Anda di halaman 1dari 18

K.

D 4
Demokrasi Terpimpin

OLEH :

FENTI YULIA KRISTANTI

KHAIRUNNISA

RAISYA SHAFIRA SARI

VIDIA AMELIA

XII MIA 2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Demokrasi terpimpin “ ini dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk penyempurnaan makalah ini.

Pada kesempatan ini, dengan tulus ikhlas kami menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada kedua orangtua penyusun, Guru sejarah kami atas nama ibu purwati S.pd
karena berkat petunjuk beliaulah kami dapat menyusun sedemikian rupa data-data yang kami
peroleh sehingga menjadi makalah yang bermanfaat bagi pembaca serta teman-teman yang
telah memberikan bantuan dan partisipasinya baik dalam bentuk moril maupun materiil untuk
keberhasilan dalam penyusunan makalah ini.

Kami selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi
para pembaca. Amin.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3  Tujuan .......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ……………………………………………………………………. 2
BAB II ISI
2.1 Sejarah demokrasi terpimpin ………………………………………………. 3
2.2 Pelaksanaan demokrasi terpimpin ……......................................................... 10
2.3 Penyimpangan pada demokrasi terpimpin...................................................... 11
2.4 Kehidupan ekonomi
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………… 15
3.2 Saran............................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :

1.      Dari segi keamanan nasional : Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi
liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.

2.      Dari segi perekonomian  : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan
secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.

3.      Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan
UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah
UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh
seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :

·         269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945

·         119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal
ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak
mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

1.      Tidak berlaku kembali UUDS 1950

2.      Berlakunya kembali UUD 1945

3.      Dibubarkannya konstituante

4.      Pembentukan MPRS dan DPAS


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah demokrasi terpimpin
2. Bagaimana pelaksanaan demokrasi terpimpin
3. Penyimpangan Yang Dilakukan dari Demokrasi Terpimpin Terhadap UUD 1945
4. Bagaimana Kehidupan Ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin

C. TUJUAN
1. Agar siswa mengetahui sejarah demokrasi terpimpin
2. Agar siswa mengetahu bagaimana pelaksanaan demokrasi terpimpin
3. Agar siswa mengetahui apa saja penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin
4. Agar siswa mengetahui bagaimana kehidupan ekonomi pada demokrasi terpimpin

D. MANFAAT
- Menambah pengetahuan tentang sejarah demokrasi terpimpin
BAB II
ISI

1. SEJARAH DEMOKRASI TERPIMPIN

Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965)

Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi
politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam
keadaan darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami
kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai
pijakan hukum yang mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi
terpimpin oleh Presiden Soekarno.

a. Konstituante Gagal Menyusun Undang Undang Dasar Baru

Hasil pemilihan umum memunculkan NU dan PKI sebagai partai besar di samping PNI dan
Masyumi. Setelah pemilihan umum itu dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal
24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai-partai di dalam pariemen. Kabinet ini juga
tidak lama bertahan, karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan
bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan di daerah.

Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekamo memanggil semua pejabat sipil dan militer
beserta semua pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu untuk
pertama kalinya Presiden Soekarno mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain sebagai
berikut.

 Dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai


ditambah dengan golongan fungsional.

 Dibentuk Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung).


Anggota-anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam
masyarakat. Fungsi dewan ini adalah member! nasehat kepada kabinet baik diminta
maupun tidak.

Konsepsi itu ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI.
Mereka berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams
diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam
peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa segala
kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai politik,
sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena itu, ada baiknya parta-partai
politik dibubarkan.
Kemudian, dengan alasan menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengajukan suatu
konsepsi dengan nama Demokrasi Terpimpin. Konsepsi Presiden itu mendapat tantangan
yang hebat. Untuk sementara waktu, masalah politik dan perdebatan Konsepsi Presiden
menjadi beku, karena perhatian masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan pem-
berontakan FRRI-Permesta. Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah politik
muncul kembali. Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami kemacetan
dalam menetapkan dasar negara. Kemacetan itu teriadi karena masing-masing partai hanya
mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan atau mendahulukan
kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang
dihadapi oleh konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di
antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar
Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama
Islam sebagai dasar negara.

Dalam upaya mengatasi kemacetan konstituante, muncul gagasan untuk kembali ke UUD
1945 dari kalangan ABRI. Dengan kembali ke UUD 1945, maka berbagai kekalutan politik
dapat diselesaikan dengan dasar yang kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan yang
stabil, masalah dasar negara teratasi, semangat 45 dapat dipulihkan, sehingga persatuan
dapat dipulihkan juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan dukungan terhadap
gagasan tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan kembali ke UUD 1945 pada
tanggal 19 Februari 1959. 

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya
konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konsdtusi Negara Republik Indonesia.
Menanggapi anjuran pemerintah itu dan sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante
dapat menentukan sikap atau melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara
dilaksanakan riga kali dan hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara
yang menolak kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua
pertiga. Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum. Keadaan politik
masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil keputusan itu menunjukkan
bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir masih tetap mengabdi kepada
kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa selama tiga tahun konstituante ti-iak
mampu mengambil keputusan untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD
Sementara 1950.

Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan, maka sebagian anggotanya


menyatakan tidak akan menghadiri sidang konstituante lagi. Sementara itu sejak tanggal 3
Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata merupakan resesnya yang
terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat dengan peraturan Nomor :
PRT/PEPERPU/040/1959 melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI
mendukung usul supaya UUD 1945 diberlakukan kembali.     
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar
baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu.
Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar
tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara
Indonesia semakin buruk dan kacau.         

Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan
negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya
ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang
berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah.
mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante.
Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-


undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional.
Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum
berhasil dibuat, sedang-kan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem
pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari
1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada
Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah
terbaik untuk mewujud-kan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal
5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut: (1)
Pembubaran Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS
1950, (3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.

Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia. KSAD langsung
mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI untuk mengamankan Dekrit
Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit itu. DPR hasil pemilihan
umum tahun 1955 juga menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja berdasarkan UUD
1945.
c. Pengaruh Dekrit Presiden

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya
hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD
1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya
menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah
berikut ini,

Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR.
Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa
yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari tindakan presiden ketika
mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan mengangkat
wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI)
serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.

Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan Penetapan


Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu
bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa
pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams melalui pemilihan
umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang
duduk di MPR.

Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul
"Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia.
Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar Manifestio Politik
Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu
adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).

Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu tahun
1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden.
Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan
pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini
bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat
membubarkan DPR.

Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti PNI,
NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan
nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom.

Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni
1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik,
me-realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan
lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan
Presiden No. 13 tahun 1959.

Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk memperluas
dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI berusaha untuk
menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya. Sasaran PKI
selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 digantikan
menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan
yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin.
Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden Soekarno yang berporos
nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan
PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa
Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif
menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang
diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces)
dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul
yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara kornunis
umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan
kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan
imperialis (Nekolim).

Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom
Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum
internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain itu,
pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan
pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia yang dianggap
proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo.

Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut :

•  Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.

•  Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin Marsekal
Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur
dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada masalah dalam
negeri Malaysia.

d. Kehidupan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin

Sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden adalah penataan kehidupan politik sesuai ketentuan-
ketentuan demokrasi terpimpin. Selain dibentuk kabinet kerja, juga dibentuk lembaga-
lembaga negara seperti MPRS, DPR-GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum lembaga itu
disusun berdasarkan komposisi gotong-royong sebagai perwujudan dari demokrasi
terpimpin.

TNI dan POLRI disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan
Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Menteri
Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden atau Panglima
Tertinggi ABRI. Golongan ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional dan menjadi
salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian, ABRI dapat memainkan peranannya
sebagai salah satu kekuatan sosial politik.

Berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, kehidupan partai politik
ditata dengan menetapkan syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh partai politik. Partai
politik yang tidak memenuhi syarat dihapuskan, misalnya jumlah anggotanya terlalu sedikit.
Dengan dikeluarkannya Penpres itu

 partai politik yang masih dapat bertahan antara lain PNI, Partai Masyumi, Partai NU, PKI,
Partai Katolik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah lebih dikenal dengan tindakan penyederhanaan kepartaian.
Sementara itu, sejumlah tokoh dari Partai Masyumi dan PSI terlibat dalam gerakan PRRI-
Permesta, sehingga kedua partai ini dibubarkan oleh pemerintah.

Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada pada waktu itu adalah presiden dan
ABRI serta partai-partai, terutama PKI. Presiden Soekamo dalam politiknya selalu berusaha
untuk menjaga keseimbangan (balance of power) dalam tubuh ABRI dan juga antara ABRI
dengan partai politik. Untuk menjaga keseimbangan itu, Presiden Soekarno memerlukan
dukungan dari PKI. Namun, PKI hanya mengutamakan kepentingannya sendiri agar dapat
memainkan perannya yang dominan di bidang politik. Dominasi PKI itu diperoleh dengan
mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno.

Sementara itu, tuduhan terhadap PKI yang bersifat internasional (kurang nasional) dan anti
agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya
mencakup Pancasila. Ajakan Presiden Soekarno supaya jangan komunistophobi (takut
terhadap komunis) sangat menguntung-kan PKI dan menjadikan PKI aman. PKI mendapat
keuntungan dan perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.

Dalam rangka mewujudkan sosialisme (dan kelak komunisme) di Indonesia, PKI menempuh
tindakan-tindakan sebagai berikut.

a) Dalam Negeri; berusaha menyusup ke partai-partai politik atau organisasi massa (ormas)
yang menjadi lawannya, kemudian memecah belah. Di bidang pendidikan mengusahakan
agar marxisme-leninisme menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Di bidang militer
mencoba meng-indoktrinasi para perwira dengan ajaran komunis dan membina sel-sel di
kalangan ABRI.

b) Luar Negeri; berusaha mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif menjadi
politik yang menjurus ke negara-negara komunis.

PKI dicurigai mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan pemerintahan. Kecurigaan ini
berdasarkan pengalaman masa lalu, yaitu pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pada
tahun 1964, ditemukan dokumen yang memuat rencana PKI merebut kekuasaan. PKI
menyatakan bahwa dokumen itu palsu.

 Berkat perlindungan Presiden Soekarno dan dominasi di bidang politik, tidak ada tindakan
lebih lanjut atas tuduhan itu. D.N. Aidit (Ketua PKI) di hadapan peserta kursus Kader
Revolusi menyatakan bahwa Pancasila hanya merupakan alat pemersatu dan kalau sudah
bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Pemyataan ini tidak mendapat tindakan dan
peringatan dari Presiden Soekamo, sehingga PKI dapat melakukan intimidasi dan teror
politik di segala bidang.   

Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI memengaruhi Presiden Soekarno untuk melarang
Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya
keduanya didukung dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Sebenarnya yang ditentang PKI
bukan manifesto kebudayaan, tetapi terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama Persatuan
Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). PKI juga berhasil memengaruhi Antara (Kantor
berita) dan RRI.

Di bidang kepartaian, PKI berhasil menfitnah Partai Murba, sehingga partai itu dibubarkan
oleh Presiden Soekarno. PKI juga mengadakan penyusupan ke partai-partai lain. PNI yang
dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jenderal Surachman sebagai sekretaris
jenderalnya disusupi PKI. Besarnya pengaruh PKI pada PNI (Ali - Surachman) menyebabkan
marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di Indonesia. Tokoh-tokoh marhaenisme
sejati seperti Osa Maliki dipecat dari keanggotaan partai. Golongan Osa Maliki membentuk
pengurus tandingan, sehingga terbentuklah PNI Osa-Usep (Ketuanya Osa Maliki dan
sekretaris jenderalnya Usep Ranuwijaya). Dengan demikian, PNI pecah menjadi dua.
Pada bidang agraria dan pertanian, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI)
berhasil mengacaukan pelaksanaan landreform di beberapa tempat dan melakukan aksi
sepihak dalam bentuk penyerobotan tanah, seperti di Klaten, Boyolali, Kediri (Peristiwa
Jengkol), dan Sumatera Utara (Peristiwa Bandar Betsy). Aksi sepihak itu bertujuan untuk
mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dan tindakan
yang akan dilakukan oleh pihak ABRI.

Dalam usaha memengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur resmi dan jalur tidak resmi.
Jalur resmi adalah Komisaris Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau Komandan
Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai oleh
Kamaruzaman (Syam).

Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri atas PNI dan NU, PKI
kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu menanggulangi
pengaruh PKI, bahkan dapat menjadi penghalang bagi PKI dalam usahanya membentuk
negara komunis. Oleh karena itu, pada peristiwa Gerakan 30 September, yang dijadikan
sasaran PKI adalah ABRI, khususnya angkatan darat.

Republik Rakyat Cina (RRC) menyarankan agar Presiden Soekarno membentuk Angkatan
Kelima untuk melengkapi empat angkatan yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk
memperkuat kedudukan PKI. Presiden Soekarno tidak setuju dengan pembentukan
angkatan kelima, dan dengan tegas ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI
menganjurkan agar dibentuk Kabinet Nasakom. Namun, anjuran itu hanya membawa hasil
sedikit, yaitu dengan diangkatnya beberapa tokoh PKI, seperti D.N.Aidit, M.H. Lukman, dan
Nyoto menjadi Menteri Negara.

2. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari


dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno. Disebut
Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah
kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.

Ø  Tugas Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini
disebabkan karena :

·         Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala
negara
·         Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.

Dampaknya dari Penataan kehidupan politik yang menyimpang dari tujuan awal adalah
demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi
(pemusatan kekuasaan di tangan presiden).

3. Penyimpangan Yang Dilakukan dari Demokrasi Terpimpin Terhadap UUD 1945

1.      Kedudukan Presiden

Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS  tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai
besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.

2.      Pembentukan MPRS

Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang
duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk oleh presiden dengan syarat adalah Setuju kembali
kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto
Politik.

penuruan Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah,
dan 200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN).

3.      Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden


No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas
satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang
wakil golongan. Tugas DPAS  adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan
mengajukan usul kepada pemerintah.

Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab


presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara
bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul
”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti
Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan
MANIPOL USDEK.

4. Kehidupan Ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin

Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti
ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi
terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan
sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah
untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.

1.      Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah


Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh.
Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.

Tugas Depernas :

-          Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana

-          Menilai Penyelenggaraan Pembangunan

Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS. Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai
perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak
dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas)
diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin
oleh Presiden Sukarno.

2.      Penurunan Nilai Uang

Tujuan dilakukan devaluasi :

-          Guna membendung inflasi yang tetap tinggi

-          Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat


-          Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.

Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai


nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.

-          Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50

-          Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100

-          Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000

Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi
yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.

Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :

-          Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan
daerah yang menyebabkan ekspor menurun.

-          Pengambilalihan perusahaan  Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.

-          Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang
mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.

3.      Kenaikan Laju Inflasi

Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :

-          Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.

-          Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan

-          Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar

-          Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada

-          Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
-          Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh

-          Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.

Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:

-          Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalammelakukan
pengeluaran.

-          Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of


the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces)

kekeuranganneraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa

-          Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.

-          1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif
sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
barat.

Kebijakan Pemerintah :

-          Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.

-          13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan


uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.

Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :

-          Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari
uang rupiah baru.

-          Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan
meningkatnya angka inflasi.
Bab III

PENUTUP

Kesimpulan

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959
parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

Saran

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari
segi penulisan maupun materi, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritikan dari guru
dan teman-teman  yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang
selanjutnya.

http://scienceone2015.blogspot.co.id/p/blog-page_9455.html

Anda mungkin juga menyukai