Anda di halaman 1dari 15

Latar Belakang Orde Baru

Peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Orde Baru adalah terjadinya kudeta yang dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia terhadap kebijakan pemerintah pada waktu itu. Bahkan pada 30 September 1965
beberapa Jendral TNI diculik, disiksa, dan dibunuh oleh para pemberontak tersebut yang sempat
mengakibatkan kekacauan di Indonesia.
Peristiwa pembunuhan para Jendral TNI tersebut mengakibatkan munculnya gelombang kebencian
besar terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat dan TNI kemudian melakukan penangkapan
dan pembantaian terhadap para anggota PKI di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa itu, kerusuhan juga terjadi di berbagai lokasi sehinga keamanan negara sangat rentan. Hal
tersebut membuat pengaruh dan kekuasaan presiden Soekarno menjadi melemah dan kehilangan
kepercayaan dari sebagian rakyatnya.
Selain kerusuhan, masyarakat juga kerap melakukan demonstrasi di berbagai tempat. Beberapa
tuntutan demonstran kepada pemerintah pada waktu itu adalah:
• Membubarkan PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya (Gerwani, Lekra, BTI, Pemuda Rakyat, dan
lain-lain).
• Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
• Menurunkan harga sembako
Untuk menindaklanjuti tuntutan rakyat tersebut, presiden Soekarno kemudia melakukan reshuffle
Kabinet Dwikora. Namun, upaya tersebut dianggap mengecewakan karena masih terdapat unsur
komunis di dalam kabinet baru.
Pada masa genting tersebut akhirnya presiden Soekarno memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai
presiden. Tepat pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno menandatangani SUPERSEMAR, dimana isinya
Soekarno menyerahkan mandatnya kepada Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.
Pada 22 Februari 1967 akhirnya Soeharta diangkat menjadi presiden RI ke-2 secara resmi, yaitu melalui
Ketetapan MPRS No. XV / MPRS / 1966 dan sidang istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) pada tanggal 7 – 12 Maret 1967.

Pengertian Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia selama
lebih dari 30 tahun. Masa orde baru (ORBA) dimulai sejak tahun 1966 menggantikan orde lama yang
merujuk pada era pemerintahan presiden Soekarno.

Pengertian orde baru adalah suatu penataan kembali kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia berlandaskan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut dilakukan karena
adanya ancaman terhadap ideologi Pancasila yaitu peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September
(G30S/ PKI).

Menurut sejarahnya, pada masa itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebarkan paham komunisme di
Indonesia dan telah mengancam keberlangsungan ideologi Pancasila. Awal lahirnya orde baru adalah
ketika presiden Soekarno menyerahkan mandatnya kepada Jendral Suharto melalui Surat Perintah
Sebelas Maret (SUPERSEMAR).

Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (Jawa Kuno: Suharta; Jawa Latin: Suhartå; Hanacaraka) (ER,
EYD: Suharto) (lahir di Kemusuk, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada
umur 86 tahun) adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998,
menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk
dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum")
karena raut mukanya yang senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan. Meski begitu, dengan
berbagai kontroversi yang terjadi ia sering juga disebut sebagai diktator bagi yang berseberangan
dengannya.[1][2][3]
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan
Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto
kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah dari Presiden Soekarno, salah
satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI
sebagai organisasi terlarang. Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000
hingga 2 juta jiwa, namun jumlah ini patut dipertanyakan karena korban dari Gerakan 30 September
juga banyak.[4][5]
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai
Presiden pada 26 Maret 1968[6] menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968.
Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J.
Habibie.
Selama 32 tahun pemerintahannya Soeharto meletakkan pondasi pembangunan di Indonesia melalui
Repelita. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil
dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.[7][8][9][10] Dalam era ini masyarakat mendapati
harga bahan-bahan pokok yang terjangkau dan situasi keamanan dan ketertiban yang terjaga, juga
tercapainya Swasembada Beras. Hal ini ditandai dengan medali From Rice Importer To Self Sufficiency
dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden Soeharto.[11]
Soeharto juga merupakan sosok yang kontroversial karena membatasi kebebasan warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan disebut sebagai rezim paling korup dalam
sejarah dunia modern. Menurut Transparency International, estimasi kerugian negara adalah sekitar 15–
35 miliar dolar Amerika Serikat selama pemerintahannya.[10] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal
karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena
kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.

Orde Baru Soeharto


Masa pemerintahan presiden Soeharto dikenal dengan masa Orde Baru dimana kebijakan politik baik
dalam dan luar negeri diubah oleh Presiden Soeharto.
Salah satunya adalah kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa Bansa) pada
tanggal 28 September 1966 setelah sebelumnya pada masa Soekarno, Indonesia keluar sebagai anggota
PBB.
Pada tahap awal, ia menarik garis yang sangat tegas. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang
yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak.
Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru bahkan sebagian
yang terkait atau masih pendukung dari Partai PKI dihabisi dengan cara dieksekusi massal di hutan oleh
militer pada waktu itu. Program pemerintah Soeharto diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi
nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak
melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi.
Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya
demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Dan pemerintahan Soeharto
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok
naik melonjak.

Kebijakan Orde Baru

Pemerintahan di masa orde baru membuat beberapa kebijakan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Dimana tujuan kebijakan tersebut adalah untuk menciptakan stabilitas negara di berbaai bidang.

Berikut adalah beberapa kebijakan di masa orde baru:

1. Kebijakan ekonomi

Pada tahun 1969, pemerintah ORBA mencanangkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA) untuk meningkatkan ekonomi nasional. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil menjadi negara
dengan swasembada besar.

Menciptakan dan mewujudkan program trilogy pembangunan dimana tujuannya adalah agar ekonomi
masyarakat merata di seluruh Indonesia.

2. Kebijakan politik

• Pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta organisasi-organisasi pendukungnya, baik di tengah-


tengah masyarakat maupun di dalam kabinet pemerintahan.
• Penyederhanaan partai politik yang awalnya ada 10 partai menjadi hanya 3 partai politik saja, yaitu
Golkar, PDI, dan PPP.
• Militer memiliki peran dalam pemerintahan atau yang disebut dengan dwifungsi ABRI.
• Pemerintah mewajibkan pendidikan Penataan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila)
di seluruh lapisan masyarakat.
• Masuknya Irian Barat dan Timor Timur ke wilayah kesatuan Republik Indonesia.
• Indonesia menggagas berdirian ASEAN dan beberapa kebijakan politik luar negeri, seperti: Pengakuan
terhadap negara Singapura, Memperbaiki hubungan dengan negara Malaysia, Masuk Indonesia kembali
menjadi anggota PBB.

3. Kebijakan Sosial

Pemerintah orde baru mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki
kesejahteraan masyarakat pada masa itu, diantaranya:

• Pencanangan program Keluarga Berencana (KB)


• Program transmigrasi
• Gerakan wajib belajar
• Gerakan orang tua asuh
Kelebihan dan kekurangan Masa Orde Baru

Seperti yang dijelaskan pada pengertian orde baru di atas, masa orde baru berlangsung selama Soeharto
menjabat sebagai presiden RI, yaitu 32 tahun lamanya. Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan
masa orde baru adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan Masa Orde Baru
• Pada tahun 1996 terjadi peningkatan Gros Domestic produk perkapita Indonesia dari $70 menjadi
$100.
• Berhasil mencanangkan Program Keluarga Berencana (KB) yang sebelumnya tidak pernah ada.
• Meningkatnya jumlah masyarakat yang bisa membaca dan menulis.
• Anka pengangguran mengalami penurunan.
• Kebutuhan rakyat akan pangan, sandang, dan papan cukup terpenuhi dengan baik.
• Meningkatnya stabilitas dan keamanan negara Indonesia.
• Mencanangkan program Wajib Belajar dan gerakan nasional orang tua asuh.
• Mencanangkan dan menyukseskan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
• Bekerjasama dengan pihak asing di bidang ekonomi dan menerima pinjaman dana dari luar negeri.

2. Kekurangan Masa Orde Baru

• Terjadi korupsi besar-besara di semua lapisan masyarakat.


• Pembangunan hanya terpusat di ibu kota sehingga terjadi kesenjangan yang cukup besar antara
masyarakat kota dengan di desa.
• Kekuasaan yang terus bekelanjutan tanpa adanya tanda-tanda akan mundur.
• Masyarakat di berbagai daerah, misalnya Papua dan Aceh, merasa tidak puas dengan pemerintah
karena tidak tersentuh pembangunan.
• Banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena pemerintah pada masa itu menganggap
bahwa kekerasan dapat menyelesaikan masalah.
• Terjadi pengekangan kebebasan pers dan berpendapat, dimana banyak perusahaan koran dan majalah
yang ditutup paksa karena tidak sepaham dengan pemerintah.
• Tingginya kesenjangan sosial di masyarakat, dimana orang kaya mendapat hak lebih baik dibanding
orang yang tak mampu.

Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia

Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi
Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan
pembangunan. Dari keberhasilannya inilah sehingga Presiden Soeharto kemudian disebut sebagai
“Bapak Pembangunan”.

Presiden Soeharto Bersama Pengawal dan Staf (Merdeka.com)


Titik kejatuhan Soeharto, ketika pada tahun 1998 dimana masa tersebut merupakan masa kelam bagi
Presiden Soeharto dan masuknya masa reformasi bagi Indonesia, Dengan besarnya demonstrasi yang
dilakukan oleh Mahasiswa serta rakyat yang tidak puas akan kepemimpinan Soeharto.
Selain itu makin tidak terkendalinya ekonomi serta stabilitas politik Indonesia maka pada tanggal 21 Mei
1998 pukul 09.05 WIB Pak Harto membacakan pidato “pernyataan berhenti sebagai presiden RI” setelah
runtuhnya dukungan untuk dirinya.
Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun. Sebelum dia mundur, Indonesia mengalami
krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya.
BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian
digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa
Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968 atau selama 32 Tahun.

Rapelita Soeharto

Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan
ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan,
dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh
pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun.
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam
upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu
signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu
stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi.
Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama
dalam hal anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi
kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang
dijalankan oleh pemerintah.

Kabinet Pembangunan I

Dibentuk
10 Juni 1968
Diselesaikan
28 Maret 1973
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Jumlah Menteri
24
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Total Jumlah Anggota Kabinet
27
Sejarah Kabinet
Sebelumnya
Kabinet Ampera II
Pengganti
Kabinet Pembangunan II
Kabinet Pembangunan I [1] adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia pada tahun 1968-1973.
Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto. Kabinet Pembangunan I terbentuk tanggal 6 Juni 1968 dan
dilantik pada tanggal 10 Juni 1968. Komposisi kabinet ini tidak jauh berbeda dengan komposisi menteri
dalam Kabinet Ampera II. Tak lama setelah Pemilu 1971, pada 9 September 1971, Presiden Soeharto
mengumumkan perombakan Kabinet Pembangunan I dan melantik menteri-menteri reshuffle pada 11
September 1971
Pada 1 April 1969, dimulailah pelaksanaan Pelita I (1969-1974). Tujuan diselenggarakan Pelita I adalah
untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam
tahap berikutnya. Sedangkan sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan
bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

Kabinet Pembangunan II
Dibentuk
28 Maret 1973
Diselesaikan
29 Maret 1978
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Wakil Kepala Pemerintahan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Jumlah Menteri
22
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Total Jumlah Anggota Kabinet
25
Kabinet Pembangunan II [1] adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia pada tahun 1973-1978.
Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto sedangkan wakil presiden adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.
Pada masa kabinet ini, dimulailah Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979). Sasaran yang hendak dicapai
pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan
memperluas lapangan kerja. Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk
7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak
jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan dibangun.
Pada masa kabinet ini juga, terjadilah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada tanggal 15-
16 Januari 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke
Indonesia.
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan
kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-
17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari
Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soehartodengan helikopter dari Bina Graha ke
pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum
untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai
demonstrasi dan kerusuhan.
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap.
Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu.
Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga
Soegomo.

Kabinet Pembangunan III


Dibentuk
31 Maret 1978
Diselesaikan
19 Maret 1983
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Wakil Kepala Pemerintahan
Adam Malik
Jumlah Menteri
24
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Jumlah Wakil Menteri / Menteri Muda
6
Partai anggota
Golongan Karya
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Partai Demokrasi Indonesia
Partai Persatuan Pembangunan
Independen
Kabinet Pembangunan III [1] adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto
dengan Wakil Presiden H. Adam Malik. Kabinet ini diumumkan secara langsung pada 29 Maret 1978 dan
kemudian, dilantik secara langsung pada 31 Maret 1978. Adapun susunan kabinetnya adalah sebagai
berikut.
Kabinet menyelenggarakan Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984). Pelita III lebih menekankan pada
Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala
bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur
Pemerataan.
Isi Trilogi Pembangunan terdiri dari:
• Stabilitas nasional yang dinamis
• Pertumbuhan ekonomi tinggi, dan
• Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Isi Delapan Jalur Pemerataan:
• Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan, sandang dan papan
(perumahan).
• Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan keselamatan.
• Pemerataan pembagian pendapatan.
• Pemerataan kesempatan kerja.
• Pemerataan kesempatan berusaha.
• Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembagunan khususnya bagi generasi muda dan kaum
wanita.
• Pemerataan penyebaran pembangunan di wilayah tanah air.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Kabinet Pembangunan IV
Dibentuk
19 Maret 1983
Diselesaikan
21 Maret 1988
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Wakil Kepala Pemerintahan
Umar Wirahadikusumah
Jumlah Menteri
32
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Jumlah Wakil Menteri / Menteri Muda
5
Partai anggota
Golongan Karya
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Partai Demokrasi Indonesia
Partai Persatuan Pembangunan
Independen
Kabinet Pembangunan IV [1] (19 Maret 1983-22 Maret 1988) adalah kabinet yang dibentuk pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah.
Pada masa itu, diselenggarakan Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989). Pada Pelita IV lebih dititik
beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada
pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia
berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada
pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.

Kabinet Pembangunan V
Kabinet Pembangunan V adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden
Soehartodengan Wakil Presiden Sudharmono. Kabinet ini dibentuk pada tahun 1988 dan berakhir pada
tahun 1993. Seiring berjalannya waktu cabinet ini mampu menstabilkan kondisi ekonomi rata-rata 6.8
persen per tahun. Posisi perdagangan luar negri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan serta
peningkatan ekspor lebih baik dari sebelumnya.
Dibentuk
23 Maret 1988
Diselesaikan
17 Maret 1993
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Wakil Kepala Pemerintahan
Sudharmono
Jumlah Menteri
32
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Jumlah Wakil Menteri / Menteri Muda
6
Partai anggota
Golongan Karya
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Partai Demokrasi Indonesia
Partai Persatuan Pembangunan
Independen

Kabinet Pembangunan VI

Loncat ke navigasi
Loncat ke pencarian
Kabinet Pembangunan VI

Dibentuk
17 Maret 1993
Diselesaikan
14 Mei 1998
Struktur Pemerintahan
Kepala Pemerintahan
Soeharto
Wakil Kepala Pemerintahan
Try Sutrisno
Jumlah Menteri
38
Jumlah Pejabat Setingkat Menteri
3
Partai anggota
Golongan Karya
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Partai Persatuan Pembangunan
Independen
Sejarah Kabinet
Kabinet Pembangunan VI adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan
Wakil Presiden Try Sutrisno dengan masa bakti (1993-1998). Dibawah pimpinan kabinet pelita vi terjadi
krisis moneter yang melanda Negara-negara asia tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis tersebut
peristiwa politik dalam negri menjadi terganggu serta perekonomian menjadi tidak stabil dan
menyebabkan rezim orde baru runtuh.

15 Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru

Orde baru identik dengan nama Soeharto, salah satu presiden di Indonesia dengan masa pemerintahan
yang cukup lama yakni antara tahun 1966 sampai 1998. Pada rentang waktu yang begitu panjang negara
Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat di berbagai sektor kehidupan, mulai dari sektor
ekonomi, sektor pendidikan maupun sektor pembangunan. Pada masa pemerintahan orde baru
Indonesia memng mengalami masa kejayaannya, namun begitu pasti ada fase kemunduran dari sebuah
rezim.

Ada banyak hal yang membuat rezim pemerintahan orde baru mengalami kejatuhan, ini karena
banyaknya masalah yang kompleks terjadi di masyarakat. Dan pada puncaknya terjadilah berbagai
macam usaha untuk melengserkan pemerintahan yang dipimpin oleh presiden dengan julukan The
Smiling General tersebut. 21 mei 1998 merupakan momentum penting bagi rakyat Indonesia, sebab
pada tanggal tersebut Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya dan menuruti permintaan
rakyat untuk mundur.

Faktor Penyebab
Pada akhir masa orde baru terjadi banyak kekerasan, kasus pelanggaran HAM dimana-mana, krisis
moneter melanda, Kegagalan panen akibat kemarau dahsyat yang belum pernah terjadi selama lebih
dari 50 tahun terakhir. Krisis keuangan yang melanda kawasan Asia pun menambah deretan masalah
yang mendukung runtuhnya pemerintahan rezim orde baru. Beberapa faktor penyebab runtuhnya orde
baru tersebut diantaranya:

1. Krisis Moneter
Krisis keuangan merupakan faktor terpenting yang menjadi sebab rezim orde baru mengalami
keruntuhan, Krisis ini pertama kali melanda wilayah Asia Timur sekitar juli 1997. Yang menyebabkan
terjadinya kepanikan global. Dalam sejarah ASEAN, Thailand merupakan negara pertama yang
mengalami krisis keuangan hingga hampir disebut sebagai negara bangkrut. Akibat yang timbul dari
krisis tersebut menyebabkan pelemahan diberbagai sektor keuangan termasuk di Indonesia.
Sebelumnya tak ada indikasi krisis tersebut akan sampai ke Indonesia, ini karena inflasi yang cukup
rendah, devisa negara yang dirasa masih cukup besar dan karena nilai surplus berada dikisaran USD 900
juta. Perkembangan dunia usaha pun masih stabil karena banyaknya investor yang menanamkan
modalnya di Indonesia. Krisis yang menghantam Thailan dan membuat mata uangnya merosot tajam,
tak pelak ini pun ikut mengguncang perekonomian di Indonesia.

Sekitar juli 1997 nilai tukar rupiah yang turun dari angka Rp 2.575 per USD menjadi Rp 2.603 per USD.
Justru merosot tajam di angka Rp 5.000 per USD pada akhir desember, dan justru sangat terpuruk tajam
di angka Rp 16000 per USD pada maret 1998. Ini membuat seluruh masyarakat di indonesia dan seluruh
penanam modal merasa panik yang akhirnya membuat mereka menarik semu saham yang telah
ditanam di Indonesia. Keadaan ekonomi yang kacau menyebabkan masalah dimana-mana stabilitas
nasional sungguh terguncang dan kacau.
2. Utang Luar negeri
Ditengah perekonomian yang dilanda krisis, utang dari luar negeri yang dimiliki Indonesia semakin
memperparah kondisi keuangan Indonesia. Walaupun sesesungguhnya utang tersebut bukanlah utang
pemerintah saja namun juga utang yang dimiliki pihak swasta. Utang Indonesia hingga 6 februari 1998
mencapai USD 63,462 milliar, sedangkan utang yang dimiliki pihak swasta mencapai USD 73,962 milliar.
Dengan melemahnya mata uang rupiah terhadap dollar Amerika akibat krisis yang melanda Asia Pasifik,
utang luar negeri yang dimiliki pemerintah Indonesia yang kebanyakan menggunakan mata uang
tersebut semakin memperburuk keadaan ekonomi Indonesia dan terjebak alam putaran utang yang
seolah tak ada habisnya.

3. Penyimpangan UUD
Menurut UUD 1945, terutama dalam pasal 33 bahwa sistem perekonomian dijalankan dengan asas
demokrasi ekonomi. Namun dalam kenyataannya yang terjadi justru dikusai oleh sebagian orang saja
yakni para konglomerat dan terjadi monopoli ekonomi, atau dengan kata lain sistem ekonomi yang
dijalankan merupakan sistem kapitalis.

4. Pola Pemerintahan Terpusat


Sistem pemerintahan yang terpusat pada satu tempat yakni di Jakarta sebagai pusat pemerintahan
membuat segala pemerintah pusat memegang peranan penting dalam mengatur masyarakat secara
keseluruhan. Namun disisi lain membuat pembangunan tidak merata yang akhirnya mengakibatkan
kesenjangan. Dampaknya seperti yang terjadi di Irian jaya, penduduk lokal merasa dianak tirikan sebab
sumber daya alamnya diambil secara besar-besaran dan di bawa semua ke pemerintah pusat tanpa
meninggalkan manfaat apapun.

5. Masalah Politik
Sistem politik di Indonesia pada masa orde baru yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme). Pada masa orde baru, kekuatan politik pun dibatasi. Seperti terlihat pada penyederhanaan
partai politik yang hanya menjadi tiga partai saja yakni PPP, PDI dan Golongan Karya. Dengan dalih untuk
menciptakan stabilitas dan keamanan bangsa dan negara yang lebih terjaga. Ini menyebabkan banyak
aspirasi rakyat yang seolah terbungkam dan secara tidak langsung wajib menuruti kehendak penguasa
tanpa boleh membantah.

Adanya dualisme fungsi ABRI yang menjadi kekuatan utama pemerintahan orde baru. Ini sangat
bertentangan dengan sejarah lahirnya Pancasila yang selama ini di junjung tinggi oleh seluruh rakyat
Indonesia. Misalnya saja ada seorang yang mengkritik kebijakan pemerintah pada masa orde baru saat
itu, konsekuensinya adalah hukuman penjara karena dianggap menciptakan keresahan dan mengganggu
stabilitas negara. Ini hanya upaya pemerintahan untuk tetap menjaga eksistensinya pada masyarakat.

6. Kepercayaan
Berkurangnya rasa simpati masyarakat akibat praktek-praktek KKN yang seolah dihalalkan oleh
pemerintah tanpa ada rasa sungkan ataupun malu. Krisis ini pun membuat para investor menarik
seluruh modal yang ditanamkan di Indonesia secara besar-besaran yang semakin membuat Indonesia
terjebak dalam krisis berkepanjangan. Aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan kalangan mahasiswa yang
berubah menjadi tragedi kekerasan menghilangkan rasa percaya terhadap pemerintah yang akhirnya
memicu gelombang demonstrasi yang luar biasa menuntut lengsernya Soeharto.
7. Tragedi Trisakti
Aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa trisakti beserta dosen dan staf kampus yang diikuti oleh lebih
dari 10.000 mahasiswa dan digelar pada 12 mei 1988 yang pada intinya meminta pemerintah melakukan
reformasi disegala bidang baik pemerintahan, ekonomi maupun politik yang menginginkan diadakannya
sidang istimewa MPR. Namun aksi damai ini dinodai dengan adanya penembakan oleh aparat terhadap
empat mahasiswa Trisakti yakni Hendriawan Sie, Heri Hartanto, Elang Mulya Lesmana, dan Hafidin
Royan. Yang memicu aksi kekerasan meluas di berbagai penjuru wilyah saat itu. Dan semakin membuat
Indonesia jatuh terpuruk dalam krisis yang seolah tanpa akhir, yang menjadi catatan terburuk dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia.

9. Kerusuhan di Kota Besar lainnya


Masalah keamanan timbul sebagai bagian dari beberapa masalah telah lebih dulu timbul sebelumnya.
Pemerintah pada masa orde baru sering kali melakukan intervensi terhadap seseorang maupun
kelompok yang menentang maupun melakukan kritik. Kebebasan pers dibungkam, keberadaan oposiss
pun dilarang dan setiap ada warga negara yang bependapat melawan kebijakan pemerintah pun
konsekuensinya adalah hukuman penjara. Ini membuat rakyat geram dan terjadilah demonstrasi besar-
besaran.

Bukan hanya di Jakarta, di berbagai kota besar lainnya seperti di Semarang, Medan, Solo, Surabaya pun
terjadi aksi demo serupa yang menuntut reformasi. Dan di Yogyakarta, pada 19 Mei 1998 bersamaan
dengan aksi demo di Jakarta di Yogyakarta pun tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alunalun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat
dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.

10. Sosial
Keadaan sosial masyarakat yang majemuk menghadirkan masalah yang kompleks. Pembangunan yang
tidak merata pada sebagian besar masyarakat pun menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Masalah
sosial ini bersumber dari kesenjangan sosial yang ada dimasyarakat, terutama dengan adanya program
transmigrasi. Meningkatnya transmigrasi penduduk pulau jawa ke wilayah pulau kalimantan, sulawesi
dan irian jaya yang difasilitasi oleh pemerintah ternyata memiliki dampak negatif.
Penduduk lokal merasa termajinalkan dan menjadi sebuah kecemburuan sosial yang pada akhirnya
mencetuskan konflik terbuka diantara para transmigran asal pulau jawa dengan penduduk lokal. Dan
program transmigrasi tersebut memunculkan sentimen yang menganggap program tersebut sebagai
program jawanisasi oleh pemerintah pusat.

11. Diskriminasi
Sikap diskriminatif pemerintah terhadap masyarakat keturunan Tiong hoa, sejak 1967 warga Tiong hoa
dilarang mengeluarkan pendapat dan dianggap sebagai orang asing serta tak diakui sebagai warga
negara Indonesia dan bahkan kedudukan mereka berada dibawah warga asli atau pribumi. Ini secara
tersirat telah menghapuskan hak-hak mendasar yang dimiliki warga Tiong hoa. Dan tentu saja
mencederai sejarah HAM dan juga tentunya sangat merusak makna dan sejarah bhinneka tunggal ika itu
sendiri.
Dengan semakin kacaunya kondisi di Indonesia waktu itu, dan semakin menguatnya desakan dari
berbagai pihak pada Soeharto untuk mundur. Dan pada 20 mei 1988 akhirnya digelar sidang istimewa
MPR, dan 21 mei 1988 Soeharto pun resmi mengundurkan diri yang diumumkan di Istana Merdeka
Jakarta dan menyerahkan kepemimpinan pada wakilnya yaitu BJ. Habibie.
Maka, pada pagi hari tanggal 21 Mei 1998, awak televisi dipanggil ke istana negara untuk mengabdikan
momen pengunduran diri Soeharto. Wakil Presidennya, Habibie, segera di sumpah sebagai Presiden
Indonesia Ketiga (1998 – 1999). Wiranto kemudian mengumumkan bahwa ABRI tetap satu dan akan
mendukung presiden baru, ABRI juga akan tetap melindungi keluarga Soeharto serta – secara implisit –
melindungi kekayaannya. Masa – masa kekuasaan Soeharto berakhir dengan bencana dan aib.

Latar Belakang Keruntuhan Orde Baru


a) Faktor Politik
Kampanye Pemilu Mei 1997 merupakan fokus ketidakpuasaan sosial politik. Kampanye ini merupakan
kampanye terbrutal dalam sejarah pemerintahan Soeharto. Iring – iringan pawai politik menggunakan
motor menyebabkan banyak kematian, diperkirakan mencapai 250 orang. Di Banjarmasin,
segerombolan penjarah terperangkap di dalam pusat perbelanjaan yang terbakar dan sekitar 130 orang
tewas. Di Timor Timur, kaum gerilyawan melakukan serangan sabotase terhadap kotak-kotak
pemungutan suara dan membunuh 18 personel ABRI.[5]
Soeharto bertekad mengubah penurunan jumlah suara Golkar pada pemilu 1992, dan dia berhasil. Dia
dibantu oleh keputusan Abdurrahman Wahid yang mencampakkan aliansi informal dengan Megawati
Sukarnoputri. Gus Dur melakukan kampanye keliling mendampingi Tutut dan dengan demikian
memindahkan suara NU ke Golkar. PDI kalah telak dalam pemilu, yaitu turun 11,9% dari 14,9% di tahun
1992 menjadi 3% di tahun 1997. Suara yang pindah dari PDI tersebar merata antara PPP, yang mendapat
5,5% menjadi 22,5% dan Golkar mendapat 6,4% menjadi 74,5%. Ini merupakan persentase jumlah suara
tertinggi yang pernah dicapai Golkar, dan ironisnya ini terjadi di masa-masa terjadinya keruntuhan
rezim. Di Madura, pendukung PPP yang tidak puas membakar gedung-gedung pemerintahan dan Golkar
serta menghacurkan banyak kotak pemungutan suara, sehingga pemungutan suara pun harus diulang
disana.[6]
b) Faktor Ekonomi
Indonesia pada 1997 memiliki jumlah utang jangka pendek yang besar, karena banyak utang masuk ke
dalam Indonesia yang biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga membengkak karena mengikuti
pergerakan mata uang rupiah yang tidak bagus. Utang jangka pendek ini berkisar US$ 30 – 40 miliar
pada tahun 1997. Sistem perbankan yang menangani semua uang ini sama sekali tidak tertata dengan
baik. Jepang, mesin ekonomi kawasan Asia, masih mengalami resesi yang berkepanjangan sepanjang
tahun 1990 – an. Jadi, Indonesia tidak dalam kondisi bagus untuk menghadapi kejutan ekonomi.
Keadaan cuaca pun tampaknya tidak bersahabat bagi Indonesia karena badai kekeringan El Nino yang
parah telah mengurangi produksi beras hingga 10% pada tahun 1997-8, dan memperparah kebakaran
hutan, terutama di Sumatra dan Kalimantan.[7]
c) Faktor Militer
Untuk mencegah PDI Megawati menjadi tantangan serius, rezim melakukan intervensi dengan
kekerasan, dan akhirnya malah meningkatkan popularitas partai tersebut. Pada bulan Juni 1996, ABRI
berhasil memanipulasi kongres luar biasa PDI, sehingga mampu menurunkan Megawati daari posisi
ketua dan memilih kembalio Soejadi, yang baru sebelumnya tidak dipercaya Soeharto tapi sekarang
tidak begitu mengancam dibandingkan Megawati. Tetapi, Megawati dan para pendukungnya menolak
mengakui hasil kongres ini dan melancarkan tuntutan hukum terhadap campur tangan pemerintah.
Megawati juga tetap berkedudukan di kantor pusat PDI di Jakarta. Di kantor pusat ini, penolakan
terhadap rezim menarik banyak perhatian, dan ada banyak pidato umum di sana. Para aktivis pro-
demokrasi, LSM, dan kaum miskin urban yang marah berdemontrasi mendukung perjuangan
Megawati.[8]
Pada tanggal 27 Juli 1997, kantor pusat PDI Megawati di Jakarta diserang oleh segelombolan
orang yang mengaku dari fraksi Soerjadi, sedangkan di antara gerombolan itu terdapat prajurit
berpakaian preman dan anggota – anggota kelompok urban yang dekat dengan ABRI. Tidak ada
kesangsian lagi bahwa serangan ini dirancang oleh rezim. Para penyerang itu berhasil mengatasi para
penjaga gedung dengan menimbulkan banyak kerusakan, korban tewas, dan korban luka – luka.
Peristiwa ini kemudian disusul oleh kerusuhan selama dua hari di Jakarta. Penyelidikan oleh Komisi
Nasional HAM (dibentuk tahun 1993) melaporkan lima orang meninggal dan 149 orang luka – luka, dan
74 orang masih hilang. Orang – orang hilang ini terutama berasal dari dua ratusan orang atau lebih yang
ditahan ABRI pada hari pertama kerusuhan. ABRI jelas mengadopsi gaya militer Amerika Selatan yang
‘menghilangkan’ musuh-musuh.

Proses Keruntuhan Orde Baru


a) Peristiwa 1998
Bulan Juli 1997 pecah krisis moneter di Thailand yang ternyata menjalar ke wilayah Asia Tenggara
lainnya termasuk Indonesia. Indonesia tumbang. Bukan hanya krisis di Thailand saja, tetapi juga nilai
tukar rupiah terhadap US$, utang swasta yang berjangka pendek dan tidak ada kepercayaan terhadap
bank di Indonesia. Buntutnya, rakyat marah dan kian kencang menggoyang kursi Soeharto.[10]
Pada Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa
membendung rupiah terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp. 4.000/US$. Dari
sini, rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp.
17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan
modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari
pekerjaan mereka.[11]
Respons pertama pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya kesadaran
terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga –seperti mobil nasional
Tommy– terus dilindungi. Perjanjian dengan IMF pada bulan Oktober 1997 mengakibatkan ditutupnya
16 bank, tetapi dua bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka kembali. Lalu, dimulailah terik urat
(stand-off) antara IMF dan Soeharto yang menjadi konsumsi publik dan semakin meneguhkan anggapan
para pengamat dalam dan luar negeri bahwa rezim ini sudah begitu dalam terbelit nepotisme, korupsi,
dan inkompetensi.[12]
Pada bulan Januari 1998, Soeharto mengumumkan rancangan anggaran negara yang absurd karena
memasukkan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Dia mendapatkan telepon
dari Bill Clinton di Washington, Helmut Kohl di Bonn, dan Hashimoto Ryutaro di Tokyo, serta
mendapatkan kunjungan Goh Chok Tong dari Singapura, yang semuanya mendesak Soeharto untuk
menerima proposal reformasi IMF. Pada tanggal 15 Januari, Soeharto tampaknya akan menuruti nasihat
itu, namun konflik kemudian terjadi, yang membuat IMF mengancam untuk menunda bantuan kalau
Soeharto tidak mengambil langkah reformasi yang realistis. Kemudian, pada akhir Januari, Soeharto
mengatakan bahwa dia akan mencalonkan diri untuk masa kepresidenannya yang ketujuh dan
mengisyaratkan bahwa dia menginginkan Habibie sebagai wakil presiden. Rupiah kemudian mencapai
kurs yang paling jelek.[13]
Dalam kondisi seburuk ini, Soeharto masih pergi ke Cairo Mesir, untuk menghadiri sebuah pertemuan
tingkat tinggi tanggal 9 Mei 1998. Ketika ia pulang didapatinya Jakarta telah hangus terbakar. Seribu
orang diperkirakan tewas akibat kerusuhan dan pembakaran yang terjadi 13 – 14 Mei 1998. Pemicu
peristiwa ini adalah tewasnya empat mahasiswa Trisaksi[14] yang ditembak aparat keamanan. Massa
marah. Setelah acara pemakaman mereka mengamuk dan secara terencana di titik-titik tertentu di Ibu
Kota terjadi kerusuhan dan pembakaran.[15]
Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik. Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan
ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah mematok
porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Kerusuhan massal terjadi di
berbagai tempat, dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah. Perusahaan para cukong dan
keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem
Sioe Liong merupakan objek serangan utama. Rumah Liem di Jakarta dijarah dan dibakar. Lebih dari
seribu orang tewas di Jakarta karena kerusuhan 13 – 15 Mei 1998. Ratusan orang terpanggang tewas
ketika mereka berusaha menjarah pusat – pusat pembelanjaan. Dilaporkan terjadi rangkaian peristiwa
pemerkosaan massal yang mengerikan. Para pemilik toko berusaha mempertahankan harta benda
mereka dengan memiloks slogan-slogan yang mengatakan bahwa toko – toko itu milik pribumi atau
muslim, atau cukup menuliskan kata Allahu Akbar dalam kerai – kerai penutup toko.[16]
Ini merupakan kerusuan perkotaan terburuk dalam sejarah Indonesia, dengan 40 pusat perbelanjaan,
ribuan toko, rumah, dan tempat usaha serta kendaraan dihancurkan. Perusahaan asing dan kedutaan-
kedutaan besar mengevakuasi para staf mereka beserta keluarga sebisa-bisanya di tengah-tengah
kondisi Jakarta yang terbakar api, kondisi jalanan yang tidak aman dan jadwal penerbangan yang penuh
sesak. Keluarga Cina kaya pun juga melarikan diri sambil membawa kekayaan mereka.[17]
Kemudian, himbauan agar Soeharto mundur pun mulai berdatangan dari berbagai pihak. Saat itu, Ketua
DPR/MPR Harmoko bilang, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR baik Ketua maupun
Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Keterangan
pers menyebutkan, “Pimpinan Dewan dalam rapatnya hari ini (Senin 18/5/1998) telah mempelajari
dengan cermat dan sungguh – sungguh perkembangan dan situasi nasional yang cepat yang menyangkut
aspirasi masyarakat tentang reformasi termasuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri
Presiden.”[18]
Pada tanggal 19 Mei, Soeharto bertemu dengan sembilan pemimpin Islam terkemuka, termasuk
Abdurrahman Wahid dan Nurkholish Majid, namun tidak mengikutsertakan Amien Rais. Soeharto
meminta pendapat mereka apakah dia memang seharusnya turun jabatan. Soeharto kemudian
mengumumkan bahwa dia akan mengawasi masa reformasi dan mengundurkan diri setelah pemilu baru
diadakan, namun, segala tawaran yang masih menjadikan dia presiden tidak diterima, baik di dalam
maupun di luar negeri. Usahanya untuk membentuk kabinet reformasi gagal pada tanggal 20 Mei, ketika
14 menteri yang mengemban tanggung jawab dalam bidang ekonomi dan keuangan menolak untuk
masuk kabinet tersebut.[19]
Maka, pada pagi hari tanggal 21 Mei 1998, awak televisi dipanggil ke istana negara untuk mengabdikan
momen pengunduran diri Soeharto. Wakil Presidennya, Habibie, segera di sumpah sebagai Presiden
Indonesia Ketiga (1998 – 1999). Wiranto kemudian mengumumkan bahwa ABRI tetap satu dan akan
mendukung presiden baru, ABRI juga akan tetap melindungi keluarga Soeharto serta – secara implisit –
melindungi kekayaannya. Masa – masa kekuasaan Soeharto berakhir dengan bencana dan aib.[20]
Sebagian warga menyambut gembira pengunduran diri Soeharto. Para mahasiswa berteriak dan
berjingkrak kesenangan begitu mendengar Soeharto mundur. Setelah berjingkrak dan bersalam-
salaman. Mereka berlarian ke tangga utama DPR sambil menyanyikan lagu Sorak-sorak Bergembira.
Seiring berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, mereka menaikkan bendera Merah Putih
setengah tiang menjadi satu tiang penuh.

Anda mungkin juga menyukai