MATERI KELOMPOK
I
“KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL”
A. Sistem Politik Kenegaraan Menurut UUDS 1950
Indonesia pada masa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer
(demokrasi liberal parlementer). Lalu bagaimanakah ciri-ciri dari sistem pemerintahan pada
pemerintahan parlementer pada masa UUDS 1950. Berikut uraian Drs. Sukarna tentang hal
ini dalam “Sistem Politik Indonesia”.
a. Adanya pembagian kekuasaan antara legislatif (parlemen/DPR), eksekutif (perdana
menteri beserta kabinet), dan yudikatif (Mahkamah Agung)
b. Kedudukan Presiden menurut UUDS 1950 hanya mempunyai kekuasaan yudikatif
yaitu memberikan grasi, amnesti, dan abolisi berdasarkan pertimbangan dari
Mahkamah Agung. Presiden sebagai kepala Negara hanya berfungsi menunjuk
formatur yang bertugas membentuk kabinet.
c. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Bila terdapat mosi tidak percaya dari
parlemen terhadap seorang menteri atau kabinet, maka menteri harus diganti atau
kabinet bubar atas persetujuan parlemen. Setelah itu, Perdana Menteri menyerahkan
mandat kepada Presiden untuk menunjuk formatur baru.
d. Konstituante (badan yang bertugas membuat UUD) tidak dapat menyelesaikan
tugasnya karena munculnya perbedaan pendapat tentang dasar negara. Saat itu partai-
partai Islam menghendaki Pancasila dikaitkan dengan ajaran Islam, sedangkan partai-
partai PNI, Parindra, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, dan PKI menghendaki
Pancasila saja (yang sebenarnya bagi PKI penerimaan Pancasila hanya bersifat
sementara saja).
Pemerintahan secara Konstitusional (Konstitusi 1950) Pemerintahan menurut
Konstitusional memuat:
a. Falsafah Negara Pancasila (dalam Pembukaan UUDS 1950).
b. Struktur organisasi negara yaitu Parlemen, Mahkamah Agung, Presiden, Dewas
Pengawas Keuangan, dan Konstituante.
c. Pasal untuk mengubah UUD.
d. Hak-hak asasi manusia.
UUDS 1950 tidak dapat mengikat seluruh warga negara karena pengaruh demokrasi
liberal barat (Belanda dan Perancis), sistem banyak partai dan sistem pemilu proporsional
model Revolusi Perancis (dengan semboyan egalite/persamaan, liberate/kemerdekaan, dan
freternite/persaudaraan). Kekacauan politik terjadi karena kurang terhayatinya makna
semboyan tersebut, sehingga menafsirkan kemerdekaan individu itu tidak mengenal batas.
Hal ini bertentangan dengan slogan “kemerdekaan itu adalah pertanggungjawaban” (liberty is
responsibility). Bila saja parpol-parpol melandaskan diri pada Pancasila, tujuannya sama
dengan UUDS 1950, jumlah parpol terbatas, pemilu menganut sistem distrik, dan
konstituante berhasil menyusun UUD yang tetap, maka kekacauan-kekacauan politik tidak
akan terjadi.
1. Pemerintah berdasarkan hukum (Rule of Law)
Tiga asas rule of law ialah:
a. Supremacy of law (hukum yang tertinggi).
b. Equality before the law (persamaan di muka hukum).
c. Protection of human rights (perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia).
1. Manajemen terbuka (Open Management)
Partisipasi masyarakat dalam pemilu 1955 dilakukan secara tidak langsung dengan
memilih orang-orang yang tidak dikenalnya. Hal ini mengakibatkan anggota-anggota
parlemen kurang menyuarakan aspirasi rakyat. Pertanggungjawaban anggota parlemen
ditujukan bagi pimpinan partai politik dan ideology politik bukan kepada rakyat.
Pertanggungjawaban keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan dari eksekutif kepada
rakyat belum sesuai dengan harapan rakyat. Ini terbukti dengan masih banyak
pemberontakan, kekurangan sandang, pangan, papan, dan pertentangan-pertentangan politik.
2. Partai politik
Terdapat lebih dari 20 partai politik dengan bermacam-macam ideology menimbulkan
pertentangan ekstrim. Akibatnya banyak parpol menghendaki perubahan dasar negara, baik
secara legal konstitusional maupun inkonstitusional melalui tindakan subversif dan Coup
d’atat. Dengan adanya pertentangan parpol, maka program-program pemerintah tidak dapat
terlaksana sebagaimana mestinya. Konstituante hasil pemilu 1955 tidak dapat menyelesaikan
undang-undang dasar karena tidak ada kesepakatan tentang dasar negara antara golongan
komunis dengan golongan agama.
B. Instabilitas Politik dan Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal
Sistem pemerintahan parlementer sesuai dengan UUDS tahun 1950 ternyata tidak
menghasilkan suatu kestabilan politik. Selama masa demokrasi liberal, Indonesia mengalami
tujuh kali pergantian kabinet dan perdana mentri. Sesuai dengan konstitusi, parlemen dapat
menjatuhkan kabinet apabila oposisi di parlemen kuat dan partai politik yang memerintah
kehilangan dukungan. Setiap kabinet yang sedang berkuasa pada dasarnya mempunyai
program-program untuk memperbaiki ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, akibat tiap-tiap kabinet tidak berumur panjang, program-progaram pembangunan
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
1. Kabinet Natsir dijatuhkan oleh mosi tidak percaya dari DPR, sebab perundingan soal
Irian antara Indonesia dengan Belanda menemui jalan buntu. Selain itu, Peraturan
Pemerintah no. 39/1950 yang dibuat oleh perdana Menteri Moh. Natsir menyebabkan
DPR didominasi oleh Masyumi sehingga PNI mengajukan mosi untuk mencabut
peraturan tersebut. Mosi ini diterima baik oleh DPR sehingga Kabinet Natsir jatuh
2. Kabinet Sukiman jatuh lantaran Menteri Luar Negeri Subanjo menandatangani
MutualSecurityAct (MSA), yaitu persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari
Amerika Serikat. Persetujuan ini dianggap oleh pihak oposisi bahwa Indonesia
memihak Blok Barat, yang bertentang dengan politik bebas aktif.
3. Kabinet Wilopo jatuh karena timbulnya kekecewaan pemerintahan daerah yang
merasa tidak ada keseimbangan dalam pembagian keuangan oleh pemerintah pusat.
Juga pemerintah Wilopo mengizinkan perusahan asing mengusahakan tanah-tanah
perkebunan. Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan mosi tidak percaya dari DPR.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo, meskipun sukses dalam politik luar negeri dengan
menyelenggarakan KAA, tetapi tidak berhasil dalam pembangunan ekonomi. Korupsi
yang meningkat menyebabkan kepercayaan rakyat merosot. Hal ini ditambah dengan
ketidakpuasan Angkatan Darat terhadap Menteri Pertahanan. Kesemuanya
inimenyebabkan Ali Sastroamijoyo menyerahkan kembali mandatnya kepada
Presiden.
Silih bergantinya kabinet ini membuat rakyat mendambakan pemilihan umum.
Dengan diadakannya pemilu, golongan-golongan akan diwakili sesuai dengan kekuatan yang
sebenarnya. Pada tahun 1955, di bawah Kabinet Burhanuddin Harahap, diselenggarakan
pemilihan umum yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Pemilu 1955 itu berlangsung
dua tahap. Yaitu:
a. Umum
Setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak untuk
ikut memilih dan dipilih. Jadi disini tidak ada persoalan diskriminasi.
b. Langsung
Untuk memberikan suaranya pemilih harus datang sendiri di tempat pemberian suara
yang ditentukan. Jadi tidak boleh dengan perantaraan seseorang atau diwakilkan
kepada seseorang.
c. Rahasia
Para pemilih dijamin bahwa tidak ada orang lain yang akan mengetahui apa yang
dipilihnya. Adalah hak pemilih sendiri untuk menentukan pilihannya, dan kerahasiaan
tersebut dijamin oleh undang-undang.
d. Bebas
Setiap pemilih bebas untuk menetukan pilihannya. Tidak boleh ada paksaan
dan atau tekanan dari siapapun juga dan dengan jalan apapun juga, sehingga
terganggu kebebasan tersebut.
e. Berkesamaan
Semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat harus dipilih melalui pemilihan
umum. Dengan sendirinya setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang
tlah ditentukan dan berhak ikut memilih. Jadi tidak ada wakil rakyat yang diangkat,
dan tidak ada sebagian rakyat yang tidak ikut dalam pemilihan umum.
B. Pelaksanaan Pemilu 1955
Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai
oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa
pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955.
Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong
partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap
desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing masing
partai berusaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak. Untuk menyelenggarakan
pemilihan dibentuk badan-badan penyelenggaraan yang dinamakan Panitia Pemilihan
Indonesia di ibukota, Panitia Pemilihan di tiap daerah pemilihan dan Panitia Pemilihan
Kabupaten di tiap kabupaten. Panitia itu terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah dengan
dibantu partai partai politik, tanggung jawab pelaksanaan pada menteri dalam negeri, tetapi
kekuasaan yang luas pada Panitia Pemilihan Indonesia atau partai-partai. Panitia Pemilihan
telah dibentuk sejak kabinet Wilopo yang diketuai Mr Asaat (non partai), tetapi tidak
menentu, maka pada waktu kabinet Ali diadakan penggantian yang diketuai S.Hadikusuma
(PNI) dengan komposisi angota-anggotanya sebagian besar mencerminkan partai-partai
pemerintah, mendapat protes keras dari partai-partai di luar pemerintah.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa penyelenggaraan pemilihan umum ini, sama sekali
terpisah dari eksekutif. Pemerintah disini bertindak sebagai penanggung jawab saja. Bahkan
Panitia Pemilihan Indonesia dapat mengajukan pendapat-pendapat dan anjuran-anjuran serta
usul usul baik diminta maupun tidak kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri
mengenai pemilihan ini (pasal 133). Dengan demikian tidak ada anggapan bahwa Pemerintah
ikut campur tangan dalam pemilihan umum. Ini perlu untuk menjamin asas bebas dan rahasia
dari pemilihan umum, dan dengan demikian maka pemilihan umum tersebut dapat dijalankan
dengan demokratis. Jumlah orang yang hadir dalam pemilihan umum untuk memilih anggota-
anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak. Lebih dari 39 juta orang
memberikan suara, mewakili 91,55 persen dari para pemilih terdaftar. Walaupun banyak
pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh para
pemimpin keagamaan, kepala desa, pejabat, tuan tanah, atau atasan lainnya. Jumlah
penduduk yang menjadi dasar perhitungan sesudah diadakan penetapan yaitu 77.987.879.
Banyaknya orang yang berhak memilih dan yang terdaftar pada tanggal 29 Juli 1955 adalah
43.104.464.8 Kebebasan mencalonkan diri diberikan seluasnya kepada partai, kepada
golongan apa saja, kepada perkumpulan pemilihan, kieskorps yaitu segolongan orang yang
bergabung hanya untuk mencalonkan seorang calon atau lebih. Bahkan orang seorang dapat
maju sebagai calon dari partai politik. Untuk pemilihan Konstituante, para pemilih
mengeluarkan suara pada tanggal 22 Agustus 1955, sedang pelantikan berlangsung pada
tanggal 10 November 1956. Untuk mengadakan pemilihan umum 1955 dipergunakan
3.197.397 kg kertas untuk mencetak antara lain 50.672.750 surat suara untuk DPR,
51.073.255 surat suara untuk Konstituante, 25.000.000 lembar blanko daftar model A,
50.000.000 lembar blanko daftar model D, 18.192.923 lembar suara catatan perhitungan
suara DPR, 18.667.410 lembar suara catatan perhitungan suara Konstituante.
MATERI KELOMPOK
VI
SIDANG-SIDANG KONSTITUANTE
A. Sidang Konstituante
Sidang konstituante resmi di buka presiden soekarno pada tanggal 10 november 1956 di
bandung. Dalam pidatonya presiden berkata agar konstituante jangan bersidang terlalu lama.
Rakyat telah lama menunggu hasil kerja konstituante dan mengharapkan agar para anggota
konstituante bersidang secara iklas demi bangsa dan Negara serta mengutamakan
kepentingan rakyat indonesia. Namum konstituante berubah menjadi ajang perdebatan antar
partai dengan beragam idiologi . persidangan setidaknya terbelah menjadi dua kubu.
Kelompok Masyumi, NU, dan sejumlah partai islam hendak menjadikan islm sebagai asas
Negara. Kelompok nasionalis , komunis, Kristen, katolik, dan sosialis menentang dan hendak
mempertahankan kebangsaan sebagai dasar Negara. Selama tiga tahun konstituante bersidang
tanpa menghasilkan konstitusi baru.
Sebanarnya konstituante juga berhasil menyelesaikan beberapa hal penting. Misalnya
persetujuan atas 35 pasal tentang hak asasi manusia (hak sipil dan politik, ekonomi, sosial
dan budaya) yang di terima secara mufakat keberhasilan tersebut membuktikan bahwa
Negara indonesia merupakan perintis dalam pengakuan terhadap tiap daerah. Konstituante
juga menyetujui kehadiran Senat sebagai mekanisme perwakilan tiap daerah. Senat kini hadir
dalam bentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Setelah UUD 1945 di amandemen oleh
MPR. Konstituante juga menjamin hak daerah atau otonomi daerah, dukungan terhadap
Negara kesatuan, serta membentuk Mahkamah Konstitusi.
Menurut Adnan Buyung Nasution (penulis buku Aspirasi pemerintahan konstitusional di
indonesia : Studi Sosio – legal atas konstituante 1956-1959), ada tujuh belas konstituante
untuk membuat UUD baru . Mereka mengajukan menderheids nota atau UUDS 1950.
Apabila UUD tersebut tidak sesuai dengan aspirasi revolusi indonesia, presiden Soekarno
adalah satu-satunya pemimpin bangsa yang memiliki kewenangan menolak rancangan
undang-undang dasar yang di buat konstituante. Mereka kemudian bersikap abstain dan
menggalang kekuatan politik dari partai-partai kecil dan militer yang mendukung demokrasi
terpimpin. Menuver inilah yang menjadi factor penentu gagalnya konstituante dalam
membuat UUD baru yang lebih demokratik, lebih menjamin Negara hukum dan HAM.
Partai-partai besar seperti PNI dan PKI yang semula pendukung utama konstituante pun
berperan dalam mematahkan sidang konstituante.
Dewan konstituante yang di serahi tugas membentuk suatu kondisi baru yang
menggantikan UUDS 1950, sesuai amanat UUDS pasal 134, gagal menjalankan peran
sejarahnya konstituante yang di bentuk dari hasil pemilu 1955 dan beranggotakan 550 orang
itu tidak ubahnya sebagai ajang konflik idiologi. Setidaknya terdapat dua blok besar dan satu
blok kecil dalam konstituante. Blok pertama adalah pendukung pancasila meliputi 274
anggota terdiri atas PNI, PKI, PSI, dan dua partai Nasrani, dan beberapa partai Nasionalis
kecil lain seperti IPKI. Blok kedua adalah pendukung islam meliputi 230 anggota terdiri atas
Masyumi, PNU, PSII, dan Perti. Blok kecil pendukung sosial ekonomi meliputi seluruh
anggota terdiri atas partai Buruh dan Murba, serta pendukung pasal 33 UUD 1945 sebagai
dasar perekonomian Negara. Fokus perseteruan blok pancasila dan blok Islam terutama
menyangkut dasar Negara.
Negara republik indonesia pun di landa krisis ketatanegaraan. Roda pemerintah harus di
jalankan, tetapi permasalahan konstitusi belum juga menampakan titik temu. Sementara itu,
pemerintah juga harus menghadapi pergolakan politik militer di berbagai daerah. Pada
tanggal 19 februari 1959 perdana mentri Djuanda mengusulkan kepada konstituante agar
kembal ke UUD 1945. Rencananya proses kembali ke UUD 1945 tersebut akan di tuangkan
dalam Piagam Bandung. Krisis konstituante di sebut juga disikapi oleh presiden Soekarno.
Dalam pidato berjudul “Rec Publica, sekali lagi Res Publica” di depan sidang konstituante
konstituante tanggal 22 april 1959, prsiden antara lain berkata supaya konstituante bersama-
sama pemerintah menetapkan suatu undang-undang dasar republik indonesia yang sesuai
dengan jiwa, watak, dan kpribadian bangsa indonesia.
Konstituante tidak boleh di jadikan ajang pertempuran antar pemimpin dan partai politik.
Selajutnya Bung karno menganjurkan kepada konstituante agar kembali pada Undang-
Undang Dasar 1945. Perdebatan dalam konstituante pun mengalami pergeseran substantsi
dari tema islam atau kebangsaan sebagai dasar Negara menjadi menolak atau menerima usul
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante kembali menghadapi jalan buntu dan
sulit di adakan kompromi. Bahakan konstituante gagal mengambil keputusan. Konstituante
akhirnya mengadakan pemungutan suara untuk menyikapi usul pemerintah tersebut.
Pemungutan suara dilakukan hingga tiga kali, yaitu 30 mei 1959 (269 suara setuju dan 199
menolak), 1 juni 1959 (264 menerima dan 204 menolak), serta 2 juni 1959 (263 menerima
dan 203 menolak). Oleh karena belum juga memenuhi kuorum, konstituante, gagal
mengambil keputusan. Akhirnya, krisis ketatanegaraan yang melanda indonesia mencapai
puncak pada pertengahan tahun 1959. Presiden Soekarno mengeluarkan dekret 5 juli 1959
mengenai pembubaran konstituante.
B. Pembubaran Konstituante
Dekret presiden 5 Juli 1959 adalah dekret yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang
Pertama, Soekarno pada 5 juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan Konstituante
hasil pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke
UUD’45. Dekret Presiden 1959 dilatar belakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk
menetapkan UUD 1950. Anggota Konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956,
tetapipada kenyataannya hingga tahun 1958 belum berhasil menemukan UUD yang
diharapkan. Sementara dikalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada
UUD’45 semakain kuat. Dalam menaggpi hal itu, Presiden Ir. Soekarno lantas
menyampaikan amanat didepan siding konstituante pada 22 April 1959 yang isinya
mengajurkan untuk kembali ke UUD’45.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebi
banyak, pemungutan suara ini harus diulang karena jumblah suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah jumblah minimum anggota yang harus hadir dirapat, majelis dan sebagainya
(biasanya lebih dari separuh jumblah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan.
Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara
ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum untuk meredam kemacetan, pada tanggal 3
Juni 1959 Konstituante mengadakan rese (masa perhentian sidang perlemen; masa istirahat
dari kegiatan bersidang) yang kemudian ternyata untuk selama lamanya. Untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan
Jendral A.H. Nasution atas nama pemerintah/penguasa perang pusat (peperpu),
menegeluarkan peraturan No.Prt/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-kegiatan
politik. Pada tanggal 16 Juni 1959, ketua umum PNI Surwirjo mengirimkan surat kepada
Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1959 dan membubarkan konstituante.
Gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya dan rentetan peristiwa politik dan keamanan
dan mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai klimaksnya pada bulan Juni
1959. Akhirnya demi keselamatan Negara bedasrkan staatsnoodrechet (hokum keadaan
bahaya bagi Negara) pada hari minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17:00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekret dalam upacara resmi di istanah merdeka.
MATERI KELOMPOK
VII
KEMBALINYA UUD 1945
A. Dekrit Presiden
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia
yang pertama. Dekrit ini dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai
bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum
berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-
pendapat untuk kembali kepada UUD 45 semakin kuat. Setelah konstituante gagal
menetapkan undang-undang Dasar 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia. Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di istana merdeka pada
tanggal 5 Juli 1959, pukul 17.00.
Situasi Politik Menjelang Dekrit Presiden
Sistem Demokrasi Liberal ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan
bagi stabilitas politik. Berbagai konflik muncul ke permukaan. Misalnya konflik ideologis,
konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai politik. Hal ini
mendorong Presiden Soekarno untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21
Februari 1957.Berikut ini isi Konsepsi Presiden:
a. Penerapan sistem Demokrasi Parlementer secara Barat tidak cocok dengan kepribadian
Indonesia, sehingga sistem demokrasi parlementer harus diganti dengan Demokrasi
Terpimpin.
b. Membentuk Kabinet Gotong Royong yang anggotanya semua partai politik.
c. Segera dibentuk Dewan Nasional.
Sidang Konstituante Menjelang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dari pemilu tahun 1955 terbentuk dewan konstituante. Badan ini bertugas menyusun
UUD yang baru. Anggota Konstituante terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Islam
dan kelompok nasionalis, kedua kelompok sulit mencapai kata sepakat dalam pembahasan isi
UUD. Dalam sidang sering terjadi perpecahan pendapat. Setiap wakil partai memaksakan
pendapatnya. Akibatnya gagal menghasilkan UUD. Hal ini mendorong presiden
menganjurkan konstituante untuk kembali menggunakan UUD 1945. Untuk mewujudkan
anjuran tersebut maka, diadakan pemungutan suara sampai tiga kali. Akan tetapi hasilnya
belum mencapai batas quorum, dua pertiga suara. Akibatnya Dewan Konstituante gagal
mengambil keputusan. Untuk mengatasi masalah tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 presiden
mengeluarkan dekrit.
Isi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yaitu:
a. pembubaran Konstituante;
b. berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c. akan dibentuk MPRS dan DPAS.
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa. Kasad (kepala staf Angkatan Darat) memerintahkan kepada segenap
personil TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung
membenarkan dekrit tersebut. DPR dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi
menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja dengan berpedoman pada UUD 1945.
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat sambutan positif dari seluruh lapisan
masyarakat yang sudah jenuh melihat ketidakpastian nasinal yang mengakibatkan
tertundannya upaya pembangunan nasional. Dukungan spontan tersebut menunjukkan bahwa
rakyat telah lama mendambakan stabilitas politik dan ekonomi. Semenjak pemerintah
Republik Indonesia menetapkan dekrit presiden 5 Juli 1959, indonesia memasuki babak
sejarah baru, akni berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi terpimpin.
Tindak Lanjut Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 terjadi beberapa perkembangan
politik dan ketatanegaraan di Indonesia.
a. Pembentukan kabinet kerja. Dengan programnya yang disebut Tri Program. Isinya :
1. Melengkapi sandang pangan rakyat
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara
3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme untuk mengembalikan Irian
Barat
b. Penetapan DPR hasil pemilu 1955 menjadi DPR tanggal 23 Juli 1959
c. Pembentukan MPRS dan DPAS. Tgas MPRS adalah menetapkan GBHN dan tugas
DPAS adalah sebagai penasihat atau memberi pertimbangan pada presiden.
d. MPRS dan DPAS juga dibentuk BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan ) dan Mahkamah
Agung (MA). BPK bertugas memeriksa penggunaan uang negara oleh pemerintah,
MA berperan sebagai lembaga tinggi negara.
e. pembentukan DPR-GR. Pada tahun1960, presiden soekarno membubarkan DPR hasil
pemilu. Alasannya adalah penolakan DPR terhadap usulan anggaran belanja negara
yang diajukan presiden. Selanjutnya pada tanggal 24 juni 1960, presiden soekarno
membentuk DPR-DR (DPR Gotong Royong)
f. pembentukan dewan perancang nasional (depernas) dan front nasional. Depernas
bertugas merancang pembangunan semesta yang berpola delapan tahun. Front
nasional bertugas mengerahkan massa. Badan ini berperan penting dalam
penggayangan Malaysia dan pembebasan Irian Barat, terutama melalui front Nasional
Pembebasan Irian Barat (FNPIB)
g. pemetapan gbhn, manifesto politik merupakan sebutan pidato presiden soekarno
dalam peringatan hari kemerdekaan republik indonesia tanggal 17 agustus 1959
Dampak Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden ternyata memiliki beberapa dampak, berikut.
a. Terbentuknya lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945,
misalnya MPRS dan DPAS.
b. Bangsa Indonesia terhindar dari konflik yang berkepanjangan yang sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan.
c. Kekuatan militer semakin aktif dan memegang peranan penting dalam percaturan
politik di Indonesia.
d. Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin.
e. Memberi kemantapan kekuasaan yang besar kepada presiden, MPR, maupun lembaga
tinggi negara lainnya.
B. Demokrasi Terpimpin
Pengertian Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpin negara. konsep sistem demokrasi terpimpin pertama
diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10
November 1956. Masa demokrasi terpimpin ( 1957-1965 ) dimulai dengan tumbangnya
demokrasi parlementer atau demokrasi Liberal yang ditandai pengunduran Ali
Sastroamidjojo sebagai perdana mentri. Namun begitu, penegasan pemberlakuan demokrasi
terpimpin dimulai setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila
keempat Pancasila.
Ciri-ciri Demokrasi Terpimpin
1. Dominasi presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Terbatasnya peran partai politik.
3. Meluasnya peran militer sebagai unsur politik
4. Berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.
Tujuan Demokrasi Terpimpin
1. Mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa
Demokrasi Parlementer atau Liberal menjadi lebih stabil.
2. Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer atau
Liberal. Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan
presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan Pemerintah
dilaksanakan oleh partai.
Ideologi Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat
dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik
Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh
kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut
membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu
ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan
kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk
kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa
Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di
dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan
imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran
akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan
hidup sistem Demokrasi Terpimpin.
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli
1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan
janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional.
Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual,
serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya
berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.
Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai
komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar
atau majalah berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan
semboyan-semboyan baru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin
mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato
kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil
kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang
terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa harus
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam
pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali
Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu,
Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik
Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang
disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959,
presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting.
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi
Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia.
Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan
USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu
dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”.
C. Ekonomi Terpimpin
Periode ini dimulai “Sistem Ekonomi Terpimpin” yang dicetuskan oleh Presiden
Soekarno pada 21 Januari 1957 sebagai bentuk jalan keluar dari berbagai kesulitan yang
dihadapi rakyat Indonesia, yang dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” yang menurut Sarbini
bahwa soekarno dan PKI berupaya menguasai segalanya berdasarkan Manipol (Manifesto
Politik) Soekarno. Periode ini merupakan periode gelap dalam sejarah Indonesia karna
semangat revolusioner sangat membara yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah ekonomi,
awal mula ini pada tahun 1957 dimana banyak buruh yang mau bekerja. Awal ekonomi
terpimpin masa Orde Lama Soekarno ini ditandai dengan merosotnya PDB perkapita,
kenaikan inflasi, surutnya penanaman modal dan berlanjutnya structural rekression.
Simpanan devisa yang semakin berkurang karna habis untuk biaya keamanan dan juga biaya
pengamana nasional, Indonesia yang penghasil beras terbesar malah menjadi Impor beras
terbesar dan karena kelangkaan menjadikan inflasi naik hingga 650%. Banyaknya
perencanaan dalam pembangunan yaitu dewan perancang nasional yang diketuai oleh Moh
Yamin yang di bentuk oleh Soekarno tanpa ada ekonom didalamnya, yang menghasilkan
program pembangunan nasional berencana 8 tahun (1961-1968) dengan menggali kekayaan
alam secara besar-besaran untuk membiayai program pembangunan nasional.
Pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana (TNSB) tidak selancar yang
dilancarkan, kemudian untuk menutupi kemerosotan ekonomi tersebut presiden
mengumumkan deklarasi ekonomi (dekon) tentang peraturan adalah bidang impor, ekspor,
harga dan lain-lain yang sebagai peraturan 26 mei 1963 ternyata tidak membuahkan hasil
baik karena adanya campur tangan PKI yang awalnya tidak setuju dengan butir-butir dekon
yang asli, hingga ankhirnya PKI menyutujui dengan di tambah 12 butir awal yang di acuhkan
oleh PKI untuk kepentingannya kemudian di tambah adanya konfrontasi dengan Malaysia
yang pada akhirnya Indonesia keluar dari PBB karena PBB menerima Malaysia menjadi
dewan keamanan, dan dari situlah soekarno menetapkan BERDIKARI atau berdiri di bawah
di kaki sendiri yang artinya penegasan pendirian Indonesia untuk tidak bergantung pada luar
negeri. Berdikari pun terlalu berat untuk dilakukan dengan naiknya harga bahan makanan,
pemerintah tidak sanggup untuk membiayai pembangunan nasional, akhirnya melakukan
pinjaman luar negeri sampai sebesar US$ 2.35 juta di tahun 1966
MATERI KELOMPOK
VIII
GAGASAN NASAKOM DAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN
Mengenal dan memahami dengan baik sosok Soekarno dalam penelitian ini, perlu
didekati dengan melihat kepribadian dan karaterisitknya, serta memahami dengan jelas
tentang lingkungan dan kondisi politik saat Ia mengeluarkan gagasan-gagasan dan konsep
politiknya. Hal ini diharap dapat mengantar penulis pada suatu analisis yang valid. Tentu juga
dibutuhkan alur berfikir dengan beberapa pendekatan psikologi politik. Sebelum lebih jauh
membahas Implementasi pemikiran politik Soekarno pada tahun 1959-1966, penting bagi
penulis untuk menjelaskan Bagaimana pemikiran Politik Soekarno tangtang Nasakom
tersebut.
Lahirnya Konsep Nasakom
NASAKOM adalah akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. NASAKOM
merupakan konsep politik yang digunakan Soekarno selama masa Demokrasi terpimpin
untuk mempersatukan bangsa dalam menuntaskan Revolusi Indonesia dan upaya melawan
penindasan Imprealisme dan Neokolonialisme yang ingin kembali mengusai Indonesia.
Pandangan Soekarno tentang NASAKOM sendiri telah tercermin jauh sebelum Era
Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada tahun 1926 ia menuliskan sebuah Artikel tentang
persatuan tiga konsep utama gerakan pra-kemerdekaan yaitu Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme. Pentingnya Tindakan dan pola pikir seseorang harus selalu dibenturkan dengan
situasi yang terjadi pada saat itu. Hal itu dimaksudkan agar pengkajian mengenai pemimpin
tidak hanya sampai pada telaah personalitas (kepribadian aktor yang dibentuk oleh masa
kecil, latar belakang pendidikan, agama) maka perlu juga untuk melihat secara komprehensif
mengenai psikologi politiknya, yakni membaca situasi di mana seorang tokoh berada, situasi
ini meliputi iklim budaya, sosial, politik (kultur politik) yang melingkupi (Konteks).
Soekarno sebagi tokoh nasional dikenal dari perjuangan dan idenya untuk menyatukan ketiga
Ideologi besar yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme dapat ditarik ke dalam teori
mengenai motivasi, sifat dan karakterisitik individual pilihan. Penjabaran mengenai sifat oleh
Pervin & John, 1997 dikatakan bahwa sifat menghasilkan predisposisi berpikir, merasa, atau
bertindak dalam suatu pola tertentu menyangkut orang-orang, peristiwa dan situasi1.
Soekarno dalam hal ini terpengaruh oleh kondisi perpecahan antar para petinggi-petinggi di
dalam internal SI hingga gerakan ini menjadi lemah dan saling bertentangan satu sama lain
meski mereka memiliki tujuan yang sama mengusur penjajah dari tanah air. Perpecahan ini
mulai terjadi pada tahun 1920 dimana Soekarno pada saat-saat itu menjadi murid dari Tjokro,
ia dalam masa transisi mempelajari segala bentuk dan proses-proses memahami dan mencari
tahu apa jati dirinya kelak pada karir politik yang akan dia tempuh.
a). Nasionalisme/Kebangsaan
Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang pejuang, masa kecil, Soekarno
banyak mendapat cerita-cerita heroik tentang perjuangan buyutnya dalam melewan
penjajahan Belanda. Diketahui dari silsilahnya bahwa kakek dari ibunya adalah seorang
pejuang dari kerajaan sisingaraja, dan ayahnya merupakan keturunan dari pejuang pangeran
dipenogoro. Sebagai anak-anak, pada saat itu Soekarno mulai menunjukkan ketertarikannya
pada kisah-kisah heroik, ia sangat senang mendengar cerita-cerita ibunya tentang kisah-kisah
kepahlawanan dan kebangsaan. Selain cerita kepahlawanan, Soekarno juga sangat menyukai
cerita-cerita pewayangan kuno. Ini kali pertama menandakan keinginannya untuk mengetahui
lebih banyak mengenai seni dan kisah heroik. Melalui kisah pewayangan Soekarno belajar
tentang sejarah kebesaran kerajaan-kerajaan Indonesia di masa lampau. Cerita-cerita tersebut
menumbuhkan secara perlahan imajinasi besar Soekarno membangun atau mendesain
bangsanya. Penggalan sejarah masa kecil dan Soekarno muda di atas, dapat memberikan
sebuah pahaman akan pengalaman masa lalu sang pemimpin politik. Menurut teori psikologi
kepribadian, bahwa pengalaman masa lalu menyediakan para pemimpin suatu pendirian
tentang tindakan apa yang akan efektif atau tidak efektif dalam situasi-situasi politik yang
spesifik, serta manakah petunjuk dari lingkungannya yang seharusnya diperhatikan dan mana
yang tidak relevan (Hermann, 1966). Pengalaman masa lalu ini memengaruhi seberapa
banyak pembelajaran yang harus dicapai pada pekerjaannya, inventori perilaku (prosedur
operasi standar) yang harus dimiliki, dan seberapa pemimpin tersebut akan percaya diri
dalam berinteraksi dengan para ahli. Ikatan emosional Soekarno terhadap bangsanya mulai
terbentuk dalam perjalanannya memahami bangsa, hal ini dalam teori psikologi politik
disebutkan sebagai Karakter etnosentrisme. Poin etnosentrisme dalam karakter individu
pilihan menjelaskan kepribadian individu, dijabarkan oleh para Ilmuan psikologi politik
bahwa seorang individu memberikan perhatian pokoknya mengenai bangsa yang dimiliki
melalui ikatan-ikatan emosional yang kuat dengan bangsanya, pemahaman mengenai
kehormatan dan identitas bangsa. Bangsa menurut Soekarno sendiri merupakan Suatu
persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.
Pemahaman Soekarno atas bangsanya menumbuhkan rasa Nasionalisme dimana rasa itu
menurutnya menimbulkan suatu rasa percaya diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali
untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau
mengalahkan kita.
b) Islamisme/Agama
Soekarno mengenyam pendidikan di Kota Surabaya dan tinggal di rumah H.O.S
Tjokroaminito seorang pemimpin gerakan pra-kemerdekaan yang dikenal dengan nama
Sarekat Islam (SI), Pengalaman masa lalu Soekarno dalam menempuh pendidikan baik di
Surabaya maupun Bandung, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kondisi pergaulan di SI
dalam proses pertukaran ide, gagasan dan pikiran dengan beberapa tokoh-tokoh pergerakan.
Tjokroaminoto yang memiliki basic kuat tentang ajaran Islam, Semaun, Alimin, Tan Malaka
dan beberapa tokoh ISDV yang berhaluan paham komunis, ataupun Douwes Dekker dan
Tjipto Mangunkusumo seorang yang berpikiran nasionalisme. Seluruh tokoh ini darinya
kemudian Soekarno menyerap gagasan Islam, komunisme dan nasionalisme yang menjadi
arus besar Ideologi dominan yang pada saat itu gencar melakukan perlawanan terhadap
segala bentuk praktik-praktik eksploitasi dan penindasan para Colonial.
Soekarno memandang Islam sejati tidaklah mengandung azas anti- nasionalis; Islam
yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis, sebaliknya Islam itu mengandungi tabiat-tabiat
yang sosialistis dan menetapkan kewajibankewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajiban
nasional pula. Dalam hal ini Soekarno menolak paham islam yang berlandaskan pada
fanatisme yang melebihi bangsa. Menurut Soekarno kaum Islam tak boleh lupa bahwa
pemandangan Marxisme tentang Materialisme-history menjadi petunjuk bagi rakyat untuk
memahami soal-soal tentang ekonomi dan politik dunia yang sukar dan sulit.
c). Marxisme/Komunisme
Marx dan Engels Bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturanaturan yang bisa
terpakai untuk segala zaman. Demikianlah Soekarno menggambarkan pemahamannya
tentang komunisme, menurutnya untuk mencapai tujuan masyarakat sosialis sebagaimana
yang diharapkan Karl Marx maka perlu adanya penyesuaian atau perubahan taktik dari
pergerakan kaum komunis. Komunis dan gerakan-gerakan lainnya perlu membentuk suatu
persahabatan atau penyokongan dengan kaum-kaum Nasionalis dan Agama (Islam) terutama
di Asia. Khusus di Indonesia sendiri menurut Soekarno Kaum Marxis harus ingat, bahwa
pergerakannya itu, tidak boleh tidak, pasti menumbuhkan rasa nasionalisme pada kaum buruh
Indonesia, oleh karena perlawanan kaum buruh Indonesia merupakan perlawanan terhadap
modal asing atau penjajah. Demikian pula kebencian Kaum Marxis terhadap agama yang
timbul dari sikap kaum gereja yang reaksioner, tidaklah berkesesuain dengan sikap kaum
Islam di Indonesia yang anti-kapitalisme, anti-riba dan mengejar kemerdekaan atas
penindasan penjajah. Soekarno sendiri menolak adanya tudingan bahwa Komunisme
merupakan kaum yang menyembah benda, kaum yang ber”tuhan”kan materi (Ateis/tidak
bertuhan). Pandangan tersebut merupakan bentuk kekeliruan dan merupakan propagandanya
anti Marxisme dengan membolak-balikkan dua faham utama dalam Marxisme yaitu
Materialisme-History dan Materialisme Dialektis.
2. Konsep Persatuan Nasakom
Catatan sejarah dalam berabagai literatur pustaka kesejarahan Indonesia merdeka,
menceritakan bahwa pada tahun 1950 Indonesia memasuki era demokrasi parlementer dengan
berlandaskan UUDS 50. Presiden Soekarno dalam Sistem Parlementer berkedudukan sebagai
kepala Negara dengan kewenangan yang terbatas.dalam konstitusi Soekarno tidak dibenarkan
mengambil tindakan sendiri ataupun membuat suatu kebijakan, adalah perdana menteri yang
lebih memiliki wewenang membuat kebijakan dan bertanggung jawab kepada Parlemen.
Pembatasan ini tentu saja membuat Soekarno tak mampu mengaplikasikan apa yang di cita-
citakan dalam pikirannya tentang arah Revolusi kemerdekaan Indonesia menuju persatuan.
Membedah situasi di atas dengan pertalian pada teori kepribadian dan karaterisitik
individu pilihan, dapat dijelaskan dengan melihat keterbatasan yang dialami oleh Soekarno
pada sistem demokrasi parlementer, berbenturan dengan kebutuhan akan kekuasaan yang ia
miliki untuk memberikan kontrol besar terhadap ruang lingkup kekuasaan. Kontrol
merupakan sifat dari apa yang dijelaskan oleh Alport mengenai sifat utama atau cardinal
traits, dan generalisasi sifat ini dimiliki oleh Soekarno sendiri. Secara khusus dijelaskan
bahwa, seseorang akan menduga para pemimpin yang memiliki kebutuhan psikologis akan
kekuasaan yang semakin tinggi akan semakin dominan dan asertif. pada gaya
kepemimpinannya pada saat menjabat dan menuntut kontrol yang lebih besar atas para
bawahannya dan keputusan-keputusan kebijakan. Soekarno kerap kali terlibat pertentangan
dengan parlemen dalam setiap pengambilan keputusan. Misalnya saja persoalan Irian Barat,
dalam hal ini kebinet menolak mendesak pihak Belanda maupun PBB untuk mengembalikan
Irian Barat, dan lebih memilih jalan politik perdamaian dengan cara-cara perundingan saja.
Sebaliknya Soekarno dalam berbagai pidatonya dihadapan rakyat dan parlementer
menginginkan dengan cara apapun Irian Barat segera masuk kedalam Republik Indonesia.
Nasakom dan Politik Luar Negeri Soekarno tahun 1959-1966
Kebutuhan Soekarno akan kekuasaan bukan hanya sebatas mempersatukan Indonesia
sesuai gagasannya dalam Nasakom. Lebih dari itu ambisi Soekarno yang terbesar adalah
melenyapkan Imprealisme dan Neokolonialisme dari setiap jengkal wilayah Indonesia. Hal
itu bisa dilihat dalam berbagai keputusan poltik dan yang dibuat oleh Soekarno dimasa
pemerintahannya, semisal menggagas GNB sebagai wacana konfrontasi terhadap vis a vis
blok barat dan blok timur pasca perang dunia perang dunia kedua (proxy war). Gagasan GNB
dinilai Soekarno sebagai jalan keluar atas persoalan perkembangan negara dunia ketiga
(Istilah Alfred Sauvy) dalam berbagai bidang khususnya politik, ekonomi dan sosial. Gerakan
non blok diprakarsai oleh beberapa negara; diantaranya Indonesia, Yugoslavia, Ghana, dan
India. Kebijakan GNB ini dapat dikatakan merupakan bentuk ambisi Soekarno atas
ketidaksetujuannya terhadap dominasi blok-blok besar pemenang peran dunia ke dua yaitu
Amerika dan Uni Soviet atas negara-negara berkembang dan atau negara-negara baru
merdeka. Namun perlu juga dipahami, bahwa GNB merupakan prinsip Politik bebas dan aktif
Indonesia. Bebas berarti tidak terikat oleh satu ideologi atau oleh suatu politik asing khusus
tidak memihak kepada salah satu Ideologi negara Adidaya yang terlibat perang dingin. Aktif
artinya dengan sumbangan realitas giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan
kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Keberhasilan Soekarno
dalam menggagas KTT dan merumuskan GNB sebagai suatu jalan baru membuat namanya
semakin dikenal dalam dunia Internasional. Kemampuan orasi dan keberanian Soekarno
melancarkan Konfrontasi kepada negara-negara adidaya membuatnya dikenal sebagai salah
satu tokoh yang mulai diperhitungkan dalam kancah Internasional. Soekarno selama menjadi
pemegang kekuasan tertinggi di era demokrasi terpimpin memang menunjukkan keaktifannya
dalam politik Internasional namun dalam hal keberpihakan. mendekati masa kejatuhannya
Soekarno mulai menunjukkan keberpihakannya pada negara Blok komunis Khususnya China
sebagai negara komunis terbesar di Asia.
Konfrontasi dengan negara lain yang membawa kesuksesan paling besar dalam karir
politik Soekarno adalah konfrontasi Pembebasan Irian Barat. Sudah sejak lama Soekarno
menginginkan Irian Barat dikembalikan kedalam kekuasan pemerintahan Indonesia. namun
pandangan ini tidak mendapat banyak dukungan di era Demokrasi Parlementer (1950-1957),
baik itu dukungan dari dalam negeri maupun dukungan dari luar negeri. Namun setelah
memasuki era Demokrasi terpimpin Soekarno mulai melancarkan Propagandanya
mengembalikan Irian Barat kepangkuan Indonesia. Pada tahun 1961 untuk melancarkan
ambisinya menguasai Irian Barat Soekarno memanfaat Front Nasional yang telah dibentuk
sebelumnya guna menggalang dukungan massa yang besar dan melancarkan konfrontasi
melawan Belanda, Inggris dan sekutu. Untuk mendapatkan dukungan di panggung
Internasional Soekarno juga melancarkan suatu propaganda yang kemudian dijadikan sebagai
Anti-tesa dominasi negara Adidaya atas Negara-negara kecil yang baru merdeka. Perumusan
Soekarno tentang tujuan ini, berdasarkan keterlibatan Indonesia dalam perjuangan hidup dan
mati “Kekuatan-kekuatan baru yang muncul” (NEFO: New Emerging Forces) melawan
“tatanan lama yang sudah ada” (OLDEFO: OLD Established Forces) di dunia, menjadi
doktrin resmi yang memandu kecendrungan gerak kaum nasional. Isu Irian Barat bagi
Soekarno sangat penting untuk membawa Indonesia menuju kepanggung Internasional
sekaligus melancarkan Ambisinya untuk membuat Indonesia menjadi pusat Solidaritas dan
Militansi negara-negara berkembang dan negara-negara yang baru merdeka. Soekarno
memang merupakan sosok pribadi yang aktif dalam mengikuti perkembangan isu-isu
kebijakan Internasional. Soekarno melihat seluruh konsentarasi terkait isu-isu kebijakan
internasional tergantung pada niat baik Eropa dan hubungan Soviet Amerika sebagai dasar
tuntutan mereka terhadap keseimbangan dalam sistem.
MATERI KELOMPOK
IX
KONFRONTASI INDONESIA-MALAYSIA: 1963-1966
1. Latar Belakang Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Penyebab adanya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia tentu ada sebab
musababnya. Konflik antara Indonesia-Malaysia merupakan suatu konflik saling hadap
berhadapan atau dikenal dengan konfrontasi, hal ini terjadi dalam satu kawasan (regional)
yang sama yaitu Asia Tenggara. Konfrontasi termasuk dalam jenis-jenis konflik, termasuk
dalam konflik antar politik, karena Malaysia telah melanggar Perjanjian Manila (Manila
Accord), tapi situasi memanas dan tidak memunculkan perang teritorial (kawasan) di Asia
Tenggara. Adanya konfrontasi ini diyakini karena campur tangan politik antara Blok Barat
dan Blok Timur yang melakukan politik domino mengingat Indonesia memiliki Partai
Komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan RRC di luar kawasan komunis (Asia
Tenggara) membuat Blok Barat terutama Inggris dan Amerika merasa khawatir jika
Indonesia masuk dalam Blok Timur sehingga memunculkan situasi perang regional
(kawasan) di Asia Tenggara, terutama dengan Malaysia.
Situasi konflik di Indonesia pada masa konfrontasi karena adanya suatu kepentingan
dan sikap Indonesia yang menganggap Malaysia sebagai suatu kepentingan Inggris di Asia
Tenggara sehingga di Indonesia memunculkan gerakan Komando Ganyang Malaysia
(Kogam) dan mempersiapkan Front Nasional (Fronas) yang merupakan sukarelawan
Indonesia untuk melakukan kegiatan Ganyang Malaysia di Kepulauan Riau. Fronas
diletakkan di sekitar Pulau Sambu sekarang masuk daerah Batam yang berdekatan dengan
perbatasan Malaysia, mereka bertujuan menyabotase serta menyebarkan info untuk
membantu Indonesia melawan Inggris di Malaysia sehingga perekonomian di sekitar
Kepulauan Riau, khususnya Tanjung Balai Karimun, tidak berjalan dengan normal akibat
kegiatan politik tersebut. Sebelum adanya konfrontasi Indonesia, Malaysia dan Filipina telah
membuat nota kesepakatan yang dikenal dengan persekutuan Malaysia, Philipina dan
Indonesia (Maphilindo) yang diikat dengan perjanjian Manila Accord. Perjanjian tersebut
ditandatangani oleh Presiden Soekarno, PM Malaysia Tengku Abdul Rahman dan Presiden
Filipina Diosdado Pangan Macapagal Aroyo.
Di luar negeri atau di tingkat internasional, persaingan terjadi antara Cina, Uni Soviet,
dan Amerika Serikat. Cina berafiliasi dengan PKI dengan harapan suatu kebijakan anti-
Malaysia. Hal ini disebabkan oleh perpecahan antara Cina-Uni Soviet karena persoalan
perang Papua. Tak hanya itu, Cina pun mulai curiga akan adanya peluang Uni Soviet akan
berkomplot bersama Amerika Serikat untuk mengendalikan Cina. Selain itu, perlu diketahui
bahwa pada saat itu, situasi politik di Indonesia sedang mendesah. Penyebab hal tersebut
ialah adanya persaingan beberapa penganut ideologi yang terdiri atas golongan Nasionalis,
Agama, dan Komunis. Tak hanya itu, persaingan dalam negeri diwarnai pula oleh ketegangan
antara Soekarno, militer, dan Partai Komunis Indonesia. Persaingan ini kemudian dicoba
untuk dinetralisasi oleh Soekarno dengan gagasannya tentang Nasakom. Akibat dari
persaingan ini, beberapa ahli berpendapat bahwa jalan untuk mendinginkan suasana politik
pada waktu itu adalah mempersatukan kembali semua masyarakatnya dengan cara politik cari
musuh. Cara ini dianggap efektif karena dengan adanya lawan atau musuh, maka perhatian
politikus maupun warga negara yang terpusat di seputar ideologi, akan teralihkan kepada
musuh yang telah ditentukan. Maka, dapat diduga, bahwa konfrontasi Indonesia-Malaysia
adalah salah satu cara Soekarno untuk mempersatukan kembali rakyatnya dengan jargon
“Ganjang Malaysia!”.
2. Ganjang Malaysia !”: Situasi Hingga Penyelesaian Konfrontasi
Pada bulan Januari 1963, Soekarno menyatakan bahwa usulan Malaysia yang akan
terbentuk menjadi negara federasi itu tidak dapat diterima oleh Indonesia, meskipun masih
rencana. Maka, Subandrio dengan tegas menyatakan bahwa sikap indonesia sebagai sikap
konfrontatif. PKI pun membawa para anggotanya untuk turun ke jalan-jalan untuk
berdemonstrasi. Aksi ini mengakibatkan kedutaan besar Inggris dan 21 rumah stafnya di
Jakarta dibakar habis. Begitu pun dengan kedutaan Malaysia yang juga mendapatkan
serangan balik di Malaysia. Pada tanggal 17 September 1963, Malaysia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Indonesia. Empat hari sesudahnya, Indonesia pun turut
memutuskan semua hubungan dengan Malaysia dan Singapura. Amerika Serikat melepaskan
harapannya untuk tetap bersahabat dengan Malaysia maupun Indonesia pada saat yang sama,
sehingga rencana perbaikan perekonomiannya di Indonesia mengalami kegagalan.
Amerika Serikat juga gagal dalam menjaga Indonesia untuk tidak “belok ke kiri” karena
dominasi dan pengaruh Cina dan Uni Soviet yang sangat masif. Di satu sisi, Cina dan Uni
Soviet memuji kebijakan Soekarno. Pengaruh Amerika Serikat di Indonesia sama sekali
hilang saat Soekarno menyatakan bahwa Amerika boleh go to hell dengan bantuannya.
Sementara itu, perang di perbatasan Indonesia Malaysia secara kecil-kecilan di hutan-hutan
Kalimantan dimenangkan oleh pasukan Malaysia dan Inggris. Tentara Indonesia enggan
melibatkan terlalu banyak pasukan gara-gara semakin besar kemungkinan terjadinya krisis di
dalam negeri. Soekarno pada bulan Mei 1964, menempatkan Marsekal Udara Omar Dhani
untuk memimpin Komando Siaga (Koga) untuk konfrontasi. Angkatan Darat merasa cemas
bahwa Angkatan Udara akan lebih terkenal. Maka, pimpinan Angkatan Darat mulai
mengadakan hubungan rahasia dengan Malaysia untuk menghalangi konfrontasi.
Konfrontasi berjalan begitu gencar dan berkobar-kobar hingga akhirnya perlahan-lahan
padam pada 11 Agustus 1966. Pada tanggal tersebut, diadakan persetujuan normalisasi
hubungan Indonesia-Malaysia yang dilaksanakan di Departemen Luar Negeri Indonesai Jalan
Pejambon, Jakarta. Persetujuan ini merupakan hasil perundingan Bangkok antara Wakil
Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak dengan Menteri
Utama atau Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik yang dilangsungkan pada 29 Mei-1
Juni 1966. Melalui persetujuan tersebut, kedua negara yang berkonfrontasi menyetujui
pemulihan hubungan diplomatik dan mengentikan tindakan-tindakan permusuhan.
MATERI KELOMPOK
X
RUNTUHNYA KEKUASAAN IR. SOEKARNO
Sebuah rezim pemerintahan bagaimanapun kuat dan besar kekuasaannya tidak akan
pernah berjaya terus-menerus tanpa ada batasnya. Suatu saat rezim tersebut kekuasaannya
pasti akan melemah dan akhirnya mengalami keruntuhan. Tidak ada rezim yang mampu
bertahan selamanya dan tidak ada pemimpin yang mampu menggenggam kekuasaannya
secara langgeng dan abadi. Seorang pemimpin, bagaimanapun besar wibawanya dan piawai
memimpin rakyatnya, suatu waktu ia harus rela mundur dan jatuh dari kekuasaannya. Dalam
sejarah bangsa Indonesia, telah beberapa kali mengalami pergantian pemerintahan dan
kepemimpinan. Sejak terbentuknya negara Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah terjadi
beberapa kali pergantian kepala negara. Dari mulai pemerintahan Presiden Soekarno,
Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, hingga pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono sekarang ini. Proses berakhirnya sebuah rezim pemerintahan tidak selalu berjalan
dengan mulus. Pergantian kepemimpinan dari rezim yang lama ke rezim yang baru seringkali
diwarnai dengan pergolakan politik, baik yang terjadi sebelumnya maupun sesudah peralihan
itu terjadi. Gejolak politik yang mengiringi jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno dan
Presiden Soeharto merupakan peristiwa yang banyak menyita perhatian khalayak ramai, baik
secara lokal maupun internasional. Hal ini dapat dipahami karena pada zaman pemerintahan
kedua
Presiden tersebut posisi Indonesia cukup disegani oleh dunia internasional. Bahkan
banyak yang beranalisis bahwa kejatuhan dua Presiden tersebut tidak terlepas dari konspirasi
dan campur tangan dunia internasional Situasi politik di Indonesia menjelang berakhirnya
pemerintahan Soekarno diwarnai dengan adanya pertentangan-pertentangan antar berbagai
kekuatan politik yang ada dalam lingkar kekuasaan dan pemerintahan pada waktu itu.
Adanya tiga kekuatan polit ik yang menampilkan “permainan-segi-t iga” dengan pelaku
utama yaitu Soekarno, PKI, dan ABRI, ditambah dengan pelaku pembantu baik berupa partai
politik maupun oknum individu di sekitar pelaku utama tersebut Dengan adanya Dekrit
Presiden pada 5 Juni 1959 yang secara resmi mengembalikan Undang-Undang 1945, maka
masa Demokrasi Terpimpin pun dimulai. Soekarno, sebagai presiden, memperkuat posisinya
terhadap parlemen, posisi-posisi penting diberikan kepada para pendukung loyalnya,
sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sesuai dengan keinginan Soekarno dapat
dilaksanakan tanpa gangguan. Selain Soekarno, masih ada dua kekuatan lain lagi, yaitu PKI
yang mulai masuk dalam pemerintahan dan ABRI dengan konsep Dwifungsi-nya yang sejak
tahun 1958 mengintensifkan keterlibatan militer dalam administrasi sipil, politik, dan
ekonomi Indonesia. Soekarno berusaha menjaga keseimbangan dari kedua kekuatan itu
dengan menempatkan dirinya di tengah untuk mengontrol semua pihak. Sementara itu,
berpalingnya Soekarno dari negara-negara Barat dengan meninggalkan kebijaksanaan non-
blok dan mengarahkan ke sebuah poros Jakarta Beijing-Pyongyang-Hanoi, membuat
Amerika Serikat menjadi semakin khawatir Indonesia akan menjadi satu lagi negara yang
akan jatuh dalam teori domino. Banyak pihak yang menghawatirkan sistem keseimbangan
yang dibangun Soekarno suatu saat akan rapuh dan tak dapat lagi dikontrol olehnya, sehingga
salah satu kekuatan akan menyelesaikan situasi yang sangat tidak jelas itu dengan tindakan
kekerasan.
Secara teoritis, kekuatan yang mungkin melakukan tindakan tersebut antara lain PKI,
Angkatan Darat, kekuatan ekstern seperti Amerika Serikat, atau bahkan Soekarno sendiri
Kondisi tersebut semakin memanas setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September
1965. Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik yang cukup parah. Masyarakat
umum diliputi kecemasan, unjuk rasa mahasiswa berlangsung di mana-mana, inflasi
meningkat hingga mencapai 650%, dan harga-harga pun membumbung tinggi. Apalagi
penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat ada tanda-tanda akan
dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai dengan janjinya. Krisis politik pun semakin
mendalam dan akibatnya mulai terjadi erosi kepercayaan rakyat kepada Presiden Soekarno
dan pemerintahannya Kekuasaan Presiden Soekarno merosot drastis sejak dikeluarkannya
Supersemar. Pada masa kabinet Ampera yang disempurnakan yang dibentuk pada tanggal 11
Oktober 1966 ini posisi dan peran Presiden sama sekali tidak mempunyai arti. Puncaknya,
pada Sidang Umum MPRS tahun 1966 pidato pertanggungjawaban Presiden soekarno yang
dikenal dengan Nawaksara dianggap mengecewakan mendapat penolakan dari berbagai
pihak. Hingga pada akhirnya pada hari Kamis 23 Pebruari 1967 disaksikan oleh Ketua
Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden Soekarno secara resmi menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Jenderal Soeharto. Selanjutnya, dengan Ketetapan No.
XLIV/MPRS/1968 tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai
pengemban Tap. MPRS No. IX/MPRS/1966 menjadi Presiden Republik Indonesia yang
kedua, hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu.