KD. 3.2. Menganalisis kehidupan bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan
Terpimpin
Masa demokrasi
terpimpin diawali dengan
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang ditandai dengan perubahan konstitusi dari UUD
Sementara ke UUD 1945. Perubahan ini terjadi karena masa Demokrasi Liberal dianggap
gagal menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa terutama yang berkaitan dengan
persoalan ketatanegaraan, krisis antar partai, krisis ekonomi dan persoalan separatisme
daerah. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1. Dominasi peran presiden sehingga muncul istilah Pemimpin Besar Revolusi. Dominasi
peran presiden ini terlihat dari :
a. pada tanggal 22 Juli 1959 Presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung(DPA)
yang diketuai presiden dengan Penpres no.3 tahun 1959 yang bertugas memberi
jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
Usulan DPA yang terkenal adalah DPA mengusulkan agar Pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara yang berjudul “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat
Manipol.
b. Dengan Penetapan Presiden no. 2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, dibentuk
Majelis Permusyawaran Rakyat Sementara(MPRS) yang diketuai Chaerul Saleh, yang
anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
c. Dengan Penetapan Presiden no. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR hasil
Pemilu tahun 1955 dan membentuk DPRGR(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong) dengan Penetapan Presiden no 4 tahun 1960, yang seluruh anggotanya
ditunjuk presiden, dan bahkan peraturan dan tata tertibnya juga ditetapkan oleh
presiden.
d. Dominasi presiden atas lembaga tertinggi Negara ini terjadi manakala MPRS
menetapkan Tap MPRS no III/1963, yang mengangkat presiden Sukarno sebagai
presiden seumur hidup.
2. Terbatasnya peran partai politik. Upaya partai politik untuk mengkoreksi kodisi politik
dengan membentuk Liga Demokrasi yang merupakan gabungan dari tokoh-tokoh NU,
Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin. PSII, IPKI, dan Masyumi ditolak presiden dan
bahkan presiden menetapkan Front Nasional, organisasi massa yang memperjuangkan
cita-cita proklamasi, yang diketuai Presiden Soekarno sendiri. Jika partai politik lain
dibatasi peran politiknya, maka PKI justru mendapatkan peluang berkembang dengan
aktif melakukan infiltrasi ke partai lain, diantaranya PNI sehingga PNI terpecah menjadi
dua, Partindo, sehingga Partindo melaksanakan program perjuangan PKI. Partai Murba
bahkan dibekukan oleh presiden atas fitnah dari PKI. Selain itu partai Masyumi dan PSI
juga menjadi korban pembubaran pemerintah karena dianggap terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta. Sehingga akhirnya hanya ada 3 partai politik besar yang
masih ada, yaitu PNI (yang sudah terpecah), Nahdatul Ulam(NU) dan PKI.
3. Tidak berfungsinya lembaga tertinggi dan tinggi negara. Dengan pembentukan MPRS,
DPAS, DPRGR oleh Presiden, itu artinya presiden meletakkan semua lembaga tinggi
negara di bawah lembaga kepresidenan.
4. Makin besarnya peran ABRI dalam fungsi sosial politik. Angkatan Darat muncul menjadi
satu kekuatan politik pada masa kepemimpinan A.H Nasution. Nasution dengan konsep
jalan tengahnya memunculkan satu ide mengenai Dwifungsi ABRI, yakni ABRI memiliki
peran ganda. Tidak sekedar sebagai penjaga keamanan negara, melainkan juga
berkecimpung dalam bidang politik. TNI dan Polisi pada tahun 1964 dipersatukan
menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka kembali pada peran
social-politiknya seperti selama zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah
satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil dalam MPRS. Pada masa
demokrasi terpimpin itu, Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan
(balance of power) bukan hanya antarangkatan dalam ABRI, melainkan juga antara ABRI
dengan partai-partai politik yang ada. Dengan semboyan “politik adalah panglima”
seperti yang dilancarkan oleh PKI, usaha untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas.
Presiden mengambil alih secara langsung pimpinan tertinggi ABRI dengan membentuk
Komando Operasi Tertinggi (Koti).
a. Infiltrasi, dengan jalan menduduki dan menguasai wilayah serta rakyat Irian Barat.
b. Eksploitasi, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap nduk militer lawan,
menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c. Konsolidasi, dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian
Barat.
Akhirnya tanggal 15 Agustus 1962 tercapai penyelesaian masalah Irian Barat, dengan
ditandatanganinya Perjanjian New York. Perjanjian ini berdasarkan prinsip-prinsip yang
diusulkan Duta Besar Ellsworth Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekjen PBB diminta
untuk menjadi penengah, dimana Belanda akan menyerahkan Irian Barat tanggal 1 Oktober
1962 pada pemerintahan sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Excecutive
Authority) dan selanjutnya akan diserahkan pada pemerintah Indonesia tgl 1 Mei 1963
dengan catatan, bahwa pemerintahan Indonesia berkewajiban melakukan Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) sebelum akhir tahun 1969.
3. Konsep Djuanda
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan
pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan
melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang
dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep
Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari
PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.
4. Deklarasi Ekonomi
Deklarasi Ekonomi (Dekon) adalah Deklarasi yang disampaikan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 di Jakarta, untuk menciptakan ekonomi nasional yang
bersifat demokratis dan bebas dari imperialism dan system ekonomi berdikari (berdiri di
atas kaki sendiri). Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Gelora Bung Karno atau yang dahulu disebut Gelora Senayan ini menjadi tempat
dilaksanakannya GANEFO. Gelora Bung Karno dibangun dalam jangka waktu 2,5 tahun.
Soekarno membuat gebrakan dengan membangun stadion ini dengan megah, dan monumental. Pada saat
itu stadion ini merupakan stadion terbesar di asia dan satu-satunya yang mempunyai atap unik yaitu atap
temu gelang.
3. Hotel Indonesia
Bendungan terbesar di Indonesia ini dikatakan sebagai salah satu dari sekian rencana
pembangunan dari Proyek Mercusuar. Di Bendungan terdapat pembangkit listrik yang
berperan sebagai salah satu pemasok listrik terbesar di bawah pengelolaan PT. PLN. Dengan
daya tampung 12,9 milyar m3.
5. Masjid Istiqlal
Masjid ini juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara yang dirancang oleh
Arsitek asli Indonesia yaitu Friedrich Silaban. Pemancangan tiang pertama oleh Soekarno
pada tanggal 24 Agustus 1951, dan selesai pada tanggal 22 Februari 1953. Pembangunan
Masjid ini sendiri menghabiskan sekitar US$ 12 Juta (Rp 7 Triliun).
6. Jembatan Semanggi
Patung setinggi 7 meter ini berdiri menghadap timur atau arah Bandar Udara
Kemayoran yang kini landasan pacunya adalah jalan raya untuk masuk ke Jakarta
International Expo (J.I. Expo) tempat diadakannya Jakarta Fair. Tujuan dibangun patung ini
adalah untuk menyambut tamu yang datang dari arah Bandar Udara Kemayoran, terutama
tamu negara GANEFO.
BAB 4 . Indonesia
Masa Orde Baru(1966-
1998)
A. Latar belakang
Orde baru adalah istilah yang biasanya ditujukan pada masa pemerintahan presiden
Soeharto sebagai antitese dari masa pemerintahan sebelumnya, masa presiden Soekarno.
Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Lahirnya pemerintahan orde baru dilatarbelakangi oleh kondisi politik, ekonomi,
sosial dan keamanan yang suram pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Kondisi ini
memuncak dengan terjadinya pemberontakan PKI dalam Gerakan Tiga Puluh September
tahun 1965. Meskipun operasi militer penumpasan terhadap pemberontakan ini sudah
dilakukan tetapi penyelesaian politik tidak kunjung dilakukan oleh pemerintahan Soekarno
sehingga terjadilah krisis politik berupa menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden Soekarno. Krisis ekonomi juga memuncak dengan laju inflasi yang mencapai 650 %.
Sebagai respon dari kondisi tersebut para mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI(Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia) tanggal 25 Oktober 1965, yang menghimpun organisasi HMI,
PMKRI, PMII, SEMMI, SOMAL, PELMASI dan Mapantjas. Bersama dengan Kesatuan Aksi
Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) terbentuklah Front Pancasila
tanggal 26 Oktober 1965.KAMI mempelopori aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang
menyampaikanTri Tuntutan Rakyat(Tritura) kepada pemerintah, yaitu :
1. Pembubaran PKI beserta
ormasnya
2. Perombakan kabinet
Dwikora
3. Turunkan harga/perbaikan
ekonomi
Pada tanggal 24 Februari 1966, insiden berdarah terjadi saat terjadi demonstrasi di
depan istana memprotes pelantikan kabinet 100 menteri. Arief Rachman Hakim, mahasiswa
UI gugur terkena peluru Resimen Cakrabirawa. Akibatnya tanggal 25 Februari KAMI
dibubarkan. Dengan dibubarkannya KAMI lahirlah KAPPI(Kesatuan Aksi Pemuda, Pelajar
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Tuntutan akan pembubaran PKI terus
disuarakan oleh Front Pancasila. Pada sidang Kabinet tanggal 11 Maret 1966 yang bertujuan
mencari jalan keluar dari krisis yang memuncak, muncul laporan bahwa terdapat pasukan
tak dikenal di luar istana bersama-sama dengan para demonstran. Hal ini membuat presiden
Soekarno memutuskan meninggalkan sidang dan terbang ke Istana Bogor.
Peristiwa ini mendorong tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud untuk
menyusul presiden di istana Bogor. Sebelumnya mereka bertemu dengan Pangkopkamtib,
Letnan Jenderal Soeharto untuk meminta izin melaporkan kondisi Jakarta dan meyakinkan
Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Merekamemohon
agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi
permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada
Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan
surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia
serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk
beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan
Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat
sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam Gerakan 30 September yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5
Tanggal 18 Maret 1966 dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR,
dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan
hasil sebagai berikut:
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan
Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI
Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata
Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.
Pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, lima Wakil Negara/ Pemerintahan
negara-negara Asia Tenggara, yaitu Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil
Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional
Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri Luar Negeri Filipina (Narciso Ramos), Menteri Luar
Negeri Singapura (S. Rajaratnam), dan Menteri Luar Negeri Thailand (Thanat Khoman)
menindaklanjuti Deklarasi Bersama dengan melakukan pertemuan dan penandatanganan
Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok
(Bangkok Declaration). Dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok tersebut, suatu
organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah resmi berdiri. Pada awalnya organisasi
ini bertujuan untuk menggalang kerja sama antarnegara anggota dalam rangka
mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, serta
membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan bersama.
Pada perkembangan berikutnya organisasi ini membuat berbagai agenda yang
signifikan di bidang politik seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of
Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971.
Kemudian, pada tahun 1976 lima negara anggota ASEAN itu juga menyepakati Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/ TAC)
yang menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.
2. Swasembada beras