Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DEMOKRASI TERPIMPIN

Nama : Aftania Mutiara Wibisono

No :1

Kelas : XII MIPA 3

TAHUN AJARAN 2021/2022

SMAN 1 MOJOLABAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sukoharjo, 20 Oktober 2021

Aftania Mutiara Wibisono

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi Terpimpin.........................................................2-3

B. Sistem Demokrasi Terpimpin...............................................................3-5

C. Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin...............................................5-8

D. Dekrit Presiden 5 Juli 1959...................................................................8-9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................10

B. Saran ........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan dan
pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem demokrasi terpimpin
pertama kali diumumkan oleh presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante
pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai
dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai
pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca pemilihan umum 1955 membuat
situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi
dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan dewan konstituante yang mengalami
kegagalan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak
mempunyai pijakan hukum yang mantap.
Pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi
presiden Soekarno yang dituangkan dalam konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957,
yang isinya mengenai penggantian sistem demokrasi liberal menjadi demokrasi
terpimpin, pembentukan kabinet gotong royong, dan pembentukan dewan nasional.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi demokrasi terpimpin?
2. Bagaimana sistem demokrasi terpimpin?
3. Bagaimana sistem ekonomi demokrasi terpimpin?
4. Apa isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi Terpimpin


Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola, adalah istilah untuk sebuah
pemerintahan demokrasi dengan peningkatan autokrasi. Pemerintahan negara
dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh
pemerintah untuk melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama. Atau, dengan kata lain,
pemerintah telah belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat
melaksanakan semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik.
Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil
terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki
dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui
mengefektifkan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.
Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia. Akhir-
akhir ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia diperkenalkan ke
dalam praktik umum oleh pemikir dari anggota Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky.
Demokrasi Terpimpin berjalan berdasarkan Dekret Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan
Tap MPRS No. VIII/MPRS/1959. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan ( sila ke-
4 dari Pancasila ). Paham ini berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong
royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip Nasakom
(nasionalisme, agama, dan komunisme). Akan tetapi para ulama di Indonesia menolak
prinsip Nasakom karena mengikut sertakan Komunis yang bertolak belakang dengan
agama.
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh presiden Soekarno:
a. Dari Segi Keamanan Nasional
Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan
ketidakstabilan negara.

b. Dari Segi Perekonomian


Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan
program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh,
sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
c. Dari Segi Politik
Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950
adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh
seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil
pemungutan suara menunjukkan bahwa:
1. 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945.
2. 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945.
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat
direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan
tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS
1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Dibubarkannya konstituante.
4. Pembentukan MPRS dan DPAS.
B. Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari setelah dekrit presiden, kabinet karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli
1959 diganti dengan kabinet kerja. Dalam kabinet ini presiden Soekarno bertindak
selaku perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua
orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program kabinet meliputi
penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi
sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, presiden Soekarno membentuk Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh presiden dengan Penpres No. 3 Tahun
1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang
utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan
ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul
kepada pemerintah (Pasal 16 Ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal
15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, presiden
Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban presiden
atas dekret 5 Juli 1959 serta garis kebijakan presiden Soekarno dalam mengenalkan
sistem demokrasi terpimpin.
Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan
kepada pemerintah agar pidato presiden Soekarno tersebut dijadikan garis-garis besar
haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh presiden Soekarno. Rumusan DPA atas
pidato tersebut menjadi garis-garis besar haluan negara berjudul “manifesto politik
republik Indonesia” disingkat manipol. Selanjutnya dengan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk majelis permusyawaratan rakyat
sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden
dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada
perjuangan RI, dan setuju dengan manifesto politik. Berdasarkan UUD 1945,
keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah dan wakil-wakil golongan.
Tindakan presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan demokrasi terpimpin
adalah mendirikan lembaga-lembaga negara baru, yaitu front nasional yang dibentuk
melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959. Dalam penetapan itu disebutkan, front
nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front nasional itu diketuai oleh presiden
Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 Tahun
1962, dilakukan pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi negara dengan eksekutif,
yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan dewan perancang nasional. Pimpinan lembaga-
lembaga negara tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang
kabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan
pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Selain lembaga-lembaga tersebut, presiden juga membentuk musyawarah pembantu
pimpinan revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962, MPRS
beserta stafnya merupakan badan pembantu pemimpin besar revolusi (PBR) dalam
mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan
MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, departemen,
angkatan-angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (nasionalis, agama, dan
komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat
ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI di sampingnya.
C. Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin
1. Ekonomi Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-
undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
a. Mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional yang
berencana (Pasal 2).
b. Menilai penyelenggara pembangunan itu (Pasal 3).
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional
(Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang
beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu
kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan Tahun
1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas
mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana
tahunan baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan
pembangunan. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan
kebijakan:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1959 yang
mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk
mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan
keadaan keuangan dan perekonomian negara.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor Tahun 1959 tentang
Pembekuan Sebagian dari Simpanan pada Bank, yang dimaksudkan untuk
mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957
dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
3. Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959, yang isi pokoknya
ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus
rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum
tanggal 1 Januari 1960.
Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959
dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia
ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa
mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan
akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan
moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-
bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami
kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena
pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam
pengeluaran-pengeluarannya.
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca
pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk
pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan
cadangan emas dan devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk
mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.
Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank
Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas
bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan
bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara;
Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah
pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.
2. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup
dari berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau
perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri untuk
memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai
bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh
karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah
mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of
trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari bantuan
atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor. Perdagangan luar
negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPRS,
maka Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018 Tahun 1964 dan
Keputusan Presiden No. 360 Tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai
penghimpunan dan penggunaan dana-dana revolusi. Dana-dana revolusi tersebut
pada mulanya diperoleh dari pungutan uang SPP dan dari pungutan yang dikenakan
pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu
macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak
cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
1. Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin
menurun dan Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
2. Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu
ditangguhkan.
3. RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, karena itu,
sering terjadi beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-
hutang tidak dibayar.
4. Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan
perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau
perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun,
pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira
mencapai jumlah Rp338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat
sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang
beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam
perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat.
D. Dekret Presiden 5 Juli 1959
Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap tahun
1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota konstituante yang bertugas
merumuskan UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 konstituante
tidak pernah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru. Keadaan itu semakin
mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing
partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya
tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia
semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam
keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena
adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai
politik yang berada di konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan
agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan
sidang konstituante. Namun, konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-
undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional.
Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara
belum berhasil dibuat, sedangkan undang-undang dasar sementara (UUDS 1950)
dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada
bulan Februari 1957 presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan
konsepsi presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul
kepada presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan
pembubaran konstituante. Pemberlakuan kembali undang-undang dasar 1945
merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh
karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi
sebagai berikut:
1. Pembubaran konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
3. Pembentukan MPRS dan DPAS.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-
undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah
mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan
menilai penyelenggara pembangunan itu. Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia
melakukan kredit luar negeri dan melakukan kerja sama perdagangan dengan Cina yang
memberikan keuntungan materi dan politik.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, presiden Soekarno membentuk Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh presiden dengan Penpres No. 3 Tahun
1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang
utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan
ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul
kepada pemerintah (Pasal 16 Ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal
15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, presiden
Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban presiden
atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan presiden Soekarno dalam mengenalkan
sistem demokrasi terpimpin.

B. Saran
Dilihat dari kekacauan yang terjadi pada awal lahirnya bangsa Indonesia, sudah terlihat
karakteristik umum yang negatif di bangsa ini yaitu mementingkan diri sendiri. Terlihat
dari saat Indonesia memakai sistem Demokrasi Parlementer yang membutuhkan banyak
partai, bukannya terjadi kerja sama atau persaingan yang sehat, melainkan kekacauan
yang akhirnya menyebabkan sistem demokrasi di Indonesia harus diganti.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Idrus. (1997). Hukum Tata Negara. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Budiardjo, Miriam. (1977). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fatoni, Uwes. (2006). Sejarah Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Unitomo.

Kansil. (1996). Tata Negara. Jakarta: Erlangga.

Kencana, Inu. (2005). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Sundawa, Dadang (2007). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdiknas.

Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai