Anda di halaman 1dari 10

APBN DITOLAK DPR DIVERMAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Hukum Konstitusi


Dosen Pengampu :
Dr. H. Kukuh Sudarmanto, B.A., S.SoS., S.H., M.H., M.M

Oleh:

1. Yahya Astiar (A.312.1823.015)


2. Baskara Adi Nugraha (A.312.1823.016)
3. Arman (A.312.1823.018)
4. Imaduddin (A.312.1823.019)
5. Rinanda Asrian Ilmanta (A.312.1823.021)

UNIVERSITAS SEMARANG
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas “APBN DITOLAK DPR
DIVERMAK” dengan tepat waktu.
Penulis berharap melalui Paper ini, dapat memberikan banyak manfaat kepada para
pembaca dan penulis tentunya. Semoga pemikiran yang kami tuangkan melalui Paper ini
dapat menjadi khasanah keilmuan bagi penulis dan kepada para pembaca.
Paper ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan paper ini.

Semarang, Desember 2023

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Iklim politik di Indonesia baik dari sisi pemilih dan oknum politisi yang akan dipilih,
keduanya memiliki preferensi untuk melanggengkan kekuasaan bagi orang-orang yang telah
dianggap berpengalaman dan profilnya dikenal luas oleh publik. Oleh karena itu, pembatasan
masa jabatan di Indonesia perlu dilakukan agar tidak terjadi abuse of power oleh Presiden
yang menjabat sebagai kepala negara yang mempunyai kewenangan atas jabatannya.
Indonesia dari awal merdeka sampai saat ini, yaitu dari masa orde lama sampai masa
reformasi saat ini mengalami perubahan mengenai masa jabatan presiden.
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Indonesia adalah negara yang sistem
pemerintahannya adalah sistem Pemerintahan Presidensial. Pilihan republik dan presidensiil
membuat pemimpin yang terpilih akan dipilih oleh orang banyak, untuk jangka waktu
tertentu, tidak bersifat turun temurun, dan terikat dengan sejumlah aturan. Dalam UUD 1945,
lembaga kepresidenan diberikan posisi yang sangat kuat. Presiden Indonesia merupakan
Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Untuk itu, perlu diberikan pembatasan oleh
negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu pembatasan kekuasaan negara
yaitu pembatasan terhadap masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pada mulanya,
ketentuan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, namun
pengaturan tersebut tidak diikuti oleh pengaturan batasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia. Sehingga pada praktiknya menimbulkan kondisi Presiden yang sama
dipilih kembali secara terus menerus, tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan
sebagai suatu prinsip dasar negara berdasarkan Konstitusi (Konstitusionalisme). Contohnya
adalah terpilihnya Presiden Soekarno lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut. Soekarno
terus menerus memegang kekuasaan dan kekuasaannya semakin absolut.
Salah satu peristiwa besar dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah
diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini menegaskan untuk memberlakukan
Kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak
bisa dilepaskan dari kegagalan Konstituante membentuk sebuah UUD baru pengganti UUD
Sementara 1950. Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
maka kekuasaan eksekutif secara konstitusional beralih ke tangan Presiden. Meskipun Dekrit
Presiden secara tegas menyatakan memberlakukan UUD 1945, tetapi dalam praktiknya apa
yang dilakukan Soekarno jauh menyimpang dari konstitusi tersebut. Pembentukan Majelis

1
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) sebagai tindak lanjut perjalanan UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
MPRS dibentuk dengan keluarnya Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 Tahun 1959
tentang Pembentukan MPRS jo. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1959 tentang Syarat-
syarat Keanggotaan MPRS dan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 tentang Susunan
Keanggotaan MPRS. Sedangkan DPAS dibentuk melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun
1959 tentang Pembentukan DPAS jo. Keputusan Presiden Nomor 168 Tahun 1959 dan
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 tentang Pembentukan DPR-GR jo. Keputusan
Presiden Nomor 156 Tahun 1960. Seperti diketahui bahwa pada masa berlakunya UUDS 1950
dengan penerapan demokrasi terpimpin, demokrasi dengan fokus kepemimpinan Soekarno.
Dapat disebutkan, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959, yang
menetapkan bekerjanya DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, karena sebelumnya DPR
telah mengakui kesediaannya untuk bekerja di bawah UUD 1945. Tetapi karena terjadi
perselisihan antara Presiden dengan DPR mengenai APBN, maka melalui Penetapan Presiden
Nomor 3 Tahun 1960, Presiden membubarkan DPR.1
Sebelumnya, DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) yang diajukan pemerintah. Kemudian Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 4 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). DPR
GR menggantikan DPR yang dibubarkan oleh Soekarno.

1
Chrisdianto Eko Purnomo, Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, 2010, hal. 166 - 167

2
BAB II
PEMBAHASAN

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan
diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling
demokratis. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif;
beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata
dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan bergantian datang ke tempat
pemilihan. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.
Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah
520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat
pemerintah.
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini
dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante
dan pernyataan kembali ke UUD 1945.
Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959 yang menandai babak baru dalam
demokrasi Indonesia. Sistem presidensil Kembali tegak hingga muncul istilah demokrasi
terpimpin. Demokrasi dengan fokus kepemimpinan Soekarno. Demokrasi Terpimpin bersifat
terpusat, sehingga membuat Presiden Soekarno menjadi pusat pemimpin yang kuat dan
berkuasa atas segala lembaga. Dalam sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin, yang
menjadi penentu adalah Presiden Soekarno sebagai pemimpin eksekutif. Oleh sebab itu,
anggota MPR dan DPR diangkat oleh Presiden Soekarno sendiri. Keputusan ini sesuai dengan
Pasal IV Aturan Pemilihan UUD 1945. Soekarno juga menjadi pemimpin kekuasaan satu-
satunya yang membawahi langsung legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sayangnya, kebijakan
ini tidak menciptakan demokrasi seperti yang diharapkan Demokrasi Terpimpin. Oleh
beberapa pihak, Soekarno dianggap sebagai pemimpin diktator yang tidak terkontrol,
sehingga cenderung disalahgunakan kekuasaannya dan timbul berbagai pelanggaran. Dalam
Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memiliki peran dominan dalam pengambilan
keputusan dan arah kebijakan negara. Meskipun banyak kontroversi seputar sistem ini, tetapi
ada pihak yang melihatnya sebagai upaya untuk mengatasi instabilitas politik dan menggalang
persatuan dalam menghadapi tantangan pembangunan bangsa.

3
Keputusan Soekarno membubarkan DPR pada 1960 bermula dari lahirnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu isinya adalah pembubaran konstituante. Setelah dekrit
tersebut dikeluarkan, DPR hasil Pemilu 1955 masih dapat tetap bertugas berdasarkan UUD
1945, dengan syarat menyetujui seluruh perombakan yang dilakukan pemerintah sampai
terpilihnya DPR yang baru, salah satunya adalah penerapan sistem Demokrasi Terpimpin di
Indonesia.
Sepanjang 1959 hingga 1966, banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang belum
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Arti dari “terpimpin” dalam UUD 1945 adalah
pimpinan terletak di tangan presiden selaku kepala negara. Alhasil, lembaga-lembaga negara,
seperti DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA, tidak mendapat proporsi yang seharusnya. Presiden
Soekarno selaku pemimpin besar revolusi kemudian menghendaki penghapusan sistem
multipartai, di mata Sukarno, kehadiran multipartai dalam ranah demokrasi Indonesia
dianggap sebagai penyakit kepartaian. Penyakit yang lebih parah dari perasaan kesukuan dan
kedaerahan dan disinyalisasi menyebabkan bangsa akan selalu saling cakar. Berjalannya
waktu, sikap keras Partai Masyumi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin membuat Sukarno
menyimpulkan bahwa langkah untuk menyingkirkan partai tersebut dari peta perpolitikan
Indonesia harus segera disusun, sampai akhirnya partai Masyumi dihapuskan oleh Soekarno.
Karena tindakannya ini, Partai Masyumi melakukan provokasi terhadap Rencana
Anggaran Belanja Negara tahun 1961 yang dibuat presiden ke parlemen. Anggaran ini
kemudian diketahui oleh pihak DPR dan mereka menolak Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan pemerintah. Karena dipandang tidak mengikuti
kehendak Soekarno, DPR pun dibubarkan pada 5 Maret 1960. Sesuai dengan Perpres
No.3/1960, Soekarno membubarkan DPR dengan alasan: DPR Hasil Pemilu 1955 tidak dapat
membantu pemerintah. Tidak sesuai dengan UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, dan tujuan
politik. Setelah DPR dibubarkan, melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960, dibentuklah
Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPR-GR).
Kala itu, Bung Karno mengambil perubahan orientasi sikap dalam menilai jalannya
sistem multipartai di Indonesia, yang dengan eksplisit menyampaikan keinginannya untuk
mendirikan satu partai negara dan mengubur partai-partai yang lainnya.
Awal tahun 1960, konflik parlemen dengan Sukarno mulai muncul ke permukaan.
Ketika itu, parlemen menentang keras Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI)
berperan sebagai provokator pemboikotan RAPBN itu. Meski begitu, Sukarno tidak
kehilangan akal untuk memuluskan niatnya. Sukarno lantas meloloskan RAPBN dengan cara

4
kasar, yakni membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955. Sebab baginya, selama komposisi
parlemen tidak steril dari unsur oposisi maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan terus
diganjal.
Akhirnya Pada 5 Maret 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Penpres Nomor 3 Tahun 1960
tentang pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955. Alasannya adalah DPR hasil Pemilu
1955 tidak dapat memenuhi harapan untuk saling membantu pemerintah, tidak sesuai dengan
jiwa dan semangat UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, dan Manifesto Politik Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Hal itu karena susunan DPR saat itu merupakan hasil dari
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.2
Berdasarkan Pasal 20A Undang Undang Dasar (UUD) 1945, DPR merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan. Meski menjabat sebagai kepala negara, seorang Presiden
tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana yang telah diatur
dalam UUD 1945. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 7C UUD 1945 yang berbunyi,
“Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
DPR memiliki tugas utama dalam pembuatan, pembahasan, dan pengesahan undang-
undang. Setelah disahkan, pemerintah sebagai eksekutif menjalankan apa yang tertuang dalam
perundang-undangan. DPR juga memiliki peran dalam penetapan dan pengawasan anggaran
negara. Mereka membahas dan menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah. Selain itu, DPR juga terlibat dalam
pembahasan dan evaluasi laporan pertanggungjawaban keuangan negara.
Selanjutnya, DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan lembaga
eksekutif. Parlemen melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, pelaksanaan
program-program pemerintah, serta kinerja menteri dan pejabat pemerintahan lainnya.
Sedangkan menurut Undang Undang No 30 Tahun 2013 tentang Administrasi
Pemerintahan, fungsi pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi
Pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan,
dan perlindungan.
Jika melihat fungsinya, parlemen dan pemerintah ini ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Saling menguatkan satu sama lain. Perpaduan antara parlemen dan
pemerintah membuat roda pemerintahan Indonesia menjadi terus berputar sesuai jalurnya.

2
Nanda Pratama Putra, 5 Maret 1960: Presiden Sukarno Bubarkan DPR Hasil Pemilu Pertama,
Liputan 6 News, https://www.liputan6.com/news/read/4498242/5-maret-1960-presiden-sukarno-bubarkan-dpr-
hasil-pemilu-pertama?page=4, 2021 diakses tanggal 29 November 2023 jam 11:40

5
Parlemen tanpa pemerintah, lumpuh. Sebaliknya, pemerintah tanpa parlemen bisa sewenang-
wenang dan otoriter. Agar pemerintah bisa terkontrol dan tidak sewenang-wenang, maka,
fungsi pengawasan parlemen harus dikuatkan.3

3
Irandi Kasmara, Sinergitas DPR dan Pemerintah, Kunci Wujudkan Kesejahteraan Rakyat, RM.id,
https://rm.id/baca-berita/parlemen/178209/sinergitas-dpr-dan-pemerintah-kunci-wujudkan-kesejahteraan-rakyat/
2 , diakses tanggal 30 November 2023 jam 09:25

6
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemilihan Umum Indonesia 1955 dianggap sebagai tonggak demokrasi, walaupun
dilaksanakan dalam suasana kurang kondusif akibat gangguan keamanan oleh DI/TII. Pemilu
ini bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Namun, pada 5 Juli 1959, Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan memperkenalkan era
Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang dominan,
mengendalikan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Meskipun diharapkan menciptakan
stabilitas politik, sistem ini kontroversial dan dianggap sebagai bentuk kekuasaan tidak
terkontrol. Bubarnya DPR pada 1960 dan pembentukan DPR Gotong Royong menjadi titik
awal konflik politik.
Soekarno berusaha menghapus partai-partai politik, khususnya Masyumi, dengan
alasan menciptakan stabilitas. Penolakan terhadap Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) oleh DPR memicu tindakan tegas, yaitu pembubaran DPR pada 5 Maret
1960. Alasan yang diberikan adalah ketidaksesuaian dengan UUD 1945, Demokrasi
Terpimpin, dan Manifesto Politik Republik Indonesia.
Pentingnya peran parlemen dan pemerintah dalam menjaga keseimbangan kekuasaan
ditekankan. Parlemen, dalam hal ini DPR, memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan terhadap pemerintah. Soekarno's shift towards one-party rule dan pembubaran
DPR menyoroti konflik antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Keseluruhan Paper ini menggambarkan dinamika politik Indonesia pada periode
tersebut, dengan pemilihan umum, perubahan sistem politik, dan konflik antara kekuasaan
eksekutif dan legislatif sebagai fokus utama.

7
DAFTAR PUSTAKA

Chrisdianto Eko Purnomo (2010), Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap


Praktik Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2.
Irandi Kasmara, Sinergitas DPR dan Pemerintah, Kunci Wujudkan Kesejahteraan Rakyat,
RM.id, https://rm.id/baca-berita/parlemen/178209/sinergitas-dpr-dan-pemerintah-
kunci-wujudkan-kesejahteraan-rakyat/ 2 , diakses tanggal 30 November 2023 jam
09:25
Nanda Pratama Putra, 5 Maret 1960: Presiden Sukarno Bubarkan DPR Hasil Pemilu
Pertama, Liputan 6 News, https://www.liputan6.com/news/read/4498242/5-maret-
1960-presiden-sukarno-bubarkan-dpr-hasil-pemilu-pertama?page=4, 2021 diakses
tanggal 29 November 2023 jam 11:40

Anda mungkin juga menyukai