Pada tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “ aksi sepihak
“ para petani dan buruh dibantu olrh kader PKI melakukan alih tanah penduduk, melakukan
aksi demonstasi dan pemogokan. Pada tahun 1965 PKI mengajukan gagasan tentang
pembentukan angkatan ke-5 yakni para petani dan buruh yang dipersenjatai,dengan
tujuanmenggalang kekuatan menghadapi neokolonialisme-imperialisme inggris dalam
rangka dwikora. Pada mei 1965 PKI melempar isu tentang adanya dewan jendral dalam
tubuh Angkatan Darat yang menyebabkan tidak harmonisnya hubungan antara PKI dan AD.
Pada juli 1965 tersiar kabar bahwa presiden soeharto jatuh sakit, hal tersebut menimbulkan
kegentingan di Indonesia yang mencapai puncaknya pada 30 September 1965, yaitu adanya
kudeta yang dilakukan oleh PKI. Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan
beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu
menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-
orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai
setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan
tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia
berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa
Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan
besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto,
diantaranya, krisis politik,krisis hokum, krisis ekonomi,krisis social dan krisis kepercayaan.
PEMERINTAHAN REFORMASI
posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah
dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke
laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan
laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik,
dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan
internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk
tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang
baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun
penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan
Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam
mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu
disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di
Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan
perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam
empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat
negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak
meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang
kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga
kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda
menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda.
Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama
pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian,
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di
Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk
menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban
meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli
itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie
(pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan
di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan
begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu
kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300
metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil
produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak
tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-
an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.
Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang
berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai
puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan
menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira
sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan
memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern
yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah
pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan
dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian
pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya,
agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang
dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang
yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami
kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara
lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch.
Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat
itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh,
kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi
Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini,
seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada
masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke
gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan
memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan
kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam
tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di
pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa
masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga
merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab
klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda
hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian
besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang
lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-
peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga
masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta
sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang
dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke
tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah
penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak
maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam
struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas
pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai
kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
II.ORDE LAMA
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada
waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan
sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober
1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri
RI.
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP,
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan,
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang
ke bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan
yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip
liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire
laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan
memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-
perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas
pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga
uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya
dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan
angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah,
dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga
salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
III.ORDE BARU
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah
berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan
pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 %
per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah
bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem
ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu
teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-
kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan
UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan :
kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha,
partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan
pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan
industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan
jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya
alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa
semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi
dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya,
ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk.
Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
IV.ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan
tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini
memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai
(BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari
kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing,
yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar
dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin
meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi
belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif
A. PANCASILA DI ERA PRA KEMERDEKAAN
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-
politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada
bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar) (Madjid
dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and deepen” identitas
Bangsa Indonesia
sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara,
maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
Menurut sejarah pada kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan Majapahit di
Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa
Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai
negara. Kedua kerajaan itu telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai
wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami kehidupan
masyarakat yang sejahtera.
Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara
kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah
Wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua
tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan
modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat Negara.RI. 1995:11).
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah dikenal di Asia. Pelajar
dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak guru-guru tamu yang mengajar di sini dari
India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada
kerajaan Sriwijaya sebagai terebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya ssiddhayatra
subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata
pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang
menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum
dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut
ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur
(Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilkai-nilai
Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan
secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan
agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para
pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai
dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang)
Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya
sangat makmur.
Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai
refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama
Budha pada abad ke IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa (abad ke
X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan
agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam
kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan
dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai sila keempat
telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut
Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada
saat raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian
rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya dengan
berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan raja Hayam
Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang
dari semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan
Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di
dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam
buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki
tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga
diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk
agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan baik dengan
kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negara-
negara tetangga atas dasar “ Mitreka Satata”.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan,
khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu
dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya
yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sundda,
Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim
pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan
kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I
Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan
masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah
bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa
abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang
sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa Asing masuk ke
Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu
Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan
Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme sudah
ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai dan Demak, nampaknya tidak mampu
membendung tekanan Barat memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia ini. Maka sejak
itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa
pejajahan Belanda itu dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-
citanya, sebab pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada zaman
Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang, persatuan dihancurkan,
kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.
Penjajahan Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu tidak dibiarkan begitu saja
oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis itu menjejakkan kakinya di Indonesia, di
mana-mana bangsa Indonesia melawannya dengan semangat patriotik melalui perlawanan secara
fisik.
Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Pada
abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pahlawan Sultan
Agung(Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta Yasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin
Makasar1660), Iskandar Muda Aceh 1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur
1670), Ibnu Iskandar (Minangkabau 1680) dan lain-lain.
Pada permulaan abad ke XIX penjajah Belanda mengubah sistem kolonialismenya yang semula
berbentuk perseroan dagang partikelir yang bernama VOC berganti dengan Badan Pemerintahan
resmi yaitu Pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran Pemerintahan
penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera kembali kepada
Belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya Belanda menghadapi perlawanan bangsa
Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di Minangkabau (1822-
1837), Diponogoro di Mataram (1825-1830), Badaruddin di Palembang (1817), Pangeran
Antasari di Kalimantan (1860) Jelantik di Bali (1850), Anang Agung Made di Lombok (1895) Teuku
Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya’Din di Aceh (1873-1904), Si Singamangaraja di Batak (1900).
Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap daerah di Indonesia. Akan
tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak
adanya persatuan serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa
Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan penjajah. Hal ini
membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia
mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia yang di pelopori oleh Muh. Yamin,
Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan
akan adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa Indonesia, yaitu
kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan sebagai suatu bangsa yang
merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia yang disingkat
dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat
yang terdiri dari Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan
semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah Belanda,
pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan Bangsa dan tanah
air Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia dari Belanda kepada Jepang terjadi di Kalijati Jawa
Tengah tanggal 8 Maret 1942.
Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang tidak kurang
kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa Indonesia mengalami
penderitaan dan penindasan yang sampai kepada puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa
Indonesia yang didambakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa
semakin menjauh bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang.
Sejarah berjalan terus, di mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan berakhirnya dengan
kekalahan Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia, Jepang
berusaha membujuk hati bangsa Indonesia dengan mengumumkan janji kemerdekaan kelak di
kemudian hari apabila perang telah selesai. Kemudian janji yang kedua kemerdekaan diumumkan
lagi oleh Jepang berupa “Kemerdekaan tanpa syarat” yang disampaikan seminggu sebelum Jepang
menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, bahkan menganjurkan
agar berani mendirikan negara Indonesia merdeka dihadapan musuh Jepang
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat
yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama
menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom
kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya.
Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk
merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara
golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat,
mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta
dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan
Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh
Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi
itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-
kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam
Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15
Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal
18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari
kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi
ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua
kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi
politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan
sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila
sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-
sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan
nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah
untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam
Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar
Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante
(Anshari, 1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959.
Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang
disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4
Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan
Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang
berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka
yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua
arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki
persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar,
bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri
sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme
yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat
ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden
Indonesia, melalui sidang MPRS.
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang
kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman
terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden
Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali
bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang
sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya
Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan
bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo,
bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari
Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada tahun
1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi
panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978
dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan
dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
h. Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
c. Bersikap adil.
d. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat
digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila
Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11
(sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia
diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan
rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen
jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali,
2009: 37). Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan
menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat
dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27
Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat
sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu
membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara
berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada
bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap
Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila
sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin
terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang
secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak
transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam
Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).
Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Suharto
mengemukakan gagasannya mengenai penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik.
Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena tahun 1966-67 sudah terdengar
gagasan untuk mengasastunggalkan partai-partai politik. Namun, tampaknya keadaan belum
memungkinkan. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai politik adalah untuk mengurangi
seminimal mungkin potensi konflik idiologis yang terkandung dalam partai-partai politik. Berbeda
dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, bahwa Sukarno mengharapkan
agar Pancasila dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima
anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya
masing-masing dalam mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998. 39-40). Pola seperti ini masih
terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, dengan tidak adanya
keharusan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun dengan adanya pidato
Presiden Suharto tersebut ada dorongan dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang sesuai dengan aspirasi, ciri khas dan karakteristik
partai politik tidak diperkenalkan lagi.
Akhirnya keinginan Presiden Suharto itu terpenuhi dengan merubah UU No.3/1975 dengan UU
No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa pengertian asas meliputi juga
pengertian “dasar”, “landasan”. “pedoman pokok”, yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar
partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Asas tunggal Pancasila menurut
Deliar Noer berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang menurut
keyakinan masing-masing. Keyakinan ini biasanya berumber dari agama atau dari fahaman lain.
Bahkan asas tunggal Pancasula cenderung kearah sistem partai tunggal, meskipun secara formal
ada tiga partai, tetapi secara terselubung sebenarnya hanya ada satu partai.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara,
dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai
dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori
oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya
“reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu
seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah
menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui
indoktrinasi (Ali, 2009: 50). Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi
ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari
dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi
konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran
masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi
disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.
Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan
cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi
politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan
golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk
berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada
akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif,
tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan
bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan
menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang
ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber
hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”.
kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika
bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat
pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam
penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya
pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga
pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu
kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa
adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan
bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan
dan Bahasa Indonesia.