Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN DEMOKRASI LIBERAL

Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak
individu dari kekuasaan pemerintah. Keputusan - keputusan mayoritas diberlakukan pada
sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-
pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu
seperti tercantum dalam konstitusi.
Demokrasi liberal digunakan untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di
Britania Raya, Amerika Serikat  dan Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa
republik (Perancis, Amerika Serikat, India) atau monarki konstitusional (Spanyol,
Britania Raya). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem
presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya
dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis).

Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan oleh penggagas teori kontrak sosial
seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau pada Abad
Pencerahan.

Ciri-ciri demokrasi liberal :


1. Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan,
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional,
3. Kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol,
4. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, untuk memperjuangkan dirinya,
MASA DEMOKRASI LIBERAL
MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 )
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut
pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab
pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena
jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap
kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai
( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung
mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya
menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah
berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia
memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia
akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun
(1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun.
Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan
kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat.
Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena
adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya
sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :
a. Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di Jawa.
Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada
tahun 1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya
yang memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps
Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus
1951, ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952 menyatakan
diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun memberontak, namun
akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar Matiliu
menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.
b. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dihadapi
pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan
Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya
bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini,
sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII
(Desember 1951). Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC).
Untuk menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi namaBanteng
Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.
c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20 September
1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah
menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai
sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah mengadakan operasi,
mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa
mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke
masyarakat (Desember 1962).
d. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol. Bambang
Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada
Mentri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan
meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi
agar pemerintah segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan mengajukan
pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat.
Pimpinan AD mendesak kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas
dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana Merdeka.
Presiden menolak tuntutan ini dewngan alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan
berusaha segera mempercepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh
Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.
e. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah belum
mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya.
Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol.
Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru,
tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa ini
menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas
KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955).
Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu
ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara
Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak
pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan pembawa panji-
panji Angkatan Udara, sehingga upacara batal.
f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20
November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I
di Padang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah.
Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih
pemerintahan daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra
Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di
Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena
pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi
negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji
pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi militerpun
dilancarkan (17 Desember 1957).
g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957). Usaha
tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi
hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi lagi.
Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka
dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya,
Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha
tersebut sia-sia.
h. Pemberontakan PRRI dan Permesta
Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan rapat di Sungai
Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad
Husein mengultimatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan
mandat kepada Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet
dan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum tersebut ditolak oleh
Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15
Februari 1958). Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba yang
membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta). Pemberontakan ini ditumpas dengaan
operasi militer selama beberapa tahun.
Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam beberapa bidang.
Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut
antara lain dalam bidang:
a. Politik
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya, sehingga berlomba-
lombalah para partai politik untuk memperebutkan posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan
Konstituante hasil PEMILU merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang
mendapat perhatian.
Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada
umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah
berusaha keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha partai,
organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta sebagai pemilih.
Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai
yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI.
Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti
yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan,
sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru
untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai anggota PBB ke-60 (27
Desember 1950). Cara-cara damai yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah
Belanda tentang Irian Jaya ( Papua ) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan, seperti telah
tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara sepihak Pemerintah Indonesia membatalkan
perjanjian tersebut dengan UU No. 13 Tahun 1956. Sumbangan positif Indonesia dalam dunia
Internasional adalah dikirimkannya tentara Indonesia dalam United Nations Amergency Forces
(UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini diberi nama Garuda I dan
diberangkatkan Januari 1957.
b. Ekonomi
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan mengadakan sanering
yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya
bernilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut
Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk mengimbangi import.
Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE
meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyats BE tidak berhasil
meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut dihapuskan (1959).
Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun
rencana pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959). Tetapi
peningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang mengganas. Pemerintah juga
cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas menurun , sehingga rupiah merosot.
c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi massa (ormas), khususnya
dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan
partai-partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin
berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari empat besar dan
kegiatannya ditingkatkan yang mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).
d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam bidang budaya ini.
Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas
yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia
yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958).
Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah peraturan dari
pemerintah kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939,
yang menyebutkan wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah
pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai sangat
merugikan bangsa Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13
Desember 1957 yang juga disebut sebagai Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah
perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah
tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian
dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi
kesalahpahaman.

INDONESIA MASA DEMOKRASI


LIBERAL (1950-1959)
Mar 26

Posted by Pak RM

Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan


konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini
bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945
dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal
atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia.
Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai
terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya
kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :

1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat


2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
3. Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
4. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden

A. KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL

a. KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.

Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir

Program        :

1.      Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.

2.      Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.


3.      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

4.      Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.

5.      Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Hasil               :

Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah


Irian Barat.

Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

–         Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).

–         Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan RMS.

Berakhirnya kekuasaan kabinet         :

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai
DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

b. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)

Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.

Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo

Program        :

1. Menjamin keamanan dan ketentraman


2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai
dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke
dalam wilayah RI secepatnya.

Hasil               :

Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin
keamanan dan ketentraman

Kendala/ Masalah yang dihadapi      :


 Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan
Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan
politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.

Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia
ke dalam blok barat.

 Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
 Masalah Irian barat belum juga teratasi.
 Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet         :

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka
menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan
terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

c. KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam biangnya.

Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo

Program :

1. Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR,


dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat,
dan pemulihan keamanan.
2. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar
negeri yang bebas-aktif.

Hasil : –

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

 Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang
eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
 Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih
setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk
mengimport beras.
 Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan
bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari
pusat ke daerah yang tidak seimbang.

 Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk


menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan
partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini
diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan
dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang
Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri
pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan
perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di
Sulawesi Selatan.

Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya


parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan
menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.

Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan
perang dan mengecam kebijakan KSAD.

Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno
agar membubarkan kabinet.

 Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di


Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang
telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga
pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar
Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani
tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh.

Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian
dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

d. KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.

Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo

Program        :

1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.


2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4. Penyelesaian Pertikaian politik

Hasil               :

 Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan


diselenggarakan pada 29 September 1955.
 Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.

Kendala/ Masalah yang dihadapi            :

 Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,


seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
 Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut
dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa
17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan
permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan
menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru
tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma
yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada
27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di
Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.

 Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
 Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
 Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk
menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai
lainnya.

Berakhirnya kekuasaan kabinet   :

Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya
inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

e. KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Dipimpin Oleh     : Burhanuddin Harahap

Program              :

1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil                     :

 Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih


anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai
politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4
partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan
PKI.

 Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni


Indonesia-Belanda.

 Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh
polisi militer.

 Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.


 Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH
Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.

Kendala/ Masalah yang dihadapi   :

Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet      :

Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak
menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan
dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

f. KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.

Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo

Program           :

Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program
jangka panjang, sebagai berikut.

1. Perjuangan pengembalian Irian Barat


2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan
kepentingan rakyat.

Selain itu program pokoknya adalah,

 Pembatalan KMB,
 Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik
luar negeri bebas aktif,
 Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil                  :

Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

 Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.


 Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada
gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di
Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra
Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di
Sulawesi Utara.

 Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap


mengabaikan pembangunan di daerahnya.
 Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai
nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat
ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.

 Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan
parlementer.

Berakhirnya kekuasaan kabinet         :

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.

g. KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang
Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.

Dipimpin Oleh : Ir. Juanda

Program           :

Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :

 Membentuk Dewan Nasional


 Normalisasi keadaan Republik Indonesia
 Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
 Perjuangan pengembalian Irian Jaya
 Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.

Hasil                  :

 Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda,


yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini
menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan
daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
 Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.

 Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di


berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan
daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.

 Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam


negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

–         Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin


meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta.

–         Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah
sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.

–         Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-
purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan
negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

Berakhirnya kekuasaan kabinet         :

Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
LATAR BELAKANG PENERAPAN DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA
A.     Sejarah munculnya Demokrasi Liberal
            Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi
parlementer yang Liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat, dan masa ini disebut
Masa demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan
berdasarkan Undang – undang Dasar Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal.
Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri
(kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR). Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya
partai – partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai.
Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demoktasi Liberal tidak cocok dan tidak
sesuai dengan. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit mengenai
pembubaranKonstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950 karena dianggap tidak cocok dengan kedaan ketatanegaraan Indonesia.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DEMOKRASI LIBERAL


Kelebihan dari pelaksanaan Demokrasi Liberal sebagai berikut;
a)      Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
b)      Penyelenggaraan pemilu untuk yang pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia
secara demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih konstituante).
c)       Pembatalan seluruh perjanjian KMB. KMB
d)      Indonesia dapat mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda
e)      Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.
f)        Masa ini bisa dikatakan sebagai masa paling demokratis selama republik ini berdiri.
Kegagalan dari pelaksanaan Demokrasi Liberal yaitu;
        Instabilitas Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan
pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering jatuh dan
terinflasi.
        Timbul berbagai masalah keamanan
        Sering terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
        Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
        Sering terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
        Praktik korupsi meluas.
        Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan
bidang politik bukan pada ekonomi.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.


Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal
ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun
konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap.
Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar
kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan
dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok
partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya
menghendaki agama Islam sebagai dasar negara. Pemungutan suara dilakukan 3 kali dan
hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara yang menolak kembali ke
UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua pertiga. Hal ini menjadi masalah
karena masih belum memenuhi syarat. Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu
keputusan, maka sebagian aanggotanya menyatakan tidak akan menghadiri siding
konstituante lagi. Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan UUD
baru. Keadaan itu semakin mengguncang situasi politik Indonesia saat itu.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada
Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit yang berisi sebagai berikut;
        Pembubaran Konstituante.
        Berlakunya kembali UUD 1945.
        Tidak berlakunya UUDS 1950.
        Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950,
maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai