1960 -1965
Pengertian Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dari sila ke-4
Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratn /
perwakilan. Kata “dipimpin” kemudian ditafsirkan
bahwa demokrasi harus dipimpin oleh presiden.
Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia
merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI
dan kaum borjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani
Lahirnya Demokrasi Terpimpin
Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan
Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan
Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun
Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya
menyatakan diberlakukannya kembali
Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan
"Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan
Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan
hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat
untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme,
agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan
NASAKOM.
Kabinet-kabinet
Pada masa ini terjadi banyak pergantian
kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak
stabil. Tercatat ada 2 kabinet pada masa ini.
1957-1959 - Kabinet Djuanda
kabinet kerja
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda,
disebut juga Kabinet
Karya, memerintah pada
periode 9 April 1957 -
10 Juli 1959.
Catatan
^ Soenario digantikan
Rachmad Muljomiseno
^ J. Leimena digantikan
oleh
Muljadi Djojomartono
1. Perdana Menteri : Djuanda
2. Wakil Perdana Menteri I : Hardi
3. Wakil Perdana Menteri II : Idham Chalid
4. Wakil Perdana Menteri III : J. Leimena
5. Menteri Luar Negeri : Subandrio
6. Menteri Dalam Negeri : Sanusi Hardjadinata
7. Menteri Pertahanan : Djuanda
8. Menteri Kehakiman : GA Maengkom
9. Menteri Penerangan : Soedibjo
10. Menteri Keuangan : Sutikno Slamet
11. Menteri Pertanian : Sadjarwo
12. Menteri Perdagangan : Prof. Mr. Soenario [1]
13. Menteri Perindustrian : FJ Inkiriwang
14. Menteri Perhubungan : Sukardan
15. Menteri Perhubungan Laut : Nazir
16. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga : Pangeran Mohammad Nur
17. Menteri Perburuhan : Samijono
18. Menteri Sosial : J. Leimena [2]
19. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Prijono
20. Menteri Agama : Mohammad Iljas
21. Menteri Kesehatan : Azis Saleh
22. Menteri Agraria : R. Sunarjo
23. Menteri Negara Urusan Pengerahan Tenaga Kerja : AM Hanafi
24. Menteri Negara Urusan Veteran : Chaerul Saleh
25. Menteri Negara Hubungan Antar Daerah : FL Tobing
26. Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi : Suprajogi
27. Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil Militer : Wahid Wahab
28. Menteri Negara Urusan Transmigrasi : FL Tobing
29. Menteri Negara : AM Hanafi
30. Menteri Negara : Mohammad Yamin
Kabinet Kerja
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, maka pada tanggal 9 Juli 1959
Kabinet Djuanda dibubarkan dan digantikan oleh
Kabinet Kerja. Dalam kabinet itu, Presiden
Soekarno bertindak sebagai perdana menteri,
sedangkan Ir. Djuanda menjadi menteri
pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli
1959, dengan programnya yang disebut Tri
Program Kabinet Kerja meliputi masalah-
masalah sandang pangan, keamanan dalam
negeri, dan pengembalian Irian Barat.
MPRS
Dengan penetapan Presiden No. 2 tahun 1959
dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) yang anggota-anggotanya
ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
Keanggotaan MPRS tersebut terdiri atas
anggota-anggota DPR ditambah utusan-utusan
daerah dan wakil-wakil golongan karya. MPRS
ini diketuai oleh Chaerul Shaleh dengan tugas
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Salah satu ketetapan MPRS ini adalah
mengankat Presiden Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi.
DPA
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibentuk
berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959. DPA ini
dipimpin langsung oleh presiden dengan Roeslan
Abdulgani sebagai wakil ketuanya. Dewan itu
berkewajiban untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul
kepada pemerintah. Pelantikan DPA dilaksanakan pada
tanggal 15 Agustus 1959 di Istana Negara bersamaan
dengan pelantikan Moh. Yamin sebagai Dewan
Perancang Nasional (Depernas) dan Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Badan Pengawas
Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan).
Pembentukan DPR-GR
Pada mulanya, DPR hasil pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan
Presiden Soekarno. Akan tetapi, mereka kemudian menolak APBN
tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Karena adanya
penolakan tersebut, dikeluarkanlah Penpres No. 3 tahun 1960 yang
menyatakan pembubaran DPR hasil pemilu 1955. pada tanggal 24
Juni 1960, Presiden Soekarno telah berhasil menyusun anggota
DPR baru yang diberi nama Dewan Perwajkilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25
Juni 1960.
Dalam komposisi anggotanya, perbandingan jumlah golongan
nasionalis, Islam, dan komunis adalah 44, 43, 30. Setelah dilakukan
penambahan, perbandingan itu berubah menjadi 94, 67, 81. Dalam
pidato presiden pada pelantikan DPR-GR tanggal 25 Juni 1960
disebutkan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan
Manisfestasi Politik (Manipol), merealisasi Amanat Penderitaan
Rakyat (Ampera), dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Reaksi Terhadap Pembentukan
DPR-GR
Reaksi terhadap pembentukan DPR-GR terwujud dengan
terbentuknya Liga Demokrasi yang merupakan gabungan dari para
tokoh politik yang menentang pembentukan DPR-GR. Liga
Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyidi dari NU. Pada akhir bulan
Maret 1960, Liga Demokrasi mengeluarkan suatu pernyataan yang
antara lain menyebutkan supaya dibentuk DPR yang demokratis
dan konstitusional. Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk
membentuk DPR-GR hendaknya ditangguhkan. Ir. Djuanda selaku
pejabat presiden selama Presiden Soekarno berada di luar negeri
bersikap toleran terhadap tuntutan Liga Demokrasi tersebut. Akan
tetapi, setelah Presiden Soekarno tiba di tanah air Liga Demokrasi
dibubarkan. Melalui Penpres No. 13 tahun 1959, Presiden Soekarno
kemudian membentuk Front Nasional, yaitu suatu organisasi massa
yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang
terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional ini diketuai oleh
Presiden Soekarno sendiri.
Pembentukan ABRI
Pada tahun 1964 TNI dan Polisi dipersatukan menjadi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka
kembali pada peran sosial-politiknya seperti selama
zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah
satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil
dalam MPRS. Pada masa demokrasi terpimpin itu,
Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan
kekuatan (balance of power) bukan hanya
antarangkatan dalam ABRI, melainkan juga antara ABRI
dengan partai-partai politik yang ada. Dengan semboyan
“politik adalah panglima” seperti yang dilancarkan oleh
PKI, usaha untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas.
Presiden mengambil alih secara langsung pimpinan
ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi
(Koti).
Nasakom
Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan komunisme)
adalah istilah dari front Nasional yang dikemukakan oleh
Presiden Soekarno. Nasakom dikemukakan oleh
Presiden Soekarno tahun 1960 sebagai upaya untuk
meningkatkan persatuan nasional. Ide tersebut delah
dicetuskan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1926 dalam
seri karangannya yang dimuat dalam majalah Indonesia
Moeda yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Istilah Nasakom dikembangkan dalam Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). Dalam perkembangan Nasakom
dimanfaatkan oleh PKI untuk mengembangkan diri serta
memperbesar pengaruhnya, baik di kalangan rakyat
maupun pemerintah.
Kondisi Politik pada Masa
Demokrasi Terpimpin
Perkembangan politik pada masa demokrasi
terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno
dengan TNI-AD dan PKI sebagai
pendukungnya.
Ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom
sangat menguntungkan PKI karena
menempatkannya sebagai bagian yang sah
dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan,
Presiden Soekarno menganggap aliansinya
dengan PKI menguntungkan sehingga PKI
ditempatkan pada barisan terdepan dalam
demokrasi terpimpin.
Kiprah PKI dalam Dunia Politik
pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, PKI memang mendapatkan kedudukan
penting. Kader-kader PKI banyak yang duduk dalam DPR-GR, DPA, serta
Pengurus Besar Front Nasional dan Front Nasional Daerah. Ada juga yang
diangkat sebagai kepala daerah. TNI-AD berusaha mengimbangi dengan
mengajukan calon-calon lain, tetapi usaha itu menemui kesulitan karena
Presiden Soekarno memberikan dukungan yang besar kepada PKI.
Sejak tahun 1963, PKI berusaha untuk duduk dalam kabinet. Mereka terus
menyerukan untuk segera membentuk kabinet Nasakom tahun ini juga.
Melalaui kampanye pers, radio, dan poster PKI menggambarkan aparat
pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, dan orang-orang kaya yang tidak
sejalan dengan mereka sebagai setan desa, setan kota, kabir, yang harus
dibasmi.
Sebagai reaksi dari teror-teror yang dilakukan olehPKI, di kalangan
budayawan muncullah Manikebu, sedangkan dari kalangan wartawan dan
penerbit surat kabar muncullah Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Kedua kelompok itu dengan caranya sendiri berupaya untuk melepaskan
belenggu absolutisme PKI yang mengekang kreativitas mereka. Namun,
keduanya kemudian dibubarkan dengan tuduhan dibiayai oleh CIA.
Penyusupan PKI
PKI juga berupaya menyusup ke dalam PNI sehingga partai itu
pecah menjadi dua. Sebagian yang terbesar di bawah Ali
Sastroamijoyo disusupi oleh PKI Ir. Surachman sehingga
haluannya mirip dengan PKI. Adapun tokoh PNI yang berpaham
marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan tuduhan sebagai
marhaenis gadungan. Mereka yang dituduh marhaenis gadungan
kemudian membentuk pengurus besar baru PNI di bawah pimpinan
Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya. Kondisi ini kemudian
memunculkan dua PNI, yaitu PNI Osa-Usep dan PNI Asu (Ali
Sastroamijoyo-Surachman) yang berhaluan komunis.
Satu-satunya kekuatan pengimbang yang dapat menggagalkan
usaha PKI adalah ABRI. Oleh karena itu, PKI memusatkan
perhatiannya pada usaha untuk menguasai ABRI. Usaha itu
dilakukan dengan cara menyusupkan kader-kadernya dan membina
simpatisan-simpatisan serta menjelek-jelekkan atau memfitnah
pimpinan ABRI.
Peran Indonesia dalam Kegiatan
Internasional
Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan
pasukan perdamaian PBB, UNOC (United Nations Operation for Congo).
Pada tanggal 30 Sptember 1960, Presiden Soekarno berpidato dalam
Sidang Umum PBB berjudul To Built the World Anew yang menguraikan
tentang Pancasila, masalah Irian Barat, kolonialisme, peredaan Perang
Dingin, dan perbaikan organisasi PBB.
Indonesia ikut memprakarsai berdirinya Gerakan Non-Blok (Non-Aligned).
INDONESIA – Ir. SOEKARNO
YUGOSLAVIA – JOSEPH BROSS TITO
INDIA – PANDIT JAWAHARAL NEHRU
MESIR – GAMAL ABDUL NASSER
GHANA – KWAMEE NGRUMAH
Indonesia Belanda
Komandan
Soekarno
Soeharto
Kekuatan
Tidak diketahui Tidak diketahui
Jumlah korban
Tidak diketahui Tidak diketahui
Pengertian
Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan
Irian Barat, adalah konflik dua tahun yang
dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan
wilayah West New Guinea. Pada tanggal
19 Desember 1961, Presiden Indonesia
Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora
di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga
membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal
Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas
komando ini adalah merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Papua
Barat dengan Indonesia.
Latar Belakang
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah
Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun
demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi
salah satu salah satu provinsi Kerajaan Belanda,[1] sama dengan
daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai
persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-
lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia
menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan
antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional.
Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia
tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun
setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu
satu tahun.[2]
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat
memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.[3]
Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya,
Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah
Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda
mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan
kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi
angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957
. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk
Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau
Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang
dilantik pada tanggal 23 September 1956.[4]
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura.
Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian
dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan
tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan
emas ataupun tembaga.[5]
Bendera Papua Barat, sekarang
digunakan sebagai bendera
Organisasi Papua Merdeka