Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 3

HUKUM TATA NEGARA


HKUM4201

OLEH :
NAMA : NIKO PRATAMA
NIM : 048744594

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono menyebut masyarakat harus memastikan, pemegang kekuasaan tidak
melampaui batas. Alasannya, pemerintah ditakutkan akan melakukan abuse of
power atau penyalahgunaan wewenang.

Namun, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menepis penilaian soal pemerintah
melampaui batas kekuasaan. Dia mengatakan, penilaian itu sangat berlebihan.
Menurut Presiden, pemerintah sudah tidak punya ruang untuk menyalahgunakan
atau melampaui batas kekuasaan. Saat ini semua orang bisa mengawasi dan
mengkritik kinerja pemerintah.

1. Berdasarkan kasus di atas, bagaimana cara untuk memastikan bahwa


presiden tidak melampaui batas kekuasaannya

2. Berikan analisis anda apakah presiden juga memiliki kekuasaan


dalam yudisial

JAWABAN:
1. Berdasarkan kasus di atas, bagaimana cara untuk memastikan bahwa
presiden tidak melampaui batas kekuasaannya.
Cara untuk memastikan bahwa presiden tidak melampaui batas kekuasaannya
adalah dengan cara menerapkan Teori Pemisahan Kekuasaan. Pemisahaan
kekuasaan harus dilaksanakan karena sebagaimana yang dikemukakan oleh
Montesquieu, bahwa bila kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh satu
orang atau oleh sebuah badan maka tidak akan ada kebebasan karena warga
negara akan khawatir jika raja atau senat yang membuat UU bersifat tirani maka
UU akan dilaksanakan secara tiran. Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan
yudisial tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif maka
kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan
sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum, dan jika hakim
disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim bisa menjadi penindas.
Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan (separation of powers)
yang dikemukakan oleh Montesquieu dikembangkan lebih lanjut sebagaimana
terlihat dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang dikenal dengan checks and
balances. James Madison menuliskan tentang hal tersebut dalam The Federalist
Nomor 48, bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial
tidak diperbolehkan hanya dilaksanakan secara penuh oleh masing-masing
lembaga tersebut'. Harus ada hubungan dari masing-masing kekuasaan dalam
menjalankan kekuasaannya. Menurut Madison, walaupun kekuasaan dari
eksekutif, legislatif, dan yudisial tidak boleh diatasi, akan tetapi harus ada kontrol
konstitusional terhadap pelaksanaan kekuasaan tersebut.
Teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikemukakan oleh
Montesquieu merupakan suatu hal yang tidak pernah dilaksanakan, di mana
terdapat fungsi-fungsi yang berbeda dan setiap satu fungsi dilaksanakan oleh satu
lembaga, hal itu berkebalikan dengan doktrin checks and balances, setelah tugas
utama diserahkan pada satu orang atau satu badan maka partisipasi dari pihak lain
atau lembaga lain haruslah ada.
Tujuan awal pemisahan kekuasaan pada dasarnya adalah untuk membatasi
kekuasaan raja atau penguasa. Untuk melaksanakan pembatasan terhadap
kekuasaan terhadap raja atau penguasa tersebut maka pelaksanaannya secara
umum dapat dibagi 2 (dua), yaitu dengan cara fungsi-fungsi kenegaraan yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudisial dipisahkan (separation of powers) atau dengan
cara fungsi eksekutif berasal dari (dipilih dari) fungsi legislatif yang dikenal
dengan istilah fusion of power. C. F. Strong menjelaskan fusi (penggabungan)
tersebut sebagai berikut: "...the committee of Parliament tending to be, with the
advance of the democracy, a committee of House of Commons."11
Pada negara yang menggunakan fusion of powers maka sistem pemerintahan
yang digunakan adalah sistem pemerintahan parlementer atau sistem
pemerintahan semi. Pada negara yang menggunakan separation of powers maka
sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem pemerintahan presidensial
atau sistem pemerintahan semi. Dalam UUD Negara R.I. Tahun 1945 baik pra
maupun pasca perubahan, tidak mengenal fusion of powers, akan tetapi formal
separation of powers.
Jika dilihat dari perspektif HTN maka kekuasaan pertama merupakan
kekuasaan yang diatur dalam UUD, sedangkan kekuasaan lainnya lebih bersifat
politis, sehingga sangat tergantung dengan konstelasi politik sebuah negara.
Kekuatan dan kohesi dari partai-partai Presiden dalam Parlemen menjadi hal yang
penting bagi penguatan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dengan
sistem multipartai. Kohesi tersebut dapat dilakukan melalui koalisi dari partai-
partai pendukung Presiden baik dalam kabinet maupun dalam legislatif, akan
tetapi yang ideal tentunya koalisi baik di eksekutif maupun legislatif. Koalisi
tersebut semakin dimungkinkan berpengaruh dalam sistem presidensial dengan
sistem multipartai dengan dilakukannya pemilihan umum serentak. Dalam
Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 perihal Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 ditetapkan
pemilu serentak (pelaksanaan pemilu dilakukan bersamaan antara pemilihan
anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden) diberlakukan pada
pemilu tahun 2019.46 Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan tentang
pemilu serentak tersebut membangun kohesi dari partai politik-partai politik sejak
awal. Penelitian yang dilakukan Mark P. Jones terhadap negara-negara di Amerika
Latin menunjukkan serentak tidaknya pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif akan berpengaruh pada
hubungan keduanya di mana Presiden akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapat dukungan legislative yang kuat.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak ada pemisahan antara jabatan
kepala negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of
government). Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
dalam sistem pemerintahan presidensial. Presiden dalam sistem pemerintahan
presidensial dipilih melalui pemilihan mum, baik secara langsung maupun tidak
langsung (pemilih memilih badan pemilih atau electoral college, dan badan
pemilih tersebut yang kemudian memilih Presiden) untuk masa jabatan tertentu.
Masa jabatan Presiden bervariasi, di Indonesia ditentukan menjabat selama 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan, di
Amerika Serikat masa jabatan Presiden adalah 4 (empat) tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan, sedangkan di Filipina masa jabatan
adalah 6 (enam) tahun dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan eksekutif dan legislative
adalah terpisah dan mendapat legitimasi oleh rakyat. Anggota parlemen dan
Presiden yang memimpin kabinet mempunyai kedudukan yang sama-sama kuat
karena dipilih secara langsung dalam pemilihan umum. Hal tersebut menyebabkan
Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya kabinet yang terdiri
dari menteri-menteri, tidak dapat dibubarkan oleh parlemen, termasuk pula
Presiden, tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali berdasarkan alasan
pelanggaran hukum yang sudah diatur dalam UUD.

2. Berikan analisis anda apakah presiden juga memiliki kekuasaan


dalam yudisial
Terdapat 2 (dua) pendapat terkait kewenangan Presiden memberikan grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Secara umum, memasukkan kewenangan
pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi ke dalam kekuasaan di bidang
yudisial. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh C.F. Strong, Bagir Manan,54
dan Wirjono Prodjodikoro.
C.F. Strong mengemukakan bahwa lembaga eksekutif memiliki kekuasaan
yudikatif tertentu, terutama berhubungan dengan pemberian grasi dan
penangguhan hukuman mati, serta penegakan disiplin angkatan bersenjata dan
pegawai negeri. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro
bahwa wewenang Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
lazimnya dianggap sebagai penerobosan batas antara wewenang kekuasaan
pemerintahan dengan wewenang kekuasaan kehakiman.
Pendapat kedua memasukkan kewenangan Presiden memberikan kewenangan
pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi sebagai kewenangan prerogative
Presiden, sebagaimana dikemukakan Pylee bahwa: “ Pardoning power is
sometimes characterized as a judicial power of the president. This is wrong
because granting of pardon is prerogrative of the executive and, as such, an
executive power.”
DAFTAR PUSTAKA

BMP HUKUM TATA NEGARA HKUM4201

Anda mungkin juga menyukai