Anda di halaman 1dari 30

Mekanisme Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945

Impeachment ( Pemberhentian Presiden/Wakil


Presiden dalam Masa Jabatannya ) di Indonesia

Impeachment atau yang sering disebut dengan Pemakzulan adalah


Pemberhentian Presiden/wakil presiden dalam masa jabatnnya.
erHal ini bisa dilakukan apabila Presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, bupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden.

Ada dua tahapan Pemakzulan :


1. Proses Hukum ( Rechstaat ) berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
2. Proses Politik ( Kedaulatan Rakyat ) berdasarkan Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

Impeachment ini sendiri telah diatur dalam UUD 1945.


Pasal 7A UUD 1945 :
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden .

Mekanisme Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi


hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan


seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi. ***)

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil


Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk


memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden


dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,
setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)

Semua sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar kita, oleh karena itu sepatutnya kita
semua memahami tentang kandungan dari Undang-Undang Dasar kita dan sebagai
konstitusionalis kita harus melaksanakan Undang-Undang Dasar itu

Tata Cara Pemberhentian Presiden-Wapres


JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah melewati rapat yang dinamis, panitia ad hoc MPR
berhasil merampungkan Rancangan Keputusan MPR RI tentang Peraturan Tatib MPR RI dan
Kode Etik Anggota MPR. Rancangan ini dinilai strategis karena mengatur tata cara
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Hal ini diatur pada Bab
XVII Pasal 102-105 dengan tata cara sebagai berikut:

1. Pertama, MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR
mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden pada masa jabatannya paling lambat
30 hari sejak MPR menerima usulan.
2. Usulan DPR harus dilengkapi dengan putusan MK bahwa presiden dan/atau wakil presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa presiden
dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

3. Kemudian, MPR mengundang presiden dan/atau wakil presiden untuk menyampaikan


penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam Sidang Paripurna MPR.

4. Apabila presiden dan/atau wakil presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR
tetap mengambil putusan terhadap usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

5. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil
dalam Sidang Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

PEMBERHENTIAN PRESIDEN “PEMAKZULAN –


IMPEACHMENT”

Pemberhentian Presiden “Pemakzulan – Impeachment”

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 banyak merubah sistem hukum Indonesia, yang juga
mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ketentuan penting yang lahir dari
perubahan tersebut yakni mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk mempertahankan
sistem presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem presidensial.[1] Selain itu, adanya
pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya pemikiran bahwa negara yang identik dengan
kekuasaan perlu adanya pembatasan kekuasaan dan adanya fungsi pengawasan dan
keseimbangan (checks and balances) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan
kekuasaan.

Hampir semua negara mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
dalam konstitusi mereka. Hal yang dapat diperbedakan hanya jenis pelanggaran hukum yang
dijadikan alasan untuk pendakwaan dan prosedur pemberhentian. Selain perbedaan jenis
pelanggaran hukum yang dijadikan alasan untuk pendakwaan, pemberian kewenangan terhadap
lembaga yang menyelesaikan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden juga
memiliki perbedaan.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan pemberhentian
sebelum masa jabatan berakhir atau mengandung konsekuensi beralihnya kekuasaan maupun
terjadinya kekosongan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia setelah perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD1945) yang keempat berakhir, alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden secara konstitusional di atur dalam Pasal 7A Undang-Undang
Dasar 1945.

Berdasarkan Pasal 7A dapat disimpulkan secara singkat bahwa alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat terjadi hanya dengan adanya pelanggaran hukum atau apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7A
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan payung konstitusional bagi alasan pemberhentian
Presiden, pasal ini memberikan ketegasan bahwa seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden
hanya dapat diberhentikan dari kedudukannya jika nyata-nyata telah melakukan pelanggaran
hukum yang terkait dengan 5 (lima) kategori yakni penghianatan terhadap negara, korupsi,
peyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.[2]

Keberadaan Pasal 7A bertujuan untuk menghilangkan multitafsir dalam pemberhentian Presiden


dan/atau Wakil Presiden.[3] Kenyataan sejarah pemberhentian Presiden pada saat berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menimbulkan polemik ketatanegaraan
Indonesia. Perdebatan pemberhentian presiden yang mengacu kepada penggunaan Undang-
Undang Dasar 1945 sebelum diubah dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(selanjutnya disingkat MPR) menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum tata negara
Indonesia.

Hal ini dikarenakan pengaturan pemberhentian Presiden sebagaiman diatur dalam TAP MPR
III/MPR/1978[4] dan TAP MPR Nomor VII/MPR/1973[5] menimbulkan permasalahan hukum
tatanegara. Dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dijelaskan MPR dapat
memberhentikan Presiden dengan alasan atas permintaan sendiri. Apakah sama pengertian
berhenti pada Pasal 8 UUD 1945 dengan atas permintaan sendiri. Selain memberhentikan
Presiden karena atas permintaan sendiri, pada Pasal 4 TAP MPR Nomor III/MPR/1978 juga
terdapat alasan memberhentikan Presiden karena berhalangan tetap. Sedangkan yang dimaksud
dengan berhalangan tetap dalam TAP MPR Nomor III/MPR/1978 tidak dijelaskan apa
maksudnya. Tetapi jika dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973
dijelaskan yang dimaksud dengan berhalangan tetap adalah mangkat, berhenti atau tidak dapat
melaksanakan kewajiban dalam masa jabatan.

Apa yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973 sama dengan apa
yang diatur dalam Pasal 8 UUD 1945. Jika diasumsikan alasan penggantian Presiden yang diatur
dalam Pasal 8 UUD 1945 sama dengan Pasal 1 ayat (2) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973 maka
manakah yang berlaku, menurut Harun Alrasid maka yang berlaku Pasal 8 UUD 1945.[6] Selain
itu jika sama dengan Pasal 8 UUD 1945 berarti telah terjadi perubahan subtansi Pasal 8 UUD
1945. Hal ini dikarenakan Pasal 8 UUD 1945 tidak mengatur pemberhentian Presiden, Pasal 8
UUD 1945 mengatur penggantian Presiden.

Selain itu berdasarkan penjelasan UUD 1945 sebelum dimandemen dapat diberhentikan karena
melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Ketetapan MPR melalaui sidang
istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden. Akan tetapi, tidak ada aturan di bagian
manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa konsekwensi dari sidang
istimewa adalah pemberhetian Presiden.[7] Dasar alasan pemberhentian ini, menurut pendapat
beberapa ahli hukum tata negara mengandung pengertian Presiden diberhentikan karena adanya
alasan politik.[8]

Sedangkan prosedur pemberhentian Presiden melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan


Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat,[9] sebagaimana diatur di dalam
Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya
disingkat DPR) dalam hal menjalankan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan ini terkait
dengan hak DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 jo Pasal 77
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa
DPR mempunyai hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Dugaan Presiden melakukan
pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dalam hal hak menyatakan
pendapat yang dimiliki oleh DPR. Sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 77 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.[10]

Kewenangan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) dalam hal pemberhentian


Presiden dan/atau Wakil Prdiatur dalam Pasal 10 ayat (2) MK di dalam hal pengambilan
keputusan hukum yakni dalam hal memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR. Amar
putusan MK atas pendapat DPR sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama,
amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak diterima apabila tidak memenuhi syarat.
Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK
menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan tindakan yang dituduhkan.

Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan


pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbutan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR. MPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak MPR menerima usul tersebut. Dalam sidang Presiden diberikan kesempatan untuk
memberikan penjelasan. Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan Keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Akan tetapi, mekanisme pemberhentian presiden tersebut di atas masih menimbulkan


permasalahan hukum. UUD 1945 tidak mengatur lebih jauh mengenai makna alasan
pemberhentian dan secara teknis bagaimana prosedur pemberhentian. Mengenai alasan
pemberhentian UUD 1945 dalam Pasal 7A hanya menjelasakan Presiden dapat diberhentikan
apabila Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta pendapat bahwa
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. UUD 1945 tidak menjelaskan
ruanglingkup pengertian alasan-alasan tersebut. Pengertian-pengertian tersebut diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 memang diatur pengertian-
pengertian alasan pemberhentian. Akan tetapi, pengaturan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, masih memerlukan penjabaran lebih jelas seperti misalnya
penghianatan terhadap negara perlu adanya analisis akademis apa yang dimasud dengan
penghianatan terhadap negara. Begitu pula dengan makna perbuatan tercela, di dalam Pasal 10
ayat (3) yang dimasud dengan perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengertian perbutan tercela ini menimbulkan suatu
ketidak jelasan, apa yang menjadi suatu dasar perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
merendahkan martabatnya. Dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tidak dijelaskan lebih lanjut pengertian perbutan tercela. Menurut Satya Arinanto,
konstitusi tidak memiliki definisi yang baku tentang apa yang disebut perbuatan tercela. Namun,
istilah perbutan tercela lebih merupakan terminologi hukum pidana ketimbang norma agama
ataupun masyarakat.[11] Tapi apa maksudnya terminologi hukum pidana?

Selain alasan pemberhentian UUD 1945 juga tidak mengatur masalah teknis prosedur
pemberhentian. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan fungsi
pengwasan DPR, dan menjalankan fungsi pengawasan DPR sebagaiman dijelaskan di atas.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan apabila DPR menemukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden perbutannya menyimpang dari Pasal 7A maka DPR dapat minta pendapat MK.
Penyimpangan yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan fungsi
pengawasan DPR tersebut di atas apakah terhadap peristiwa hukum yang dilakukan sebelum atau
sesudah menjabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR di MK dan proses tersebut
menggunakan hukum acara tersendiri sebagaiman diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini berarti
proses persidangannya secara khusus,[12] apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan asas
hukum tata negara yakni asas persamaan di depan hukum (equality before the law).

Selain itu putusan MK berdasarkan Pasal 19 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai
Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat berupa permohonan tidak
diterima, membenarkan pendapat DPR atau permohonan ditolak. Selain itu Pasal 20 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 membuka kemungkinan diajukannya Presiden
dan/atau Wakil Presiden ke persidangan pidana, perdata dan/atau tata usaha negara, bagaimana
apabila peristiwa pidana yang dibuktikan di persidangan pidana tidak terbukti sedangkan
pendapat MK memutusakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melanggar hukum.

Apabila keputusan MK membenarkan pendapat DPR, maka MPR wajib menyelenggarakan


sidang untuk memutus usul DPR sebagaiman di jelasakan dalam Pasal 7B ayat (6). Terhadap
prosedur tersebut beberapa ahli hukum tatanegara berpendapat prosedur ini dapat menimbulkan
permasalahan. Pertama, bagaimana apabila MPR menyatakan bahwa Presiden tidak bermasalah
maka terjadi suatu perbedaan keputusan dengan MK. Kedua, dengan diberikannya kesempatan
kepada Presiden untuk menyampaikan penjelasan maka seolah-olah MPR adalah tingkat kedua
pembuktian pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden. Apakah hal ini dapat di artikan
bertentangan dengan prinsip supermasi hukum (supremacy of law).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan masih perlu adanya pengkajian yang
lebih mendalam mengenai permasalahan mekanisme pemberhentian Presiden. Walapun
pemberhetian presiden sering dianggap suatu keniscayaan yang berarti pasal-pasal pemberhetian
presiden lebih bersifat pasif bukan berarti penciptaan sistem yang lebih baik tidak diperlukan.
Maka, perlu adanya perunang kembali ketentuan-ketentuan pemberhetian presiden.

[1] Berdasarkan sidang tahunan MPR 1999 seluruh fraksi MPR membuat kesepakatan tentang
arah perubahan UUD 1945, yaitu: 1. Tidak merubah pembukaan UUD 1945; 2. Mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Mempertahankan sistem pemerintahan
Presidensiil (dengan menyempurnakannya sesuai ciri-ciri sistem presidensiil). 4. Memindahkan
hal-hal yang normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945; dan 5. Menempuh cara adendum
dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. KHN, Gagasan Amandemen UUD 1945
(suatu rekomendasi), (Jakarta: KHN, 2008), hlm. 170.

[2] Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32.

[3] Kalau semula, Presiden dapat diberhentikan karena alasan pelanggaran haluan negara yang
bersifat politis, maka sekarang ditegaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat
diberhentikan karena alasan hukum saja. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN, 2002), hlm. 10.

[4] Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang


Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Anatr Lembaga-
Lemabaga Tinggi Negara, TAP MPR Nomor III/MPR/1978, Pasal. 4; TAP MPR Nomor
III/MPR/1978 ini menggantikan TAP MPR Nomor VI/MPR/1973.

[5] Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Keadaan
Presiden dan/atau WakilPresiden Republik Indonesia Berhalangan, TAP MPR Nomor
VII/MPR/19783.

[6] Meskipun soal penggantian Presiden telah diatur di dalam UUD 1945, namun pada waktu
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu 1971 bersidang dalam bulan Maret 1973 telah
dikeluarkan Ketetapan Nomor VII/MPR/1973 yang mengatur soal pergantian Presiden.
Akibatnya, dalam hukum positif Indonesia terdapat dua kaedah mengenai pergantian Presiden
yaitu Pasal 8 UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Tap MPR Nomor VII/MPR/1973. Sesuai dengan
adagium hukum Lex superiori derogat legi interiori maka ketentuan tap MPR itu
dikesampingkan oleh ketentuan UUD yang tingkatannya lebih tinggi. Harun Alrasid, Pengisian
Jabatan…, Op. Cit., hlm. 100.
[7] Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Atara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung:
Mizan, 2007), hlm., 245

[8] Menurut Jimly Asshiddiqie saat memaparkan hasil kerja Tim Ahli Bidang Hukum Panitia Ad
Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR di Jakarta, pemberhentian Presiden pada masa
mendatang sebaiknya dilakukan bukan atas keputusan politik, melainkan cukup dengan alasan
telah melanggar hukum. “Presiden ke depan jangan lagi dijatuhkan karena alasan politik, tetapi
cukup karena alasan hukum”. Jimly Asshiddiqie, “Jangan Lagi Berhentikan Presiden Karena
Politik”, dalam Suara Pembaharuan (30 Maret 2001): 1.

[9] Mahkamah Kostitusi merupakan lembaga yang baru di Indonesia, Mahkamah Kostitusi
mendapat pengakuan secara konstitusional setelah perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar
1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 yang diatur di dalam Bab IX Pasal 24 ayat
(2). Indonesia, Op. Cit., Pasal 24. Perkembangan ide Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan
relatif baru di Indonesia. Bahkan di seluruh dunia, negara yang memiliki lembaga ini baru
tercatat 78 buah negara. Dalam perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern,
gagasan Mahkamah Kostitusi (constitusional court) ini di dunia, dapat disebut merupakan hasil
temuan dan kreasi abad ke-20. Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Kostitusi
(kompilasi ketentuan konstitusi, udang-undang dan peraturan di 78 negara), (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tatanegara UI), hlm. 1.

[10] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU
No. 27, LN No. 123 Tahun 2009, Pasal 77.

[11]Difinisi perbuatan tercela sebaiknya dalam pasal tersendiri, <http:// hukumonline.com


/detail.asp?id=8394&cl=Berita> diakses tanggal 30 Sepetember 2003.

[12] Winarno Yudho, ed all, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2005),
hlm. 4
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN RI MENURUT UUD 1945
(SETELAH PERUBAHAN UUD)

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 banyak merubah sistem hukum Indonesia, yang juga
mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ketentuan penting yang lahir dari
perubahan tersebut yakni mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk mempertahankan
sistem presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem presidensial. Selain itu, adanya
pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya pemikiran bahwa negara yang identik dengan
kekuasaan perlu adanya pembatasan kekuasaan dan adanya fungsi pengawasan dan
keseimbangan (checks and balances) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan
kekuasaan.
Mengapa pemilihan presiden langsung ? Tentunya dengan pemilihan presiden langsung, agar
Menuju Terciptanya Demokrasi Partisipatoris di Indonesia Perkembangan ke arah sistim
demokrasi partisipatoris muncul di sebagian besar negara-negara yang telah mengalami transisi
politis ke arah pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini tampak misalnya di negara-negara
Eropa Timur, bahkan di negara tetangga kita seperti di Thailand dan Filipina. Tumbuhnya
perkembangan ke arah demokrasi partisipatoris adalah hasil upaya rakyat untuk menciptakan
sistim pengawasan yang lebih efektif terhadap penyalahgunaan mandat rakyat oleh politisi, baik
pejabat pemerintah maupun anggota parlemen. Di Thailand dan Filipina, perkembangan ke arah
demokrasi partisipatoris semakin diperkuat dengan berkembangnya masyarakat madani setelah
tumbangnya rezim otoriter di kedua negara tersebut. Perlu ditekankan bahwa tumbuhnya
demokrasi partisipatoris bukanlah untuk menggantikan demokrasi perwakilan, melainkan untuk
memperkukuh demokrasi perwakilan dan membuatnya semakin efektif dalam mencerminkan
kehendak rakyat.
Mekanisme pemilihan langsung baik di tingkat lokal maupun nasional untuk lembaga eksekutif
maupun legislatif, merupakan salah satu komponen penting dari bentuk demokrasi partisipatoris.
Dengan menerapkan sistim pemilihan langsung, rakyat diharapkan akan dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya sebagai warga negara yang aktif berpartisipasi dalam menentukan agenda
pembangunan negara dan bukan hanya sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri.
Kelebihan Pemilihan Presiden Langsung :
Pertama Pemilihan Presiden langsung diharapkan akan mengurangi distorsi-distorsi yang
dimasalah-masalah yang dihadapi pada Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR. Beberapa
kelebihan dari sistim ini ialah : Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang
sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung.
Legitimasi, merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang
mengalami krisis politik dan ekonomi. Seperti kita ketahui, krisis legitimasi yang telah
menggerogoti negara kita telah mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang
berkepanjangan.
Kedua Presiden terpilih tidak perlu terikat pada konsesi pada partai-partai atau faksi-faksi politik
yang telah memilihnya. Artinya, Presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat
menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Apabila Presiden terpilih tidak dapat mengatasi
kepentingan-kepentingan parpol, maka kabinet yang dibentuk cenderung merupakan kabinet
koalisi parpol dan bukan kabinet kerja. Padahal pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini,
yang kita perlukan adalah kabinet kerja. Ketiga Sistim ini menjadi lebih accountable
dibandingkan sistim yang sekarang digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya
melalui MPR yang tidak seluruhnya merupakan anggota terpilih hasil Pemilu. Rakyat dapat
menentukan pilihannya berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Apabila Presiden yang
terpilih ternyata kemudian tidak memenuhi harapan rakyat, maka pada pemilihan berikutnya,
kandidat yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali. Prinsip ini merupakan prinsip
pengawasan serta akuntabilitas yang paling sederhana dan dapat dimengerti baik oleh rakyat
maupun politisi.
Keempat Checks and Balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dapat lebih
seimbang karena di masa yang akan datang, anggota lembaga legislatif juga akan dipilih
langsung dan yang kelima Kriteria calon Presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat
yang akan memberikan suaranya.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres
pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun. Jika dalam Pilpres didapat suara >50%
jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden
terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan
yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran
Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket pasangan
melalui pemilihan umum yang diadakan pada setiap lima tahun sekali, pasal 6A ayat (1) UUD
1945 menyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat”. Di luar jadwal ketatanegaraan resmi seperti di maksud oleh pasal 7 UUD 1945, hanya
dapat diadakan pemilihan secara tidak langsung. Oleh karena itu, apabila terdapat lowongan
dalam jabatan presiden dan wakil presiden berhenti atau diberhentikan di tengah masa jabatan,
maka penggantinya di pilih oleh MPR. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau dipilih secara tidak langsung oleh MPR.
Dapat pula terjadi keadaan bahwa bagaimana apabila terdapat lowongan jabatan wakil presiden.
Hal itu dapat terjadi karena wakil presiden yang sedang menjabat tidak dapat melanjutkan
tugasnya yang disebabkan dua kemungkinan. Pertama, karena yang bersangkutan diberhentikan,
mengundurkan diri, karena sakit, atau karena meninggal dunia. Kedua, karena wakil presiden
harus menggantikan presiden yang diberhentikan, mengundurkan diri, sakit, atau meninggal
dunia dalam jabatannya, sehingga kedudukan wakil presiden menjadi lowong karenanya. Dalam
hal terjadi kekosongan wakil presiden seperti dimaksud, maka selambat-lambatnya dalam waktu
60 hari MPR mengadakan siding untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan
oleh presiden.
Dalam sistem pemerintahan presidentil, wakil presiden adalah posisi yang harus selalu melekat
dengan adanya presiden. Inilah yang membedakan antara wakil presiden sebagai pembantu
presiden dengan menteri sebagai pembantu presiden. Menteri tidak dapat mengantikan presiden
secara otomatis tetapi wakil presiden karena posisi dan kedudukannya dapat menggantikan
presiden yang berhalangan tetap. Oleh karena itu, posisi Wapres harus diisi untuk mengantisipasi
segala kemungkinan yang akan timbul yang menjadikan Presiden berhalangan tetap.
Kalau dicermati secara mendalam hukum positif tentang pengisian jabatan wakil presiden, paling
tidak ada tiga ketentuan yang mengisyaratkan bahwa jabatan ini tidak boleh dibiarkan kosong.
Pertama, Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya
presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Ketentuan ini tidak memberikan keterangan
lebih lanjut apakah kewajiban ini hanya untuk presiden yang baru terpilih atau juga berlaku
kepada wakil presiden yang menggantikan posisi presiden. Ini terkait dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden
sampai habis waktunya. Kedua, Pasal 50 ayat (3) huruf c Tap MPR No. II/ MPR/ 2000 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR yang menyatakan bahwa MPR dapat mengadakan Sidang Istimewa
untuk mengisi jabatan presiden dan/ atau wakil presiden yang berhalangan tetap. Ketiga, Pasal
98 ayat (5) Tap MPR No. II/ MPR/ 2000 secara tegas mengamanatkan bahwa apabila MPR
mengadakan SI untuk memberhentikan presiden maka terhadap wakil presiden berlaku ketentuan
(a) MPR menetapkan wakil presiden sebagai presiden sampai habis sisa masa jabatannya, (b)
MPR memilih dan mengangkat wakil presiden baru sampai habis sisa masa jabatannya. Ketiga
ketentuan di atas sudah memberikan keterangan yang sangat jelas bahwa pengisian jabatan
Wapres adalah merupakan keharusan dalam proses penyelenggaraan negara.
Dalam peraturan rancangan Tata Tertib MPR yang disahkan pada Sidang Paripurna, diatur
secara khusus aturan mengenai tata cara pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden dalam hal
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden.
Aturan tersebut termaktub dalam Bab XIX. Berikut adalah aturan lengkapnya:
Bab XIX Tata Cara Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Dalam Hal Terjadi Kekosongan
Jabatan Wakil Presiden
Pasal 112
1. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna
MPR dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden.

2. Waktu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan di dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, pimpinan Fraksi-fraksi dan Pimpinan
Kelompok Anggota.
3. Rapat gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 3x24 (tiga
kali dua puluh empat) jam setelah terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden.
4. Pimpinan MPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden tentang hasil putusan
Rapat Gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh
empat) jam setelah Rapat Gabungan dilaksanakan.
5. Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampirkan dengan syarat-syarat
yang harus dilengkapi oleh calon Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Presiden mengusulkan 2 (dua) calon Wakil Presiden beserta kelengkapan syarat-syarat kepada
Pimpinan MPR, paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan Sidang Paripurna
MPR.
7. Paling lambat 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari
bagi Presiden menyerahkan usul 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), MPR menyelenggarakan Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan
Kelompok Anggota untuk membentuk Tim Verifikasi.
8. Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bertugas melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
9. Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) : a. Terdiri atas sebanyak-banyaknya 5
persen dari anggota yang susunannya mencerminkan fraksi dan Kelompok Anggota secara
proporsional ; b. Keanggotaannya ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan MPR ; c. Masa
kerjanya paling lama 7 (tujuh) hari sejak Presiden menyerahkan kelengkapan syarat-syarat bakal
calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ; d. Dapat membentuk tim ahli; dan e.
Melaporkan hasil kerjanya kepada Pimpinan MPR.
10. Dalam hal laporan hasil kerja Tim Verifikasi menyatakan bahwa syarat-syarat dari salah satu
atau 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan Presiden belum lengkap, Pimpinan MPR
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden untuk memperbaiki dan/atau melengkapi
dalam waktu paling lambat 4 (empat) hari sebelum Sidang Paripurna MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan.
11. Dalam hal syarat-syarat masih dinyatakan belum lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) maka Pimpinan DPR dapat memperpanjang masa kerja Tim Verifikasi sampai dengan 1 x
24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diselenggarakan.
12. Dalam hal syarat-syarat masih dinyatakan belum lengkap setelah masa kerja Tim Verifikasi
diperpanjang sebagaimana dimaksud pada ayat (11) maka Pimpinan mengundang Rapat
Gabungan untuk menunda penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
13. Penundaan penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (12) tidak
melebihi batas waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
14. Pimpinan MPR menetapkan 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh Presiden
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi Calon Wakil Presiden yang telah memenuhi
persyaratan untuk dipilih berdasarkan laporan hasil kerja Tim Verifikasi.
15. 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (14) wajib menyampaikan
pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang Paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
16. Calon Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di Sidang
Paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.
17. Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang untuk 1
(satu) kali lagi.
18. Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (17) hasilnya tetap sama, Presiden
memilih salah satu diantara calon Wakil Presiden.
Pasal 113
Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 ayat (16) atau ayat (18)
ditetapkan dengan Ketetapan MPR.
Pasal 114
1. MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam padal 112 ayat (16) atau ayat
(18) dalam Sidang Paripurna dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan Sidang Paripurna MPR.
2. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil
Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Sidang
Paripurna DPR.
3. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil
Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Pimpinan
MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan MA.
4. Berita Acara Pelantikan ditandatangani oleh Wakil Presiden dan Pimpinan MPR atau
Pimpinan DPR.
Jika presiden dan wakil presiden berhenti, atau diberhentikan, atau karena tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, maka pemilihan presiden dan wakil
presiden dilakukan oleh MPR selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari dari dua pasangan calon
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai dengan
berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang gantikan.
Presiden dan wakil presiden yang terpilih, baik secara langsung melalui pemilu ataupun secara
tidak langsung melalui MPR, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, seperti di tentukan
dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945. jadi perubahan ketiga UUD RI tahun 1945
menetapkan bahwa sanya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat ( pasal 6A UUD NRI tahun 1945). Pasal 7 UUD NRI tahun 1945
menegaskan bahwasanya presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan.
Presiden tidak dapat di jatuhkan dalam masa jabatannya, kecuali DPR mengusul kepada MPR
baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhapa Negara,
korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden seperti yang terdapat
pada pasal 7A “presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh majlis permusyawaratan rakyat atas usul dewan perwakilan rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebaagai presiden dan/atau wakil presiden”.
Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden (dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR), DPR dapat mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi, jika
mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.
Hal demikian itu yang kita sebut atau istilahkan Impeachment, Konsep Impeachment lahir di
zaman Mesir kuno dengan istilah ieasangelia,yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan
Inggris dan dimasukkan kedalam konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke- 18. secara konsep,
impeachment tidak hanya berarti prosedur pemberhentian presiden di tengah masa jabatanya,
tetapi juga pemecatan bagi para pejabat tinggi negara lainnya termasuk hakim agung karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sistem tata negara Inggris memungkinkkan impeachment dapat diterapkan oleh House of
Commons kepada siapa saja baik akibat kasus kriminal ataupun pelanggaran konstitusi, apakah
si tertuduh itu bangsawan atau rakyat jelata. Sistem di Inggris menerapkan sanksi pidana dengan
pelaksanaan impeachment, sedangkakn sistem impeachment di Amerika Serikat lebih cenderung
memperbaiki atau mengobati terhadap fungsi yang ada (remedial in functions). Agar tidak
mudah di-impeach, lembaga kepresidenan diperkuat dengan pengaturan yang tegas dalam
amandemen UUD 1945 Pasal 7A yang menyatakan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”.
Oleh karena itu menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen (DPR, DPD, dan MPR),
adalah mutlak dilakukan agar harmonisasi hubungan bernegara dalam menjaga efektifitas kerja
pemerintahan dalam tata kelola negara berjalan dengan baik. Sistem pemerintahan presidensiil
sebagaimana diatur dalam UUD 1945, menempatkan hubungan antara presiden dengan parlemen
dalam posisi yang setara. Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR, demikian sebaliknya. Karena
presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen,
tetapi bertanggung jawab kepada rakyat, melalui mekanisme pergantian masa jabatan yang tetap
selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya dalam dua kali masa
jabatan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, yang berbunyi “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan demikian, kedudukan
pesiden adalah kuat dan dilindungi oleh konstitusi. Sekalipun demikian, presiden adalah
manusia, sehingga dalam dirinya tidak akan pernah lepas dari salah atau alpa.
Prosedur (Acara)
Sebagaimana di dalam UUD 1945 pasal 7A dan 7B disebutkan:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang hadir dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan Seadiladilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan
Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya
2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Peran Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus paling lama 90 hari
setelah permintaan diterima. Jika terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak usul diterima. Keputusan diambil dalam
sidang paripurna, dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota, disetujui sekurang-
kurangnya 2/3 jumlah yang hadir, setelah Presiden/Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan. Apabila usul presiden diterima, Presiden/Wakil Presiden kemudian
diberhentikan.
Pemberhentian presidendan / atau wakil presiden dimaksud merupakan kewenangan
konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impicher, mempersiapkan data bukti secara
cermat. Tentu saja, DPR perlu mempersiapkan tim investigasi yang sebelum mengajukan
pendapatnya berkenaan hal pelanggaran hukum dan atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh
presiden dan atau wakil presiden.
Dalam pada, ketua mahkamah konstitusi dalam suratnya tertanggal 15 juni 2004 nomor 94-
95/MK.KA/VI/2004 kepada ketua MPR, ketua DPR dan pimpinan DPD (sekertaris jendral
MPR) memberikan saran guna perubahan peraturan tata tertib DPR dan MPR, antara lain dengan
mengantisipasi penjabaran prosedur dan tata cara pemberhentian presiden dan wakil presiden
dalam peraturan tata tertib masing-masing, termasuk peraturan tata tertib DPD.
Ketua mahkamah konstitusi memandang bahwa secara menyeluruh, mekanisme imphicment
memerlukan undang-undang tersendiri. Undang-undang tersebut bias saja dinamakan undang-
undang tentang pemberhentian kepala pemerintahan. Pasal 7B ayat (1) UUD NRI tahun 1945
menegaskan bahwa usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan DPR
kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil
presiden melakukan pelanggaran hokum, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa
presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden (pasal 7B ayat 91) UUD NRI tahun 1945.
Putusan yang diminta DPR kepada mahkamah konstitusi adalah putusan hokum dan bukan
putusan politik. Berbeda halnya dengan putusan mahkamah konstitusi maka putusan MPR yang
berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden adalah putusan politik, hanya
MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden dalam masa jabatannya (pasal 7B Ayat (6), (7) UUD NRI tahun 1945).
Keputusan MPR yang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatan
dimaksud merupakan putusan politik, bukan putusan peradilan, pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden dalam masa jabatannya adalah kewenangan konstitusional MPR, bukan
kewenangan peradilan. Walaupun telah jatuh putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan
bahwa sanya pendapat DPR tentang pelanggaran hokum oleh presiden dan/atau wakil presiden
telah terbukti, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik
dalam rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan presiden dan/atau
wakil presiden sehingga rapat memandang presiden dan/atau wakil presiden tidak perlu
diberhentikan.
Rapat paripurna MPR terlebih dahulu memberi kesempatan kepada presiden dan/atau wakil
presiden menyampaikan penjelasan sebelum rapat paripurna menjatuhkan putusan, penjelasan
sebagaimana dimaksud pasal konstitusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan
diri bagi presiden dan/atau wakil presiden. Tidak berarti putusan MPR menyampingkan putusan
mahkamah konstitusi, tetapi hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya itu memang merupakan kewenangan dari MPR.

Kesimpulan
Prosedur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden menurut pasal 7A dan 7B UUD NRI
tahun 1945 merupakan prosedur konstitusi, konstitusi harus ditegakkan secara tidak kepalang
tanggung. Tentunya kita berharap bahwa tidak bakal ada presiden dan/atau wakil presiden yang
diberhentikan secara tidak normal di negri ini. Lagu pula, para anggota dewan seyogyanya
mengantarkan rakyat banyak pada pemerintahan yang stabil, harmonis serta konstitusional. Para
anggota dewan adalah pula negarawan. Manuel queson, politikus ulung dari parlemen philipina,
pernah berkata “kesetiaan saya terhadap partai berakhir tatkala dimulai kesetiaan saya terhadap
Negara”.

Makalah Politik Hukum (Mekanisme Pemberhentian Presiden)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang
menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses
peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang
diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun
1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.

Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai pemberhentian Presiden
dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden tersebut
disebutkan secara terbatas dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau
Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di
negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat
ketentuan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifay yuridis dan hanya mengacu pada ketentaun normatif-
limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.

Mekanisme pemberhentian presiden dalam UUD 1945 setelah perubahannya yang keempat
mempunyai beberapa tingkatan dalam pelaksanaannya. Mekanisme pemberhentian Presiden yang
berdasarkan UUD 1945 setelah perubahannya yang keempat mungkin masih belum dipahami secara
seksama oleh masyarakat. Masyarakat masih terpaku pada konsep kekuasaan presiden sebelum adanya
perubahan dalam UUD 1945.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat makalah berjudul “Mekanisme
Pemberhentian Presiden”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden dan atau Wapres sebelum dan sesudah
perubahan UUD 1945?
1.2.2 Bagaimana peran DPR dan DPD sebagai anggota dari MPR dalam proses impeachment?
1.2.3 Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya yang sesuai dengan
sistem ketatanegaraan Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lembaga Kepresidenan

Sebelum perubahan, struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap
kelembagaan kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga puluh tujuh
pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan (pasal 4-15 dan pasal 22). Selain itu
terdapat pula ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin terlepas dari Presiden. Setelah perubahan
(empat kali perubahan), jumlah pasal yang secara langsung mengenai lembaga kepresidenan menjadi 19
pasal dari 72 pasal (diluar tiga pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan). Secara kualitatif
jumlah ketentuan baru berkurang dibandingkan ketentuan lama. Walaupun demikian, mengingat
berbagai macam alat kelengkapan negara dan hal-hal lain yang diatur dalam UUD, pengaturan mengenai
jabatan kepresidenan tetap dominan dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan lain.

UUD 1945 memberikan kedudukan yang kuat kepada kepada lembaga kepresidenan. Presiden
adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga
menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan
dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi)[1] dan lain sebagainya.

2.2 Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945


Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur
tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan suara terbanyak [Pasal 6 ayat (2)] dan
tentang penggantian jabatan Presiden oleh Wakil Presiden dalam hal Presiden mangkat, berhenti, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8).

Ketentuan tentang pemberhentian terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 tetapi hanya terkait
dengan Presiden, sedangkan untuk Wakil Presiden tidak ada ketentuan dalam Penjelasan UUD 1945.
Penjelasan angka VII paragraf ke-3 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan:

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden
(berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya
merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan
Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa
Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang Undang Dasar atau oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar
bisa memininta pertanggungjawaban dari Presiden.

Ketentuan lebih lanjut mengenai persidangan istimewa diatur dengan Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/1978 yang menyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya dengan
alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.[2]

2.3 Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Sesudah
Perubahan UUD 1945

Impeachment berbeda-beda di setiap negara. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan masing-


masing dan dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang menghantarnya pada pilihan konsep yang
diterapkan saat ini. Di Amerika misalnya, impeachment dapat diajukan terhadap seluruh pejabat
publik. Filipina, konstitusinya secara limitatif menyebutkan bahwa yang dapat di-impeach adalah
Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota (Hakim) Mahkamah Agung, anggota Komisi Konstitusi, dan
ombudsman.

Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa yang dapat di-impeach adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Selengkapnya Pasal ini
berbunyi:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.” [3]
Dengan demikian ada beberapa alasan yang menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Indonesia dapat di-impeach, antara lain:

 Terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa; pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.

 Melakukaan perbuatan tercela.

 Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 7A diatas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapatnya. Pendapat DPR ini adalah dalam rangka melaksanakan fungsi
pengawasan yang dimilikinya.[4]

Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkahah Konstitusi ini hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[5]

Paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR diterima, Mahkamah Konstitusi wajib
memeriksa, mengadili dan memutus permintaan tersebut.[6] Dan apabila Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan hal-hal sebagaimana
diatur dalam Pasal7A, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut
kepada MPR.[7]

Paling lama tiga puluh hari sejak usul DPR diterima, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutus usul tersebut.[8] Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna tersebut.[9]

2.4 Peran DPR dan DPD Sebagai Anggota MPR dan Dalam Proses Impeachment
Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi
negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan
fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Apabila DPR dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR
menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 maka DPR
setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya mengajukan tuntutan impeachment tersebut
kepada MK.

Mengenai 3 alasan yang terdapat dalam pasal 8 UUD 1945 juga masih terdapat berbagai
pendapat. Alasan yang pertama yakni apabila seorang Presiden mangkat atau meninggal, ia akan
digantikan oleh Wakil Presiden. Mengenai alasan ini sudah jelas, seseorang yang dinyatakan mangkat
atau meninggal secara umum sudah dapat dimengerti karena meninggal merupakan suatu keadaan
alamiah. Meninggalnya seseorang memang merupakan peristiwa hukum, sebagaimana diketahui dalam
teori, pristiwa hukum dapat dibagi atas dua hal yakni ada yang merupakan perbuatan subyek hukum dan
ada yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum. Meninggalnya sesorang merupakan peristiwa
hukum yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum atau suatu keadaan tertentu.

Alasan yang kedua jika seorang Presiden berhenti. Pengertian berhenti mengandung konotasi
atas kemauan sendiri bukan dipaksakan. Jika dilihat pendapat Jimly Asshidiqqie pengertian berhenti jika
dikaitkan dengan berhentinya Presiden Soeharto dapat diartikan sebagai tindakan atau pernyataan
mengundurkan diri sepihak karena alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.[10]

Sedangkan yang ketiga jika seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya maka ia diganti
oleh Wakil Presiden. Mengenai pengertian tidak dapat melakukan kewajibannya menimbulkan suatu
permasalahan, apa yang membuat seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya. Dalam
Penjelasan UUD 1945 tidak terdapat apa yang dimaksud dengan tidak dapat melakukan kewajibannya.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak dapat melakukan kewajibannya mengandung
pengertian[11]:
1. Jika Presiden karena suatu sebab mengajukan permintaan berhenti/mengundurkan diri kepada MPR.
Jadi dasar hukum pemberhentiannya dari jabatan Presiden adalah Presiden tidak dapat lagi
melaksanakan kewajibannya.
2. Jika Presiden dalam suatu keadaan kesehatan atau keadaan lainnya yang sedemikian rupa, sehingga atas
dasar pertimbangan atau penilaiaan Dokter atau pihak yang berkompeten yang dapat bertanggung
jawab secara hukum keadaan tidak dapat dipulihkan kembali.
3. Jika terjadi perubahan dalam kemampuan Presiden untuk melaksanakan kewajibannya.
Alasan tidak dapat melaksanakan kewajibannya pada beberapa negara merupakan salah satu
alasan dari pemberhentian Presiden dalam arti luas. Tetapi, walaupun termasuk dalam alasan
pemberhentian Presiden bukan merupakan pendakwaan terhadap presiden hanya merupakan
penggantian Presiden. Memang pada alasan Presiden tidak dapat melasanakan kewajibannya diperlukan
pembuktian terhadap presiden, tetapi pembuktian tersebut bukan merupakan pendakwaan Presiden,
seperti yang terjadi apabila presiden melanggar hukum .

Banyak dimensi-dimensi berpikir yang melingkupi arti tanggungjawab dan pertanggungjawaban,


termasuk didalamnya hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis. Oleh karena itu, timbul kesulitan
untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Hal terpenting untuk
menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu
tanggung jawab lahir dan membebani manusia.[12]

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Pasal 8 UUD 1945
tidak mengatur pemberhentian Presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur penggantian presiden,
yakni hal terjadinya kekosongan jabatan Presiden, dengan asumsi bahwa apabila terjadi kekosongan
jabatan Presiden pada masa jabatannya diganti dengan Wakil Presiden dengan alasan seperti yang
dijelaskan di atas.

Pemberhentian Presiden tidak hanya dapat terjadi karena alasan pidana tetapi dapat pula terjadi
karena alasan tatanegara. Jika di lihat konstitusi beberapa negara, pelanggaran tatanegara (Violations of
Constitutions) merupakan alasan terjadinya impeachment berarti impeachment tidak selalu identik
dengan alasan pidana tetapi juga tatanegara. Oleh karenanya, menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan
yang dianut dalam Penjelasan UUD 1945 dan ketentuan impeachment sama-sama merupakan prosedur
pemanggilan persidangan parlemen yang terkait dengan dakwaan yang dilakukan oleh kepala
pemerintahan. Hanya saja, proses penilaian (judgment) yang mendasari pemangilan berbeda. Jadi
dapatlah dikatakan bahwa pelanggaran tatanegara dapat pula dijadikan alasan pemberhentian Presiden
seperti yang diatur dalam Penjelasan UUD 1945.

Minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan
pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul
menyatakan pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat Paripurna,
kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.

Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam
Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam
Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna
tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan untuk
memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.

Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah,
anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil
Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan
kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang
mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.

Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut
secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan
hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang itu.
Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk
Panitia Khusus.

Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh
Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Bila Keputusan
Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut
disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan
membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Tahap kedua berada di tangan MK. Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi
putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment
berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat
DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada
MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui
keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR. MPR setiap waktu dapat memberhentikan
presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman
pemecatan (op straffe van ontslag).[13]

Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan


Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut. Tata cara
Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI
nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI).

Di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi impeachment menurut UUD NKRI 1945
adalah DPR, MK, dan MPR. Namun jika ditelaah lebih dalam, masih ada lembaga negara yang
sebenarnya memiliki peran dalam impeachment yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD sebagai
kamar perwakilan rakyat dalam kekuasaan legislatif negara memiliki wewenang yang jauh di
bawah/lebih lemah dari DPR, padahal kedudukan DPR dan DPD dalam konstitusi seimbang. DPD
memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya sidang istimewa MPR dan memberikan
suara terhadap penentuan berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses
impeachment dilakukan di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak dapat terbentuk apalagi
untuk menyelenggarakan sidang istimewa. MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.[14]
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan lembaga yang tersendiri di samping fungsinya
sebagai rumah penjelmaan rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah harus dibedakan
hakikatnya dan prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Maksudnya ialah agar
seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
terdiri atas anggota kedua dewan itu. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berdiri sendiri,
di samping terdiri atas kedua lembaga perwakilan itu menyebabkan struktur parlemen Indonesia, terdiri
atas tiga pilar yaitu MPR, DPR dan DPD (trikameral) yang sama-sama mempunyai kedudukan yang
sederajat dengan Presiden dan pelaksana kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.[15]

DPR melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk segala tindakan-


tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden
telah melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat 2 Tap MPR No.III/MPR/1978, DPR
menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa
apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR
menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua
tersebut tidak diindahkan oleh Presiden, maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat
meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Sebenarnya lembaga negara yang mengakomodasi impeachment tidak hanya DPR, MK, dan MPR
tetapi juga DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang harus diberikan wewenang oleh konstitusi. DPD
memiliki peran untuk menyetujui pendapat DPR untuk diselenggarakan Sidang Istimewa MPR. Peran
DPD yang menurut penulis sangat penting ialah ketika diambil suara mayoritas yakni 2/3 suara dari ¾
anggota MPR yang hadir dalam Sidang Istimewa. Kita tahu bahwa MPR merupakan lembaga negara yang
secara normatif berdiri sendiri sejajar dengan DPR dan DPD, namun dalam kesehariannya MPR tidak
melakukan tugas apapun karena anggota MPR ada jika anggota DPR dan DPD bergabung untuk
menyelanggarakan sidang.

Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka
Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan tersebut,
MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/
atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian
presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan
adalah terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk menilai
pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden tersebut.

Dalam pengambilan keputusan di tingkat MPR ini, anggota DPD memiliki otoritas untuk
menyetujui atau tidak bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya. Jika
anggota DPD yang tergabung dalam Rapat Paripurna tidak menyetujui, maka pendapat DPR dapat
dimentahkan dan proses impeachment gagal untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden
dari jabatannya.

2.5 Peran Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment

Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B
ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR
dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan
berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan
dalam pasal 7A UUD 1945.

Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus
benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses
impeachment di MK adalah pendapat DPR.

MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR
yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses
impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk
memberi justifikasi secara hukum.
Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan
dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan
diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan
konstitusional atau tidak.

Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan,
yaitu :

1. Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak
memenuhi syarat.
2. Amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden
terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.
3. Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[16]

Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses
konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeahcment) sebagaimana


diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh
Indonesia. Karena melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah
diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang konstitusional. Hal ini berbeda
dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat
diberhentikan jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan-kebijakannya tidak diterima oleh
MPR. Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensiil yang menghendaki
terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, mekanisme impeachment yang digulirkan melalui
perubahan keempat Undang-Undang Dasar merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan
pemerintahan yang stabil.

Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan
hukum, keadilan, dan kebenaran seolah dikesampingkan dalam mekanisme impeachments sebagaimana
diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam mekanisme impeachment, putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat
DPR tidak bersifat mengikat. Tidak ada satu klausul pun dalam Konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah dalam hal ini.
Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja
“dibatalkan” oleh putusan politik.

3.2 Saran

1 Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebaiknya tidak mengutamakan keputusan
politik belaka melainkan juga keputusan hukum mengingat Indonesia merupakan negara hukum.
2. Dengan adanya putusan MK yang tidak mengikat menunjukkan bahwa politik masih lebih diutamakan
sedangkan hukum justru dikesampingkan, sehingga sebaiknya hukum harus diletakkan sebagai hal yang
utama dan putusan MK haruslah bersifat final dan mengikat sehingga MPR yang merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia hanya merupakan lembaga yang menetapkan putusan MK tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pemberhentian dan Penggantian Presiden, 2000, Pusat Studi HTN: Jakarta.

Manan , Bagir, 2006, Lembaga Kepresidenan, Edisi Revisi, 2006, FH UII Press: Yogyakarta.

___________, Teori dan Politik Konstitusi, 2004, FH-UII PRESS: Yogyakarta.

Suny, Ismail, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, 1981, Fakultas Hukum USU: Medan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, 1996, Gema Insani Press: Jakarta.

[1] Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[2] Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978

[3] Pasal7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[4] Pasal7B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[5] Pasal7B ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[6] Pasal7B ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[7] Pasal7B ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[8] Pasal7B ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[9] Pasal7B ayat (7) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[10] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden” Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000, hlm.
130.

[11] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”, Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000 ,
hlm. 131-132.

[12] Ismail Suny, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981,
hal. 30-31.

[13] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
hal. 102.

[14] Pasal 2 ayat (1) 1945 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[15] Jimmly Asshiddiqie, 2005:86-90

[16] Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai