Anda di halaman 1dari 12

A.

Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa


1.Masa 1945-1950
Tahun 1945-1950 adalah masa awal kemerdekan Indonesia. Pada masa
ini,penerapan pancasila di Indoneisamendapat banyak tantangan. Berikut
pemberntakan-pemberontakan yang terjadiadalah sebagai berikut.

a. Pemberontakan PKI

Pada 19 September 1948 Musso memproklamasikan berdirinya


Negara Republik Soviet di kota Madiun, Jawa timur.Tujuan Musso adalah
untuk mengganti dasar Negara. Pada 31 Oktober 1948 musuh ditumpas oleh
TNI.

b. Pemberontakan DI/TII di Jawa barat dan Jawa tengah

7 Agustus 1949 Karto Suwirgo memproklamasikan berdirinya Negara


islam Indonesia (NII). Setelah itu Amir Fatah bergabung lalu
memproklamasikan berdirinya Darul Islam pada tanggal 23 Agustus
1949. Tujuannya untuk mendirikan Negara Islam.

c. APRA

Setelah konfrensi meja bundar Indonesia menjadi Negara serikat


termasuk pasundan di dalamnya. Namun, masyrakat ingin kembali ke
NKRI. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Pasundan
dengan ketua Raymon Westerling. Ketika APRA ditumpas Westerling
kemudian melarikan diri ke luar negeri.

d. Andi Aziz

Aziz membuat tuntutan menentangnya masuknya tentara dari Jawa.


Pasukan ekspedisi dikirim untuk menumpas pemberontakan yang
diimpin oleh Andi Aziz. Pada 26 April 1950 seluruh pasukan ekspedisi
mendarat dan pada bulan yang sama pula Andi Aziz menyerahkan diri,
tetapi pertempuran sengit tetap terjadi pada bulan Mei dan Agustus 1950.
e. Pemberontakan RMS

RMS berdiri pada tanggal 25 April 1950 yang dipimpin oleh


Dr.Soumokil. Dalam pemberontakan ini ada gerakan separatis yang
menolak integrasi dan ingin membentuk negara sendiri. Pada 15 Agustus
1950, Presiden RIS, Soekarno, mengumumkan Piagam Pernyataan
Terbentuknya Negara Kesatuan. Selain itu, di waktu yang sama,
Soekarno menandatangani UUDS yang dikenal dengan UUDS 1950.
UUDS mulai berlaku pada 17 Agustus 1950. Dengan demikian,
Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Masa 1950-1959

Berdasarkan UUDS 1950 presiden berfungsi sebagai kepala Negara dan


menjadi bagian dari pemerintah. Namun, tanggung jawab pemerintahan berada di
tangan perdana menteri bersama para menterinya. Ideologi liberal yang artinya hal
ini tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Berbagai kabinet terbentuk dan jatuh
silih berganti. 29 September 1955 terlaksana pemilihan umum pertama Indonesia.
Terpilihlah 272 anggota DPR dan 550 anggota Lembaga Konstituante yang mulai
bekerja sejak tahun 1956. Dikeluarkan lah Dekret Presiden dikarenakan terjadi
kegagalan menyusun undang-undang. Pada periode ini, persatuan Indonesia juga
mendapat tantangan berat dengan munculnya sejumlah pemberontakan yang
bertujuan melepaskan diri dari NKRI. Pemberontakanyangterjadi antara lain
sebagai berikut.

a. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan


Aceh.
Pada April 1950, Ibnu Hajar dan pasukannnya melakukan pengacauan
di Kalimantan Selatan dan bergabung dengan DI/TII. Adapun DI/TII di
Aceh dipimpin Daud Beureueh. Berkat dukungan rakyat ,
akhirnya ,pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan.

b. Pemberontakan PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) didirikan di
Sumatra. Pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein
memproklamasikan berdirinya PRRI. Dipadamkannya pemebrontakan
ini, dengan sejumlah operasi militer.

c. Pemberontakan Permesta
Di Universitas Permesta, pada 17 Februari 1958, diadakan pertemuan
yang dihadiri para tokoh politik, gubernur militer Sulawesi Utara dan
Tengah, para cendikiawan,dan Mayor D. Jus Somba. Ditumpas oleh
militer yang terbagi.

3. Masa 1959-1966

Periode demokrasi terpimpin. Namun, terjadi penyimpangan penafsiran


terhadap Pancasila pada masa ini. Penyimpangan yang terjadi antara lain sebagai
berikut.

a. Diangkatnya Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup.


b. Pembubaran DPR.
c. DPR-GR dipilih dan diangkat langsung oleh presiden.
d. Pelaksanaan politik konfrontasi
e. Adanya percobaan penggabungan nasionalis, agama, dan komunisme
(Nasakom), tetapi tidak cocok untuk NKRI.

Pada masa ini, terjadiperistiwa pemberontakan PKI atau G30S/PKI


pada 30 September 1965. PKI berusaha merebut kekuasaan disertai
pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang ajudan Jenderal A.H
Nasution,yaitu sebagai berikut.
a. Jenderal Ahmad Yani
b. Letjen M.T Haryono
c. Letjen Soeprapto
d. Letjen S. Parman
e. Mayjen D.I Panjaitan
f. Mayjen Soetojo Siswomihardjo
g. Letnan Satu Pierre A. Tendean

Pemberontakan ini dilakukan antara lain untuk mengganti Pancasila


sebagai dasar Negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara, segera
menghentikan pemberontakan PKI tersebut. Adapun tanggal 30
diperingati sebagai hari peringatan G30S/PKI, sedangkan 1 Oktober
diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila.

4. Masa 1966-1998

Pada 12 Januari 1966, terjadi demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang


menyampaikan beberapa tuntunan yang dikenal sebagai Tiga Tuntunan Hati
Nurani Rakyat (Tritura). Adapun isi nya sebagai berikut.

a. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.


b. Bubarkan cabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c. Turunkan harga.

Situasi yang makin tidak menentu membuat Presiden Soekarno mengeluarkan


Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Isi surat itu
meminta Letnan Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban
negara.

Masa 1966 hingga 1988 disebut masa Orde Baru. Orde baru awalnya member
angin segar pada pengamalan Pancasila. Namun, terdapat kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan kemudian yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Hal
yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa Pancasila pada masa Orde Baru antara lain
adalah sebagai berikut.

a. Kebebasan pers dianggap terbatas.


b. Pemerintahan cenderung sentralistik.  terpusat di Jakarta.
c. Demokrasi cenderung dikekang.
d. Diduga terdapat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
5. Masa 1998-Sekarang

Masa tahun 1998-sekarang ini disebut sebagai masa reformasi. Pada awal masa
ini, dilakukannya demonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto akibat
kemunduran ekonomi Indonesia dan dugaan penyelewengan pada Pancasila. Inilah
yang disebut gerakan reformasi. 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya
menyatakan mundur sebagai presiden RI dan digantikan oleh wakilnya, B.J
Habibie.

Kepresidenan Habibie (1998–1999)


Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai
presiden dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999,
pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Partai Politik[2] yang
mencabut pembatasan jumlah partai politik (parpol). Sebelumnya, pada masa
Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak diwajibkan
berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di
antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999.

Pada Mei 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi


Daerah yang merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan
Indonesia dan memungkinkan provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam
mengatur daerahnya. Pers lebih dibebaskan pada pemerintahan Habibie, meskipun
Kementerian Penerangan tetap dipertahankan. Tahanan politik seperti Sri Bintang
Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan Xanana Gusmão juga dibebaskan atas
perintah Habibie.

Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang
merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini
diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi
pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa
Orde Baru.
Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor
Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa
orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka.
Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.
Kepresidenan Abdurrahman Wahid (1999–2001)
Pada 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Indonesia. Kabinet
pertama, yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang mewakili beberapa partai politik: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan (PK).
Perwakilan nonpartisan dan militer (TNI) juga ditempatkan dalam kabinet. Salah
satu reformasi administrasi negara yang dilakukan Gus Dur adalah penghapusan
Kementerian Penerangan, senjata utama Orde Baru untuk mengendalikan media,
dan pembubaran Kementerian Kesejahteraan, yang telah menjadi korup pada masa
Orde Baru.[4]
Gus Dur bermaksud memberikan referendum kepada Provinsi Aceh—yang saat
itu memberontak—untuk menentukan model otonomi mereka alih-alih opsi untuk
memerdekakan diri seperti di Timor Timur.[5] Gus Dur juga ingin mengambil sikap
yang lebih lunak terhadap Aceh dengan menurunkan lebih sedikit personel militer
di sana. Pada bulan Maret 1999, pemerintahan Gus Dur mulai membuka negosiasi
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada bulan Mei, pemerintah
menandatangani nota kesepahaman dengan GAM yang berlaku hingga awal 2001,
saat kedua belah pihak melanggar perjanjian tersebut.[6]
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi
Papua (saat itu disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin
Papua Barat bahwa dirinya merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong
penggunaan nama Papua.[7]
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–
Leninisme dicabut.[8] Pada bulan September, Gus Dur mengumumkan darurat
militer di Maluku. Pada bulan yang sama, penduduk Papua Barat
mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gus Dur menanggapi dengan mengizinkan
pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang Kejora ditempatkan lebih rendah
dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik keras oleh Megawati dan Akbar
Tanjung. Pada 24 Desember 2000, serangkaian pengeboman dilakukan terhadap
gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota di seluruh Indonesia.
Ketika naik ke kursi kepresidenan, salah satu tujuan Gus Dur adalah mereformasi
TNI dan menghilangkan peran sosiopolitik mereka yang dominan. Dalam usaha
ini, Wahid bersekutu dengan Agus Wirahadikusumah, yang ia jadikan
Panglima Kostrad pada bulan Maret 2000. Pada bulan Juli, Agus mulai
mengungkap skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang berafiliasi
dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gus Dur untuk
mencopot Agus. Gus Dur mengalah pada tekanan ini tetapi kemudian berencana
untuk mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang ditanggapi oleh
para pemimpin TNI dengan mengancam akan pensiun dan Gus Dur sekali lagi
mengalah pada tekanan tersebut.[10]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama
terungkap bahwa milisi Laskar Jihad telah tiba di Maluku dan dipersenjatai dengan
senjata militer, meskipun Gus Dur telah memerintahkan TNI untuk memblokir
masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi telah merencanakan sejak awal tahun
untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri dalam konflik sekretarian di
sana.[11]
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa
kepresidenannya. Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya
dana sebesar US$4 juta. Uang tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur
sendiri, yang menyatakan bahwa Gus Dur mengirimnya ke Bulog untuk
mengambil uang tersebut.[12] Meski uangnya telah dikembalikan, musuh-musuh
politik Gus Dur mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam
skandal yang disebut sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga
dituduh menyimpan sumbangan US$2 juta dari Sultan Brunei yang diberikan
sebagai bantuan untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.

Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling
menonjol adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur
sebagai presiden pada tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi
dengan mendorong Megawati dan Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan
politik mereka. Megawati secara mengejutkan membela Gus Dur sementara Akbar
memilih untuk menunggu pemilu legislatif 2004. Pada akhir November,
151 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandatangani petisi yang
menuntut pemakzulan Gus Dur.[13]
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Imlek menjadi hari libur opsional.[14] Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari
dengan mencabut larangan tentang perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan
Februari, Gus Dur mengunjungi negara-negara di Afrika Utara serta Arab Saudi
untuk menunaikan ibadah haji.[15] Gus Dur melakukan kunjungan luar negeri
terakhirnya pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus
Dur berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan
bahwa ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi.[16] Meskipun isi
pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang
timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam
Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden.
Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung
memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai
bentuk protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan
anggota Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor
Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong
demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di
kota Pasuruan dan mendorong mereka untuk berhenti berdemonstrasi.[17] Meski
demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus
Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati
untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari
anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot
karena secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri
Kehutanan Nur Mahmudi Ismail juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana
departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai
menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30
April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan
Sidang Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat.
SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien
Rais mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI,
yang memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai
presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang
mengarah ke Istana Presiden untuk unjuk kekuatan.[18] Untuk mencegah Sidang
Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian
mengeluarkan maklumat pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak
memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR
melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk
memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana
Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera
terbang ke Amerika Serikat untuk merawat kesehatannya.

Kepresidenan Megawati (2001–2004)


Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, putri pendiri Indonesia
sekaligus presiden pertama Sukarno, proses reformasi demokrasi yang dimulai
pada periode Habibie dan Gus Dur terus berlanjut, meskipun berjalan lambat dan
tidak menentu. Megawati mengumumkan susunan Kabinet Gotong Royong pada
10 Agustus 2001 untuk membantunya mengatur negara. Selama kabinet ini
bertugas, Megawati tidak pernah melakukan perombakan kabinet dan hanya
mengangkat beberapa pelaksana tugas karena beberapa menteri mengundurkan diri
sehubungan dengan pencalonan mereka pada Pilpres 2004.
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Suharto ke kursi kepresidenan pada
awalnya disambut secara luas, tetapi segera terlihat bahwa kepresidenannya
ditandai dengan ketidaktegasan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "dikenal
pasif dalam urusan kebijakan penting".[19][20][21] Sisi baik dari lambatnya kemajuan
reformasi dan menghindari konfrontasi adalah bahwa Megawati menstabilkan
proses demokratisasi secara keseluruhan dan hubungan antara legislatif, eksekutif,
dan militer.[19]
Meskipun pada tahun 2004 ekonomi telah stabil dan cukup pulih dari krisis 1997,
angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Konstitusi Indonesia kemudian
diamendemen agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Megawati
mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Ia secara konsisten tertinggal dalam
berbagai jajak pendapat. Sebagian penyebabnya adalah pemilih Muslim yang
cenderung memilih kandidat laki-laki dan kinerja Megawati dipandang biasa-biasa
saja selama menjabat sebagai presiden. Meski tampil lebih baik dari perkiraan pada
putaran pertama pemilu presiden 2004, tetapi di putaran kedua ia dikalahkan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan pada masa pemerintahan Megawati.
Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)
Pemilu Presiden Indonesia 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih
pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla memenangi pemilu setelah melewati dua
putaran pemilihan. Pada 21 Oktober 2004, SBY mengumumkan susunan Kabinet
Indonesia Bersatu.
Dua bulan setelah SBY menjabat, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia
2004 melanda Aceh dan negara-negara lain di sepanjang garis pantai Samudra
Hindia. Tiga bulan kemudian, gempa susulan memicu tsunami di Pulau Nias. Pada
tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan disusul gempa bumi di Yogyakarta.
Indonesia juga mengalami wabah flu burung dan semburan lumpur Sidoarjo.
Pada tahun 2007, banjir besar melanda Jakarta. SBY mengizinkan Gubernur DKI
Jakarta Sutiyoso membuka pintu air Manggarai dengan risiko membanjiri Istana
Kepresidenan.[22]
Pada 1 Oktober 2005, bom bunuh diri terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam
militan Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun
penyelidikan polisi masih dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab
atas bom Bali 2002. SBY mengutuk serangan itu serta berjanji untuk "memburu
para pelakunya dan membawa mereka ke pengadilan".[23]
Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%[24] yang kemudian
menurun menjadi 5,5% pada tahun 2006.[25] Inflasi mencapai 17,11% pada tahun
2005, tetapi menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006.[26]
SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan.
Pada tahun 2004, 18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan
kemiskinan, yang meningkat menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun
pada tahun 2006.[27] Pada bulan Maret dan Oktober 2005, SBY membuat keputusan
untuk memotong subsidi bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan
bakar.[28] Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan Bantuan Langsung Tunai
(BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas SBY. Pada
Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali
lagi memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei
dan Juni 2008.
Pada pemilu presiden 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan kedua
bersama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan dua
kandidat: Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto dan wakil presiden saat
itu, Jusuf Kalla–Wiranto. Pasangan SBY–Boediono memenangkan pemilu dengan
lebih dari 60% suara nasional pada putaran pertama. Mereka lalu mengumumkan
susunan Kabinet Indonesia Bersatu II pada 21 Oktober 2009.
Pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus, menewaskan 353 orang.
[29]
Sementara itu, gempa bumi dan tsunami juga melanda Kepulauan Mentawa.

Kepresidenan Joko Widodo (2014–2024)


Pada pemilu presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Jusuf
Kalla (yang kembali dicalonkan sebagai wakil presiden) mengalahkan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa. Jokowi adalah presiden pertama tanpa latar belakang
politik atau militer yang tinggi.[31] Dalam kampanye pemilu 2014, Jokowi berjanji
akan meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 7% dan mengakhiri kebijakan bagi-
bagi kursi (memberikan jabatan pemerintahan pada koalisi politiknya), meski janji
tersebut belum terpenuhi. Pada masa pemerintahannya, rupiah mencapai rekor
terendah dalam 20 tahun terakhir.[32][33]
Pernyataan kontroversial yang diucapkan oleh mantan wakil gubernur Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan Muslim
saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejumlah protes dilancarkan sebagai
tanggapan atas ucapan Ahok oleh berbagai kelompok Islam
pada November dan Desember 2016 di Jakarta.[34][35][36] Belakangan, pemerintahan
Jokowi melarang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.
Ada kekhawatiran akan menurunnya kebebasan berekspresi selama periode ini,
terbukti dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan banyak orang karena
aktivitas media sosial mereka yang diartikan sebagai "penghinaan" kepada
presiden.[37]
Beberapa bencana seperti gempa bumi (di Palu, Lombok, dan Banten) dan kabut
asap akibat deforestasi di Kalimantan dan Sumatra terjadi selama periode
pemerintahan Jokowi. Pengeboman terkait ISIS juga terjadi
di Jakarta dan Surabaya.
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di
Indonesia sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen.
Ini adalah pertama kali tingkat kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua
digit. Sebelumnya, angka kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai
23,4 persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.[38]
Pada 17 April 2019, Indonesia mengadakan pemilihan umum serentak. Untuk
pertama kalinya, pemilihan dilakukan terhadap presiden dan wakil presiden,
serta anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.[39] Pemilu ini digambarkan
sebagai "salah satu pemungutan suara satu hari paling rumit dalam sejarah global".
[40]
Jokowi dan calon wakil presiden Ma'ruf Amin mengalahkan Prabowo dan
pasangannya, Sandiaga Uno.[41] Pemilu ini diikuti oleh protes dan kerusuhan di
bulan Mei yang mengakibatkan setidaknya delapan pengunjuk rasa tewas.[42] Pada
16 Agustus 2019, empat puluh tiga pelajar Papua di Surabaya, Jawa
Timur ditangkap oleh polisi setelah adanya laporan bahwa bendera Indonesia
dirusak di luar gedung tempat mereka tinggal,[43] yang menyebabkan protes di
Papua dan bagian lain Indonesia.[44] Serangkaian demonstrasi massa yang dipimpin
oleh mahasiswa terjadi di kota-kota besar Indonesia pada September 2019 untuk
memprotes undang-undang baru yang mengurangi kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa RUU lainnya.[45] Protes tersebut
kemudian berkembang menjadi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia sejak
demonstrasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Suharto.[46]
Penyakit koronavirus 2019 (COVID-19), yang sedang berlangsung di seluruh
dunia, pertama kali dikonfirmasi menyebar ke Indonesia pada 2 Maret 2020.
[47]
Hingga 5 November 2020, virus ini telah mengakibatkan lebih dari 14.000
kematian di Indonesia.[48] Pada akhir 2020, pandemi menyebabkan perekonomian
jatuh ke dalam resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun.[49] Pada Oktober
2020, sejumlah protes meluas di seluruh Indonesia setelah DPR
mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.[50]

Anda mungkin juga menyukai