisasi birokrasi menjadi persoalan hampir

diseluruh pelosok wiliayah Indonesia. Birokrasi sering kali terlibat

dalam politik praktis pada perhelatan baik pemilu nasional,

pemilihan kepala daerah ataupun pada pemilihan legislatif.

Sebagaiman kasus yang penulis juga temukan diwilayah

Provinsi Riau, kabupaten Siak tepatnya Kecamatan Tualang,

bahwa dalam kasus ini penulis menemukan adanya indikasi

beberapa ASN yang terlibat dalam gelaran kampanye suksesi salah

satu perserta pemilu yakni calon anggota legislatif kabupaten siak,


58

penulis telah melakukan penelusuran kebenaran kasus tersebut,

dan penulis menemukan adanya beberapa ASN yang tergabung

dalam salah satu watshapp Group pemenangan salah seorang

peserta pemilu legislatif. Setelah menelusuri dan sempat

melakukan wawancara melalui telpon seluler terhadap salah

seorang yang tergabung dalam jaringan maya itu, yang

bersangkutan mengakui bahwa dirinya di undang kedalam group

tersebut adalah oleh kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

pendidikan Kecamatan Tualang41, sehingga beliau merasa sungkan

untuk menghindar dan secara langsung diminta menyukseskan

salah seorang peserta pemilu legislatif kabupaten siak, yang

kandidat tersebut adalah suami dari Kepala UPTD pendidikan itu

sendiri, kasus ini sejatinya menunjukkan adanya upaya reorientasi

politik ASN oleh pimpinan yang diakibatkan adanya tekanan oleh

atasan terhadap ASN, walau dalam ketentuan perundang-

undangan jelas di atur bahwa ASN hanya dibenarkan mengikuti

perintah pimpinan yang sesuai ketentuan, akan tetapi ASN selalu

dibayang-bayangi sanksi oleh pimpinan, dalam beberapa kasus

biasanya ada sanksi berupa mutasi kewilayah pelosok terhadap

ASN yang tidak mengindahkan perintah pimpinan walaupun itu

perintah yang dilarang oleh Undang-Undang karena berupa bentuk

upaya politisasi ASN.

41
Hasil Wawancara dengan Desti Arianti seorang Pegawai disalah satu Sekolah
Menengah Kejuruan dikecamatan Tualang, Kabupaten Siak pada 19 Desember 2019
59

Mencermati kasus yang penulis temukan diatas adalah

bagaimana adanya suatu bentu upaya penggiringan ASN untuk

memilih salah seorang peserta pemilu pada kontestasi Pemilihan

Legislatif diwilayah kecamatan Tualang Kabupaten Siak oleh

atasan terhadap bawahan, yang menjadi persoalan adalah

ketidakmungkinan bawahan (pada kasus) untuk menolak atau tidak

mengindahkan apa yang telah diminta atau diperintahkan oleh

atasan kepadanya.

Melihat pada ketentuan UU no 5 Tahun 2014 maka sejatinya

telah dapat dipahami pada kasus ini telah terjadi pelanggaran asas

netralitas yang telah penulis bahas sebelumnya yang mengingkat

pada ASN, namun yang penulis lihat adalah jika mengacu kepada

ketentuan UU ASN tersebut maka terhadap oknum ASN yang

terlibat khsusnya yang penulis sempat wawancarai, pada kasus

yang penulis jelaskan hanya akan menempatkan mereka sebagai

pelaku tunggal atas pelanggaran asas tersebut, UU ASN tidak

sama sekali melihat bahwa mereka sejatinya adalah korban atas ke

inginan dari perintah atasannya, tentu menolak atau menerima

perintah yang bertentangan dengan ketentuan perundang-

Undangan adalah suatu dilema yang dialami ASN yang menjadi

bawahan, dan dilema ini tidak sama sekali terjawab atas ketentuan

dalam UU ASN. Karena sebagaimana yang telah penulis jelaskan

pada BAB sebelumnya bahwa memang ada keharusan untuk


60

menolak perintah yang bertentang dengan UU akan tetapi

disharmonisasi antara UU ASN dengan aturan pelaksananya yakni

PP 53 Tahun 2010 menjadikan hal untuk menolak perintah menjadi

seakan tidak mungkin dilakukan karena perintah atasan seakan

menjadi proses wajib yang tidak bisa sama sekali ditolak oleh

bawahan.

Penulis memahami betul adanya upaya penggiringan ASN

pada ruang praksis politis jelas melanggar ketentuan dalam

Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang perubahan atas

Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota, Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka

pelibatan sejumlah orang khusunya Pegawai Negeri Sipil (PNS)

dalam suatu kegiatan kampanye adalah pelanggaran pidana yang

di ancam penjara dan denda terhadap pelanggarnya, Namun jika

kita gunakan ketentuan ini pada kasus yang penulis jabarkan

diatas, penulis beranggapan tentu tidak bisa. Dengan alasan

bahwa yang pertama ketentuan dalam UU tersebut adalah untuk

gelaran kampanye Pemilihan kepala daerah yang berarti yang

dapat dijerat ketentuan itu adalah calon Gubernur/wakil, calon

Bupati/wakil, calon Walikota/wakil, sementara pada kasus yang

penulis temukan adalah pelanggaran itu dilakukan oleh oknum

Pimpinan UPTD pendidikan dan kebudayaan Kecamatan Tualang

yang memiliki kepentingan suaminya menjadi peserta pemilu calon


61

anggota Legislatif, sehingga dapat dimungkinkan pelaku

penggiringan ASN ini adalah Pimpinan ASN sendiri dan sipil yang

berstatus sebagai calon anggota legislatif dan keduanya juga tidak

dapat dijerat ketentuan Undang-Undang diatas.

Dilema pada kasus diatas menunjukkan netralitas ASN

menjadi suatu yang semu, tentu sangat berat di implementasikan,

karena berdasarkan pembahasan penulis diatas ASN jika kita

menggunkan ketentuan dalam UU No 5 Tahun 2014 maka kita

hanya akan menemukan bahwa kasus tersebut adalah

pelanggaran netralitas yang menempatkan para oknum bawahan

turut sebagai pelaku, padahal jika dicermati lebih jauh mereka

melakukan hal tersebut atas perintah atasannya bukan kehendak

atau niatan pribadi untuk melakukan pelanggaran netralitas, dan

pimpinannya sendiri adalah karena desakan kepentingan pribadi

suaminya yang berstatus sipil untuk pemenangan kontestasi

pemilihan legislatif yang keseluruhannya juga tidak dapat dijerat

ketentuan pidana Pemilu sebagai yang penulis jelaskan diatas.

Membahas soa netralitas birokrasi atau Aparatur Sipil

Negara diwilayah kecamatan tualang umumnya Kabupaten Siak

seakan menjadi persoalan tidak berujung hampir disetiap helat

pesta demokrasi persoalan ASN atau birokrasi yang berafiliasi

dengan kepentingan politis selalu menjadi soal, misal pada temuan

pada hasil penelitian oleh Rizki Muharlin Rayadi dan Drs. Erman M,
62

M.Si berjdul “ Politisasi Birokrasi pada Pemilihan Umum Kepala

Daerah (Studi Mobilisasi Pegawai Negeri Sipil Di Pemerintahan

Daerah Kabupaten Siak Tahun 2011)” dari hasil penelitan ini para

peneliti menujukkan beberapa pelanggaran netralitas pada Piilkada

Sika tahun 2011 mereka mangatakan dalam jurnalnya bahwa

‘pemilukada Kabupaten Siak tahun 2011 menggambarkan adanya

kelompok yang di mobilisasi guna menciptakan dukungan politik.

Kelompok tersebut didominasi oleh kalangan Pegawai Negeri Sipil

yang tidak mempunyai posisi strategis dalam pemerintah, seperti

pegawi UPTD, pegawai kecamatan, kepala sekolah, serta guru-

guru yang ada di kabupaten siak”.42

Mencermati kasus yang telah penulis jelaskan sebelumnya

serta melihat pada temuan kasus politisasi birokrasi oleh dua

penelitian diatas, penulis melihat betul bahwa kedua kasus yang

penulis terangkan diatas berada pada dua rezim peraturang

mengenai ASN yang berbeda, jika pada kasus yang penulis

temukan berlandaskan pada Undang-Undang No 5 Tahun 2014

dan kasus yang ditemukan peneliti sebelumnya berda pada rezim

UU kepegawaian tentunya hal ini menunjukan bahwa Rezim UU

ASN 2014 yang hari ini di terapkan tidak juga cukup mampu

menghadirkan ASN atau birokrasi yang bebas dari intervensi

semua golongan dan kepentingan atau dalam kata lain netralitas


42
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/2236 oleh Rizki
Muharlin Rayadi dan Drs. Erman M, M.Si diakses pada 13 februari 2019 pukul 20.56 wib
63

dalam UU ASN ini masih menjadi harapan semu ditengah

manjemen merit system yang diuntut dijalankan dalam tubuh

birokrasi susai amanat UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN ini.


64

C. Kasus Politisasi Aparatur Sipi Negara di Kabupeten Bantul Pada

Pemelihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2015

Bantul menjadi salah satu daerah yang turut dalam

perhelatan pilkada serentak 2015 yaitu pemilihan Bupati dan wakil

Bupati Kabupaten Bantul, pada pilkada 2015 lalu Kabupaten Bantul

dihadirkan oleh adanya calon incumbent (petahana), yaitu Hj. Sri

Surya Widati dan Drs. Misbakhul Munir serta lawanya Drs. H

Suhrsono dan H. Abul Halim Muslih. Pilkada yang dilangsungkan

pada 9 Desember 2015 itu ternyata menjadikan Kabupaten Bantul

mendapat sorotan dari masyarakat luas dan Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) RI. Pasalnya ASN di kabupaten bantul terlibat

dalam pilkada serentak ini, keterlibat ASN dalam perhelatan pilkada

ini yaitu dengan turut serta dalam kampanye salah satu kandidat,

yaitu calon petahanan yang mengakibatkan tidak netralnya ASN di

Bantul.

Panitia pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten bantul

mendapatkan laporan dari lapangan bahwa adanya ASN yang tidak

netral, beberapa oknum ASN yang ada di Kabupaten Bantul telah

melanggar Undang-Undang ASN, serta Peraturan Pemerintah

tentaang disiplin PNS. Keterlibatan ASN yang dianggap panwaslu

merupakan beberapa dari kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) yang seharusnya memberikan contoh baik terhadap

bawahanya.`
65

Kasus ini bermula dari hadirnya beberap oknum ASN dalam

gelaran deklarasi pencalonan pada tanggal 14 Juni 2015,

dilapangan Trirenggo Bantul, kehadiran ASN pada acara tersebut

memang bukanlah pada masa kampanye namun sesuai aturan

yang ada, ASN tidak dibenarkan terlibat dalam proses kampanye

baik sebelum, selama atau sesudah kampanye.

Keterlibatan atau kehadiran ASN dalam acara deklarasi

pencalonan calon Incumbent sebelum masa kampanye, dikatakan

ketua panwaslu karena adanya rasa takut kepada atasan yaitu

yang dimaksud adalah Hj. Sri Surya Widati. Dapat ditarik

kesimpulan dari pernyataan tersebut bahwa ASN takut dikarena

Hj. Sri Widati merupakan Bupati defenitif periode itu. Karena dari

hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Panwaslu kepada ASN yang

tidak netral, mereka juga mendapat arahan dari pimpinan saat itu,

memang pada saat deklarasi Bupati Hj. Sri Surya Widati masih

berstatus sebagai Bupati. 15 ASN yang terlibat pada acara

deklarasi panwaslu juga mengatakan bahawa mereka ASN yang

terlibat berpendapat dikarenakan banyaknya kepala SKPD yang di

undang,dan perangkaat desa juga pada di undang, maka mereka

yang terlibat juga turut serta hadir. 43

43
Widuri Wulandari, “Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015” Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhamadiyah Yoyakarta, 2015 hlm 70
66

Adanya rasa takut keapada atasan, merupakan corak

adanya Paternalistik, corak patrenalistik di Indonesia

mencerminkan hubungan bapak dan anak buah. Hubungan ini lebih

halus dibandingkan dengan hubungan patron klien. Posisi seorang

bawahan dan atasan disamakan dengan posisi hubungan antara

seorang anak dengan bapaknya dalam konsep jawa. Seorang anak

harus menghormati bapaknya, yang secara praktis termanifestasi

dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus dalam bicara

dengan bapak. Hubungan antara orang tua dengan anak

merupakan hubungan superior dan inferior. Anak atau inferior

harus menghormati orang tua yang superior. Anak melayani orang

tua untuk mencari perhatian, dan orang tua harus dapat

menunjukkan sebuah perhatian.44 Pola-pola pendekatan seperti

inilah yang paling sulit untuk dilepaskan dari perjalanan birokrasi di

Indonesia.

Berdasarkan temuan dan laporan pelanggaran yang

dilakukan ASN dikabupaten bantul, Panwaslu telah melakukan

klarifikasi kepada beberapa ASN seperti kepala Badan

Kepegawaian Daerah (BKD), Camat Saden, Kepala Dinas

Pendidikan Menengan dan Non Formal, Sekretaris Daerah, serta

Kepala Inspektorat. Melalui klarifikasi ini, panwaslu juga

memberikan laporan kepada Bawaslu DIY dan berkoordinasi


44
Dwiyanto, “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” pisat studi kependudukan
dan kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta, 2002, hlm 91-92
67

dengan Ombudsman perwakilan DIY, kemudian berdasarkan hasil

laporan dari Bawaslu DIY melaporkan ke Bawaslu RI untuk

ditindaklanjuti kepada MenPAN-RB atau KASN.

Setelah laporan yang disampaikan oleh panwaslu terhadap

pelanggaran yang dilakukan ASN kepada pusat, maka pihak

pusatlah yang berkoordinasi dengan Ombudsman Perwakilan DIY

untuk memproses perkara Netralitas ASN ini. Pada tanggal 18

desember 2018 2015 Ombudsman Republik Iindonesia (ORI)

perwakilan DIY memeriksa tiga pejabat ASN Bantul yang diduga

tidak netral dan menlanggar disiplin PNS. Ketiganya adalah kepala

Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Partogi Dame Pakpahan,

kepala dinas pendidikan menengah dan Non formal Mashrun

Gazali serta Kepala Bagian Organisasi Sigit Widodo. Pemeriksaan

ketiga ASN ini merupakan kegiatan terakhir yang dilakukan ORI

untuk menerima keterangan seputar netralitas ASN. Total sudah

ada 14 pejabat ASN yang telah diperiksa oleh ORI perwakilan DIY

termasuk Sekda Bantul Riyantono. Setelah melakukan

pemeriksaan ORI perwakilan DIY memberikan rekomendasi

kepada Bupati Bantul untuk melakukan tindaklanjut pelanggaran

ASN.

Kepala Ombudsman Perwakilan DIY, Budhi Masturi

mengatakan bahwa hasil pemeriksaan menyebutkan mereka tidak

terbukti melanggar UU Pilkada. Akan tetapi, mereka melanggar


68

sebanyak empat aturan terkait netralitas PNS, yakni Pasal 34

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,

Pasal 3,4 dan 5 dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang

ASN, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin

PNS dan Peraturan Bupati Bantul No. 78 Tahun 2012 Tentang

Kode Etik PNS di Kabupaten Bantul Pasal 5 Point h. Hasil

pemeriksaan diserahkan ORI perwakilan DIY kepada Kepala

Bagian Hukum Pemkab Bantul, Gunawan Budi Santosa Untuk

ditindaklanjuti.45

Pejabat sementara (Pjs) Bupati Bantul Sigit Sapto Rahardjo

telah melayangkan surat teguran kepada lima ASN yang diduga

tidak netral dalam proses pemilihan kepala daerah di wilayah

Kabupaten Bantul. Teguran tertulis diberikan sebagai bentuk

pengawasan terhadap anak buahnya yang diduga tidak netral

selama gelaran Pilkada. Adapun ASN yang mendapat teguran

terulis yaitu Assiten Sekda Bantul Bidang Administrasi Umum

Sunarto, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Partogi

Dame Pakpahan, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Supriyanto

serta Inspektorat Bantul Bambang Purwadi.46

45
https://nusantara.medcom.id/jawa-tengah/peristiwa/4KZxylWb-pemkab-
bantul-diminta-awasi-15-asn-tak-netral, oleh Ahmad Mustaqim, diakses Pada 15
Februari 2019.
46
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2015/09/29/511/647267/pilkada-
bantul-tak-netral-lima-pns-bantul-diitegur, oleh Bhekti Suryani, diakses pada 15 Februari
2019.
69

Sesuai penjabaran kasus pelanggaran Netralitas oleh ASN

kabupaten Bantul diatas penulis meyakini betul adanya dilema

dalam penegakan netralitas pada tubuh birokrasi khsusnya ASN,

melihat kronologi dan penjatuhan sanksi pada kasus diatas,

sebagaiman diawal penulis sampaikan bahwa ASN akan selalu

menjadi subjek korban jika persoalan netralitas ini hanya ditinjau

melalui UU ASN, PP 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS atau UU

pelayanan Publik, dan yang menjadi persoalan mendalam UU

pilkada yang sejatinya dapat menjerat oknum-oknum yang

memobilisasi ASN Bantul justru terkesan tumpul, padahal sejatinya

jika dilihat mereka (ASN) pelaku pelanggaran netralitas diatas

adalah hadir dan mengikuti agenda yang akhirnya menjerat mereka

sesuai perintah atasannya atau karena undangan Bupati defenitif

Bantul sendiri.

Selain kasus pada proses pilkada Bantul tahun 2015 lalu ini,

berbagai kasus-kasus baru sejatinya banyak bermunculan yang

menyangkut adanya upaya mobilisasi ASN pada ruang politik,

misalkan pada kasus beberapa waktu lalu di Kabupaten Boyolali

adanya demontrasi yang dihadiri Bupati Boyolali Seno Samodro

yang diduga demontasi tersebut juga mengerahkan ASN sebagai

pesertanya oleh bupati Boyolali sendiri, lalu dalam gelaran

demonstrasi tersebut Bupati Boyolali sempat mengucapkan kalimat

yang dinilai sebagai pencemaran nama baik terhadap kandidat


70

calon presiden No urut 02 yang kasus ini (pencemaran nama baik)

sampai saat ini masih berlanjut di Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

Ucapan yang dinilai penghinaan oleh Bupati Boyolali

dihadapan ASN ini tentu bagaimanapun adalah menunjukkan

keberpihakan politis beliau dan disampaikan dihadapan anak

buahnya yang berstatus sebagai ASN. Tentu menggiring ASN

sebagai hal tersebut tidak dibenarkan sesuai ketentuan UU pemilu,

namun sayangnya sampai saat ini setelah hampir empat bulan

adanya Laporan kasus pelanggaran pemilu oleh Bupati Boyolali

dilaporkan ke Bawaslu Jateng sampai hari ini belum menemukan

titik terang, begitu juga apakah ada pelanggaran netralitas atau

tidak oleh ASN Boyolali juga Bawaslu belum memberikan

rekomendasi hasil penyelidikan kepada Komisi Aparatur Sipil

Negara untuk selanjutnya ditindak lanjuti. 47

Namun jikan melihat lebih jauh pada kasus ini jika sejatinya

telah terjadi pelanggaran Pemilu atau pelanggaran netralitas oleh

ASN Kabupaten Boyolali setelah selesainya penyelidikan maka

KASN atau Kemenpan-RB akan memberikan rekomendasi untuk

penjatuhan sanksi kepada ASN yang terlibat tersebut kepada

kepala daerah, artinya jika benar terjadi pelanggaran Netralitas oleh

ASN boyolali maka Bupati Boyolali sendiri yang akan menjatuhkan

47
https://tirto.id/potensi-pelanggaran-bupati-amp-pns-boyolali-dalam-demo-
pidato-prabowo-c9nW, oleh Lalu Rahadian diakses pada 18 februari 2019
71

sanksi pada ASN tersebut, hal itu senada dengan amanat Pasal 4

Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS.

Terkesan seperti lelucon ketika ada indikasi pelanggaran

netralitas oeh ASN yang hal itu karena perintah Bupati, namun

ketika penjatuhan sanksi justru Bupati sendiri yang akan

memberikannya sebagai upaya pendisiplinan, artinya akan seperti

penjahat yang mejatuhkan hukumana pada anak buahnya yang

telah melakukan kejahatan, tentu bagai sesuatu yang terkesan

mustahil untuk diterima akal sehat, akan tetapi walau

bagaimanapun itu adalah amant yang ditetapkan dalam regulasi

tentang disiplin PNS.

Lalu setelah kasus Bupati Boyolali diatas juga terdapat

berbagai kasus lain menyangkut potensi untuk adanya uapaya

mobilisasi ASN dalam ruang politik misal pada beberapa deklarasi

dukungan pemilihan presiden pada kandidat petahana oleh

beberapa oknum kepala daerah diberbagai wilayah, deklrasi

dukungan yang dilakukan oleh Gubernur dan Bupati/ Walikota tentu

akan sangat berdampak bagi ASN didaerah, karena bagaimanapun

jabatan gubernur dan Bupati/walikota adalah pimpinan diwilayah

administratifnya masing-masing tentunya mau tidak mau akan

membawa dampak politis bagi bawahan mereka yang berstatus

sebagai ASN.
72

Selain berbagai dukungan yang di deklarasikan oleh

gubernur atau walikota di berbagai wiliyah yang paling terbaru

kasus yang menyangkut netralitas ASN adalah, seruan yang

disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika

(Menkominfo) di hadapan ASN yang terkesan bernuansa politis dan

begitu mencederai netralitas yang semestinya di utamakan di

hadapan selurus pegawai ASN, karena bagaimanapun kalimat

yang di sampaikan Menkominfo tersebut akan sangat menggiring

pada pilihan politik.

Kasus-kasus diatas jika dibandingkan denga kasus diawal

yang penulis bahas sebelumnya terkait adanya politisai ASN

diwilayah kecamatan Tualang Kabupeten Siak, walau sampai

penulis melakukan penelitian ini belum ada laporan terhadap hal

itu, maka melihat pada kasus ASN khsusnya di Kabupaten Bantul

penulis dapat betul memahami bahwa jika adapun laporan masuk

maka hanya akan menempatkan ASN sebagai pelaku tunggal atas

pelanggaran netralitas, tanpa melihat bahwa mereka dalam

tekanan atasannya atau pihak sipil diluar tubuh Birokrasi yang

memanfaatkan jejaring ASN, yang parahnya lagi UU pemilu kada

yang mengatur sanksi pidana terhadap penggiringan ASN pada

ruang politik praktis tidak mungkin diterapkan pada kasus politisasi

ASN ditualang tersebut sebagaimana alasan yang telah penulis

jabarkan sebelumnya.
73

BAB IV

PENERAPAN ASAS NETRALITAS BAGI APARATUR

SIPIL NEGARA SERTA PERLINDUNGAN HUKUM DALAM

PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5

TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

A. Penerapan Asas Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam

Kegiatan Pemilihan Umum Berdasarkan Ketentuan Perundang-

Undangan

Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan netralitas Pegawai

Negeri Sipil (PNS) seperti tidak pernah terselesaikan, pemerintah

telah membuat ragam peraturan untuk membatasi hubungan PNS

dengan kegiatan politik praktis guna memperkuat eksistensi dari

netralitas. Namun sayangnya, setiap belangsungnya kegitan

Pemilihan Umum selalu diwarnai dengan maraknya pemberitaan

tentang pelanggaran netralitas oleh oknum ASN, hal ini tentu

berarti bahwa akar persoalan netralitas ASN belum terjawab dan

dapat diasumsikan bahwa pemerintah masih kesulitan menemukan

formulasi yang tepat guna untuk menjawab problematika netralitas

ASN.

Kondisi birokrasi yang seperti ini tidak terlepas dari fakta

sejarah yang sangat panjang, dimulai dari zaman kerajaan-

kerajaan, dimana birokrasi (yang dikuasai oleh raja)


74

dimanifestasikan sebagai tuhan yang harus dipatuhi segala

perintahnya dan dijauhi segala larangannya, dan rakyat yang

dimanifestasikan sebagai hamba yang harus mematuhi segala

perintah dan larangannya. Hubungan ini menuntut kepatuhan tanpa

syarat dari hamba kepada tuhannya dengan gambaran

“manunggaling kawula dan Gusti (bersatunya rakyat dan tuhan)”48

Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara, menjadi bagian pertama dalam pembahasan terkait

tentang pengaturan mengenai netralitas Pegawai Negeri Sipil,

dalam UU ASN ini ditemukan beberapa pengaturan yang berkaitan

dengan netralitas Pegawai Negeri Sipil, yang pada Pasal 2 Huruf F

disebutkan bahwa “ Penyelenggaraan kebijaksanaan dan

manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas”. 49 Ketentuan ini

diberikan penjelasannya bahwa, yang dimaksud “asas netralitas”

adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala

bentyk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan

siapapun.

Asas netralitas tersebut adalah bagian dari asas hukum,

adalah filosofi yang menjadi inti dari sejumlah hukum. Asas hukum

merupakan dasar pikiran dari undang-undang (ratio logis).50


48
Darmanto dan Ngadisah, Birokrasi Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta,
2008, hlm 31
49
Pasal 2 Huruf F Undang-Undang No 5 Tahun Tahun 2014 tang Aparartur Sipil
Negara
50
Donald Albert Rumokoy dan Frans Marami, Pengantar Ilmu Hukum, Raja
Grafindo Persada, cetakan ke-2, Jakarta, 2014 hlm 143.
75

Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara,

ketentuan UU ASN ini secara tegas bahwa pegawai ASN

berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, dan bukan sebagai

aparatur pemerintahan. Sebaga konsekuensi dari pegawai ASN

merupakan unsur aparatur negara, maka loyalitasanya harus dituju

dan bermuara pada negara, bukan kepada pemerintahan dalam arti

kata, kehadiran suatu rezim pemerintahan bersifat sementara

sedangkan kehadiran suatu negara bersifat tetap.

Undang-Undang No 5 Tahun 2014, juga menentukan pada

Pasal 9 ayat (2) bahwa “ pegawai ASN harus bebas dari pengaruh

dan intervensi semua golongan dan partai politik”. 51 Undang-

Undang no 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam upaya menghasilkan

sebuah manjemen Aparatur Sipil dengan sistem merit diharapkan

dapat mengaplikasikan semua tuntutan reformasi birokrasi, maka

diwajibkan pegawai ASN terlepas dari segala pengaruh baik dari

dalam maupun dari luar birokrasi itu sendiri dikarenakan intervensi

politik dapat menganggu ketidakstabilan kinerja setiap ASN, maka

seyogyanya harus dapat mengedepankan landasan dari apa yang

telah diamanatkan dalam UU ASN BAB II yakni asas, prinsip, nilai

dasar, kode etik serta prilaku.


51
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun 2014 Tentang ASN
76

Kembali pada soal penerapan atau implementasi asas

netralitas ini dalam ruang birokrasi khususnya ASN sebagaimana

yang penulis jabarkan diatas, UU ASN cukup dan telah begitu jelas

mengulas tentang netralitas yang harus taati oleh ASN, akan tetapi

sebagaima yang penulis selalu tuliskan UU ASN ini hanya

mengharapakan implementasi dari asas itu semata tanpa adanya

ruang bagi ASN untuk membela dirinya ketika ada upaya

penggiringan terhadap dirinya pada ruang politis yang penulis

bahasakan sebagai politisasi.

Berkaca pada soal netralitas yang hari-hari ini ada ditubuh

birokrasi dan serta melihat pada kasus yang penulis angkat pada

penelitian ini, dibawah rezim Undang-Undang No 5 Tahun 2014

tentang ASN, penulis melihat betul bahwa netralitas yang ada dan

diharapkan Undang-Undang ini tidak lebih hanya rangkaian kalimat

formalisik tanpa adanya konsekuensi logis untuk menghindari atau

memberi pembatas jelas jika terjadi upaya penggiringan yang tidak

kuasa ditolak oleh ASN itu sendiri. Pada prinsipnya penulis menilai

secara konteks tuntunan UU ASN telah mampu meberi tuntunan

bagi ASN soal pentingnya netralitas hanya saja berhenti pada

tuntunan tanpa perlindungan bagi ASN yang tergiring atau tidak

kauasa menolak dalam atas paksaan pada dirinya untuk melanggar

netralitas.
77

Penulis melihat betul bahwa dalam penerapannya UU ASN

tidak melihat sama sekali bahwa potensi ASN atau birokrasi pada

umumnya begitu rentan untuk dibawa atau digiring pada ruang

politik praktis yang berujung tidak netral ASN, padahal potensi itu

begitu jelas dan nyata ada dalam ruang birokrasi, ini yang tentu

menjadi sebab utama bahwa netralitas dalam penerapanya

mwngacu pada UU No 5 Tahun 2014 akan begitu sulit untuk

diterapkan, belum lagi pada soal diharmonisasi antara UU ASN

dengan aturan pelaksananya PP 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin

PNS sebagaimana yang telah penulis terangkan pada BAB

sebelumnya.

Peraturan yang cukup banyak mengulas tentang netralitas

ASN ini sendiri dapat ditemukan pada Undang-Undang No 8 Tahun

2015 Tentang perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 2014

Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 70 ayat

(1) yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan :


a. Pejabat badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah;
b. Aparatur sipil negara, anggota kepolisian negara
republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional
Indonesia; dan
c. Kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat
desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. 52

52
Undang-Undang No 8 Tahu 2015 Tentang perubahan atas UU No. 1 tahun
2015 Tentang penetapan peratutan pemerintah pengganti Undang-Undang No.1 tahun
2014 tentang pemilihan Gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU (pasal 70 ayat 1)
78

Pelanggaran terhadap pasal 70 ayat (1) tersebut diancam

pidana penjara dan pidana denda sebagai mana diatur pada pasal

189 Undang-Undang No 8 Tahun 2015, yang menyatakan sebagai

berikut :

“calon Gubernur, calon Waki Gubernur, calon Bupati, calon


Wakil Bupati, calon walikota dan calon wakil Walikota yang
dengan sengaja melibatkan pejabat badan usahan milik
negara, pejabat badan usaha milik daerah, Aparatur Sipil
Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/ Lurah serta perangkat Desa atau sebutan
lain/perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan/ dan
atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta
rupiah)53.”
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka pelibatan

sejumlah orang khusunya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu

kegiatan kampanye adalah pelanggaran pidana yang di ancam

penjara dan denda terhadap pelanggarnya, Namun jika kita

gunakan ketentuan ini pada kasus yang penulis jabarkan diatas,

penulis beranggapan tentu tidak bisa. Dengan alasan bahwa yang

pertama ketentuan dalam UU tersebut adalah untuk gelaran

kampanye Pemilihan kepala daerah yang berarti yang dapat dijerat

ketentuan itu adalah calon Gubernur/wakil, calon Bupati/wakil,

calon Walikota/wakil, artinya penulis melihat betul dalam hal

penerapan atau implentasinya larangan terhadap penggiringan

53
Ibid, pasal 189
79

ASN hanya penulis temukan dalam Undang-Undang Pemilihan

kepala daerah ini, dan sebagaimana yang telah penulis jelaskan

pada BAB sebelumnya untuk diimplementasikan pun UU ini tidak

begitu memilik kekuatan jelas misalkan pada kasus yang penulis

jabarkan sebelumnya tentang Politisasi ASN di lingkungan UPTD

Pendidikan dan Kebudayaan Kaputaen Siak, terkait danya upaya

penggiringan ASN oleh atasanya untuk prosesi pemenangan salah

seorang peserta pemilu pada kontestasi pemilihan legislatif

kedepan yang pesertanya adalah suami dari kepala UPTD

pendidikan kecamatan Tualang Kabupaten Siak, bahwa yang dapat

dijerat pada UU No 8 Tahun 2015 ini adalah kandiat atau tim

pemengan pada pemelihan kepala daerah, sementara pada kasus

yang penulis temukan yang tejadi bukan oleh oknum kepala daerah

tetapi oleh atasan yang juga berstatus sebagai ASN dan

masyarakat sipil yang menjadi peserta pemilu legislatif oknum-

oknum tersebut tentu tidak mungkin dijerat oleh ketentuan ini.

Artinya dalam implementasinya sulit untuk menjadikan UU ini

sebagai landasan kuat, serta yang lebih meyakinkan penuli selama

perhelatan pilkada berlansung belum ada kandidat yang dijerat oleh

ketentuan ini, berkaca pada kasus pilkada Kabupaten Bantul yang

penulis jelaskan sebelumnya justru kententuan ini tidak sama sekali

tampak digunakan bahkan hanya berhenti pada sanksi atas ASN


80

yang melanggar netralitas tidak pada oknum atau pihak yang

melakukan penggiringan terhdap ASN itu sendiri.

Kasus upaya penggiringan ASN oleh oknum pimpinan UPTD

dikecamatan Tualang Kabupaten Siak menunjukkan betul bahwa

netralitas ASN dalam UU ASN yang telah dibahas hanya semu

tanpa memberikan ruang perlindungan bagi ASN untuk menolak

atau menghindar dari perintah pimpinan yang akhirnya

mengarahkan ASN pada kegiatan yang melanggar netralitas yang

dilarang dalam ketentuan Undang-Undang, begitu pula pada kasus

Pilkada serentak tahun 2015 di Kabupaten Bantul yang menyeret

beberapa ASN pada kasus pelanggaran netralitas ketentuan dalam

UU Pilkada yang mengatur sanksi pidana Pemilu bagi peserta

Pemilu yang melakukan penggiringan ASN hanya berhenti pada

ASN tidak diterapkan pada oknum peserta pemilu yang melakukan

penggiringan yang sejatinya sanksi dan ketentuannya jelas ada

dalam Undang-Undang Pilkada. Masuk pada kasu Bupati Boyolali

yang juga melakukan penggiringan ASN untuk melilih satu calon

presiden dihadapan ASN sampai hari ini setelah empat bulan

beralau kasus tersebut hanya menjadi kasus yang tidak berujung

apapun, lain lagi pada kasus deklarasi oleh beberapa kepala

daerah terkait dukungan terhadap caloin presiden yang begitu

berpotensi menggiring ASN juga tidak menemui titik terangnya.

Artinya berkaca pada kasus yang penulis angkat tersebut


81

penerapan atau implementarsi netralitas ASN masih begitu semu

tanpa kejelasan.
82

B. Perlindungan Hukum Bagi Aparatur Sipil Negara Sebagai

Korban Politisasi dikaitkan Dengan Undang-Undang No 5

Tahun 2014 Tentang ASN

Berangkat dari kasus pelanggaran netralitas yang penulis

angkat pada penelitian ini yang terjadi diwilayah Kecamatan

Tualang Kabupaten Siak. Berdasarkan wawancara penulis dengan

ASN yang menjadi narasumber, bahwa mereka telah secara

langsung dibawa atau digiring oleh atasanya yang berstatus

sebagai ASN dan pipimpinan UPTD pendidikan Kecamatan

Tualang Kabupaten Siak pada kegiatan prosesi pemenangan salah

seorang peserta pemilihan Legislatif, yang kandidat sendiri adalah

seoarang masyarakat sipil yang merupakan suami dari kepala

UPTD pendidikan Kecamatan tualang sendiri.

Kasus yang penulis angkat jika mengacu pada asas

netralitas sebagai mana amanat yang tertuang pada pada Pasal 2

huruf F Undang-Undang No 5 Tahun 2014 yang implikasi dari

adanya pasal ini sendiri adalah larangan :

1. Menjadi pengurus dan/anggota partai politik

2. Memberikan dukungan pada calon Presiden/wakil,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan


83

Daerah, atau dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dengan cara :

a. Ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b. Menjadi perserta kampanye dengan

menggunakan atribut partai atau atribut PNS;

c. Sebagai peserta kampanye dengan

mengarahkan PNS lain dan/atau

d. Sebagai peserta kampanye dengan

menggunakan fasilitas negara.

3. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil

Presiden dengan cara :

a. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang

meguntungkan atau merugikan salah satu

pasangan calon selama masa kampanye;

dan/atau

b. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada

keberpihakan terhadap pasangan pasangan

calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,

selama, dan sesudah masa kampanye meliputi

pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau

pemberian barang kepada PNS dalam

lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan

masyarkat;
84

4. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah atau calon Kepada Daerah/ Wakil

kepala Daerah dengan cara memberikan surat

dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk

atau surat keterangan Tanda Penduduk sesuai

peraturan perundang-undangan; dan

5. Meberikan dukungan kepada calon Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara;

a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk

mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah

b. Menggunakan fasilitas yang terakait dengan

jabatan dalam kegiatan kampanye;

c. Membuat keputusan yang menguntungkan

atau merugikan salah satu pasangan calon

selama masa kampanye; dan/atau

d. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepda

keberpihakan terhad pasangan calon yang

menajadi peserta pemilu sebelum, selama, dan

sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,

ajakan, himbauan, seruan, atau pemebrian

barang kepada PNS dalam lingkungan unit


85

kerjannya, anggota keluarga, dan

masyarakat.54

Mengacu kepada Implikasi penerapan asas netralitas diatas

penulis menyadari betul serta mayakini telah terjadi pelanggran

netralitas oleh oknum-oknum ASN diwilayah Kecamatan Tualang

berdasarkan kronologis kejadian yang penulis temukan, yang hal

tersebut tentu berimplikasi pula harusnya pada penjatuhan sanksi-

sanksi kepada oknum-oknum ASN tersebut sesuai dengan

ketentuan yang telah diatur pada Peraturan Pemerintah No 53

Tahun 2010 tentang Disiplin PNS baik Sanksi ringa, sedang

ataupun berat.

Pada kasus yang terjadi dikabupaten Bantul, sejatinya

memberikan gambaran yang paling tepat bahwa penjatuhan sanksi

bagi ASN yang terbukti telah melakukan pelanggaran netralitas

dengan mengikuti gelaran deklarasi pasangan calon Bupati dan

Wakil Bupati petahana Kabupaten Bantul yang pada hari deklarasi

itu sendiri calon Bupati yang bersangkutan masih berstatus sebagai

Bupati defenitif Kabupaten Bantul, pada kasus ini jelas telah

diterapkan atau implikasi dari adanya asa netralitas telah

dilaksankan, karena sesuai implikasi dari adanya asas netralitas

telah terpenuhi dari adanya gelaran kegiatan yang disangkan pada

54
Tedi Sudrajat dan Sri Hartini, “Rekonstruksi Hukum Atas Pola Penanganan
Pelanggara Asas Netralitas Pegawai Negeri Sipil” Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Vol 29 No 3, 2017 Hlm 451-452
86

ASN kabupaten Bantul yang terlibat, namun pada kasus ini yang

paling menjadi persoalan bagi penulis sendiri pihak yang telah

melakukan penggiringan sama sekali tidak tersentuh, padahal jika

mengacu pada ketentuan padal Undang-Undang Undang-Undang

No 8 Tahun 2015 Tentang perubahan atas Undang-Undang No 1

Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

Pasal 70 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan :


a. Pejabat badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah;
b. Aparatur sipil negara, anggota kepolisian negara
republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional
Indonesia; dan
c. Kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat
desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. 55
Sejatinya kasus bantul berdasarkan kronologis yang penulis

temukan bahwa ASN yang terlibat adalah berdasar pada undangan

dari atasanya untuk turut hadir dalam gelaran deklarasi tersebut,

padahal seharunya pihak yang menggiring tersebut telah

memenuhi unsur yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (1) diatas

yang konsekuensi dari pelanggaran itu sendiri sejatinya telah

tertuang dalam Undang-Undang yang sama bahwa upaya

penggiringan tersebut merupakan bagian dari pidana pemilu.

55
Undang-Undang No 8 Tahu 2015 Tentang perubahan atas UU No. 1 tahun
2015 Tentang penetapan peratutan pemerintah pengganti Undang-Undang No.1 tahun
2014 tentang pemilihan Gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU (pasal 70 ayat 1)
87

Pada kasus bantul penulis menemukan kesimpulan secara

pada penerapan asas netralitas dan penjatuhan sanksi telah sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang ASN dan aturan pelaksananya

yang mengatur sanksi yang tertuang pada Peraturan Pemerintah

No 53 Tahun 2010, akan tetapi berhenti pada soal pelanggran asas

netralitas yang itu tentu hanya menyasar pada ASN. Tidak sama

sekali bergerak pada pihak yang melakukan penggiringan yang

padahal hal tersebut telah diatur pada ketentuan Undang-Undang

Pilkada.

Berdasarkan kasus-kasus ditas penulis sekali lagi

menegasakan berbicara soal pelanggaran netralitas, murni bahwa

memang telah terjadi pelanggaran netralitas oleh oknum ASN pada

kasus yang penulis teliti, akan tetapi ada ruang hukum yang penulis

nilai tidak memberikan tempat bagi ASN dalam kasus tersebut

untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya atas segala sanksi

yang diterima ASN akbibat melakukan pelanggaran terhadap asas

netralitas yang diatur dalam Undang-Undang ASN.

Misalkan pada kasus yang penulis teliti dikecamatan

Tualang Kabupaten siak, pada kasus ini jika mengacu pada

ketentuan netralitas dan segala macam sanksinya maka, negara

melalui hukum hanya secara terang menempatkan para oknum

ASN tersebut sebagai pelaku tunggal yang bertindak secara atas

kemauan dan keinginan pribadi oknum-oknum tersebut, padahal


88

jika dicermati lebih mendalam atas kronologi kasus yang terjadi

sebagaimana yang telah penulis gambarkan, oknum-oknum yang

terlibat hanyalah korban atas kemauan atau perintah atasnnya

yang mereka sendiri tidak kuasa melakukan penolakan atasnya.

Memposisikan ASN sebagai pelaku tunggal tanpa memberi

ruang untuk melakukan pembelaan adalah ciri khas dari penerapan

asas netralitas yang penulis nilai ada dalam Undang-Undang No 5

Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, hal ini jelas terlihat dari

kasus yang penulis teliti diatas, karena bagaimanapun perintah

pimpinan adalah perintah yang tidak mungkin ditolak ASN

walaupun dalam ketentuan lain Undang-Undang ini memberi

batasan perintah itu adalah perintah yang tidak bertentang dengan

Undangt-Undang akan tetapi pada aturan pelaksananya PP No 53

Tahun 2010 Tentang disiplin PNS terkesan menutup pengecualian

perintah ini sebagaimana yang penulis nilai adanya disharmonisasi

dalam Undan-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan aturan

pelaksananya PP No 53 Tahun 2010.

Kasus yang lebih meyakinkan penulis tentang potensi ASN

yang akan selalu menjadi korban atas penerapan asas netralitas ini

adalah bagaiman kasus yang baru beberapa bulan ini terjadi

diwilayah Kabupaten Boyolali adanya demontrasi yang dihadiri

Bupati Boyolali Seno Samodro yang diduga demontasi tersebut

juga mengerahkan ASN sebagai pesertanya oleh bupati Boyolali


89

sendiri, lalu dalam gelaran demonstrasi tersebut Bupati Boyolali

sempat mengucapkan kalimat yang dinilai sebagai pencemaran

nama baik terhadap kandidat calon presiden No urut 02 yang kasus

ini (pencemaran nama baik) sampai saat ini masih berlanjut di

Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

Ucapan yang dinilai penghinaan oleh Bupati Boyolali

dihadapan ASN ini tentu bagaimanapun adalah menunjukkan

keberpihakan politis beliau dan disampaikan dihadapan anak

buahnya yang berstatus sebagai ASN. Tentu menggiring ASN

sebagai hal tersebut tidak dibenarkan sesuai ketentuan UU pemilu,

namun sayangnya sampai saat ini setelah hampir empat bulan

adanya Laporan kasus pelanggaran pemilu oleh Bupati Boyolali

dilaporkan ke Bawaslu Jateng sampai hari ini belum menemukan

titik terang, begitu juga apakah ada pelanggaran netralitas atau

tidak oleh ASN Boyolali juga Bawaslu belum memberikan

rekomendasi hasil penyelidikan kepada Komisi Aparatur Sipil

Negara untuk selanjutnya ditindak lanjuti. 56

Namun jikan melihat lebih jauh pada kasus ini jika sejatinya

telah terjadi pelanggaran Pemilu atau pelanggaran netralitas oleh

ASN Kabupaten Boyolali setelah selesainya penyelidikan maka

KASN atau Kemenpan-RB akan memberikan rekomendasi untuk

penjatuhan sanksi kepada ASN yang terlibat tersebut kepada

56
Lalu Rahadian, Op.Cit., hlm 70
90

kepala daerah, artinya jika benar terjadi pelanggaran Netralitas oleh

ASN boyolali maka Bupati Boyolali sendiri yang akan menjatuhkan

sanksi pada ASN tersebut, hal itu senada dengan amanat Pasal 4

Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS

Berdasarkan fakta kronologis kejadian diatas meyakinkan

lebih penulis bahwa tidak adanya ruang bagi ASN untuk melakukan

penolakan terhadap segala bentuk upaya politisasi terhadap

mereka, bayang-bayang sanksi hadir untuk suatu tindakan

pelanggran netralitas yang itu penulis temukan justru awalnya tidak

dikehendaki oleh ASN yang terlibat tersebut bagaimana tindakan

pelanggaran netralitas itu sendiri terpaksa dilakukan akibat ketidak

mungkinan menolak perintah atasan yang lebih tinggi secara

jabatan dari mereka.

Setelah penelaahan mendalam terhadap kasus-kasus

politisasi ASN yang penulis teliti ini, penulis menyadi penjatuhan

sanksi terhdap ASN yang melanggar netralitas adalah suatu

keharusan yang harus ditegakkan demi untuk manajemen merit

sitem yang diamanatkan dalam birokrasi indonesia berjalan

sebagaimana harapan atas tuntutan reformasi birokrasi. Akan

tetapi penulis menilai penjatuhan sanksi secara semena-mena

terhadap ASN yang melakukan pelanggaran netralitas tanpa

melihat lebih dalam akar persoalan dan berhenti pada ASN yang

selalu ditempatkan pada posisi pelaku tunggal atau objek tunggal


91

atas pelanggaran netralitas adalah kejahatan, penulis menilai dari

rangkaian beberapa kasus itu adalah fakta yang terjadi bahwa ASN

ditempatkan selalu berada pada posisi bersalah.

Berbicara pada point perlindungan hukum bagi ASN yang

melakukan pelanggaran netralitas atas dirinya sebagai korban

politisasi, penulis berpandangan harusnya tentu tidak semua ASN

dapat dikategorikan sebagai pelaku tunggal atas pelanggaran asas

netralitas, sebagaimana beberapa kasus yang telah penulis

jelaskan diatas. Bahwa mengacu pada kentuan Undang-Undang

ASN dan aturan pelaksananya hal itu jelas terlihat bahwa dibawah

rezim undang-undang ASN yang saat ini belaku ASN tidak lebih

hanya ditempatkan berada pada posisi pelaku atas pelanggaran

tersebut.

Penulis memiliki keyakinan mendalam dengan berbagai

kasus yang telah penulis teliti dan terangkan sebelumnya netralitas

tidak mungkin akan terwujud ketika tidak ada perlindunga hukum

yang jelas untuk ASN menolak segala bentuk upaya atau potensi

yang menggiringnya pada ruang poltik, dan jika kondisi netralitas

masih seperti yang terjadi akhir-akhir ini, penulis juga berkeyakinan

negara melalui ketentuan Undang-undang ASN ini jelas berlaku

dzholim terhadap ASN yang sejatinya menjadi korban kebrutalan

hasrat kekuasaan yang menyeret mereka pada keadaan untuk

melakukan pelanggaran netralitas, hal itu penulis yakini berdasar


92

pada berbagai kasus dan wawancara penulis terhadap salah

seorang ASN korban dari politisasi yang terjadi diwilayah

Kecamatan Tualang Kabupaten Siak.

Jika berkaca pada teori tipe ideal birokrasi yang telah

dijelaskan oleh Max Weber ratusan tahun lalu, Konsep ideal

birokrasi yang dikenal tentang kritikannya terhadap seberapa jauh

peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran

politik terhadap birokrasi, birokrasi weberian yang menekankan

bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan

rasional dijalankan. Artinya jauh sbelum hari ini ASN atau birokrasi

dinegara ini penuh dengan intrik politisasi Weber telah

mengingatkan bagaimana seharusnya birokrasi yang dijalnkan ASN

bebas dari segala macam intervensi, weber telah jauh-jauh hari

mengingatkan bahwa birokrasi yang dijalnkan harus bersifat legal-

rasional, berdasrkan pada hukum dan profesional. Akan tetapi yang

terjadi hari ini, penulis berpandangan. Rasional yang diharapkan

weber jauh dari harapan karena memang legal juga tidak

memberikan perlindungan bagi birokrasi untuk bertindak rasional.

Berdasar kronologi kasus pelanggara netralitas yang penulis

teliti meyakinkan penulis bahwa mesin birokrasi yang berisi

lokomotifnya ASN berjalan tidak rasional begitu tidak rasional

diakibatkan penopang utamanya legal tdak memberi ruang untuk

rasional dalam birokrasi itu dijalankan.


93

Bagaiman penegakan netralitas yangmembayangi ASN

dengan sanksi tanpa ada upaya dari hukum sendiri untuk memberi

ruang perlindungan bagi ASN dalam menjaga dirinya dalam

menolak perintah yang mengarahkan pada keadaan tidak netral

adalah kesalahan fatal yang penulis nilai hari ini menjadi soal berat

dalam penegakan netralitas itu sendiri.

Penulis berkeyakinan perlindungan hukum bagi ASN sebagai

korban politisa harus benar-benar diwadahi rezim Undang-Undang

ASN kedepan, karen jika masih berada pada rezim Undang-

Undang No 5 tahun 2014 ini penulis meyakini persoalan netralitas

yang telah menggurita tidak mungkin dapat terselesaikan. Aparatur

Sipil Negara tidak semua dapat dikategorikan sebagai pelaku atas

pelanggaran netralitas sekalipun pelanggaran itu telah terjadi,

penulis berharap harus ada rekonstruksi hukum mengenai

kepegawaian kedepan yang dapat menjadi payung pelindung bagi

ASN untuk menjalankan tugasnya secara profesional yang kata

weber sebagai rasional tanpa terus ditarik-tarik pada kepentingan

kekuasaan segelintir orang atau kelompok, pada intinya ASN dan

birokrasi itu besar potensinya untuk digiring dan hukum harus

menjadi pembatas yang tegas atas potensi besar itu.

Jika memang hukum dalam hal ini yang menyangkut

kepegawaian tidak mampu menjadi pembatas yang jelas atas

potensi besar terhadap politisasi ASN, penulis secara lebih radikal


94

memandang lebih baik asas ini sendiri dihapuskan dari dalam

Undang-Undang No 5 Tahun 2014 karena jelas keberadaanya juga

tidak lebih hanya formalistik tanpa implementasi. Yang artinya

keadaan itu jelas-jelas menjadi tontonan bagaimana ketentuan dan

larangan ada tapi terang-terangan dilanggar. Tentu keadaan itu

mencederai rasa keadilan rakyat yang berharap ASN bekerja

profesional yang hanya berpatron pada kepentingan negara bukan

penguasa atau atasanya.


95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian yang dilandasi analisis kerangka

berfikir mengenai penerapan asas netralitas Apartur Sipil Negara

dalam Pemilihan Umum berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun

2014 yang telah penulis uraikan dalam skripsi penelitian ini, maka

penulis menyimpulkan 2 (dua) hal sebagai berikut :

1. Bahwa dalam hal penerapan asas netralitas dalam pemilihan

umum, penulis menarik kesimpulan masih sangat bersikap

semu, yang artinya penerapan netralitas dalam pemilu masih

jauh dari harapan yang diinginkan dalam konsep merit

sistem yang adopsi dalam manajemen ASN, potensi ASN

untuk melakukan pelanggaran netralitas masih begitu besar

dibuktikan dalam kasus yang penulis teliti dan beberapa

kasus lain yang membuktikan netralitas ASN masih begitu

semu dan selalu menjadi persoalan tersendiri dalam setiap

perhelatan Pemilihan Umum.

2. Dalam persoalan mengenai perlindung hukum bagi ASN

sebagai korban politisasi, penulis menarik kesimpulan

dibawah rezim Undang-Undang No 5 Tahun 2014 ASN

hanya diperlakukan sebagai pelaku tunggal atas segala

bentuk pelanggaran netralitas. Undang-Undang ASN tidak


96

memberi ruang bagi ASN untuk melakukan penolakan atas

tekanan terhdap dirinya untuk melanggar netralitas baik itu

berasal dari penguasa ataupun atasannya sendiri, hal ini

yang menurut penulis pentingnya ada rekonstruksi hukum

dalam tubuh Undang-Undang ASN untuk bagaimana tidak

semua pelanggaran netralitas adalah atas kehendak atau

kemauan dari ASN dalam melakukan pelanggran netralitas,

ASN sejatinya harus diberi payung hukum untuk

melindunginya dari potensi besar untuk digiring pada

keadaan ia melanggar netralitas.

B. Saran

Penulis mengajukan beberapa saran terkait persoalan

netralitas Aparatur Sipil Negara serta perlindungan hukum terjadap

Aparatur Sipil Negara dalam pemilihan umum untuk bebbas dari

segala Intervensi atau politisasi sebagai berikut :

1. Melihat potensi yang begitu besar untuk ASN melakukan

pelanggaran netralitas serta digiring orientasi politiknya,

penulis menyarankan untuk adanya pembatasan jelas dalam

setiap regulasi yang menyangkut Aparatur Sipil Negara hal

mana yang dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran

netralitas serta mana pula yang dapat dikatakan bahwa hal

tersebut bukan pelanggaran netralitas melainkan upaya

penggiringan tanpa kehendak ASN sendiri atau polotisasi


97

2. Mengenai perlindungan hukum terhadap ASN sebagai

korban atas politisasi penulis menyarankan adanya

rekonstruksi atau pembaharuan hukum terkait netralitas

khusunya dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara, baik itu penambahan pasal ketentuan

mengenai ASN dapat menolak setiap upaya penggiringan

oleh atasanya dalam kegiatan politis tanpa adanya tekanan

terhadap ASN sendiri, atau jika tidak penulis lebih

menyarankan untuk netralitas ini sendiri lebih baik di

tiadakan dalam Undang-Undang ASN ini sendiri.


98

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Pramudi Atmosudirojo, hukum administrasi negara, jakarta, 1988.

R Abdoel Djamali, pengantar Hukum Indonesia, Bandung, PT Raja


Grafindo Persada Jakarta, 2001.

Sastra Djatmika, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan,


jakarta, 1999.

A Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Banyumedia, Malang,


2003.

Sri Hartini,hukum kepegawaian di indonesia, sinar grafika jakarta


2008.

Phlilipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


Gadjah Mada University press, Yogyakarta, 2005.

Mochtar Kusumaatmadja & Arif Sidharta, pengantar imu hukum:


suatu pengenalan pertama ruang lingkup berlakuknya ilmu
hukum, alumni, bandung, 2009.

Agung Kurniawan,Transformasi Birokrasi, Universitas Atma Jaya,


Yogyakarta, 2009.
S.F Marbun & Mahfud M.D, pokok-pokok Hukum Adminitrasi
Negara, Liberty, Yogykarta, 1987, hlm 98-99

Achmad Mansyur, Teori-Teori Mutahir Administrasi Publik,


Rangkan Education, Yogyakarta, 2010.

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tatat Negara Indonesia,


Alumni, Bandung,1992.

Soerjono Soekanto, pengengantar penelitian hukum, cet-3, UI-


press,jakarta 2005.

Riawan Tjandra,Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma


Jaya, Yogyakarta, 2008.
99

Miftah Thoha, prilaku organisasi : konsep dasar dan aplikasinya, PT


raja Grafindo Persada, jakarta, 2010.

Padmo Wahjono, ilmu negara suatu sistematik dan penjelasan 14


teori ilmu negara dan jellinek, melati study group 1977.

Mohamad Ismail, aktualisasi pelayanan prima dalam kapasitas


PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, mandar maju,
Bandung, 2003.

W,J,S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, balai


pustaka, jakarta, 1986.

Faizal Abdullah, Hukum Kepegawaian Indonesia, Rangkang


education, 2011.

Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yoyakarta,


2008.

Ramlan Surbakti, Memahami ilmu Politik, Gramedia Widiasmara


Indonesia, Jakarta, 2010.

Martin Albrow, Birokrasi, Tiara wacana, Yoyakarta, 2005.

Widuri Wilandari, Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam


pemilihan umum serentak kabupaten Bantul, Ilmu
Pemerintahan Universitas Muhamadiyah Yoyakarta, 2015.

Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, pusat studi


kependudukan dan kebijakan Universitas Gadjah Mada,
Yoyakarta, 2002

Darmanto & Ngadasih, Birokrasi indonesia, Universitas Terbuka,


jakarta,2008.

Donald Abert Rumokoy & Frans Marami, Pengantar ilmu Hukum,


Raja Grafindo Persada, jakarta,2014.

Peraturan Perundang-Undangang
UUD negara republik indonesia tahun 1945
Undang-Undang No 2 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang
Undang-Undang No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
100

UU no 5 Tahun 2014 Tentang, Aparatur Sipil Negara


Undang-Undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Peraturan Pemerintah No 37 tahun 2004 tentang Larangan
Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik
Peraturan Pemerintah No 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipi
Jurnal
Sri Hartini, Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, “Kebijakan
Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilukada (Studi
dijawa Tengah), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol 1 No 3,
tahun 2014, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
2014.

Rina martini,”Politisasi Birokrasi Indonesia”,Program Studi Sagister


Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Vol 1 No 1, 2010.

Sumber lain
https://www.inews.id/news/read/159997/peneliti-ungkap-80-kasus-
asn-terlibat-politik-praktis-di-5-provinsi diakses pada 28 oktober
2018
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/25/18180101/bawaslu-
temukan-500-kasus-asn-tak-netral-pada-pilkada-serentak
diakses pada 28 oktober 2018.
http://www.kopertis12.or.id/undang-undang-nomor-5-tahun-2014-
tentang-aparatur-sipil-negara.html#EltPQFL.dpuf.

Anda mungkin juga menyukai