Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : SUPRIYADI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042661843

Kode/Nama Mata : HKUM4404/Teori Perundang-Undangan

Kuliah Kode/Nama : 20 BANDRA LAMPUNG GAJAH MADA

UPBJJ Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Jakarta - Sejarah Indonesia mencatat pemakzulan seorang kepala negara pasca reformasi
pernah terjadi di Era Abdurahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Dalam
beberapa hari terakhir isu soal impeachment kembali mengemuka seiring dengan
dikuasainya parlemen oleh kubu oposisi. Namun langkah untuk memakzulkan presiden
pada masa sekarang ini, jauh lebih sulit untuk dilakukan.

Gus Dur dimakzulkan pada Juli 2001, dua tahun setelah dia memerintah. Itu merupakan
puncak dari rentetan ketegangan antara eksekutif dan legislatif.

Gus Dur sempat mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi pembubaran MPR/DPR,
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu
satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang
Istimewa MPR. Dekrit tersebut ditolak dan malah ujung-ujungnya Gus Dur dimakzulkan.

Akan tetapi impeachment semacam itu, dinilai tidak akan dengan mudah terjadi pada masa
sekarang ini. "Sangat susah sekarang. Beda dengan yang dulu, pada waktu zamannya
Gus Dur," kata Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
https://news.detik.com/berita/d-2714843/beda-dengan-era-gus-dur-ini-alasan-pemakzulan-
kini-sulit- untuk-dilakukan/1

1) Pemakzulan terhadap Gus Dur terjadi sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk. Berikan
analisis anda kedudukan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden saat ini. Sertakan dasar hukumnya.
Jawaban:
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana
disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan, tindak
pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kewajiban MK Memberikan Putusan atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban MK yang diatur lebih
lanjut dalam Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK wajib memberikan putusan
atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Secara lengkap dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan sebagai berikut:
"MK wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945".
Kewenangan MK ini dijalankan apabila terdapat permohonan dari DPR atas dugaan
Presiden mantan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela dan atau ketika ada dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Pelanggaran yang disebutkan di atas dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK seperti berikut.
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD Tahun 1945.
Jadi, jika pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah
melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh
MK. DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK. Dengan demikian salah satu
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu mengatur tentang
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dikenal dengan
istilah impeachment.
Proses pelaksanaan impeachment sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945,
BAB III Pasal 7B adalah sebagai berikut :
a. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan pendapat dewan Perwakilan Rakyat, bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan / atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupuan telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksnaan
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan rakyat.
c. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang – kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna, yang
dihadiri oleh sekurang – kurangnya 2/3 jumlah anggota dewan perwakilan
Rakyat.
d. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil –
adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan rakyat tersebut paling lama sembilan
puluh hari setelah permintaan Dewan perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.
e. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
f. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
g. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna MPR dihadiri oleh sekurang – kurangnya ¾ dari
jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang – kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Impeachment deiawali dengan Hak Angket (penyelidikan) oleh DPR setelah DPR
melaksanakan Hak Interpelasi (bertanya kepada Presiden). Permohonan Hak
Angket bisa diajukan minimal 10 anggota dean disetujui Rapat Paripurna. Rapat
paripurna yang membahas impeachment minimal dihadiri ¾ jumlah anggota DPR dan
disetujui 2/3 anggota yang hadir itu. Jika disetujui pendapat DPR tentang
pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi. Kalau mahkamah Konstitusi menyatakan pendapat DPR
benar, DPR kembali menggelar Rapat Paripurna untuk meminta persetujuan
mengajukan ke MPR.

2) Berikan analisis anda, atas alasan yang menyebabkan impeachment kini tidak lagi
mudah.
Jawaban:
Impeachment adalah istilah asing yaitu bahasa Inggris yang berasal dari kata
“impeach” yang artinya adalah mendakwa, mencurigai, menuduh, meragukan. To
impeachment dalam bahasa Inggris artinya mendakwa untuk meminta
pertanggungjawaban. Jadi, impeachment berarti permintaan pertanggungjawaban
seperti yang diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain impeachment juga dapat
diartikan sebagai sebuah permintaan pertanggungjawaban kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden, jika dicurigai/diduga telah melakukan hal – hal yang bertentangan
dengan UUD 1945.
Namun pelaksanaan impeachment adalah bukan hanya sekedar pertanggungjawaban
formalitas saja, mengingat dalam proses impeachment itu sendiri dilaksanakan
berdasarkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden berdasarkan konstitusi. Hal ini harus dapat dibuktikan secara
hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
Jadi, alasan yang menyebabkan impeachment kini tidak lagi mudah karena:
a. Proses pelaksanaan impeachment lebih rumit dibandingkan sebelum adanya MK,
jika DPR merasa presiden melanggar UUD 1945, DPR membawa hal tersebut ke
MK, sebab alasan pemakzulan harus disetuhui terlebih dahulu oleh MK. Mahkamah
Konstitusi akan mengkaji alasan-alasan berdasarkan bukti-bukti yang ada untuk
selanjutnya menentukan apakah alasan untuk memakzulkan itu bisa diterima atau
tidak. Selanjutnya oleh MK diputus, ya atau tidak. Kalau diputus iya dikembalikan ke
DPR, DPR mengundang MPR untuk meresmikan, baru bisa MPR menyetujui. Kalau
sebelum adanya MK, cukup dari DPR langsung ke MPR.
b. Presiden dipilih Langsung
Faktor yang membedakan adalah keluarnya UU 23 Tahun 2003, yang mengatur
mengenai mekanisme Pilpres secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala negara
tak lagi dilakukan oleh MPR. Pilpres langsung pertama yang dilakukan adalah pada
2004, yang menelurkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai
pemenang. Terkait dengan sistem pemilihan langsung ini, Wakil Ketua MK Arief
Hidayat mengatakan, hal itu akan membuat semakin kecil peluang untuk melakukan
impeachment terhadap presiden saat ini. Hal ini berbeda dengan dulu, pada waktu
zaman presiden Abdurrahman Wahid.
c. impeachment harus punya Dasar Yuridis
Upaya pemakzulan saat ini tidak cukup dengan adanya dasar pertimbangan politik
semata, sebab yang harus dipertimbangkan juga adanya dasar yuridis yang kuat.
Menurut mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie bahwa dalam sistem presidensial murni
seperti yang diberlakukan di Indonesia saat ini, dianut adanya prinsip gabungan
antara hukum dan politik.
2. Pada 12 Februari 2021 Muhamad Taufiq, S.Kom. mengajukan permohonan pengujian
materiil Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 tentang Kemakmuran
Rakyat dan Perubahan Pasal- Pasal terhadap Pancasila Sila Pertama, Kedua, dan
Kelima tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dan
Keadilan Sosial atas permintaan Menko Polkuham atas nama Negara RI mengenai adanya
sistem perlindungan Pancasila (sistem Khilafah) kepada Mahkamah Konstitusi.

Pemohon dalam permohonannya menyampaikan kerugian konstitusional pemohon


yang telah terlanggar atau berpotensi untuk terlanggar dengan keberadaan Pasal 33
ayat (3) dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945.

1) Berdasarkan kasus di atas, apakah permohonan sudah sesuai dengan hak uji
materiil Mahkamah Konstitusi?
Jawaban:
Hak uji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu
peraturan perundangundangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenendemacht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jimly Assiddiqie mengemukakan "Pengujian
materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan
peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum".
Kembali pada pertanyaan, menurut saya permohonan sudah sesuai dengan hak uji
materiil Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 12 Februari 2021 dari Pemohon Muhammad Taufiq, S.Kom perihal
Pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945 terhadap Pancasila, yaitu Sila
Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima. Dalam persidangan, pokok permasalahan yang
diajukan oleh Pemohon adalah pasal-pasal UUD 1945 yang diajukan pengujian oleh
Pemohon tidak dapat menjangkau perbuatan perusakan alam yang terjadi di Indonesia,
dan hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Mahkamah telah memberi
nasihat kepada Pemohon yang pada pokoknya agar Pemohon menentukan norma
Undang-Undang yang diuji untuk mengakomodasikan permohonan Pemohon guna
membuktikan kerugian hak konstitusional. Pemohon tetap pada pendiriannya yaitu
mengajukan permohonan pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945
terhadap Pancasila, yaitu Sila Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima dan tidak
melakukan perbaikan permohonan sebagaimana dinasihatkan Mahkamah pada sidang
pemeriksaan pendahuluan Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK,
sehingga dengan demikian menjadi jelas norma Undang-Undang yang menjadi objek
permohonan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, serta
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak berkenaan dengan pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah tidak berwenang mengadili
permohonan Pemohon. Sementara itu, Pasal 48A ayat (1) huruf a UU MK, menyatakan,
”Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan permohonan tidak merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan.

2) Buatlah analisis kerugian konstitusional apa saja yang dialami pemohon


berdasarkan permohonan yang dimohonkan.
Jawaban:
Mengenai parameter kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
UndangUndang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Nomor
006/PUUIII/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh
pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Kerugian konstitusional yang dialami pemohon berdasarkan permohonan yang
dimohonkan adalah sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang
mana hak-hak tersebut telah terlanggar atau berpotensi untuk terlanggar dengan
keberadaan pasal 33 ayat (3) dan pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:
a) Hak untuk mendapat perlindungan negara dan hak untuk menjadi masyarakat yang
adil dan beradab sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi; "Kemudian daripada it? untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. "
b) Hak untuk tinggal dalam Negara yang berdaulat, negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai
dengan sila pertama dan sila kedua Pancasila yang juga termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:...... Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab '
c) Hak untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk kemajuan bangsa dan
negara sebagaimana dalam pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; "Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. "
d) Hak atas rasa aman untuk bebas dari rasa takut dan ancaman bagi diri, martabat
dan keluarga sebagaimana di jamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi;"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu "
e) Hak untuk dihormati Hak Asasi Manusia sebagai sesama warga negara Indonesia
sebagaimana dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi; "Setiap orang
wajib menghormati hak asas? manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. '
b. Bahwa Pemohon sebagai perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) merasa
dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan
perlindungan sebagai pribadi, keluarga dan kehormatan atas berlakunya Pasal 33
ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945. Hal ini dikarenakan pasal-pasal tersebut isinya
tidak lagi dapat menjangkau kejahatan dan kerusakan lingkungan yang terjadi
sekarang ini. Sehingga menimbulkan kerugian nyata bagi Pemohon yaitu tidak
adanya rasa aman dari kejahatan-kejahatan tersebut, terbukti dari tidak dapatnya
ditindak oleh aparat hukum kejahatan-kejahatan yang berkembang sekarang ini
sebagai akibat tidak terjangkau oleh kedua pasal tersebut;
c. Bahwa Pemohon merasakan adanya keresahan masyarakat atas maraknya perilaku
eksploitasi sumber daya alam yang merusak alam lingkungan dan eksploitasi sumber
daya alam secara besar-besaran tanpa memperdulikan kerusakan lingkungan yang
semakin marak di Indonesia. Perilaku yang merusak lingkungan demikian dewasa ini
makin marak terjadi di Indonesia namun tidak dapat ditindak secara hukum
dikarenakan Pasal-Pasal a quo pada khususnya dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945
pada umumnya tidak dapat menjangkau penindakan kasus-kasus seperti: perilaku
yang merusak lingkungan secara besar-besaran atas nama kemakmuran, kegiatan
yang menimbulkan polusi, limbah yang merusak keseimbangan alam untuk
kepentingan kelompok sehingga memicu terjadinya bencana alam;
d. Bahwa kejadian-kejadian ini sebenarnya amat memprihatinkan dan mendorong
Pemohon untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi sebagai The
Guardian Of Constitusion, di mana Mahkamah diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi seluruh warga Indonesia atas kejahatan tersebut;
e. Bahwa kekhawatiran ini bukan saja telah merugikan para korban bencana alam yang
terdampak dari kerusakan lingkungan namun juga memberikan ketakutan bagi
Pemohon yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI);
f. Bahwa Pemohon khawatir adanya celah terhadap tindak kejahatan yang tidak
dicakup dalam UUD 1945 memungkinkan perilaku yang merusak lingkungan
sehingga memicu terjadinya bencana alam tanpa ada hukuman yang jelas. Pun
perilaku pembiaran terhadap kegiatan yang menimbulkan kerusakan alam secara
nyata tidak dapat dijangkau oleh peratutan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia;
g. Bahwa kekosongan hukum dalam masyarakat ternyata menimbulkan kerusakan
alamyang berdampak pula pada lingkungan Pemohon. Bukan saja keselamatan jiwa
dan kehormatan Pemohon dan keluarganya yang terancam namun juga merusak
tatanan lingkungan dan tatanan sosial. Sebagai contohnya maraknya aktivitas yang
merusak kesimbangan alam yang memicu terjadinya bencana alam seperti tanah
longsor, banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, dan lain-lain memberikan ancaman
kehidupan sosial dan ancaman pada lingkungan hidup dalam hal ini keadaan
lingkungan Pemohon;
h. Bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya kedua Pasal
tersebut, karena kedua pasal tersebut tidak dapat menjangkau kejahatan-kejahatan
sebagaimana tersebut di atas, di mana kejahatan tersebut bisa terjadi baik pada diri
Pemohon maupun keluarganya. Oleh karenanya maka Pemohon mengajukan judicial
review atas berlakunya kedua pasal tersebut;
i. Bahwa secara khusus Pemohon mengalami pula kerugian konstitusional atas
berlakunya kedua Pasal tersebut, kerugian mana adalah khas sesuai dengan
kapasitas Pemohon, sebagai berikut:
Bahwa Pemohon, Muhamad Taufiq, S.Kom. adalah masyarakat yang memiliki hak
dan kewajiban untuk membantu Pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk
menyelenggarakan Sistem Pemerintahan. Pemohon, memiliki keterkaitan erat dalam
posisinya sebagai masyarakat yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian
lingkungan (environmentalist) dalam mengawasi dan memberikan kontrol sosial
terhadap Pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini berkaitan dengan
permintaan dari Menko Polhukam atas nama Negara Republik Indonesia pada salah
satu acara di stasiun TV Swasta agar masyarakat memberikan kontribusinya kepada
Pemerintah mengenai adanya dalil Sistem Khilafah, selanjutnya disebut Sistem
Pelindung Pancasila sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Maka Pemohon sebagai masyarakat yang menaruh perhatian terhadap kelestarian
lingkungan (environmentalist), yang memiliki hak konstitusional untuk memajukan dan
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan
Negara, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28J ayat (1), berkewajiban untuk melakukan judicial review ini ke Mahkamah
Konstitusi.
j. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon terdapat kerugian hak
konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 33 ayat (3) dan 37 UUD 1945
ternyata menimbulkan hilangnya rasa aman, dan perlindungan atas Hak Asasi
Manusia serta ancaman kerusakan lingkungan yang memicu bencana alam seperti
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, polusi udara, gempa bumi dan lain-lain dan
bencana sosial telah nyata memberikan ancaman kepada Pemohon pada khususnya,
keluarga Pemohon maupun kepada seluruh bangsa Indonesia;
k. Bahwa sebagaimana hak konstitusional yang nyata dijabarkan beserta potensial
kerugian yang akan didapatkan oleh seluruh bangsa Indonesia, maka Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Pengujian Undang-
Undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UUMK beserta Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana
pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi yurisprudensi dan Pasal 3
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;

3. JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak Mahkamah


Agung (MA) untuk lebih terbuka dalam menggelar sidang uji materi peraturan di bawah
undang-undang.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan,
permasalahannya adalah MA hanya memiliki waktu 14 hari untuk menyelesaikan perkara
pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang.
Jika dibandingkan dengan proses persidangan uji materi di MK, Abdullah mengakui bahwa
MK mampu melakukan proses persidangan secara terbuka. Sebab, MK juga tidak
diberikan batasan waktu dalam pengujian materi sebuah undang-undang.
1) Berdasarkan cuplikan kasus di atas, berikan analisis anda atas perbedaan kewenangan
dalam judicial review oleh MA dan MK.
Jawaban:
Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang
dilakukan oleh lembaga peradilan.
Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan Pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Mengenai judicial review ke MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara
Sedangkan judicial review ke MA, Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan
oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang; atau
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Kewenangan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan judicial review adalah sebagai
berikut, Pertama, MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undangundang. Kedua, MA menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku. Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
adalah menguji undang-undang secara organik diturunkan pengaturannya dalam
ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang pada
dasarnya adalah penegasan kembali rumusan dalam UUD. Rumusan lengkapnya
adalah "Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili paa tingkat pertama dan terakhir
yang putusnya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
Jadi, dapat disimpulakn bahwa Uji materi di MK mencakup pengujian UU terhadap UUD
1945 dan menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga yang diatur UUD. Selain itu uji
materiil MK juga mencakup pemutusan pembubaran partai politik dan penyelesaian
perselisihan mengenai pemilihan umum. Sedangkan cakupan kewenangan MA dalam
uji materi adalah memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi, penyelesaian
sengketa kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan,
serta menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.
Selain cakupan kewenangan, ada sedikit perbedaan pada sifat putusan MK dan MA.
Definisi dan perbedaan sifat putusan MA dan MK berdasar pada penjelasan Pasal 10
ayat (1) UU 8/2011, Pasal 66-76 UU MA, dan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010.
Meski keputusan kedua mahkamah itu bersifat final, putusan MA dapat ditinjau kembali
dan menerima grasi. Keputusan MK sebaliknya bersifat final and binding dimana
putusan MK memperoleh kekuatan hukum semenjak diucapkan dan bersifat mengikat.
Hak uji materi diberikan kepada individu, kesatuan masyarakat hukum adat, badan
hukum publik atau privat, dan lembaga negara yang merasa hak atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh pemberlakuan UU tertentu. Syarat dasar ini didasari
oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003.

2) Berikan analisis anda kelemahan/kekurangan hukum acara judicial review


pada MA dibandingkan hukum acara di MK.
Jawaban:
Kelemahan/kekurangan hukum acara judicial review pada MA dibandingkan
hukum acara di MK yaitu:
a. Proses pendaftaran
Proses pendaftaran judicial review di MA tidak memiliki loket khusus pendaftaran.
sedangkan proses pendaftaran judicial review di MK lebih transparan, MK
memberikan loket khusus di lantai dasar MK dan masyarakat bisa memantau proses
pendaftaran.
b. Proses Sidang
MA tidak mengelar sidang secara terbuka dan tidak mengelar sidang teleconference.
Setelah berkas masuk, MA menutup rapat-rapat proses peradilan sehingga para
pihak tidak bisa mengetahui sampai mana berkasnya diperiksa. Sedangkan proses
sidang di MK terbuka untuk umum, Sidang digelar di ruang panel dan ruang utama.
Ruang panel yang berada di lantai 4 lebih kecil karena biasanya untuk menyidang
kelengkapan berkas gugatan. Meski demikian, sidang ini bisa dilihat dalam sidang
terbuka yang bisa dihadiri oleh siapapun. Adapun ruang utama digelar saat mulai
mendengarkan ahli atau saksi dengan komposisi 9 hakim konstitusi. Ruang ini juga
selalu dipakai untuk pembacaan putusan. Dalam sidang ini, MK juga menggelar
sidang terbuka untuk mendengarkan argumen para pihak, mendengarkan ahli dan
pihak terkait. MK juga menerima bukti tertulis apabila para pihak tidak hadir. MK juga
menggelar sidang teleconfrence jika saksi berhalangan atau ada di luar kota atau di
luar negeri.
c. Pengucapan Putusan
Pada Mahkamah Agung (MA), putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dihadiri
para pihak karena sidang dilakukan dalam ruang tertutup di gedung MA dengan pintu
sedikit dibuka. Setelah diputus, tidak segera diumumkan ke publik. Banyak putusan
judicial review MA diketahui publik berbulan-bulan setelah diputuskan. Sedangkan
pada Mahkamah Konstitusi (MK), putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum dan digelar di ruang sidang utama di lantai 1. Ruang ini sangat kondusif untuk
menggelar sidang. Di ruangan ini juga disediakan balkon bagi masyarakat yang ingin
mengikuti langsung proses sidang judicial review. Masyarakat cukup berpakaian
sopan dan bisa duduk sambil melihat layar lebar di ruang utama dengan sound
system yang memadai. Setelah diputus, serta merta putusan judicial review itu
diserahkan ke para pihak. Tak sampai 10 menit, putusan sudah bisa dilihat di website
MK dan bisa diunduh di seluruh penjuru dunia.
d. Isi Putusan
Putusan MA tidak disertai pendapat yang detail, yang dituangkan dalam MA argumen
singkat padat sehingga masyarakat sering bertanya-tanya maksud putusan tersebut.
Sedangkan dalam putusan MK membeberkan seluruh berkas dari awal hingga akhir.
Dimuat juga poin-poin pernyataan ahli yang disampaikan dalam persidangan.
Putusan MK juga berisi pendapat MK secara tuntas dan detail. Setiap amar selalu
diiringi argumen yang tertuang seluruhnya.
e. Layanan Publik
MA tidak mengumumkan jadwal sidang ptusan dan berkas putusan judicial review
juga baru diunduh berbulan-bulan setelah diputus. MA tidak mempunyai jurnal, baik
manual ataupun digital. Sedangkan MK membangun sistem IT yang komprehensif.
Semua jadwal sidang diumumkan lewat website www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pengumuman itu seperti progress gugatan, jadwal sidang, susunan majelis hakim,
panitera, pendaftaran online hingga database putusan. Seluruh putusan MK dari awal
berdiri hingga sekarang tertampung dalam website tersebut. Tinggal mengetik kata
kunci, maka putusan terkait akan keluar. MK juga mempunyai jurnal digital konstitusi
yang bisa diunduh gratis.
f. Fasilitas
MA mempunyai Ballroom tetapi hanya digunakan untuk internal lembaga. Seminar-
seminar yang diadiakan seringkali tidak diketahui oleh publik. MA mempunyai press
room tetapi nyaris tidak difungsikan secara maksimal dan lebih sering dikunci.
Perpustakaan MA juga tidak bisa diakses oleh masyarakat umum. Untuk ruang
tunggu, lebih nyaman di MK. Sedangkan MK mempunyai auditorum di lantai dasar
yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk menggelar seminar, simposium dan
sebagainya. Untuk akses masyarakat, MK menyediakan layanan kepada media
massa seluas-luasnya. Press room berdenyut setiap saat. MK juga mempunyai
perpustakaan yang sangat mutkahir yang bisa diakses oleh masyarakat. Koleksi buku
dan tempat yang nyaman untuk berlama-lama di perpustakaan. Bagi pihak yang akan
bersidang, MK memberikan ruang tunggu yang nyaman.

Anda mungkin juga menyukai