Anda di halaman 1dari 23

BAB 3.

INDONESIA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1966)

KD. 3.2. Menganalisis kehidupan bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan
Terpimpin

Masa demokrasi
terpimpin diawali dengan
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang ditandai dengan perubahan konstitusi dari UUD
Sementara ke UUD 1945. Perubahan ini terjadi karena masa Demokrasi Liberal dianggap
gagal menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa terutama yang berkaitan dengan
persoalan ketatanegaraan, krisis antar partai, krisis ekonomi dan persoalan separatisme
daerah. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950


2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS
Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli
1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet Kerja ini, Presiden Soekarno bertindak
selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir Juanda menjadi Menteri pertama dengan dua orang
wakilnya dr Leimena dan dr Soebandrio. Program kerja Kabinet Kerja adalah Tri Program,
yaitu sandang, pangan, keamanan dan pengembalian wilayah Irian Barat.

Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan ciri-ciri :

1. Dominasi peran presiden sehingga muncul istilah Pemimpin Besar Revolusi. Dominasi
peran presiden ini terlihat dari :
a. pada tanggal 22 Juli 1959 Presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung(DPA)
yang diketuai presiden dengan Penpres no.3 tahun 1959 yang bertugas memberi
jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
Usulan DPA yang terkenal adalah DPA mengusulkan agar Pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara yang berjudul “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat
Manipol.
b. Dengan Penetapan Presiden no. 2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, dibentuk
Majelis Permusyawaran Rakyat Sementara(MPRS) yang diketuai Chaerul Saleh, yang
anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
c. Dengan Penetapan Presiden no. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR hasil
Pemilu tahun 1955 dan membentuk DPRGR(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong) dengan Penetapan Presiden no 4 tahun 1960, yang seluruh anggotanya
ditunjuk presiden, dan bahkan peraturan dan tata tertibnya juga ditetapkan oleh
presiden.
d. Dominasi presiden atas lembaga tertinggi Negara ini terjadi manakala MPRS
menetapkan Tap MPRS no III/1963, yang mengangkat presiden Sukarno sebagai
presiden seumur hidup.
2. Terbatasnya peran partai politik. Upaya partai politik untuk mengkoreksi kodisi politik
dengan membentuk Liga Demokrasi yang merupakan gabungan dari tokoh-tokoh NU,
Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin. PSII, IPKI, dan Masyumi ditolak presiden dan
bahkan presiden menetapkan Front Nasional, organisasi massa yang memperjuangkan
cita-cita proklamasi, yang diketuai Presiden Soekarno sendiri. Jika partai politik lain
dibatasi peran politiknya, maka PKI justru mendapatkan peluang berkembang dengan
aktif melakukan infiltrasi ke partai lain, diantaranya PNI sehingga PNI terpecah menjadi
dua, Partindo, sehingga Partindo melaksanakan program perjuangan PKI. Partai Murba
bahkan dibekukan oleh presiden atas fitnah dari PKI. Selain itu partai Masyumi dan PSI
juga menjadi korban pembubaran pemerintah karena dianggap terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta. Sehingga akhirnya hanya ada 3 partai politik besar yang
masih ada, yaitu PNI (yang sudah terpecah), Nahdatul Ulam(NU) dan PKI.

3. Tidak berfungsinya lembaga tertinggi dan tinggi negara. Dengan pembentukan MPRS,
DPAS, DPRGR oleh Presiden, itu artinya presiden meletakkan semua lembaga tinggi
negara di bawah lembaga kepresidenan.

4. Makin besarnya peran ABRI dalam fungsi sosial politik. Angkatan Darat muncul menjadi
satu kekuatan politik pada masa kepemimpinan A.H Nasution. Nasution dengan konsep
jalan tengahnya memunculkan satu ide mengenai Dwifungsi ABRI, yakni ABRI memiliki
peran ganda. Tidak sekedar sebagai penjaga keamanan negara, melainkan juga
berkecimpung dalam bidang politik. TNI dan Polisi pada tahun 1964 dipersatukan
menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka kembali pada peran
social-politiknya seperti selama zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah
satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil dalam MPRS. Pada masa
demokrasi terpimpin itu, Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan
(balance of power) bukan hanya antarangkatan dalam ABRI, melainkan juga antara ABRI
dengan partai-partai politik yang ada. Dengan semboyan “politik adalah panglima”
seperti yang dilancarkan oleh PKI, usaha untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas.
Presiden mengambil alih secara langsung pimpinan tertinggi ABRI dengan membentuk
Komando Operasi Tertinggi (Koti).

5. Makin berkembangnya paham komunis.

Manipol (Manifesto Politik) dan USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia,


Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) diperkenalkan
Presiden Sukarno sebagai dasar ideology demokrasi terpimpin. Selain ideology tersebut,
Presiden Sukarno juga memperkenalkan doktrin NASAKOM (Nasionalisme, Agama,
Komunisme) sebagai upaya mempersatukan nasionalisme, Islam, Marxisme sebagai
sebuah system yang didasarkan pada koalisi kekuatan politik yang ada saat itu (PNI,NU
dan PKI).

A. Masalah Politik dan Keamanan Masa Demokrasi Terpimpin


1. Pembebasan Irian Barat.
Dari sisi keamanan, masa demokrasi terpimpin berhasil menyelesaikan
pemberontakan PRRI/Permesta (Sumbar/Sulut) (1961), pemberontakan DI/TII pimpinan
Kahar Muzakkar (Sulsel), dan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo (1961).
Berakhirnya pemberontakan separatisme ini memberi peluang bagi pemerintah waktu itu
untuk merebut kembali Irian Barat, yang juga merupakan program Kabinet Kerja.
Persoalan Irian Barat adalah persoalan yang ditunda penyelesaiannya seperti yang
tercantum dalam pasal 2 ayat f Piagam Penyerahan Kedaulatan, yang intinya persoalan Irian
Barat akan diselesaikan satu tahun setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik
Indonesia. Usaha penyelesaian secara bilateral telah mengalami kegagalan sehingga sejak
September 1954 Pemerintah Indonesia mengajukan masalah Irian ke sidang Majelis Umum
PBB. Perjuangan di forum PBB mengalami kegagalan sehingga menyadarkan Indonesia
untuk melakukan diplomasi aktif dan efektif.Karena jalan damai tidak berhasil
mengembalikan Irian Barat, maka pemerintah menempuh jalan lain, yaitu pada tahun 1957
dilakukan aksi pembebasan Irian di seluruh Tanah air yang dimulai dengan pengambilalihan
perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD
Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memutuskan mengambil alih semua
perusahaan milik Belanda dan menyerahkan kepada pemerintah. Pada tanggal 17 Agustus
1960 Republik Indonesia secara resmi memutuskan hubungan dengan pemerintah kerajaan
Belanda.
Persiapan militer dilakukan denganmencari bantuan senjata ke luar negara, terutama
dari Uni Sovyet karena negara barat menolak penjualan senjata kepada Indonesia. Pada
tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengeluarkan Komando
TRIKORA( Tri Komando Rakyat) yang isinya :
a. Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda colonial.
b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air dan bangsa.
Front Nasional Pembebasan Irian Barat ini dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno
dengan cara membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pimpinan Mayjen
Suharto yang melakukan Operasi Banteng, Operasi Srigala, Operasi Naga, Operasi Jatayu
dan operasi penentuan, yaitu Operasi Jayawijaya serta operasi terakhir, operasi Wisnu
Murti (operasi menghadapi penyerahan Irian Barat). Perebutan Irian Barat dibagi dalam 3
fase :

a. Infiltrasi, dengan jalan menduduki dan menguasai wilayah serta rakyat Irian Barat.
b. Eksploitasi, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap nduk militer lawan,
menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c. Konsolidasi, dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian
Barat.
Akhirnya tanggal 15 Agustus 1962 tercapai penyelesaian masalah Irian Barat, dengan
ditandatanganinya Perjanjian New York. Perjanjian ini berdasarkan prinsip-prinsip yang
diusulkan Duta Besar Ellsworth Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekjen PBB diminta
untuk menjadi penengah, dimana Belanda akan menyerahkan Irian Barat tanggal 1 Oktober
1962 pada pemerintahan sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Excecutive
Authority) dan selanjutnya akan diserahkan pada pemerintah Indonesia tgl 1 Mei 1963
dengan catatan, bahwa pemerintahan Indonesia berkewajiban melakukan Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) sebelum akhir tahun 1969.

2. Politik Luar Negeri Indonesia.


Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia bersifat bebas aktif, anti imperialisme
dan kolonialisme. Akan tetapi pada masa demokrasi terpimpin terjadi pembelokan arah
yang ditandai dengan pembentukan poros Jakarta, Pnom Penh, Hanoi, Peking, Pyongyang,
sebagai poros anti imperialis dan anti kolonialis. Politik poros tersebut tersebut
memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi politik Republik Rakyat Cina. Presiden
Sukarno juga berupaya menarik negara Asia-Afrika sebanyak mungkin ke dalam NEFO (New
Emerging Forces) sebagai kekuatan anti imperialis yang dilawankan dengan OLDEFO(Old
Established Forces). Upaya ini gagal sekalipun sempat dilaksanakan GANEFO(Games of the
New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces).
Pertarungan ideologi antara blok barat dan blok timur di Asia Tenggara menjadi latar
belakang lahirnya gagasan pembentukan negara Federasi Malaysia pada tanggal 27 Mei
1961. Federasi Malaya ini meliputi Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Indonesia
menganggap pendirian Federasi Malaysia merupakan proyek Nekolim Inggris yang
membahayakan revolusi Indonesia. Pada tanggal 21 September 1963, RI memutuskan
hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Ketika kemacetan
diplomasi terjadi, maka pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengucapkan Dwi
Komando Rakyat(Dwikora), yang berisi :
 Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
 Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia
Konfrontasi dengan Malaysia memasuki tingkatan perang dengan surat keputusan
pembentukan Komando Siaga(Koga) pada tanggal 16 Mei 1964 dengan Panglima Angkatan
Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani sebagai Panglima Koga. Sebagai tindak lanjut
dari keputusan tersebut, pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia menyatakan keluar dari
PBB sebagai protes atas terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB dan terbentuknya Poros Jakarta-Peking semakin
mempersempit ruang gerak Indonesia di forum internasional. Operasi DWIKORA ini pada
akhirnya diselesaikan dengan perundingan multilateral antar Negara di kawasan Asia
Tenggara (Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina/MAPHILINDO).

B. Masalah Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin.


Pada Masa demokrasi terpimpin, ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin, dimana
semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah
merupakan kepanjangan dari pusat. Struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Keadaan ekonomi yang suram warisan
masa demokrasi liberal menjadi lebih suram pada masa demokrasi terpimpin. Upaya untuk
mengatasi persoalan ekonomi ini diantaranya dilakukan dengan cara :
1. Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin
oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.mTugas Depernas antara lain :
mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan
menilai Penyelenggaraan Pembangunan. Masalah pembangunan terutama mengenai
perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak
dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan, sehingga tahun 1963 Dewan Perancang
Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

2. Pemotongan Nilai Uang/sanering/devaluasi


Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00
pagi. Tujuan dilakukan sanering adalah untuk membendung inflasi yang tinggi, mengurangi
jumlah uang yang beredar di masyarakat dan meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat
kecil tidak dirugikan. Pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai pemotongan nilai
uang, yaitu sebagai berikut.

 Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50


 Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
 Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi
yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada masa
pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap
saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan
karena :

 Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat


pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
 Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
 Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang
mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1000
dan Rp500 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai
Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari 1960.

3. Konsep Djuanda
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan
pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan
melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang
dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep
Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari
PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.
4. Deklarasi Ekonomi
Deklarasi Ekonomi (Dekon) adalah Deklarasi yang disampaikan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 di Jakarta, untuk menciptakan ekonomi nasional yang
bersifat demokratis dan bebas dari imperialism dan system ekonomi berdikari (berdiri di
atas kaki sendiri). Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.

5. Kenaikan Laju Inflasi


Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap
tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai.
Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk
menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek
yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam
negeri. Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
 Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.
 Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
 Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.
 Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
 Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.
 Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh
 Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:
 Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan
pengeluaran.
 Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of
the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces)
yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap
tahunnya.
Dampaknya :
 Inflasi semakin bertambah tinggi
 Harga-harga semakin bertambah tinggi, kenaikan barang mencapai 200-300% pada
tahun 1965
 Kehidupan masyarakat semakin terjepit
 Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan
neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa
 Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
 Tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo
 negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara barat.
Kebijakan Pemerintah :
 Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka
inflasi.
 Pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan
menjadikan uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
 Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi
dari uang rupiah baru.
 Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan
meningkatnya angka inflasi.
Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan
harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksi-aksi
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)

C. Perkembangan Sosial Budaya Masa Demokrasi Terpimpin


Kehidupan sosial budaya berada di bawah dominasi politik karena sesuai dengan
slogan PKI, bahwa politik adalah panglima, contohnya adalah ketika muncul Manifes
Kebudayaan yang dipelopori H.B. Jassin. Manifest kebudayaan menekankan kebebasan
individu untuk berkarya secara kreatif. Hal ini oleh PKI dianggap bertentangan dan telah
memisahkan antara politik dan kebudayaan dan memecah belah Nasakom.

D. Proyek Mercusuar Soekarno


Proyek Mercusuar Soekarno adalah proyek pembangunan ibukota Indonesia yaitu
Jakarta agar mendapat perhatian dari luar negeri dengan tujuan membangun hubungan
persahabatan dengan negara-negara lain. Terlepas dari itu, proyek ini juga bertujuan
memfasilitasi The Games of The New Emerging Forces (GANEFO) sebagai tandingan dari
Olimpiade yang sudah ada. Berikut adalah beberapa bangunan yangn termasuk dalam
proyek mercusuar.
1. Gedung CONEFO
Gedung Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) yang sekarang lebih dikenal
sebagai Gedung DPR, MPR, dan DPD DKI Jakarta. Dibangun dekat dengan Gelora
Senayan/Gelora Bung Karno. Gedung besar ini dibangun dalam jangka waktu 17 bulan,
pembangunannya juga terhambat oleh karena berlangsungnya peristiwa G30S/PKI .
2. Gelora Bung Karno

Gelora Bung Karno atau yang dahulu disebut Gelora Senayan ini menjadi tempat
dilaksanakannya GANEFO. Gelora Bung Karno dibangun dalam jangka waktu 2,5 tahun.
Soekarno membuat gebrakan dengan membangun stadion ini dengan megah, dan monumental. Pada saat
itu stadion ini merupakan stadion terbesar di asia dan satu-satunya yang mempunyai atap unik yaitu atap
temu gelang.

3. Hotel Indonesia

Hotel Indonesia dibangun sebagai tempat menginap tamu-tamu negara. Diresmikan


oleh Soekarno pada tanggal 5 Agustus 1962 untuk menyambut ajang GANEFO yang akan
segera diadakan di Jakarta. Dirancang oleh Abel Sorensen dan Istrinya yang berasal dari
Amerika Serikat. Menempati lahan seluas 25.082 meter persegi dan memiliki slogan "A
Dramatic Symbol of Free Nations Working Together".
4. Bendungan Jatiluhur

Bendungan terbesar di Indonesia ini dikatakan sebagai salah satu dari sekian rencana
pembangunan dari Proyek Mercusuar. Di Bendungan terdapat pembangkit listrik yang
berperan sebagai salah satu pemasok listrik terbesar di bawah pengelolaan PT. PLN. Dengan
daya tampung 12,9 milyar m3.

5. Masjid Istiqlal

Masjid ini juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara yang dirancang oleh
Arsitek asli Indonesia yaitu Friedrich Silaban. Pemancangan tiang pertama oleh Soekarno
pada tanggal 24 Agustus 1951, dan selesai pada tanggal 22 Februari 1953. Pembangunan
Masjid ini sendiri menghabiskan sekitar US$ 12 Juta (Rp 7 Triliun).
6. Jembatan Semanggi

Jembatan Semanggi dinamai sesuai bentuknya yaitu daun Semanggi, jembatan


tersebut terletak di daerah Karet, Semanggi, Setiabudi. Pembangunan ini tidak sepenuhnya
mendapat dukungan dari rakyat. Masyarakat menilai bahwa proyek ini hanyalah proyek
tidak bermanfaat yang menghambur-hamburkan kas negara. Soekarno tentu tidak mundur
dan menampung pendapat masyarakat. Pembangunan dimulai tahun 1961.

7. Patung Selamat Datang

Patung setinggi 7 meter ini berdiri menghadap timur atau arah Bandar Udara
Kemayoran yang kini landasan pacunya adalah jalan raya untuk masuk ke Jakarta
International Expo (J.I. Expo) tempat diadakannya Jakarta Fair. Tujuan dibangun patung ini
adalah untuk menyambut tamu yang datang dari arah Bandar Udara Kemayoran, terutama
tamu negara GANEFO.

8. Monumen Nasional (MONAS)


Monumen Nasional atau biasa dikenal MONAS merupakan monument yang di hasilkan dari
kebijakan “Proyek Mercusuar” Ir.Soekarno. di bangun pada bulan Agustus 1959. Ir.Soekarno bersama
dengan beberapa arsitek seperti Soedarsono, F.Silaban dan Ir.Rooseno merancang tugu ini. Bangunan yang
tingginya mencapai 132 meter ini didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat demi membebaskan
bangsanya dari belenggu penjajahan Belanda. Pada mahkota tugu yang terbuat dari emas tersebut
melambangkan semangat perjuangan yang berbentuk seperti lidah api menyala, sedangkan untuk tugunya
sendiri di ambil dari lingga yoni yang merupakan symbol kesuburan menurut budaya jawa dan agama
hindu.

Hasil akhir dari semua ini adalah


kosongnya kas negara. Sudah terkuras habis untuk semua pameran ini. Tapi semua itu
tidaklah sia-sia. Semuanya itu hingga saat ini masih menjadi kebanggaan masyarakat Jakarta
dan Indonesia.
KD 3.3 Menganalisis perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia
pada masa Orde Baru

BAB 4 . Indonesia
Masa Orde Baru(1966-
1998)

A. Latar belakang
Orde baru adalah istilah yang biasanya ditujukan pada masa pemerintahan presiden
Soeharto sebagai antitese dari masa pemerintahan sebelumnya, masa presiden Soekarno.
Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Lahirnya pemerintahan orde baru dilatarbelakangi oleh kondisi politik, ekonomi,
sosial dan keamanan yang suram pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Kondisi ini
memuncak dengan terjadinya pemberontakan PKI dalam Gerakan Tiga Puluh September
tahun 1965. Meskipun operasi militer penumpasan terhadap pemberontakan ini sudah
dilakukan tetapi penyelesaian politik tidak kunjung dilakukan oleh pemerintahan Soekarno
sehingga terjadilah krisis politik berupa menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden Soekarno. Krisis ekonomi juga memuncak dengan laju inflasi yang mencapai 650 %.
Sebagai respon dari kondisi tersebut para mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI(Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia) tanggal 25 Oktober 1965, yang menghimpun organisasi HMI,
PMKRI, PMII, SEMMI, SOMAL, PELMASI dan Mapantjas. Bersama dengan Kesatuan Aksi
Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) terbentuklah Front Pancasila
tanggal 26 Oktober 1965.KAMI mempelopori aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang
menyampaikanTri Tuntutan Rakyat(Tritura) kepada pemerintah, yaitu :
1. Pembubaran PKI beserta
ormasnya
2. Perombakan kabinet
Dwikora
3. Turunkan harga/perbaikan
ekonomi

Pada tanggal 24 Februari 1966, insiden berdarah terjadi saat terjadi demonstrasi di
depan istana memprotes pelantikan kabinet 100 menteri. Arief Rachman Hakim, mahasiswa
UI gugur terkena peluru Resimen Cakrabirawa. Akibatnya tanggal 25 Februari KAMI
dibubarkan. Dengan dibubarkannya KAMI lahirlah KAPPI(Kesatuan Aksi Pemuda, Pelajar
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Tuntutan akan pembubaran PKI terus
disuarakan oleh Front Pancasila. Pada sidang Kabinet tanggal 11 Maret 1966 yang bertujuan
mencari jalan keluar dari krisis yang memuncak, muncul laporan bahwa terdapat pasukan
tak dikenal di luar istana bersama-sama dengan para demonstran. Hal ini membuat presiden
Soekarno memutuskan meninggalkan sidang dan terbang ke Istana Bogor.
Peristiwa ini mendorong tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud untuk
menyusul presiden di istana Bogor. Sebelumnya mereka bertemu dengan Pangkopkamtib,
Letnan Jenderal Soeharto untuk meminta izin melaporkan kondisi Jakarta dan meyakinkan
Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Merekamemohon
agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi
permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada
Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan
surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia
serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk
beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan
Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat
sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam Gerakan 30 September yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5
Tanggal 18 Maret 1966 dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR,
dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan
hasil sebagai berikut:
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan
Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI
Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata
Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.

B. Pembentukan Kabinet Ampera


Berdasarkan ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet
Ampera, maka tanggal 28 Juli 1966 diresmikan kabinet Ampera yang masa tugasnya dua
tahun. Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas
politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerja yang
dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan
oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadikan kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat
itu. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno dipaksa untuk
menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada Soeharto dengan membuat memo
pengunduran diri sebagai presiden RI. Memo tersebut yang kemudian dijadikan landasan
hukum sidang istimewa MPRS (7-12 Maret 1967). Sidang tersebut menghasilkan Tap MPRS
No. XXXIII/MPRS/1967 yang isinya pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno atas segala
kekuasaan pemerintah negara dan mengangkat pengemban supersemar sebagai presiden

C. Penataan Kehidupan Politik


1. Politik Dalam Negeri
Usaha penataan kembali kehidupan politik ini dimulai pada awal tahun 1968 dengan
penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan
mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR
terdiri dari wakil-wakil parpol dan golkar. Hal ini dilakukan dalam rangka menyambut
Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971. Partai politik yang menjadi
peserta Pemilu tahun 1971 ada 10, yaitu IPKI, Murba, NU, Partai Islam Persatuan Tarbiyah,
Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, Partai Nasional Indonesia
dan Partai Syarikat Islam Indonesia dan Golongan Karya.

Partai politik peserta Pemilu tahun 1971


a. Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa
Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi)
partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik, yaitu
 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi,
PSII, dan PERTI,
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum,
yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang
diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh
mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu
terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325
kursi di DPR dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi. Pemilu berlangsung
dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Kemenangan Golkar yang selalu
mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode,
karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR.
c. Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno mengintegrasikan antara TNI
dan Polisi ke dalam organisasi ABRI(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dengan
sentralisasi komando pada Panglima Tertinggi(Pangti) yang dijabat presiden. Proses integrasi
dilanjutkan integrasi doktin yang melahirkan Doktrin Pertahanan Keamanan Nasional dan
Doktrin Perjuangan ABRI yang bernama Tjatur Darma Eka Karya (Tjadek) dan Wawasan
Nusantara Bahari.Pada tahun 1975 lahir Doktrin Kekaryaan ABRI sebagai doktrin
pelaksanaan kekaryaan ABRI dengan istilah Dwi Fungsi ABRI, dimana sebagai kekuatan
Hankam ABRI merupakan aparatur pemerintah, dan sebagai kekuatan sosial ABRI
merupakan salah satu unsur golongan karya yang ikut secara aktif dalam segala usaha dan
kegiatan negara dan bangsa.
d. Pemasyarakatan Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama
Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya
pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain
Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan
suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian,
sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi
tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan
nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri
Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan
(kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
2. Penataan Politik Luar Negeri
a. Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis
Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan
dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang
sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
b. Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan
Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.
c. Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya
perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok.
Pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-
Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak
(Malaysia).
d. Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
e. Ikut memprakarsai terbentuknya ASEAN

Pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, lima Wakil Negara/ Pemerintahan
negara-negara Asia Tenggara, yaitu Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil
Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional
Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri Luar Negeri Filipina (Narciso Ramos), Menteri Luar
Negeri Singapura (S. Rajaratnam), dan Menteri Luar Negeri Thailand (Thanat Khoman)
menindaklanjuti Deklarasi Bersama dengan melakukan pertemuan dan penandatanganan
Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok
(Bangkok Declaration). Dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok tersebut, suatu
organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah resmi berdiri. Pada awalnya organisasi
ini bertujuan untuk menggalang kerja sama antarnegara anggota dalam rangka
mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, serta
membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan bersama.
Pada perkembangan berikutnya organisasi ini membuat berbagai agenda yang
signifikan di bidang politik seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of
Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971.
Kemudian, pada tahun 1976 lima negara anggota ASEAN itu juga menyepakati Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/ TAC)
yang menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.

D. Penataan Kehidupan Ekonomi.


Penataan Ekonomi masa Orde Baru ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi
nasional terutama untuk mengendalikan inflasi( inflasi mencapai 650%), penyelamatan
keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Oleh karena itu pemerintah
memprioritaskan Stabilisasi dan Rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi
ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat
dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin
berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
1. Pembangunan Nasional
Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka
MPR telah menetapkan GBHN sejak tahun 1973, yang pada dasarnya merupakan pola
umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya. GBHN dijabarkan
dalam repelita yang berisi program-program konkret yang dilaksanakan dalam kurun waktu
5 tahun. Pelaksanaan repelita telah dimulai sejak tahun 1969.
Trilogi Pembangunan
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman
pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan
perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun
(Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya.
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan]
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri
yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan
pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

2. Swasembada beras

Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada


pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat
utama kestabilan ekonomi dan politik. Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil
pertanian meningkat tajam. Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai
17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton
pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0
kg per jiwa. Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah
menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.
Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia) pada tahun 1985.
3. Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita.

Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program


Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan
penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka
tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun. Keberhasilan ini
ditandai dengan diterimanya “Global Statement Award” dari Population
Institute, Amerika Serikat pada tahun 1988. Perlu diketahui bahwa
penghargaan yang kemudian diberi nama “Soeharto Award” ini pertama kali diterima oleh
Presiden Zimbabwe. Jadi presiden Soeharto adalah orang kedua yang menerima
penghargaan bernilai prestise tersebut. Satu tahun kemudian, tepatnya di tahun 1989, atas
keberhasilan Program KB di Indonesia, Soeharto menerima penghargaan tertinggi di bidang
kependudukan dan KB berupa “United Nations Population Award” dari Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB). Penghargaan ini langsung diberikan oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar di
Markas Besar PBB di New York. Sementara atas jasanya pula, pada tanggal 21 Februari 1992,
lembaga BKKBN sebagai lembaga Negara non departemen yang bertanggungjawab
terhadap sukses tidaknya Program KB dan pengendalian penduduk, menerima penghargaan
internasional dalam bidang manajemen, berupa “Management Development Award”.
Penghargaan ini diberikan oleh lembaga manajemen internasional di Manila, Majalah
Executive Digest dan Japan Airlines.
Keberhasilan program wajib belajar terlihat dari meningkatnya angka partisipasi
Sekolah Dasar dari 1,4% pada awal pelita I menjadi 89,91 % pada akhir pelita IV. Angka
statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah
penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke
atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980,
persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990,
angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
4. Kerjasama Ekonomi Luar Negeri
a. Pertemuan Tokyo dan Perundingan Paris
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo yang dilanjutkan di
Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:
1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai
dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama
besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap
negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
b. Bantuan Luar Negeri
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah
tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi
dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Adapun anggota IGGI
selain belanda yaitu Bank Pembangunan Asia, UNDP, Dana Moneter Internasional, Bank
Dunia, Australia, Belgia, Kanada, Britania Raya, Perancis, Italia, Jepang, Jerman, Selandia
Baru, Amerika Serikat dan Swiss. Bantuan Awal IGGI yaitu 60% pendanaan darinya dalam
penyusunan Program Repelita (Rencana Lima Tahun Indonesia) tahun 1969-1973. IGGI
digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia). Keputusan ini juga terjadi setelah Jan
Pronk (ketua IGGI) yang mengecam tindakan Indonesia akan pembunuhan para pengunjuk
rasa di Timor Timur (Pembantaian Santa Cruz atau Insiden Dili) pada tahun 1991. Inilah latar
belakang IGGI berubah menjadi CGI
CGI adalah kelanjutan/ penyempurnaan dari IGGI yang berpusat di Den Haag,
Belanda dan dibentuk pada tahun 1967. Anggota-anggota CGI yaitu negara-negara yang
sebelumnya menjadi anggota IGGI kecuali Belanda dan lembaga Internasional yaitu
Australia, Belgia, Kanada, Perancis, Italia, Jepang, Jerman, Selandia Baru, Amerika Serikat,
Swiss, Korea Selatan, Inggris, Denmark, Austria, Spanyol, Finlandia, Swedia, Norwegia, Word
Bank,UNDP, ADB, FAO, WHO, UNFPA, WFP, UNHCR, UNESCO,UNIDO, ILO, IAEA, IFAD, NIB,
UNICEF, IDB, Kuwaid Fund dan Saudi Fund.
E. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi Masa Orde Baru
1. Peristiwa 15 Januari 1974
Peristiwa yang dikenal dengan nama Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) ini
adalah demontrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa yang berlanjut dengan adanya
aksi anarki pada Proyek Senen, sejumlah toko di Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada,
Jalan Sudirman,Glodok, Pancoran, Cempaka Putih. Peristiwa itu terjadi saat Perdana
Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974).
Demonstrasi mahasiswa ini dilatarbelakangi oleh penolakan mahasiswa terhadap
masuknya modal asing, keprihatinan mahasiswa terhadap penyelewengan-penyelewengan
pembangunan nasional yang dilakukan pejabat pemerintah, praktek cukongisme, dan
kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan pada investor Jepang. Berkaitan dengan
peristiwa ini, beberapa orang ditahan, antara lain, Hariman Siregar, Marsilam Simanjuntak,
Dorojatun Kuntjorojakti, Fahmi Idris, Imam Waluyo, dan H.J.C Princen. Pangkopkamtib
Jenderal Soemitro mengundurkan diri dan digantikan oleh Laksamana Soedomo.

2. Timor-Timur Berintegrasi dengan Indonesia


Timor Timur adalah salah satu koloni Portugal. Selepas terjadinya kudeta militer di
Portugal, angin demokrasi mulai berhembus di Portugal termasuk di Timor Timur yang
ditandai dengan berdirinya tiga partai politik yaitu UDT( Uniao Democratica Timorense),
Fretilin (Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente, dan Apodeti (Associacao
Populer Democratica Timorense). Di samping itu kemudian muncul partai kecil yaitu, Partai
Kota dan Trabalista.Terdapat perbedaan pandangan prinsipiil dari tiga partai politik
tersebut yaitu, partai UDT menginginkan tetap di bawah Portugal, partai Apodeti
menginginkan bergabung dengan Indonesia, dan partai Fretilin menginginkan merdeka
penuh.
Persoalan ini menimbulkan ketegangan bahkan bentrok fisik yang mengundang
Portugal untuk ikut mengatasi. Dalam pertemuan di London tanggal 9 Maret 1975,
pemerintah Portugal beranggapan bahwa integrasi dengan Indonesia adalah jalan yang
paling rasional dalam rangka dekolonisasi Timor Timur. Tanggal 5 November 1975
ditandatangani Memorandum of Understanding sebagai hasil pertemuan antara Portugal
dengan Indonesia di Roma. MOU itu menjelaskan bahwa Portugal tidak dapat mengakui
klaim salah satu partai saja atas wilayah yang diduduki mereka karena pemerintah Timor
Timur bukan didasarkan atas kekuatan partai.
Reaksi atas MOU tersebut adalah partai Fretilin memproklamasikan berdirinya
“Republik Demokrasi Timor Timur” dengan presiden Xavier Do Amaral. Untuk mengimbangi
gerakan Fretilin, partai Apodeti, UDT, Kota dan Trabalista melakukan proklamasi tandingan,
yaitu pernyataan penggabungan dengan Indonesia pada tanggal 29 November 1975 di
Balibo, yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Hal ini diikuti dengan penguasaan seluruh
kota Dili oleh gabungan pasukan Apodeti, UDT, Kota, Trabalista yang didukung sukarelawan
Indonesia. Akhirnya masalah Timor Timur diajukan ke PBB oleh Portugal dengan alasan telah
terjadi “agresi Indonesia”. Pada tanggal 31 Mei 1976, DPR Timor Timur bersidang yang
menghasilkan petisi integrasi. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1976 ditandatangani UU no. 7
Tahun 1976 yang mengesahkan penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI dan pembentukan
propinsi/daerah tingkat I Timor Timur sebagai propinsi Indonesia ke-27.

F. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ciri-ciri pemerintahan Orde Baru adalah


1. Pemerintahan diktator dan otoriter, tetapi kondisi tetap aman, nyaman, dan
terkendali.
2. Implementasi hak asasi manusia masih sangat terbatas dan masih marak terjadi
pelanggaran HAM.
3. Indonesia kembali menjadi anggota PBB.
4. Pemilu hanya diikuti 3 partai yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu diadakan 5 tahun
sekali, tetapi tidak bersifat demokratis.
5. Terjadi pemerintahan dengan sistem sentralistik kekuasaan pada presiden, dimana
seluruh proses politik ditopang dan diatur oleh presiden.
6. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sedang berkembang pesat tetapi tidak
berbasis ekonomi kerakyatan.
7. Kebebasan pers sangat terbatas dan tindak korupsi terjadi dimana-mana.
8. Kebijakan publik tidak transparan, serta tidak adanya kebebasan untuk berpendapat,
sehingga memberikan kesan ideologi tertutup.

G. Kelebihan dan Kekurangan Orde Baru


1. Kelebihan
a. Meningkatnya GDP per kapita Indonesia. Pada tahun 1968, GDP per kapita Indonesia
hanyalah $70 dan berhasil mencapai lebih dari $1000 pada tahun 1996.
b. Program keluarga berencana yang tidak dilakukan pada masa orde lama berhasil
diimplementasikan pada masa orde baru.
c. Semakin banyak orang yang bisa membaca sehingga tingkat pengangguran menurun.
d. Kebutuhan pangan semakin tercukupi.
e. Keamanan dalam negeri semakin meningkat.
f. Gerakan Wajib Belajar dan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh sukses dilaksanakan.
g. Indonesia mulai membuka peluang investasi bagi investor asing, sehingga menerima
banyak dana dari luar negeri.
h. Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sukses dilaksanakan.
2. Kekurangan (Kelemahan) Orde Baru
a. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme marak terjadi di semua kalangan masyarakat.
b. Pembangunan negara tidak merata, dan muncul perbedaan mencolok antara
pembangunan pada pusat dan daerah. Kekayaan daerah banyak digunakan untuk
pembangunan pada pusat kota.
c. Rasa ketidakpuasan bermunculan di sejumlah daerah di Indonesia seperti Aceh dan
Papua karena kesenjangan pembangunan yang terjadi.
d. Tidak ada tanda-tanda pergantian atau penurunan kekuasaan ke presiden
berikutnya.
e. Hak Asasi Manusia masih belum diperhatikan dengan benar, dan kekerasan banyak
digunakan sebagai solusi menyelesaikan permasalahan. Sebagai contoh, operasi
rahasia Petrus (Penembakan Misterius).
f. Banyak koran dan majalah yang dihentikan penerbitan dan peredarannya secara
paksa, sehingga menyebabkan kebebasan pers sangat terbatas.
g. Kebebasan berpendapat masih sangat terkekang.
h. Terdapat kesenjangan sosial bagi si kaya dan si miskin, dimana orang kaya memiliki
hak yang lebih baik dari pada orang miskin.
H. Akhir Pemerintahan Orde Baru

Pada awal Juli


tahun 1997 di Thailand terjadi krisis moneter. Krisis ini merembet ke negara-negara lain
termasuk Indonesia. Pada bulan Oktober 1997 nilai tukar rupiah berada di posisi Rp.
4.000/US $, tepai pada bulan Januari 1998 rupiah terus melemah hingga level sekitar Rp.
17.000/US$. Kondisi ini berdampak pada hancurnya bursa saham Jakarta dan bangkrutnya
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan
kerja(PHK) secara besar-besaran. Ketika krisis semakin dalam maka gangguan sosial
merupakan ekses yang tidak terelakkan. Serangan ditujukan pada kelompok-kelompok yang
dianggap mendominasi perekonomian. Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Akhirnya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar
pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai
presiden RI di Istana Merdeka. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Orde Baru selama
32 tahun.

Anda mungkin juga menyukai