Disusun Oleh :
Afifah Fitria Nugroho (2204026134)
Masa Orde Lama (5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 ). Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 telah membawa kepastian di negara Indonesia. Negara kita
kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang berkedudukan
sebagai asas penyelenggaraan negara.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan
dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Isu-isu selama periode ini di antaranya dorongan untuk menerapkan demokrasi dan
pemerintahan sipil yang lebih kuat, elemen Tentara Nasional Indonesia yang mencoba
untuk mempertahankan pengaruhnya, Islamisme yang tumbuh dalam politik dan
masyarakat umum, serta tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Proses reformasi
menghasilkan tingkat kebebasan berbicara yang lebih tinggi, berbeda dengan
penyensoran yang meluas saat Orde Baru. Akibatnya, debat politik menjadi lebih terbuka
di media massa dan ekspresi seni makin meningkat. Peristiwa-peristiwa yang telah
membentuk Indonesia dalam periode ini di antaranya serangkaian peristiwa terorisme
(termasuk bom Bali 2002) serta gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004.
1. Kepresidenan Habibie (1998–1999)
Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik
sebagai presiden dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999,
pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Partai Politik[2] yang mencabut
pembatasan jumlah partai politik (parpol). Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya
tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak diwajibkan berideologi Pancasila.
Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di antaranya akan bersaing
dalam pemilihan legislatif 1999.
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang
merupakan pemilihan bebas pertama sejak Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955.
Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan
komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru.
Habibie juga menyerukan Referendum kemerdekaan Timor Leste 1999 untuk
menentukan masa depan Timor Leste. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan
membuat marah beberapa orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur
memilih untuk merdeka. Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi
politik Habibie.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Kota Jayapura, ibu kota Papua (saat
itu disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin Papua Barat
bahwa dirinya merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong penggunaan
nama Papua.
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–Leninisme dicabut.
Pada bulan September, Gus Dur mengumumkan darurat militer di Maluku. Pada
bulan yang sama, penduduk Papua Barat mengibarkan Bendera Papua Barat. Gus Dur
menanggapi dengan mengizinkan pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang
Kejora ditempatkan lebih rendah dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik
keras oleh Megawati dan Akbar Tanjung. Pada 24 Desember 2000, Pengeboman
Malam Natal Indonesia 2000 dilakukan terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan
kota di seluruh Indonesia.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama
terungkap bahwa milisi Laskar Jihad telah tiba di Kepulauan Maluku dan
dipersenjatai dengan senjata militer, meskipun Gus Dur telah memerintahkan TNI
untuk memblokir masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi telah merencanakan
sejak awal tahun untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri dalam Konflik
sektarian Maluku di sana.
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa
kepresidenannya. Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya
dana sebesar US$4 juta. Uang tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur sendiri,
yang menyatakan bahwa Gus Dur mengirimnya ke Bulog untuk mengambil uang
tersebut. Meski uangnya telah dikembalikan, musuh-musuh politik Gus Dur
mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam skandal yang disebut
sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan
sumbangan US$2 juta dari Daftar Sultan Brunei yang diberikan sebagai bantuan
untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.
Pemakzulan
Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling
menonjol adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur sebagai
presiden pada tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi dengan
mendorong Megawati dan Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan politik
mereka. Megawati secara mengejutkan membela Gus Dur sementara Akbar memilih
untuk menunggu Pemilihan umum legislatif Indonesia 2004. Pada akhir November,
151 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) menandatangani petisi
yang menuntut pemakzulan Gus Dur.
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi
hari libur opsional. Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari dengan mencabut
larangan tentang perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan Februari, Gus Dur
mengunjungi negara-negara di Afrika Utara serta Arab Saudi untuk menunaikan
ibadah haji. Gus Dur melakukan kunjungan luar negeri terakhirnya pada Juni 2001
ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan bahwa
ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi. Meskipun isi pertemuan ini tidak
untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang timbul. Pada 1 Februari,
DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR,
yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden. Dari hasil pemungutan suara,
sangat banyak anggota DPR yang mendukung memorandum, sementara anggota PKB
hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai bentuk protes. Memorandum tersebut
menimbulkan protes luas di kalangan anggota Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa
Timur, anggota NU menyerang kantor Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai
menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya
dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di kota Kota Pasuruan dan mendorong
mereka untuk berhenti berdemonstrasi. Meski demikian, pengunjuk rasa NU terus
menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April
mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari
anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot karena
secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri Kehutanan Nur
Mahmudi Ismail juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana departemennya
kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai menjauhkan diri dan
tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30 April, DPR mengeluarkan
memorandum kedua dan esok harinya menyerukan Sidang Istimewa MPR digelar
pada 1 Agustus.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat.
SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien Rais
mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI, yang
memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai presiden,
menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang mengarah ke
Istana Presiden untuk Pertunjukan kekuatan.[18] Untuk mencegah Sidang Istimewa
MPR berlangsung, Gus Dur kemudian mengeluarkan Maklumat Presiden Republik
Indonesia 23 Juli 2001 pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak memiliki
kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR melanjutkan
Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk memakzulkan Gus
Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia
adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana Kepresidenan tetapi
kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera terbang ke Amerika Serikat
untuk merawat kesehatannya
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Suharto ke kursi kepresidenan pada awalnya
disambut secara luas, tetapi segera terlihat bahwa kepresidenannya ditandai dengan
ketidaktegasan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "dikenal pasif dalam urusan
kebijakan penting". Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari
konfrontasi adalah bahwa Megawati menstabilkan proses demokratisasi secara
keseluruhan dan hubungan antara legislatif, eksekutif, dan militer.
Meskipun pada tahun 2004 ekonomi telah stabil dan cukup pulih dari krisis 1997,
angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Konstitusi Indonesia kemudian
diamendemen agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Megawati mencalonkan
diri untuk masa jabatan kedua. Ia secara konsisten tertinggal dalam berbagai jajak
pendapat. Sebagian penyebabnya adalah pemilih Muslim yang cenderung memilih
kandidat laki-laki dan kinerja Megawati dipandang biasa-biasa saja selama menjabat
sebagai presiden. Meski tampil lebih baik dari perkiraan pada putaran pertama
Pemilihan umum Presiden Indonesia 2004, tetapi di putaran kedua ia dikalahkan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan pada masa pemerintahan Megawati.
Dua bulan setelah SBY menjabat, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004
melanda Aceh dan negara-negara lain di sepanjang garis pantai Samudra Hindia. Tiga
bulan kemudian, gempa susulan memicu tsunami di Pulau Nias. Pada tahun 2006,
Gunung Merapi meletus dan disusul gempa bumi di Kota Yogyakarta.
Indonesia juga mengalami wabah Virus influenza A subtipe H5N1 dan Banjir lumpur
panas Sidoarjo. Pada tahun 2007, Banjir Jakarta 2007. SBY mengizinkan Gubernur
DKI Jakarta Sutiyoso membuka pintu air Manggarai dengan risiko membanjiri Istana
Kepresidenan.
Pada 1 Oktober 2005, Bom Bali 2005 terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam militan
Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun penyelidikan
polisi masih dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab atas bom Bali
2002. SBY mengutuk serangan itu serta berjanji untuk "memburu para pelakunya dan
membawa mereka ke pengadilan".
Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6% yang kemudian menurun
menjadi 5,5% pada tahun 2006.Inflasi mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi
menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006.
SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada
tahun 2004, 18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan
kemiskinan, yang meningkat menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada
tahun 2006. Pada bulan Maret dan Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk
memotong subsidi bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar.
Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi
pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas SBY. Pada Mei 2008,
kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali lagi memotong
subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei dan Juni 2008.
Pada Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan
kedua bersama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan
dua kandidat: Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto dan wakil presiden saat
itu, Jusuf Kalla–Wiranto. Pasangan SBY–Boediono memenangkan pemilu dengan
lebih dari 60% suara nasional pada putaran pertama. Mereka lalu mengumumkan
susunan Kabinet Indonesia Bersatu II pada 21 Oktober 2009.
Pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus, menewaskan 353 orang.Sementara itu,
gempa bumi dan tsunami juga melanda Kepulauan Mentawai.
Pernyataan kontroversial yang diucapkan oleh mantan wakil gubernur Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan Muslim saat
pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejumlah protes dilancarkan sebagai
tanggapan atas ucapan Ahok oleh berbagai kelompok Islam pada November dan
Desember 2016 di Jakarta. Belakangan, pemerintahan Jokowi melarang organisasi
Hizbut Tahrir Indonesia.
Beberapa bencana seperti gempa bumi (di Palu, Lombok, dan Banten) dan kabut asap
akibat deforestasi di Kalimantan dan Sumatra terjadi selama periode pemerintahan
Jokowi. Pengeboman terkait ISIS juga terjadi di Jakarta dan Surabaya.
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di Indonesia
sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen. Ini adalah
pertama kali tingkat kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua digit.
Sebelumnya, angka kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4
persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.