Anda di halaman 1dari 9

MODUL 14

DEMOKRASI TERPIMPIN DI
INDONESIA
A. LATAR BELAKANG PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN DI
INDONESIA
Ketidakstabilan kondisi politik (terdapat 7 kabinet dalam
periode 9 tahun, konflik sipil-militer ditambah kegagalan Dewan
Konstituante menyusun UUD yang baru) serta ekonomi (inflasi yang
tinggi dan ketimpangan pembangunan antara pusat-daerah) yang
terjadi di Indonesia, pada periode 1950-1959, memaksa Presiden
Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Ada pun isi Dekrit Presiden 1959 tersebut:
a. Membubarkan Dewan Konstituante.
b. Kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi
Indonesia.
c. Membantuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.

Dengan kembalinya Indonesia menggunakan UUD 1945 sebagai


dasar negara, sistem pemerintahan sudah tidak dapat lagi
menggunakan konsep Demokrasi Parlementer.
Bentuk pemerintahan Presidensil akhirnya diterapkan kembali
di Indonesia. Bentuk pemerintahan ini mengamanatkan kepada
Presiden Soekarno untuk bertugas sebagai kepala negara juga
merangkap sebagai kepala pemerintahan. Konsep ini kemudian dikenal
sebagai Demokrasi Terpimpin

B. KEBIJAKAN PEMERINTAHAN TERPIMPIN DI INDONESIA


Selama periode 1959-1966, pemerintah pada periode ini mengeluarkan
beberapa kebijakan, seperti:
a. Pembentukan Kabinet Kerja Pada 19 Juli 1959, dibentuk Kabinet Kerja yang
memiliki program kerja disebut Triprogram. Triprogram tersebut terdiri
atas:

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 1


1. Sandang-papan
2. Keamanan
3. Pengembalian Irian Barat ke wilayah Indonesia

b. Penetapan Pidato Presiden tentang MANIPOL USDEK sebagai GBHN Pada 17


Agustus 1959, Presiden Soekarno membacakan pidato berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” berisi tentang Manifesto Politik (arah politik)
Indonesia yang terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Sosialisme Indonesia
3. Demokrasi Terpimpin
4. Ekonomi Terpimpin
5. Kepribadian Indonesia
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mengusulkan kepada MPRS agar
MANIPOL USDEK dijadikan GBHN. Akhirnya, melalui Penetapan Presiden
No.l tahun 1960 dan TAP MPRS No.l tahun 1960, Manipol USDEK akhimya
dijadikan sebagai GBHN.

c. Penetapan Presiden Seumur Hidup


Penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup didasarkan
atas hasil dari Sidang Umum MPRS tahun 1963.

d. Pembentukan MPRS
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk berdasarkan
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Dalam pengangkatan dan
pemberhentiannya, para anggota MPRS seluruhnya ada ditangan presiden.
Ada pun syarat seseorang bisa menjadi anggota MPRS, yaitu setuju kembali
kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju kepada Manifesto
Politik. Komposisi keanggotaannya terdiri atas 61 orang anggota DPR, 94
orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan.

Dalam prakteknya, MPRS hanya menjadi kepanjangan tangan presiden. Hal


ini dibuktikan dengan pengangkatan pimpinan MPRS. Ketua MPRS dijabat

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 2


oleh Wakil Perdana Menteri II dan Wakil-wakil Ketua diangkat dari
pimpinan partai-partai besar (PNINU-PKI) dan wakil dari ABRI masing-
masing diberi kedudukan sebagai menteri negara.

e. Pembentukan Front Nasional


Dengan menggunakan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959 tanggal 31
Desember 1959, Presiden Soekarno membentuk Front Nasional. Ada pun
tujuan Front Nasional menurut Penetapan Presiden tersebut:
1.Untuk mengamankan dan melaksanakan Manipol USDEK yang
sebelumnya telah ditetapkan sebagai GBHN.
2.Menyatukan segala bentuk potensi nasional.
3.Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia.
4. Melaksanakan Pembangunan Semesta Nasional.
5. Mengembalikan Irian Barat ke wilayah RI.

f. Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan Pembentukan DPRGR


Pada 5 Maret 1960, presiden membubarkan DPR hasil pemilu dengan
Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960. Hal ini disebabkan terjadi
perselisihan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai Penetapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun 1961. Untuk
menggantikannya, pada 24 Juni 1960, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPRGR) melalui Penetapan Presiden No. 4 tahun I960.
Susunan DPRGR ini tidak lagi didasarkan atas perimbangan kekuatan partai-
partai yang dihasilkan pemilu, melainkan diatur sedemikian rupa untuk
menjamin adanya kerja sama secara gotong royong antara pemerintah dan
DPR. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil golongan politik, golongan-
golongan karya, dan seorang wakil dari Irian Barat. Seperti halnya MPRS,
semua anggota DPRGR dipilih, diangkat,dan diberhentikan oleh Presiden
Soekarno. Adapun tugas-tugas DPRGR sebagai berikut:
1. Melaksanakan Manifesto Politik.
2. Merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera).
3. Melaksanakan Demokrasi Terpimpin.

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 3


g. Pembubaran Partai Masyumi dan PSI
Pada tanggal 17 Agustus 1960 dengan berlandaskan Penpres No. 7 tahun
1959, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960
membubarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai
Sosialis Indonesia karena pemimpinpemimpinnya dianggap turut-serta dan
telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan PRRI/Permesta.

h. Pemasyarakatan Ajaran NASAKOM


Pada masa menggunakan Demokrasi Liberal, kondisi Indonesia begitu
banyak paham yang berkembang sehingga tidak terciptanya suatu
pemerintahan yang stabil. Dengan bercermin pada kondisi tersebut, Presiden
Soekarno demi menjaga persatuan di Indonesia, akhirnya menetapkan hanya
ada tiga ideologi yang diizinkan, yaitu nasionalis, agama, dan komunis. Ajaran
ini dikenal dengan nama NASAKOM. Dalam kenyataannya, pemasyarakatan
ajaran NASAKOM berkembang menjadi polemik di antara masyarakat
Indonesia, termasuk di kalangan seniman. Kalangan seniman terbagi menjadi
dua golongan:
1. Para seniman pendukung NASAKOM yang tergabung dalam Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat).
2. Golongan seniman yang menolaknya tergabung dalam Manifes
Kebudayaan (Manikebu).

i. Pembentukan Komando Operasi Tertinggi (KOTI)


Dengan adanya Komando Operasi Tertinggi (KOTI), ABRI menjadi
kekuatan yang dapat dikontrol langsung di bawah kekuasaan presiden. Hal ini
bisa kita lihat dari langkah Presiden Soekarno mengambil alih secara langsung
pimpinan Angkatan Bersenjata dan menempatkan masing-masing angkatan
pada posisi menteri di bawah presiden.

j. Integrasi Irian Barat


Beberapa tahun setelah diselenggarakannya Konferesi Meja Bundar
(KMB), Belanda masih juga tidak mau beriktikad baik untuk membicarakan
masalah Irian Barat. Pada awalnya, pemerintah berusaha menyelesaikan

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 4


masalah ini melalui jalur diplomasi. Akan tetapi, usaha tersebut mengalami
kegagalan. Masalah Irian Barat pernah dibahas ketika Konferensi Asia-Afrika
digelar pada 1955. Hasilnya, negara-negara di Asia dan Afrika, sepakat untuk
mendukung agar terjadinya pengembalian Irian Barat oleh Belanda. Pada
1957, masalah Irian Barat juga pernah disampaikan Indonesia pada Sidang
Majelis Umum PBB ke-12.
Kerena melalui jalur diplomasi mengalami kegagalan, pemerintah
akhirnya berusaha mendapatkan kembali Irian Barat melalui jalur
konfrontasi.
1. Konfrontasi ekonomi
Cara ditempuh dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda yang ada di Indonesia, pemogokan buruh Indonesia
yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda hingga pelarangan
mendaratnya maskapai penerbangan Belanda (KLM).
2. Konfrontasi politik
Pada tahun 1960, Indonesia memutuskan hubungan diplomasi
dengan Belanda. Dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali
masalah Irian Jaya dibahas. Salah seorang diplomat Amerika Serikat,
Ellsworth Bunker, mengajukan usulan mengenai penyelesaian masalah
Irian Jaya kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Inti usulan
tersebut agar pihak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia
dan penyerahan itu dilakukan melalui PBB dalam angka waktu dua tahun.
Pemerintah RI pada prinsipnya dapat menyetujui usul tersebut dengan
syarat waktu dua tahun itu diperpendek. Ternyata, pemerintah Kerajaan
Belanda mempunyai pendapat sebaliknya. Pihak Kerajaan Belanda akan
mau melepaskan Irian Barat dengan membentuk terlebih dahulu
perwalian di bawah PBB kemudian membentuk negara Papua.
Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 mengeluarkan tiga
perintah (tri komando) yang kemudian disebut Trikora. Trikora yang
berisi tentang:
1. Gagalkan negara Papua.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum.

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 5


Implementasi dari kebijakan tersebut, pada 2 Januari 1962
Presiden/Panglima ABRI/ Panglima Besar Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan No.l Tahun 1962
dengan membentuk Komando Mandala yang dipimpin oleh Mayjen
Soehanto bertanggung jawab atas segala kegiatan operasionil ABRI serta
Sukarelawan. Sebelum Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
terbentuk, terjadi peristiwa pertempuran Laut Aru antara tiga MTB kita
melawan kapal perusak Belanda. Dalam pertempuran itu, gugur Deputi
Kepala Staf Angkatan Laut Lamana Pertama Yos Sudarso yang tenggelam
dengan MTB Macan Tutul.
Pemerintah Belanda semakin mendapat tekanan dari dunia
Internasional. Amerika bahkan mengancam akan menghentikan bantuan
ekonomi Marshal Plan kepada Belanda jika masih tidak mau berunding
dengan Indonesia mengenai status Irian Barat. Menanggapi ultimatum
dari Amerika Serikat tersebut pada 15 Agustus 1962, diadakan
Persetujuan New York yang menghasilkan:
1. Mulai tanggal I Oktober 1962 kekuasaan Belanda atas Irian
Barat berakhir
2. Mulai tanggal 1 Oktober 1962 sampai dengan 1 Mei 1963 Irian
Barat berada di bawah kekuasaan PBB.
3. Mulai tanggal 31 Desember 1962 bendera Merah Putih
berkibar di samping bendera PBB.
4. Pada 1 Mei 1963, secara resmi PBB menyerahkan Irian Barat
kepada pemerintah Republik Indonesia.
Akhirnya, PBB membentuk United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) yang akan menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintah Republik Indonesia sebelum Janggal 1 Mei 1963. Indonesia
menerima kewajiban untuk mengadakan penentuan pendapat rakyat
(Pepera) di Irian Jaya sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan
bahwa kedua belah pihak Indonesia dan Belanda akan menerima hasilnya
dengan lapang dada.

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 6


k. Konfrontasi dengan Malaysia dan Indonesia Keluar dari PBB
Pada 1961, Inggris berencana membentuk Federasi Malaysia yang terdiri
dari persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah.
Indonesia menentang keras terhadap pembentukan Federasi Malaysia
dengan alasan pembentukan negara Malaysia adalah proyek
neokolonialisme Inggris sehingga dapat membahayakan revolusi Indonesia
yang belum selesai.
Untuk menanggapi persoalan tersebut, Indonesia melancarkan
konfrontasi bersenjata yang dilakukan oleh sukarelawan yang sebagian
diambil dari ABRI dan sebagian dari masyarakat luas. Pada 3 Mei 1963,
Presiden Soekarno menyampaikan tentang Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Seruan ini berisi:
1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah,
Serawak, dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Tindak lanjut dari Dwikora ini dengan menggelar operasi militer bersandi
Operasi Siaga. Pasukan dan gerilyawan Indonesia berusaha masuk ke daerah
Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara dan di sana melaksanakan operasi-
operasi terhadap angkatan perang persemakmuran Inggris. Dalam rangka
penyelesaian sengketa dengan Malaysia secara damai atas prakarsa Filipina,
pada tanggal 9-17 April 1963 diadakan Konferensi Tingkat Wakil-wakil
Menteri Luar Negeri (Menlu) dari Indonesia, Malaya dan Filipina. Pertemuan
itu membicarakan rencana pembentukan Federasi Malaysia dan suatu
konfederasi antara ketiga negara tersebut dalam rangka kerjasama. Selain
itu, pertemuan tersebut merupakan suatu persiapan konferensi tingkat
Menteri Luar Negeri yang akan diadakan pada Juni 1963.
Semula pembentukan Federasi Malaysia itu akan dilakukan pada 31
Agustus 1963 di London. Akan tetapi, diundurkan. Temyata, pada 16
September 1963, pembentukan Malaysia tetap dilaksanakan walaupun missi
PBB belum menyampaikan hasil laporan penyelidikannya mengenai
kehendak rakyat di daerah-daerah itu. Pemerintah Republik Indonesia
berpendapat bahwa tindakan itu suatu pelanggaran terhadap pernyataan
bersama yang tegas menyebutkan penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 7


Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia
diumumkan. Klimaks konflik tersebut saat terjadinya aksi demonstrasi di
Kuala Lumpur, terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia dan
demonstrasi di Jakarta terhadap Kedutaan Besar Malaysia dan Kedutaan
Besar Inggris. Pada 17 September 1963, hubungan diplomatik dengan Kuala
Lumpur oleh pemerintah Republik Indonesia diputuskan secara sepihak.
Pada Sidang Umum PBB tahun 1960, Presiden Sukarno hadir dan
mengucapkan sebuah pidato dengan judul “Membangun Dunia Kembali”. Isi
pidato tersebut menyebutkan Presiden Soekarno mengancam PBB bahwa
Indonesia akan keluar dari keanggotan PBB jika Malaysia diterima menjadi
Dewan Keamanan PBB Tidak tetap. Akhirnya pada tanggal 7 Januari 1965,
PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap
PBB. Menanggapi keputusan tersebut, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio
resmi menyatakan terhitung mulai tanggal 7 Januari 1965 Indonesia keluar
dari PBB.

l. Politik Luar Negeri Oldefo dan Nefo


Setelah Perang Dunia II, muncul dua kekuatan besar di dunia. Dua
kekuatan tersebut sering disebut oleh Presiden Soekarno sebagai Old
Emerging Forces (Oldefo) dan New Emerging Forces (Nefo). Oldefo adalah
negara-negara kapitalis yang cenderung kolonialis, sedangkan Nefo adalah
negara-negara antikapitalis dan kolonialis. Indonesia sendiri pada masa
tersebut lebih condong memihak kelompok Nefo bersama dengan negara-
negara komunis.
Dalam penerapannya, Politik NEFO ini kemudian berkembang menjadi:
1. Politik mercusuar. Indonesia mengadakan proyek-proyek kolosal yang
menguras biaya besar. Proyek itu dimaksudkan untuk mengangkat
Indonesia sebagai negara terkemuka (menjadi mercusuar) di kalangan
Nefo. Proyek mercusuar, antara lain pembangunan kompleks olahraga
Senayan dan penyelenggaraan Ganefo (pesta olahraga untuk negara-
negara Nefo).

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 8


2. Politik poros. Indonesia mengadakan hubungan istimewa dengan RRC
(poros Jakarta-Peking) dan juga dengan Kampuchea, Vietnam Utara,
dan Korea Utara (poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Pyongyang).

Modul Sejarah by Dwi Susanti Page 9

Anda mungkin juga menyukai