TUGAS 1
Gus Dur dimakzulkan pada Juli 2001, dua tahun setelah dia memerintah. Itu merupakan
puncak dari rentetan ketegangan antara eksekutif dan legislatif.
Gus Dur sempat mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi pembubaran MPR/DPR,
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu
satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang
Istimewa MPR. Dekrit tersebut ditolak dan malah ujung-ujungnya Gus Dur dimakzulkan.
Akan tetapi impeachment semacam itu, dinilai tidak akan dengan mudah terjadi pada masa
sekarang ini. "Sangat susah sekarang. Beda dengan yang dulu, pada waktu zamannya
Gus Dur," kata Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
https://news.detik.com/berita/d-2714843/beda-dengan-era-gus-dur-ini-alasan-pemakzulan-
kini-sulit- untuk-dilakukan/1
1) Pemakzulan terhadap Gus Dur terjadi sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk. Berikan
analisis anda kedudukan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden saat ini. Sertakan dasar hukumnya.
Jawaban:
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana
disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan, tindak
pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kewajiban MK Memberikan Putusan atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban MK yang diatur lebih
lanjut dalam Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK wajib memberikan putusan
atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Secara lengkap dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan sebagai berikut:
"MK wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945".
Kewenangan MK ini dijalankan apabila terdapat permohonan dari DPR atas dugaan
Presiden mantan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela dan atau ketika ada dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Pelanggaran yang disebutkan di atas dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK seperti berikut.
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD Tahun 1945.
Jadi, jika pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah
melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh
MK. DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK. Dengan demikian salah satu
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu mengatur tentang
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dikenal dengan
istilah impeachment.
Proses pelaksanaan impeachment sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945,
BAB III Pasal 7B adalah sebagai berikut :
a. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan pendapat dewan Perwakilan Rakyat, bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan / atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupuan telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksnaan
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan rakyat.
c. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang – kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna, yang
dihadiri oleh sekurang – kurangnya 2/3 jumlah anggota dewan perwakilan
Rakyat.
d. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil –
adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan rakyat tersebut paling lama sembilan
puluh hari setelah permintaan Dewan perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.
e. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
f. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
g. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna MPR dihadiri oleh sekurang – kurangnya ¾ dari
jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang – kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Impeachment deiawali dengan Hak Angket (penyelidikan) oleh DPR setelah DPR
melaksanakan Hak Interpelasi (bertanya kepada Presiden). Permohonan Hak
Angket bisa diajukan minimal 10 anggota dean disetujui Rapat Paripurna. Rapat
paripurna yang membahas impeachment minimal dihadiri ¾ jumlah anggota DPR dan
disetujui 2/3 anggota yang hadir itu. Jika disetujui pendapat DPR tentang
pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi. Kalau mahkamah Konstitusi menyatakan pendapat DPR
benar, DPR kembali menggelar Rapat Paripurna untuk meminta persetujuan
mengajukan ke MPR.
2) Berikan analisis anda, atas alasan yang menyebabkan impeachment kini tidak lagi
mudah.
Jawaban:
Impeachment adalah istilah asing yaitu bahasa Inggris yang berasal dari kata
“impeach” yang artinya adalah mendakwa, mencurigai, menuduh, meragukan. To
impeachment dalam bahasa Inggris artinya mendakwa untuk meminta
pertanggungjawaban. Jadi, impeachment berarti permintaan pertanggungjawaban
seperti yang diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain impeachment juga dapat
diartikan sebagai sebuah permintaan pertanggungjawaban kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden, jika dicurigai/diduga telah melakukan hal – hal yang bertentangan
dengan UUD 1945.
Namun pelaksanaan impeachment adalah bukan hanya sekedar pertanggungjawaban
formalitas saja, mengingat dalam proses impeachment itu sendiri dilaksanakan
berdasarkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden berdasarkan konstitusi. Hal ini harus dapat dibuktikan secara
hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
Jadi, alasan yang menyebabkan impeachment kini tidak lagi mudah karena:
a. Proses pelaksanaan impeachment lebih rumit dibandingkan sebelum adanya MK,
jika DPR merasa presiden melanggar UUD 1945, DPR membawa hal tersebut ke
MK, sebab alasan pemakzulan harus disetuhui terlebih dahulu oleh MK. Mahkamah
Konstitusi akan mengkaji alasan-alasan berdasarkan bukti-bukti yang ada untuk
selanjutnya menentukan apakah alasan untuk memakzulkan itu bisa diterima atau
tidak. Selanjutnya oleh MK diputus, ya atau tidak. Kalau diputus iya dikembalikan ke
DPR, DPR mengundang MPR untuk meresmikan, baru bisa MPR menyetujui. Kalau
sebelum adanya MK, cukup dari DPR langsung ke MPR.
b. Presiden dipilih Langsung
Faktor yang membedakan adalah keluarnya UU 23 Tahun 2003, yang mengatur
mengenai mekanisme Pilpres secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala negara
tak lagi dilakukan oleh MPR. Pilpres langsung pertama yang dilakukan adalah pada
2004, yang menelurkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai
pemenang. Terkait dengan sistem pemilihan langsung ini, Wakil Ketua MK Arief
Hidayat mengatakan, hal itu akan membuat semakin kecil peluang untuk melakukan
impeachment terhadap presiden saat ini. Hal ini berbeda dengan dulu, pada waktu
zaman presiden Abdurrahman Wahid.
c. impeachment harus punya Dasar Yuridis
Upaya pemakzulan saat ini tidak cukup dengan adanya dasar pertimbangan politik
semata, sebab yang harus dipertimbangkan juga adanya dasar yuridis yang kuat.
Menurut mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie bahwa dalam sistem presidensial murni
seperti yang diberlakukan di Indonesia saat ini, dianut adanya prinsip gabungan
antara hukum dan politik.
2. Pada 12 Februari 2021 Muhamad Taufiq, S.Kom. mengajukan permohonan pengujian
materiil Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 tentang Kemakmuran
Rakyat dan Perubahan Pasal- Pasal terhadap Pancasila Sila Pertama, Kedua, dan
Kelima tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dan
Keadilan Sosial atas permintaan Menko Polkuham atas nama Negara RI mengenai adanya
sistem perlindungan Pancasila (sistem Khilafah) kepada Mahkamah Konstitusi.
1) Berdasarkan kasus di atas, apakah permohonan sudah sesuai dengan hak uji
materiil Mahkamah Konstitusi?
Jawaban:
Hak uji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu
peraturan perundangundangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenendemacht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jimly Assiddiqie mengemukakan "Pengujian
materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan
peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum".
Kembali pada pertanyaan, menurut saya permohonan sudah sesuai dengan hak uji
materiil Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 12 Februari 2021 dari Pemohon Muhammad Taufiq, S.Kom perihal
Pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945 terhadap Pancasila, yaitu Sila
Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima. Dalam persidangan, pokok permasalahan yang
diajukan oleh Pemohon adalah pasal-pasal UUD 1945 yang diajukan pengujian oleh
Pemohon tidak dapat menjangkau perbuatan perusakan alam yang terjadi di Indonesia,
dan hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Mahkamah telah memberi
nasihat kepada Pemohon yang pada pokoknya agar Pemohon menentukan norma
Undang-Undang yang diuji untuk mengakomodasikan permohonan Pemohon guna
membuktikan kerugian hak konstitusional. Pemohon tetap pada pendiriannya yaitu
mengajukan permohonan pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945
terhadap Pancasila, yaitu Sila Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima dan tidak
melakukan perbaikan permohonan sebagaimana dinasihatkan Mahkamah pada sidang
pemeriksaan pendahuluan Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK,
sehingga dengan demikian menjadi jelas norma Undang-Undang yang menjadi objek
permohonan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, serta
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak berkenaan dengan pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah tidak berwenang mengadili
permohonan Pemohon. Sementara itu, Pasal 48A ayat (1) huruf a UU MK, menyatakan,
”Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan permohonan tidak merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan.