a. Pemberontakan PKI
c. APRA
d. Andi Aziz
2. Masa 1950-1959
b. Pemberontakan PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) didirikan di
Sumatra. Pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein
memproklamasikan berdirinya PRRI. Dipadamkannya pemebrontakan
ini, dengan sejumlah operasi militer.
c. Pemberontakan Permesta
Di Universitas Permesta, pada 17 Februari 1958, diadakan pertemuan
yang dihadiri para tokoh politik, gubernur militer Sulawesi Utara dan
Tengah, para cendikiawan,dan Mayor D. Jus Somba. Ditumpas oleh
militer yang terbagi.
3. Masa 1959-1966
4. Masa 1966-1998
Masa 1966 hingga 1988 disebut masa Orde Baru. Orde baru awalnya member
angin segar pada pengamalan Pancasila. Namun, terdapat kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan kemudian yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Hal
yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa Pancasila pada masa Orde Baru antara lain
adalah sebagai berikut.
Masa tahun 1998-sekarang ini disebut sebagai masa reformasi. Pada awal masa
ini, dilakukannya demonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto akibat
kemunduran ekonomi Indonesia dan dugaan penyelewengan pada Pancasila. Inilah
yang disebut gerakan reformasi. 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya
menyatakan mundur sebagai presiden RI dan digantikan oleh wakilnya, B.J
Habibie.
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang
merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini
diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi
pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa
Orde Baru.
Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor
Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa
orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka.
Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.
Kepresidenan Abdurrahman Wahid (1999–2001)
Pada 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Indonesia. Kabinet
pertama, yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang mewakili beberapa partai politik: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan (PK).
Perwakilan nonpartisan dan militer (TNI) juga ditempatkan dalam kabinet. Salah
satu reformasi administrasi negara yang dilakukan Gus Dur adalah penghapusan
Kementerian Penerangan, senjata utama Orde Baru untuk mengendalikan media,
dan pembubaran Kementerian Kesejahteraan, yang telah menjadi korup pada masa
Orde Baru.[4]
Gus Dur bermaksud memberikan referendum kepada Provinsi Aceh—yang saat
itu memberontak—untuk menentukan model otonomi mereka alih-alih opsi untuk
memerdekakan diri seperti di Timor Timur.[5] Gus Dur juga ingin mengambil sikap
yang lebih lunak terhadap Aceh dengan menurunkan lebih sedikit personel militer
di sana. Pada bulan Maret 1999, pemerintahan Gus Dur mulai membuka negosiasi
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada bulan Mei, pemerintah
menandatangani nota kesepahaman dengan GAM yang berlaku hingga awal 2001,
saat kedua belah pihak melanggar perjanjian tersebut.[6]
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi
Papua (saat itu disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin
Papua Barat bahwa dirinya merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong
penggunaan nama Papua.[7]
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–
Leninisme dicabut.[8] Pada bulan September, Gus Dur mengumumkan darurat
militer di Maluku. Pada bulan yang sama, penduduk Papua Barat
mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gus Dur menanggapi dengan mengizinkan
pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang Kejora ditempatkan lebih rendah
dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik keras oleh Megawati dan Akbar
Tanjung. Pada 24 Desember 2000, serangkaian pengeboman dilakukan terhadap
gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota di seluruh Indonesia.
Ketika naik ke kursi kepresidenan, salah satu tujuan Gus Dur adalah mereformasi
TNI dan menghilangkan peran sosiopolitik mereka yang dominan. Dalam usaha
ini, Wahid bersekutu dengan Agus Wirahadikusumah, yang ia jadikan
Panglima Kostrad pada bulan Maret 2000. Pada bulan Juli, Agus mulai
mengungkap skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang berafiliasi
dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gus Dur untuk
mencopot Agus. Gus Dur mengalah pada tekanan ini tetapi kemudian berencana
untuk mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang ditanggapi oleh
para pemimpin TNI dengan mengancam akan pensiun dan Gus Dur sekali lagi
mengalah pada tekanan tersebut.[10]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama
terungkap bahwa milisi Laskar Jihad telah tiba di Maluku dan dipersenjatai dengan
senjata militer, meskipun Gus Dur telah memerintahkan TNI untuk memblokir
masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi telah merencanakan sejak awal tahun
untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri dalam konflik sekretarian di
sana.[11]
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa
kepresidenannya. Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya
dana sebesar US$4 juta. Uang tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur
sendiri, yang menyatakan bahwa Gus Dur mengirimnya ke Bulog untuk
mengambil uang tersebut.[12] Meski uangnya telah dikembalikan, musuh-musuh
politik Gus Dur mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam
skandal yang disebut sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga
dituduh menyimpan sumbangan US$2 juta dari Sultan Brunei yang diberikan
sebagai bantuan untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.
Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling
menonjol adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur
sebagai presiden pada tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi
dengan mendorong Megawati dan Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan
politik mereka. Megawati secara mengejutkan membela Gus Dur sementara Akbar
memilih untuk menunggu pemilu legislatif 2004. Pada akhir November,
151 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandatangani petisi yang
menuntut pemakzulan Gus Dur.[13]
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Imlek menjadi hari libur opsional.[14] Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari
dengan mencabut larangan tentang perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan
Februari, Gus Dur mengunjungi negara-negara di Afrika Utara serta Arab Saudi
untuk menunaikan ibadah haji.[15] Gus Dur melakukan kunjungan luar negeri
terakhirnya pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus
Dur berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan
bahwa ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi.[16] Meskipun isi
pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang
timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam
Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden.
Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung
memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai
bentuk protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan
anggota Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor
Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong
demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di
kota Pasuruan dan mendorong mereka untuk berhenti berdemonstrasi.[17] Meski
demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus
Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati
untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari
anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot
karena secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri
Kehutanan Nur Mahmudi Ismail juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana
departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai
menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30
April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan
Sidang Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat.
SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien
Rais mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI,
yang memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai
presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang
mengarah ke Istana Presiden untuk unjuk kekuatan.[18] Untuk mencegah Sidang
Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian
mengeluarkan maklumat pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak
memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR
melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk
memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana
Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera
terbang ke Amerika Serikat untuk merawat kesehatannya.