Anda di halaman 1dari 2

Sengkarut Jabatan dalam Kampanye

Fajlurrahman Jurdi

Diskursus soal kapan dan di mana tubuh biologis berpisah dengan tubuh birokratis adalah
diskusi yang cukup lama dilakukan para ahli. Kapan seorang pejabat bertindak sebagai individu
dan kapan bertindak sebagai pejabat jadi perhatian yang melebar jauh. Intensitas perdebatan
memuncak jelang kekuasaan hendak dialihkan, suksesi tengah bergulir, dan para penguasa
sedang berebut kue kekuasaan. Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya
”kekebalan” sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.
Termasuk, dengan diam-diam menggunakan jabatan yang melekat di dalam dirinya untuk
mendukung siapa yang dikehendaki. Dengan dalih bahwa dia ”pemilik jabatan”.

Dalam hukum administrasi, antara ”individu” dan ”jabatan” adalah hal yang terpisah. Individu
adalah setiap orang, bisa siapa saja. Ia terhitung sebagai privat, sebagai pribadi. Sementara
jabatan bersifat limitatif. Hanya orang-orang tertentu yang memenuhi syarat dan ketentuan
hukum yang bisa menduduki suatu jabatan. Jabatan adalah milik publik. Oleh karena itu,
individu atau setiap orang yang menduduki jabatan adalah mereka yang memegang amanah
publik.

Orang sebagai pribadi tidak memiliki kewenangan publik. Misalnya, si A tidak boleh
menerbitkan surat larangan berkumpul di tempat umum sebab dia tidak memiliki wewenang
untuk menyuruh atau melarang orang. Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya
”kekebalan” sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.
Namun, seorang anggota polisi dapat membubarkan orang yang berkumpul dengan alasan dan
syarat tertentu. Kewenangan membubarkan itu merupakan kewenangan jabatan, bukan
kewenangan pribadi. Atau, seorang kepala dinas pendidikan memerintahkan kepada kepala
sekolah untuk membunuh si X, maka perintah itu bukan perintah jabatan. Sebab, di dalam
kewenangan kepala dinas tak ada frasa yang berbunyi dapat memerintahkan atau membunuh
seseorang. Perintah itu jelas perintah individu, bukan perintah jabatan.

Jabatan dalam kampanye


Saat ini sedang viral pernyataan Presiden yang membolehkan presiden, menteri, dan pejabat
lain untuk berkampanye. Presiden menyebutkan, mereka memiliki hak politik. Tentu ini
pernyataan yang cukup mengejutkan sebab bisa membahayakan birokrasi dan demokrasi jika
tak ditelaah mendalam. Kalimat ”presiden berhak berkampanye” menjadi pemicunya. Sebab, di
dalam Pasal 299 (1) UU Pemilu disebutkan, ”Presiden dan wakil presiden mempunyai hak
melaksanakan kampanye”. Ada ketentuan yang multitafsir dalam pasal ini. Ketentuan pasal ini
diatur di bagian kedelapan yang berkaitan dengan kampanye pemilu oleh presiden, wakil
presiden, dan pejabat negara lain. Ada tujuh pasal, yakni Pasal 299 sampai Pasal 235. Secara
umum, ketentuan ini mengatur tentang keterlibatan pejabat dalam kampanye.

Ada ahli yang tidak memperbolehkan sama sekali presiden berkampanye, seperti Bivitri
Susanti, sebab dia melihat pasal ini hanya berlaku bagi presiden dan wakil yang maju kembali
sebagai calon. Namun, KPU memperbolehkan presiden berkampanye, dengan catatan dia
harus mengambil cuti. Cuti dilakukan untuk memisahkan jabatan presiden dengan individu.
Ketentuan ini harus dihubungkan dengan Pasal 281 Ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan,
”Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan: a.
tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat
negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menjalani cuti
di luar tanggungan negara”.

Pasal 299 menggunakan kata ”melaksanakan”, sedangkan Pasal 281 menggunakan frasa
”yang mengikutsertakan”. Kata ”melaksanakan” bersifat aktif. Sementara ”yang
mengikutsertakan” bersifat pasif sehingga terkesan agak sumir, apakah Presiden boleh
berkampanye atau tidak jika dia tidak maju kembali dalam pilpres. Frase yang juga penting
adalah ”menjalani cuti di luar tanggungan negara”. Frasa ini bermakna, jabatan dan
kewenangan jabatan yang melekat padanya di-off-kan sementara, selama rentang waktu cuti.
Jika jabatannya off, penggunaan fasilitas, tunjangan jabatan, dan sebagainya berhenti. Pejabat
bersangkutan hidup sebagai warga negara biasa, bukan sebagai pejabat.
Dalam kasus ini, terlepas dari perdebatan apakah presiden bisa berkampanye atau tidak, yang
paling penting dalam hukum administrasi adalah ”presiden sebagai jabatan” tidak boleh
melakukan kampanye. Sebab itu, ada cuti. Cuti itulah cara administratif untuk memisahkan
orang dengan jabatannya. Kalimat ”presiden dapat juga berkampanye” perlu ditelaah sebab
ucapan ini bermasalah secara hukum. Pertanyaannya, (a) apakah Presiden saat mengucapkan
itu memahami posisinya; (b) apakah dia mengucapkan itu maksudnya adalah sebagai presiden
atau sebagai Joko Widodo (Jokowi).

Jika yang dia maksud ”presiden juga bisa berkampanye” adalah presiden dalam konteks
jabatan, tentu ini ucapan yang keliru. Namun, jika yang dimaksud ”Jokowi juga bisa
berkampanye”, pilihan diksinya tak tepat. Karena secara verbal, dia mengucapkan kata
”presiden”. Oleh karena itu, perlu ada klarifikasi langsung dari Presiden bahwa yang dia maksud
”Jokowi”, bukan ”Presiden”. Pertanyaannya, apakah berlaku juga untuk jabatan lain? Dia boleh
berkampanye dengan dua syarat di atas. Pasal 280 Ayat (2) UU Pemilu lebih memerinci lagi
jenis jabatan yang dilarang diikutsertakan dalam kampanye. Ada sepuluh jenis jabatan yang
dilarang dalam ketentuan ini, seperti ”hakim, anggota BPK, gubernur dan deputi gubernur BI,
direksi, komisaris dan pengawas BUMN/BUMD, pimpinan lembaga negara nonstruktural, ASN,
kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD”. Jelas jabatan presiden, wakil presiden,
menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah
jabatan politik.

Jabatan-jabatan itu tak hanya dilarang berkampanye, tetapi pelaksana dan tim kampanye juga
dilarang mengikutsertakan mereka. Jika ikut serta di dalamnya, mereka dikenai tindak pidana
pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa pemilu ini harus diselenggarakan tanpa melibatkan pejabat
sebab kewenangan jabatan yang melekat di dalam dirinya dapat disalahgunakan sehingga
memengaruhi netralitas dan obyektivitas hasil pemilu.

Fajlurrahman Jurdi,Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Anda mungkin juga menyukai