Anda di halaman 1dari 23

SISTEM PEMERINTAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

EKSEKUTIF
Oleh
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Bagian Hukum Tata Negara FH Unud
nengah_suantra@unud.ac.id, ngh.suantra@yahoo.co.id
08179769858, 081237567879.

Konsepsi Sistem Pemerintahan dan Pertanggungjawaban


Kata ‘sistem pemerintahan’ secara etimologi berasal dari kata ‘sistem’ dan
‘pemerintahan’. Kata ‘sistem’ antara lain berarti “perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.”1 Paralel dengan pengertian tersebut, di dalam
Bahasa Inggris, system2, antara lain berarti “orderly combination or arrangement, as of
particulars, parts, or elements into a whole.” Kata ‘pemerintahan’ berarti “proses, perbuatan,
cara memerintah.” Atau “segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.”3 Di dalam Black’s Law Dictionary
diterangkan pengertian government, antara lain sebagai “the framework of political institutions,
departments, and offices, by means of which the executive, judicial, legislative, and
administrative business of the state is carried on.”4 Sementara itu, C.F. Strong memberikan
pengertian pemerintahan secara sempit dan luas. Pemerintahan dalam arti sempit hanya tertuju
pada suatu institusi yaitu eksekutif, sedangkan pemerintahan dalam arti luas tidak hanya
mengenai eksekutif, melainkan mencakup tiga bagian pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudisial.5 C.F. Strong mengatakan bahwa:
Government is, therefore, that organization in which is vested …the right to exercise
sovereign powers. Government, in the broad sense, is something bigger than a special body
of ministers, a sense in which we colloquially use it to day, .…… Government, in the broader
sense, is… It must, in short, have legislative power, executive power and judicial power,
which we may call the three departments of government.6
Berdasarkan pada pengertian kata sistem dan pemerintahan seperti tersebut di atas, maka
pengertian sistem pemerintahan adalah suatu cara memerintah dari kekuasaan-kekuasaan

1
Lukman Ali dkk; 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 950.
2
Henry Campbell Black; 1979, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Co, ST. Paul Min., hlm.
1300.
3
Lukman Ali dkk; 1995, Op. Cit., hlm. 756.
4
Henry Campbell Black; Op. Cit., hlm. 625.
5
Pengertian government dalam arti luas ini berdasarkan pada ajaran Trias Politika dari Montesquieu, sebab
pengertian itu akan berbeda jika dilihat dari segi ajaran Caturpraja dan Pancapraja. Lihat Sri Soemantri; 1976,
Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Bandung: Tarsito, hlm.18.
6
C.F. Strong; 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-bentuk Konstitusi
Dunia, Terjemahan SPA Teamwork, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, hlm. 10.
legislatif, eksekutif, dan yudisial yang secara bersama-sama menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat dan kepentingan negara. Pengertian ini paralel dengan pendapat Sri Soemantri7, yakni
“suatu perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ legislatif, eksekutif dan yudisiil
yang dengan bekerja bersama-sama hendak mencapai suatu maksud atau tujuan”. I Md. Pasek
Diantha mengemukakan bahwa sistem pemerintahan berarti: Suatu kerja sama yang teratur dari
kelompok bagian-bagian kekuasaan negara untuk mencapai suatu tujuan negara. Bagian-bagian
dari kekuasaan negara yang dalam keadaan sehari-hari selalu tampak saling berhubungan dalam
suatu kerja sama adalah kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Hal ini sesuai dengan
teori dichotomy yaitu legislatif sebagai policy making (taak stelling), sedangkan eksekutif
sebagai policy executing (taak verwezenlijking), legislatif membuat aturan perundang-undangan,
eksekutif melaksanakan aturan perundang-undangan.8
Dengan demikian, sistem pemerintahan pada hakikatnya mengenai hubungan tata kerja
antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial, terutama antara
kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Hubungan antara kedua badan kekuasaan
itulah yang akan menimbulkan jenis-jenis sistem pemerintahan, hal itu tergantung pada erat
tidaknya hubungan tersebut. Jika antara kedua badan kekuasaan itu terdapat hubungan yang erat,
maka sistem pemerintahan itu adalah parlementer. Sebaliknya, jika badan kekuasaan legislatif
terpisah dengan kekuasaan eksekutif, sistem pemerintahan yang demikian disebut sistem
presidensil.9
Sistem pemerintahan parlementer yang murni yang diterapkan di Inggris menurut H.D.
Trail menunjukkan ciri-ciri, yaitu:10
……… the political conception of the cabinet is a body necessarily consisting:
1. of members of the legislature,
2. of the same political views, and chosen from the party possessing a majority in the House
of Commons,
3. prosecuting a concerted policy,
4. under a common responsibility to be signified by collective resignation in the even of
parliamentary censure, and
5. acknowledging a common subordination to one chief minister.
Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan parlementer Inggris, anggota kabinet
merupakan anggota-anggota parlemen (legislatif) yang mempunyai pandangan politik yang sama
dan dipilih dari partai mayoritas di Majelis Rendah. Melaksanakan politik berencana dan
pertanggungjawaban bersama yang ditandai dengan pengunduran diri secara bersama-sama

7
Sri Soemantri; 1976, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Bandung: Tarsito., hlm. 20.
8
I Made Pasek Diantha; 1990, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Modern, Bandung: CV
Abardin; Op. Cit., hlm. 20.
9
Bintan R. Saragih; 1992, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI): Suatu Pemikiran
Tentang Peran MPR di Masa Mendatang, Cetakan I, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 6 – 8. Bandingkan dengan
Usep Ranawijaya; 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Cetakan pertama, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 226.
10
Bandingkan C.F. Strong ; Op.Cit., hlm. 336
apabila mendapatkan kecaman dari parlemen serta menyatakan secara bersama di bawah
pimpinan perdana menteri.
Alan R. Ball mengemukakan tiga ciri sistem pemerintahan parlementer pada umumnya,
11
yaitu:
1. There is a nominal head of state whose functions are chiefly formal and ceremonial and
whose political influence is small. This head of state may be a monarch, as in the United
Kingdom, Japan or Australia, or a president, as in West Germany, India or Italy.
2. The political executive, the prime minister, chancellor, ect, together with the cabinet, is
part of the legislature, and can be removed by the legislature if the legislature withdraws
its support.
3. The legislature is elected for varying periode by the electorate, the election date being
chosen by the formal head of state on the advice of prime minister or chancellor.
Kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa di situ telah terjadi difusi kekuasaan. S.L.
Witman, J.J. Wuest menjelaskan mengenai difusi kekuasaan ini bahwa,12 eksekutif dapat
membubarkan legislatif atau sebaliknya, eksekutif harus meletakkan jabatan bersama kabinet
apabila kebijaksanaannya tidak diterima oleh mayoritas anggota legislatif, adanya saling
bertanggung jawab antara eksekutif dan legislatif, serta eksekutif dipilih oleh kepala negara,
sesuai dengan dukungan mayoritas legislatif.
Dengan demikian, ciri esensial dari sistem pemerintahan parlementer yaitu: adanya
pemisahan kekuasaan sebagai kepala negara (Presiden, Raja atau Ratu) dan sebagai kepala
pemerintahan (Perdana Menteri atau Kanselir), difusi kekuasaan legislatif dan eksekutif, dan
pertanggungjawaban yang bersifat kolegial.
Sistem pemerintahan presidensil disebut juga eksekutif nonparlementer atau eksekutif
tetap (fixed executive)13. Eksekutif tidak dibentuk oleh legislatif dan presiden disamping sebagai
kepala negara juga sebagai kepala eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat melalui suatu
pemilihan umum sebagaimana halnya dengan legislatif. Dengan demikian, hubungan antara
keduanya merupakan hubungan fungsional. Masa jabatan eksekutif dan legislatif tidak
tergantung satu dengan yang lainnya, melainkan sesuai dengan yang telah ditentukan di dalam
konstitusi.
Alan R. Ball mengemukakan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil yaitu:14
1. The president is both nominal and political head of state.
2. The president is elected not by the legislature, but directly by the total electorate (the
Electoral College in the United States is a formality, and is likely to disappear in the near
future). The president is not part of the legislature, and he cannot be removed from office
by the legislature except through rare legal impeachments.

11
Alan R. Ball; “Modern Political and Government”, dalam H. Moeslim Taher; 1978, Sistem Pemerintahan
Pancasila, Jakarta: Nusa Bangsa, hlm. 13; Sri Soemantri 1; Op. Cit., hlm. 32.
12
S.L. Witman, J.J. Wuest; 1963, Visual Outline of Comparative Government, Puterson, New Jersey: Litlefield,
Adam and Co., hlm. 7 – 9.
13
C.F. Strong; Op. Cit., hlm. 364.
14
Sri Soemantri ; Op. Cit., hlm. 35 – 36; H. Moeslim Taher; Op. Cit., hlm. 17.
3. The president cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually the
president and the legislature are elected for fixed terms.
Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensil presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan juga sebagai kepala pemerintahan. Presiden tidak
dipilih oleh badan legislatif, melainkan dipilih secara langsung oleh sejumlah pemilih. Di
Amerika Serikat hal itu merupakan formalitas saja dan kemungkinan tidak akan dilaksanakan
lagi dalam waktu dekat, dan hal itu telah dilakukan dengan amandemen ke-12. Perubahan ketiga
UUD 1945 menentukan pemilihan Presiden oleh rakyat secara langsung. Oleh karena itu,
Presiden tidak merupakan bagian dari legislatif sehingga tidak dapat diberhentikan dari
jabatannya, kecuali melalui prosedur impeachment. Sebaliknya, presiden tidak berwenang
membubarkan legislatif dan selanjutnya menyelenggarakan pemilihan umum. Biasanya presiden
dan legislatif dipilih untuk masa jabatan yang pasti. S.L. Witman, J.J. Wuest15 menjelaskan
bahwa Presiden dan kabinetnya tidak saling bertanggung jawab, semua pertanggungjawaban ada
pada kepala eksekutif.
Sistem pemerintahan parlementer dan presidensil memiliki perbedaan. Perbedaan itu
dengan jelas dikemukakan oleh Doughlas V. Verney dalam Arend Lijphart dengan
mengemukakan kriteria, sebagai berikut:16
1) Dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri atau kanselir
bergantung pada mosi dan kepercayaan badan legislatif; sedangkan dalam pemerintahan
presidensil, kepala pemerintahan disebut presiden yang dipilih untuk masa jabatan yang pasti
yang ditentukan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diberhentikan oleh legislatif.
2) Kepala pemerintahan presidensil dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan
pemilihan, sedangkan perdana menteri dalam parlementer dipilih oleh badan legislatif.
3) Sistem parlementer memiliki eksekutif kolegial, sedangkan sistem pemerintahan presidensil
memilki non-koligial.
4) Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara sedangkan perdana menteri hanya
merupakan kepala pemerintahan. Presiden tidak bisa sekaligus menjadi anggota badan
legislatif, sedangkan perdana menteri dan anggota-anggota kabinetnya biasanya merupakan
anggota legislatif.
Selain kedua sistem pemerintahan itu, ada varian ahan seperti sistem quasi parlemen atau quasi
presidensil17 dan sistem referendum18 atau sistem pengawasan langsung dari rakyat.19
Sistem pemerintahan semi presidensil ini dipraktekan di Perancis, namun hal ini menjadi
konsep demokrasi semi-presidensil yang diterima secara luas, dan perubahan presidensil –

15
.L. Witman, J.J. Wuest; 1963, Visual Outline of Comparative Government, Puterson, New Jersey: Litlefield,
Adam and Co.; hlm. 7.
16
Arend Lijphart; 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Saduran Ibrahim R., dkk, Cet.
Pertama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 5 – 7.
17
Ibid., hlm. 11.
18
I Made Pasek Diantha mengatakan bahwa istilah ini merupakan istilah yang umum digunakan, walaupun
hanya dianut di Swiss. Lihat I Made Pasek Diantha; Op. Cit., hlm. 22.
19
Bintan R. Saragih; 1992, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI): Suatu Pemikiran
Tentang Peran MPR di Masa Mendatang, Cetakan I, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 8.
parlementer sekarang sering dipandang sebagai satu keuntungan khusus dari bentuk
pemerintahan ini, misalnya Dewan Konsolidasi Demokrasi yang telah menyarankan semi-
presidensialisme bagi Argentina. Sistem ini dipraktekan pula di negara Finlandia, Austria,
Irlandia, Islandia, dan Jerman sampai dengan tahun 1933 di bawah Republik Weimar20. Di
Filipina ada tendensi perubahan sistem presidensil ke parlementer berkaitan dengan kemelut
politik yang dihadapi oleh Presiden Gloria Macapagal Arroyo21.
Sistem pemerintahan referendum atau sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung
dari rakyat terhadap legislatif menunjukkan bahwa untuk berlakunya suatu undang-undang harus
disetujui terlebih dahulu oleh rakyat melalui suatu referendum (referendum obligatur) atau suatu
undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku oleh rakyat melalui referendum (referendum
fakultatif), bahkan rakyat dapat mengajukan rancangan undang-undang. Oleh karena itu, kurang
tepat disebut sebagai sistem pemerintahan yang menggambarkan hubungan antara legislatif
dengan eksekutif, sebab referendum hanya merupakan upaya bagi rakyat Swiss untuk
mengontrol badan legislatif.22
Referendum hakikatnya merupakan upaya untuk meminta pendapat dari rakyat dalam
menyelesaikan permasalahan. Misalnya di Swiss, pemerintah meminta pendapat rakyat untuk
menerima atau menolak suatu UU. Indonesia mengenal referendum sebagai cara untuk meminta
pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR
untuk mengubah UUD 1945.23 Oleh karena itu, referendum tidak bermakna sebagai suatu sistem
pemerintahan yang menunjukkan hubungan antara legislatif dengan eksekutif, seperti sistem
pemerintahan pada umumnya.
Sri Soemantri24 mengintrodusir suatu sistem pemerintahan kombinasi atau sistem
pemerintahan campuran. Sistem pemerintahan ini dinyatakan sebagai sistem pemerintahan ketiga
yang merupakan penyederhanaan dari varian-varian yang timbul dari sistem pemerintahan
parlementer dan sistem presidensil. Sistem pemerintahan campuran adalah suatu sistem
pemerintahan dimana di dalamnya dijumpai adanya segi-segi parlementer maupun presidensil.
Dalam sistem campuran kemungkinan yang dominan adalah segi parlementer, tetapi ada segi-
segi presidensilnya; atau sebaliknya.
Penggunaan istilah sistem pemerintahan campuran ini menurut I Made Pasek Diantha25
memiliki keuntungan yaitu dapat menimbulkan kesan bahwa sistem pemerintahan ini
mempunyai hubungan dengan sistem parlementer dan sistem presidensil yang kesemuanya itu
berada dalam kerangka sistem politik demokrasi liberal atau demokrasi modern. Sistem
20
Kotan Y. Stefanus; 2000, “Makna Kekuasaan Pemerintahan Negara Menurut Bab III UUD 1945 dan
Hubungannya dengan Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia”, Disertasi, Bandung: Universitas Padjdjaran
Prgram Pascasarjana , hlm 114.
21
“Arroyo Terima Usul Ramos”, KOMPAS, Selasa, 26 Juli 2005, hlm 1, Klm. 6.
22
I Made Pasek Diantha; Op. Cit., hlm 50.
23
Tap MPR No. IV/MPR/1983 dan UU No. 5 tahun 1985, keduanya tentang Referendum. Tap ini tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig, telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan
(Pasal 6 Tap MPR No. I/MPR/2003.
24
Sri Soemantri 1; Op. Cit., hlm. 37, 38. Bandingkan: Sri Soemantri; 1971, Perbandingan Antar Hukum
Tatanegara (Himpunan Kuliah), Bandung: Alumni, hlm. 100.
25
I Made Pasek Diantha; Op. Cit., hlm 51.
pemerintahan ini sangat khas yang memiliki ciri-ciri yaitu: menteri-menteri dipilih oleh
parlemen, lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan dengan pasti dalam konstitusi, dan
menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik kepada parlemen maupun kepada presiden.
Pertanggungjawaban merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pemerintahan
negara. Sebab Bagir Manan dan Kuntana Magnar26 mengatakan bahwa “Jabatan apa pun yang
memiliki kekuasaan, sebaiknya dilengkapi dengan pertanggungjawaban, supaya dapat diadakan
penilaian terhadap pelaksanaan jabatan yang bersangkutan dalam melakuan kekuasaan yang
dipercayakan kepadanya”. Dengan demikian, Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6
ayat 2 UUD 1945) menerima kekuasaan dari rakyat dan secara inklusif bersedia melaksanakan
tanggung jawab kepada rakyat.
Pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara menurut Joeniarto27 ada dua macam,
yaitu: pertanggungjawaban formal dan pertanggungjawaban non formal atau
pertanggungjawaban moral. Pertanggungjawaban formal terdiri dari: pertanggungjawaban
ketatanegaraan, administrasi dan hukum administrasi, kepidanaan, dan keperdataan. Sedangkan
pertanggungjawaban moral meliputi: pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kepada sesama manusia termasuk kepada diri sendiri, serta kepada nusa, bangsa, dan negara.
Harun Al Rasjid menyebutkan bahwa dalam teori dikenal dua macam pengertian
tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab dalam arti sempit adalah tanggung jawab tanpa sanksi;
dan tanggung jawab dalam arti luas, yakni tanggung jawab dengan sanksi.28 Berhampiran dengan
pendapat ini, Suwoto Mulyo Sudarmo29 membedakan dua jenis pertanggungjawaban berdasarkan
pada sifatnya, yaitu pertanggungjawaban wajib dan pertanggungjawaban yang tidak bersifat
wajib. Pertanggungjawaban wajib merupakan pertanggungjawaban intern presiden kepada MPR
yang dapat mengakibatkan diberikannya sanksi yang bersifat politik. Konsepsi ini sudah tentu
mengalami perubahan dengan diubahnya UUD 1945.
Pertanggungjawaban tidak wajib merupakan pertanggungjawaban ekstern presiden
kepada rakyat secara langsung sebagai manifestasi dari pertanggungjawaban moral presiden
kepada rakyat, yang tidak akan bersanksi hukum. Selain pertanggungjawaban politik dan
pertanggungjawaban moral tersebut, dikemukakan pula pertanggungjawaban di bidang hukum
yang mencakup pertanggungjawaban pelaksanaan hukum dan pertanggungjawaban terhadap
pelanggaran hukum.30

26
Bagir Manan, Kuntana Magnar; 1993, Beberapa Masalah Hukum Tatanegara Indonesia, Edisi pertama,
Cetakan I, Bandung: Alumni, hlm. 28.
27
Joeniarto; 1981, Selayang Pandang Tentang Sumber-sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Cetakan ketiga,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 46 – 51.
28
Harun Al Rasjid; 1968, Hubungan Antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Cetakan kedua,
Jakarta, hlm. 11.
29
Suwoto Mulyo Sudarmo; 1990, “Kekuasaan dan Tanggung jawab Presiden Republik Indonesia: Suatu
Penelitian Segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan”, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, hlm. 151 – 153.
30
Ibid., hlm. 166, 167.
Dengan demikian, pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan mengandung
konsekuensi dapat dikenakannya sanksi yang bersifat politik, moral maupun yang bersifat hukum
terhadap pelaksanaan pemerintahan.

Sistem Pemerintahan dan Pertanggungjawaban Eksekutif Negara Amerika Serikat


Amerika Serikat sebagai negara yang pertama-tama mempunyai konstitusi yang tersusun
dalam satu naskah, yakni Konstitusi 1787 yang mulai berfungsi tahun 1789 dan sejak itu telah
diamandemen 26 kali.31 Di dalam Konstitusi tampak sejak awal telah mengisyaratkan
pemisahan kekuasaan atas tiga pilar kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif oleh President
(Art. 2) kekuasaan legislatif oleh Congress (Art. 1), dan kekuasaan judisiil dilakukan oleh para
hakim federal, yang puncaknya ada pada Supreme Court (Art. 3).
Congress (Kongres) terdiri dari Senate (Senat) yakni perwakilan dari negara-negara
bagian, dan House of Representatives (Dewan Perwakilan) yaitu perwakilan rakyat Negara
Amerika Serikat. Kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif adalah menyetujui semua hukum
federal, mengesahkan semua peradilan federal yang lebih rendah, dan dapat membatalkan veto
presiden. Rancangan undang-undang harus disahkan di dalam House of Representatives, akan
tetapi Senate dapat mengajukan atau menyetujui dengan suatu amandemen. Setiap rancangan
undang-undang yang akan disahkan oleh House of Representatives dan Senate, sebelum menjadi
hukum, harus diajukan kepada Presiden Amerika Serikat. Dalam hal ini, Presiden dapat
menyetujui atau menolak (mem’veto’) rancangan undang-undang itu. Jika Presiden menolak,
rancangan undang-undang itu harus dikembalikan disertai dengan alasan-alasan penolakan. Akan
tetapi, jika House of Representatif dan Senate kembali menyetujui rancangan undang-undang
tersebut, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi hukum (Art. 1, Sec. 7). Jika suatu
rancangan undang-undang sudah menjadi undang-undang, maka sesuai dengan konstitusi,
Presiden harus melaksanakan UU tersebut. Oleh karena itu, eksekutif merupakan “… a person
who carriers out or ‘executes’ decision”.32 Dengan demikian, Presiden mempunyai pengaruh
sangat kuat dalam bidang fungsi legislatif. C.F. Strong33 menunjukkan pengaruh itu pada dua
hal, yaitu:
1) Presiden mengajukan laporan tahunan (annual message) kepada Kongres, baik secara pribadi
atau melalui utusan yang membacakannya, bahkan dapat memanggil Kongres untuk
menyampaikan laporan lebih sering jika dianggap keadaan serius menuntutnya. Kekuasaan
ini bisa sangat berpengaruh dalam pelaksanaan perundang-undangan terutama jika digunakan
oleh seorang orator yang berpidato di depan Kongres.
2) Presiden dapat meminta anggota Kongres untuk mewakili gagasan-gagasannya tentang hal-
hal tertentu dalam rancangan undang-undang, walaupun Presiden dan anggota kabinetnya
tidak dapat ambil bagian dalam urusan Senate ataupun House of Representative.

31
Konstitusi Amerika Serikat ditetapkan tanggal 17 September 1787 dan mulai berlaku tanggal 4 Maret 1789,
Prajudi Atmosudirdjo dkk (Editor); 1986, Konstitusi Amerika Serikat: Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia –
Inggris, Cetakan pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 20.
32
Peter Woll & Sidney E. Zimmerman; 1989, American Government, New York: Random House, hlm. 151.
33
C.F. Strong; Op. Cit., hlm. 371.
Sri Soemantri34 menyebutkan dua jenis veto presiden, yaitu qualified veto, dimana
Presiden dalam waktu 10 hari mengembalikan rancangan undang-undang yang telah
disampaikan oleh Kongres kepada yang telah menyerahkan. Terhadap veto tersebut, Kongres
dapat menolak, tetapi jika Senate dan House of Representatives menyetujui, rancangan undang-
undang itu menjadi undang-undang. Sedangkan pocket veto sifatnya mutlak, dimana Kongres
pada hakikatnya tidak dapat menghapuskan veto tersebut.
Veto Presiden bisa menjadi senjata yang ampuh dalam kekuasaannya. Oleh karena itu,
teori pemisahan kekuasaan tidak secara ketat diterapkan di Amerika Serikat, melainkan
dimodifikasi menjadi sistem checks and balance35.
Kekuasaan eksekutif Amerika Serikat dilakukan oleh President yang dipilih bersama-
sama dengan wakil presiden untuk masa jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali
(Art. 2, Sec.1). Namun, sesuai dengan amandemen ke 22, seseorang tidak dapat menjadi
President lebih dari dua kali masa jabatannya, kecuali apabila telah dilampaui dua kali masa
jabatan. Dengan demikian, masa jabatan presiden pasti.
Sesuai dengan ketentuan Art. 2, Sec.1, angka 2 dan amandemen ke-1236, Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh suatu Dewan Pemilih (Electoral College). Setiap negara bagian akan
memilih sejumlah pemilih yang sama banyak dengan jumlah anggota Senate dan House of
Representatives. Masing-masing anggota Dewan Pemilih akan memilih Presiden dan Wakil
Presiden dalam negara bagiannya masing-masing. Para pemilih yang sudah terdaftar dalam
suatu daftar pemilih memberikan suara berdasarkan kartu suara untuk dua orang. Jumlah suara
untuk masing-masing dan daftarnya harus ditandatangai dan disahkan, kemudian disampaikan
secara tertutup kepada pemerintah pusat Amerika Serikat yang ditujukan kepada Ketua Senate.
Ketua Senate di hadapan Senate dan House of Representatives membuka semua surat
pengesahan dan menghitung surat suara. Kandidat yang mendapatkan jumlah suara terbanyak
yang menjadi Presiden.
Dengan mekanisme seperti itu, menurut C.F. Strong, Presiden dan Wakil Presiden
Amerika Serikat merupakan hasil pemilihan secara langsung dan merupakan satu-satunya di

34
Sri Soemantri ; Op. Cit., hlm. 44;
35
Checks and balance di Amerika Serikat dijelaskan sebagai “Separation of power is implemented by an
elaborate system of checks and balances. To mention only a few: Congress is checked by the requirement that laws
must receive the approval of both houses; by the President’s veto, and by the power of judicial review of the courts.
The President is checked by the fact that he cannot enact laws, that no money maybe spent except in accodance with
appropriations made by laws, that Congress can override his veto, that he can be impeached, that treaties must be
approved and appointments confirmed by the Senate and by the judicial review. That Judicial branch is checked by
the power retained by the people to amend the Constitution, by the power of the President with the advice and
consent of the Senate to appoint judges, by the fact that judges can be impeached, and by the fact that Congress can
determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of both the Supreme Court and inferior courts.”
Lihat John H. Ferguson and Dean E. Mc.Henry; 1956, The American System of Government, 4th.ed., New York –
Toronto – London: McGraw-Hill Book Company, Inc, hlm. 50.
36
Amandemen ke-12 dilakukan pada tahun 1804, menggantikan ketentuan Pasal 2 ayat 1 yang menentukan
bahwa Wakil Presiden adalan calon yang mendapatkan jumlah suara terbesar kedua untuk calon presiden.
Amandemen ke-12 menyebabkan digunakannya 2 (dua) kartu yang berbeda: satu kartu untuk memilih presiden dan
satu kartu lagi untuk memilih wakil presiden. Lihat C.F. Strong ; Op. Cit., hlm.366.
antara negara-negara terkemuka di dunia.37 Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pemilu
Presiden Indonesia, 5 Juli 2004, dimana Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, maka
pemilihan Presiden Amerika Serikat merupakan pemilihan tidak langsung, yakni dilakukan oleh
Dewan Pemilih. Presiden yang dipilih secara demikian sesuai dengan ketentuan konstitusi
memegang kekuasaan eksekutif secara riil, tidak sebagai bagian dari legislatif sehingga tidak ada
pertanggungjawaban Presiden kepada Kongres. Hal itu berarti bahwa Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh Kongres dalam masa jabatannya, kecuali melalui prosedur impeachment.38
Presiden Amerika Serikat melaksanakan fungsi sebagai kepala negara dan sekaligus juga
melaksanakan fungsi sebagai Ketua Kabinet.39 Sebagai Ketua Kabinet, Presiden tidak
memerlukan dukungan dari Kongres. Hal itu berarti bahwa Presiden tidak perlu bertanggung
jawab kerpada Kongres. Inilah yang merupakan kharakter utama sistem pemerintahan Amerika
Serikat.40 Dengan demikian, Bernard Schwart menganggap kedudukan Presiden sebagai “the
most powerful elective position in the world.”41
Pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala eksekutif sangat ditentukan oleh hubungan
antara eksekutif dengan legislatif Amerika Serikat dan prinsip checks and balances yang dianut
konstitusi, sehingga Leroy N. Rieselbach42 mengilustrasikan sistem pertanggungjawaban itu
sebagai “… that the president is really powerfull and could do ‘good’ if only he would”. Namun,
eksekutif bertanggung jawab dalam arti sempit.43 Maksudnya bahwa pertanggungjawaban tanpa
sanksi, sebab President tidak bertanggungjawab kepada Congress dan tidak dapat diberhentikan
oleh Congres, kecuali melalui impeachment. Tetapi, President harus memperhatikan aspirasi dari
Congress.
Pertanggungjawaban eksekutif tampak pula dengan dintrodusirnya lembaga impeachment
di dalam Konstitusi Amerika Serikat (Art. 2, Sec. 4). Impeachment ini merupakan
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang bernuansa politik karena presiden,
wakil presiden, dan pejabat sipil lainnya diadili oleh Senate yang diketuai oleh ketua Supreme
Court, sedangkan pihak penuntut ialah House of Representatives. Dalam kuasi pengadilan
politik (quasi political court ) ini diminta pertanggungjawaban dan dilakukan penilaian atas
tuduhan melakukan tindak pidana. Sungguhpun demikian, belum pernah seorang Presiden
Amerika Serikat dipecat melalui impeachment, walaupun ada dua orang Presiden yang telah

37
C.F. Strong; Op. Cit., hlm. 370. Bandingkan dengan Sri Soemantri; Op. Cit., hlm. 45.
38
Art. 2, Sec. 4: “The President, Vice-President, and all civil officers of the United State, shall be removed
from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors.”
39
Art. 2, Sec. 2 menentukan kekuasaan Presiden yaitu: menjadi Panglima Angkatan Darat dan Angkatan Laut,
meminta pendapat dari pejabat teras masing-masing departemen eksekutif, mengesahkan penangguhan hukuman
dan pengampunan bagi pelanggar hukum, dengan persetujuan Senat membuat persekutuan, mengangkat duta besar,
konsul, hakim Supreme Court dan semua pejabat negara lainnya, sebagai kepala departemen, mengisi semua
kekosongan dari Senat selama reses dengan mengesahkan komisi-komisi.
40
I Made Pasek Diantha; Op. Cit., hlm. 37.
41
Bernard Schwartz; 1955, American Constitutional Law, Cambrige Univercity Press, hlm 9.
42
Leroy N. Rieselbach; 1975, People Vs. Government, The Responsiveness of American Institutions,
Bloomington & London: Indiana Univercity Press, hlm. 16.
43
I Made Pasek Diantha; Op. Cit. hlm. 48; .
menjalani proses tersebut44. Presiden Richard Milhous Nixon mengundurkan diri tahun 1974
setelah House of Judiciary Committee menyetujui mengajukan impeachment kepada Senate.

Sistem Pemerintahan dan Pertanggungjawaban Eksekutif Negara Republik Perancis


Sistem pemerintahan dan pertanggungjawaban eksekutif negara Republik Perancis ini
didasarkan pada Konstitusi 195845 yang menggantikan Konstitusi 1950. Konstitusi 1958
meletakkan “parliamentary sovereignty” sebagai prinsip dasar dari Republik Perancis 1958,46
dan landasan demokrasi yang sangat kuat bagi negara hukum di Perancis.
Prinsip-prinsip dasar pemerintahan Perancis berdasarkan Konstitusi 1958 yaitu: Perancis
merupakan sebuah negara yang tidak dibagi-bagi, sekuler, demokrasi, dan republik sosial (Art.
2); kedaulatan rakyat dinyatakan melalui pemilihan demokratis dan badan perwakilan (Art. 3),
sistem multi partai dan adanya oposisi atau suatu pemerintahan koalisi (Art. 4), serta perhatian
dan pengakuan terhadap martabat dan kebebasan individu sebagai landasan utama “Declarations
of The Rights of Man and Citizen, 1789”47 ; pembagian kekuasan legislatif dan eksekutif, dan
pembagian kekuasaan antara Presiden dengan Perdana Menteri yang bertanggung jawab semata-
mata kepada Parlemen (Art. 5, 8); organisasi kehakiman yang tetap dengan sistem pemisahan
dari peradilan administrasi, dan sebuah Dewan Konstitusi yang melindungi kepentingan nasional
dan hak-hak rakyat (Title VIII); serta sentralisasi kekuasaan pemerintah, tetapi unit-unit wilayah
bebas untuk memimpin wilayahnya sendiri melalui Dewan Pemilihan dan kondisi-kondisi lain
dari otonomi daerah (Title XI).
Konstitusi 1958 menentukan bahwa kekuasaan eksekutif terbagi antara Presiden
Republik dan sebuah Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Dewan Menteri
membantu dan mengontrol Presiden, serta bersifat sebagai suatu kesatuan, yang muncul dari
Perdana Menteri. Perdana Menteri sebagai kepala eksekutif sedangkan Presiden sebagai Kepala
Negara.
Sebagai kepala negara, Presiden mempunyai kekuasaan yang berkaitan dengan
kedudukan sebagai integritas bangsa. Presiden berstatus sebagai wasit (Arbitral), seperti
ditentukan Pasal 548. Fungsi perwasitan ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan negara.

44
Dua orang Presiden Amerika Serikat yang pernah menjalani proses impeachment yaitu: Presiden Andrew
Johnson dan Presiden Bill Clinton. Presiden Andrew Johnson pada tahun 1868 diadili oleh Senate atas tuduhan
melanggar The Tenure of Office Act (Undang-undang Masa Jabatan), tetapi Ia terbebas hanya karena selisih satu
suara. Presiden Bill Clinton diadili oleh Senate atas tuduhan membuat keterangan palsu setelah disumpah untuk
mengatakan kebenaran (perfury) dan menghalangi peradilan (obstruction of justice) dalam pemeriksaan kasus
perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky, namun karena tidak terpenuhinya dukungan 2/3 anggota Senat (67 dari
100), Senat membebaskan Clinton.. Lihat: Catatan kaki 41 pada Bagir Manan; Op. Cit., hlm 37; Suhindriyo; 2003,
Biografi Singkat Presiden-presiden Amerika Serikat, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara, hlm. 63, 173. “Siapa Dusta”, http://www.tempointeraktif. Com, diakses tanggal 25 September 2004.
45
Konstitusi Perancis, http://www.elysee.fr/ang/instit/txt.5814.htm diakses Pebruari 2003.
46
John A Rohr; 1995, Founding Republics in France and America, A Study in Constitutional Governance,
University Press of Kansas, hlm. 10.
47
S.L. Witman & J.J. Wuest; Op. Cit., hlm. 47.
48
Pasal 5: “The President of the Republic shall see that the Constitution is respected. He shall ensure, by his
arbitration, the regular functioning of the governmental authorities, as well as the continuance of the state. He
Dalam kaitan ini, Presiden sebagai pendamai, misalnya dalam hal timbul perbedaan pandangan
mengenai pengangkatan Perdana Menteri dan pembubaran Parlemen. Fungsi perwasitan dapat
dilakukan dengan cara: berdasarkan atas moral kekuasaannya, Presiden akan menilai bahwa
lembaga-lembaga negara segera difungsikan; Presiden mengambil tindakan-tindakan tertentu
atas inisiatifnya sendiri tanpa mendapatkan tandatangan serta Perdana Menteri atau Menteri yang
lain; dalam keadaan krisis yang sangat genting, Presiden dapat melakukan kekuasaan darurat
(Pasal 16).
Konstitusi 1958 juga menentukan kekuasaan Presiden Republik untuk mengangkat
Perdana Menteri dan membentuk Dewan Menteri (Council of Ministers) (Pasal 8 dan 9).
Konstitusi tidak mengharuskan Perdana Menteri untuk mendapatkan wewenang dari Dewan
Menteri sebelum menjadi kepala pemerintahan, seperti mengumpulkan para menteri. Namun
dengan pengangkatan oleh Presiden, Perdana Menteri dapat mulai melaksanakan fungsi-
fungsinya dengan kekuasaan penuh.
Kekuasaan Presiden untuk membubarkan Majelis Nasional, seperti ditentukan di dalam
Pasal 12, tidak memerlukan persetujuan tertentu atau sebaliknya tidak dapat di-veto oleh
siapapun, namun dilakukan setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri dan Ketua Majelis
Nasional. Setelah Majelis Nasional dibubarkan, pemilihan umum harus dilakukan dalam waktu
tidak kurang dari 20 hari atau paling lama 40 hari. Walaupun presiden tidak mempunyai
kekuasaan veto atas perundang-undangan, akan tetapi dapat meminta parlemen untuk
mempertimbangkan kembali suatu rancangan undang-undang.
Kekuasaan konstitusional Presiden mirip dengan kekuasaan Presiden Amerika Serikat.
John A. Rohr mengidentifikasi hal itu, yaitu: Presiden dipilih dengan persyaratan yang ketat dan
prosedur pelaksanaan diatur dengan undang-undang (Pasal 6); Presiden mempunyai kewenangan
untuk mengangkat pejabat-pejabat tinggi negara seperti: Perdana Menteri (Pasal 8), pejabat-
pejabat sipil dan militer negara (Pasal 13), tiga anggota Dewan Konstitusi (Pasal 56), dan The
High Council of The Judiciary (Pasal 65); mengumumkan Undang-Undang (Pasal 10), menerima
duta besar negara sahabat (Pasal 14), mengampuni atau grasi (Pasal 17), menyampaikan pesan
kepada parlemen (Pasal 18), membuat perjanjian dengan negara lain (Pasal 52). Di samping itu,
Presiden sebagai panglima angkatan perang (Pasal 15), penjamin kebebasan peradilan (Pasal 64),
dan mengetuai Mahkamah Agung (Pasal 65). Namun, Presiden dapat diajukan ke muka
pengadilan jika menurut Majelis Nasional dan Senat, Presiden terbukti melakukan pengkhianatan
besar terhadap negara (Pasal 68).
Oleh karena itu, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar sehingga merupakan
pusat kekuasaan, seperti: Presiden dimungkinkan menjadi diktator sementara dalam keadaan luar
biasa (Pasal 16); dapat membuat berbagai keputusan tanpa harus ditandatangani oleh Perdana
Menteri dan tanpa persetujuan pemerintah atau mayoritas parlemen terhadap hal-hal tertentu;
dapat menolak menandatangani berbagai ordonansi atau dekrit yang dibahas di Dewan Menteri 49.

shall be the guarantor of national independence, of the integrity of the territory, and of respect for Community
agreements and treaties.”
49
Henry W. Ehrmann; 1983, Politics in France, Fourth Edition, Litle, Boston Toronto: Brown and Company,
hlm. 262.
Kekuasaan Presiden yang besar tersebut memperkuat kedudukan eksekutif, seperti
diilustrasikan oleh Herman Finer, bahwa “By these powers the executive branch immensely
strengthened; the Assembly has been put in subordinate place, in which it has reason truly to
fear intimidation by a determined President of Republic.”50 Dengan formulasi lain, Agus
Wahyudi mengatakan bahwa “mayoritas kekuasaan di Perancis berada di tangan presiden dan
pemerintah. Majelis mempunyai kekuasaan terbatas hanya pada pembuatan undang-undang
mengenai topik yang secara khusus dinyatakan konstitusi, dan Senat memiliki kekuasaan yang
jauh lebih terbatas daripada Majelis.”51
Perdana Menteri dan para menteri ditunjuk oleh Presiden. Pemerintah yang dibentuk
secara demikian diberikan kekuasaan untuk menentukan dan mengarahkan kebijaksanaan negara.
Perdana Menteri secara eksplisit ditentukan untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan,
pertahanan nasional, pelaksanaan undang-undang, kekuasaan mengatur, dan pengangkatan
pejabat-pejabat sipil dan militer (Pasal 21). Perdana Menteri dapat memimpin kabinet apabila
Presiden menghendaki, dan keputusan-keputusan Perdana Menteri memerlukan contra sign dari
para menteri lainnya jika keadaan menuntut (Pasal 22).
Pertanggungjawaban eksekutif ditentuan pada Pasal 20, Pasal 49 dan Pasal 50. Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah menentukan dan melaksanakan kebijakan
Dewan Menteri dan bertanggung jawab kepada Parlemen. Perdana Menteri bersama Dewan
Menteri bertanggung jawab kepada Majelis Nasional mengenai program dan kebijaksanaan
umum pemerintah. Jika Majelis Nasional mengajukan mosi tidak percaya kepada Perdana
Menteri mengenai program dan kebijaksanaan umum pemerintah, maka Perdana Menteri harus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden. Mosi harus ditandatangani oleh paling sedikit 1/10
anggota Majelis Nasional dan pemberian suara tidak dapat dilakukan melampaui waktu 48 jam
sejak mosi diajukan. Suara yang akan dihitung adalah suara mereka yang mendukung mosi
berdasarkan suara terbanyak mutlak dari anggota. Jika mosi ditolak, maka tidak dapat diajukan
lagi dalam masa sidang yang sama. Perdana Menteri setelah mempertimbangkan dengan Dewan
Menteri dapat mengajukan usul pertanggungjawaban kepada Majelis Nasional atas suatu
undang-undang. Undang-undang ini akan diterima kecuali, jika mosi diajukan berturut-turut
dalam waktu 24 jam, sesuai dengan persyaratan hak suara sebelumnya.
Apabila Majelis Nasional menolak pemerintah karena tidak percaya lagi kepada
pemerintah, maka Perdana Menteri harus mundur dan Presiden harus menerima pengunduran
tersebut. Dengan demikian, Majelis Nasional dan partai-partai masih menjadi penguasa
kebijakan dengan menggunakan kewenangan untuk menolak Perdana Menteri yang tidak
memenuhi aspirasi mereka.
Dengan demikian, sistem pemerintahan Perancis memiliki ciri-ciri parlementer dan
presidensil. Ciri-ciri parlementernya yaitu: eksekutif (Perdana Menteri dan Kabinet)
bertanggung jawab kepada Parlemen (Pasal 49, 50), sedangkan Kepala Negara hanya memiliki

50
Herman Finer; 1962, The Major Government of Modern Europe, Harper & Row, Publisher, New York,
Evanston and London, hlm. 329.
51
Agus Wahyudi, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek”, dalam JENTERA, Edisi 8-Tahun
III, Maret 2005.
kekuasaan nominal (Pasal 5), dan badan legislatif (Parlemen) terdiri dari dua kamar yakni
Majelis Nasional dan Senat. Majelis Nasional dipilih secara langsung dalan suatu pemilihan
umum, sedangkan Senat merupakan wakil-wakil daerah yang tidak dipilih secara langsung.
Sementara itu, ciri-ciri sistem presidensil, yaitu: Presiden tidak dipilih oleh Parlemen, akan tetapi
dipilih oleh Dewan Pemilih (Pasal 6, 7), Presiden bukan bagian dari legislatif (Pasal 34, 37), dan
karena itu, Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, kecuali melalui dakwaan (Pasal 68).

Sistem Pemerintahan dan Pertanggungjawaban Eksekutif Negara Filipina


Konstitusi Filipina yang berlaku hingga kini adalah Konstitusi tahun 198752, yang
menggantikan Konstitusi 1973. Konstitusi 1973 oleh kalangan luas dianggap sebagai konstitusi
yang diciptakan khusus untuk kepentingan Presiden Marcos dengan melegitimasi sistem
otoriter53, bahkan melalui amandemen Nomor 6 ditetapkan hak presiden untuk memerintah
dengan dekrit yang memperkuat posisi pemerintah karena dapat dengan sendirinya mengubah
aturan permainan.
Konstitusi 1987 menentukan sistem pemerintahan presidensiil bagi Filipina. Hal
demikian dikemukakan pula oleh Myrna S. Feliciano bahwa “The government of the Philippines
is republican in form and under the presidential system as distinguished form the parliamentary
system. … .54 Di dalam Konstitusi 1987 ditentukan adanya prinsip pemisahan kekuasaan, dalam
arti pembagian fungsi-fungsi pemerintahan atas tiga bagian, yaitu: bagian legislatif (Legislative
Department – Art. VI ), bagian eksekutif (Executive Department – Art. VII ), dan bagian
peradilan (Judicial Department – VIII ). Di samping itu, terdapat pula institusi-institusi seperti:
Constitutional Commission (Art. IX ), dan Local Government (Art. X ). Dalam pembagian
fungsi-fungsi tersebut terdapat supremasi masing-masing bagian, koordinasi dan keseimbangan
antara satu dengan yang lain.
Kekuasaan legislatif berada pada Kongres yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan
( Art.VI, Sec.1). Semua rancangan undang-undang berasal dari Dewan Perwakilan, sedangkan
Senat dapat mengusulkan atau menyetujui dengan perubahan (Art. VI, Sec. 24). Akan tetapi,
setiap rancangan undang-undang yang disahkan oleh Kongres hanya akan mencakup satu pokok
persoalan yang dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi (Art. VI, Sec. 26) dan setiap
rancangan undang-undang yang akan disahkan oleh Kongres, sebelum menjadi hukum,
disampaikan kepada Presiden. Jika Presiden menyetujui, maka rancangan undang-undang itu
harus ditandatangani. Sebaliknya, jika Presiden menolak, maka rancangan undang-undang itu
harus dikembalikan disertai dengan penjelasan-penjelasan penolakan kepada badan yang
mengusulkan. Kemudian, jika rancangan undang-undang ini mendapatkan persetujuan 2/3 dari

52
The 1987 Constitution of the Republic of the Philippines < http://www.1db.org/philcon/
declara.htm., diakses 4 Januari 2005.
53
Henry W. Ehrmann; 1983, Politics in France, Fourth Edition, Litle, Boston Toronto: Brown and Company,
hlm. 262.
54
Myrna S. Feliciano, “The Philipine Constitution: Its Development, Structures, and Processes”, dalam
Carmelo V. Sison and Roshan T. Jose, Editor; Constitutional and Legal System of ASEAN countries, Academy of
ASEAN Law and Jurisprudence, University of Philippines Law Complex, hlm. 197.
masing-masing kamar Kongres, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-
undang.
Sesuai dengan ketentuan Art.VI, Sec. 27 (1), pemungutan suara di masing-masing kamar
Kongres terhadap rancangan undang-undang yang ditolak itu dilakukan dengan keputusan setuju
atau tidak menyetujui, dan nama-nama dari para anggota pemberi suara akan dimuat di dalam
Jurnal Kongres. Presiden menyampaikan vetonya terhadap rancangan undang-undang kepada
Kamar Kongres yang mengusulkan dalam 30 hari setelah tanggal diterimanya rancangan
undang-undang tersebut, jika tidak, rancangan undang-undang itu menjadi hukum seperti
ditandatangani oleh Presiden. Dengan demikian, Konstitusi 1987 menganut prinsip checks and
balances.
Kekuasaan eksekutif ada pada Presiden. Selain Presiden, ada pula Wakil Presiden dan
Kabinet. Wakil Presiden dapat diangkat sebagai anggota Kabinet (Art.VII, Sec.1,3). Akan tetapi,
Presiden akan mengontrol semua bagian-bagian eksekutif, biro-biro dan instansi-instansi
pemerintah dan ia akan menjamin bahwa hukum akan dilaksanakan secara tepat. Presiden dan
Wakil Presiden dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat untuk masa jabatan selama enam
tahun (Art.VII, Sec. 4). Oleh karena itu, eksekutif tidak merupakan bagian dari legislatif
(Kongres), sehingga dalam hal ini eksekutif tidak perlu bertanggung jawab kepada Kongres.
Walaupun demikian, tidak berarti posisi Presiden lebih kuat daripada Kongres, seperti sebelum
Konstitusi 1987. Sebab pada masa itu, kekuasaan eksekutif sangat luas, seperti dinyatakan oleh
David Wurfel55 bahwa “The most powerful institution created is the presidency.” Kekuasaan
yang sangat luas itu cenderung disalahgunakan. Sebab, Lord Acton sudah lama mengingatkan
bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely.”56
Kekuasaan Presiden berdasarkan Konstitusi 1987 meliputi: memberikan persetujuan atau
menolak rancangan undang-undang yang akan disahkan menjadi undang-undang oleh Kongres
(Art.VI, Sec.27 (1)); melakukan supervisi umum terhadap pemerintah daerah (Art.VII, Sec. 4);
mencalonkan dan mengangkat kepala-kepala dari departemen eksekutif, duta besar, menteri,
konsul, pejabat-pejabat dari Angkatan Bersenjata, serta pejabat-pejabat lain (Art. VII, Sec.16)
mengontrol seluruh bagian-bagian eksekutif, biro-biro dan instansi-instansi pemerintah
(Art.VII,Sec.17); menjamin bahwa hukum dilaksanakan secara tepat (Art. VII, Sec. 17);
menangguhkan hukuman mati, memberikan keringanan dan pengampunan serta membatalkan
denda sesudah dijatuhkan hukuman oleh pengadilan terakhir, kecuali dalam kasus impeachment,
dan memberikan amnesti dengan kesepakatan mayoritas dari seluruh anggota Kongres (Art. VII,
Sec.19).
Pertanggungjawaban eksekutif ditentukan pada Pasal XI dengan judul “Accountability of
Public Officers”, bahwa jabatan publik merupakan suatu kepercayaan publik. Oleh karena itu,
para pegawai dan pejabat publik bertangung jawab kepada rakyat, melayani mereka dengan

55
George McTurman Kahim, Ed.; 1962, Governments and Politics of Southeast Asia, Ithaca, New York,
Cornell University Press, hlm. 464.
56
Miriam Budiardjo; 1986, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. X, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 52.
penuh tanggung jawab, integritas, loyalitas, efisien; bertindak patriotis dan adil dan menunjukkan
hidup sederhana.
Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya melalui impeachment yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan atau oleh beberapa warga negara dengan dukungan dari Dewan Perwakilan
(Pasal XI ayat 3, poin 2). Alasan mengajukan impeachment karena adanya dugaan Presiden
melanggar konstitusi, pengkhianatan, penyuapan, menyogok dan korupsi, atau pengkhianatan
terhadap kepercayaan publik (Pasal XI ayat 2).
Dewan Perwakilan membentuk suatu Komisi yang diberikan wewenang untuk
memproses impeachment tersebut dengan kewajiban melaporkan kepada Dewan Perwakilan,
yang akan diputuskan dalam sidang Dewan Perwakilan. Impeachment dapat diajukan jika
memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 1/3 anggota Dewan Perwakilan (Pasal XI ayat 3, poin
2, 3, dan 4).
Impeachment diajukan kepada Senat untuk diadili. Jika Presiden yang di-impeach, maka
sidang Senat dipimpin oleh Ketua Supreme Court, tetapi tidak mempunyai hak suara. Sidang
Senat hanya dapat menjatuhkan hukuman atas perkara impeachment jika disetujui oleh 2/3
anggota Senat (Pasal XI ayat 3,poin 6).
Dalam sejarah ketatanegaraan Filipina, seorang presiden telah diberhentikan dari
jabatannya melalui mpeachment, ialah Joseph Ejercito Estrada, Januari 2001. Estrada dikenai
empat tuduhan yaitu penyuapan, korupsi, mengkhianati kepercayaan publik, dan melanggar
konstitusi. Kasusnya pertama kali terungkap oleh mantan sahabatnya, Luis “Chavit” Singson,
yang mengatakan bahwa selama Ekstrada menjabat telah menerima uang suap dari bos-bos judi
“Juiteng” sebesar 400 juta peso (8,5 juta US$). Setelah diinvestigasi, Singson bersedia dijadikan
saksi dan memberikan bukti buku kas yang berisi catatan-catatan lengkap tentang keterlibatan
Ekstrada yang dalam buku kas itu menggunakan inisial “AS” atau menggunakan nama teman
dekatnya, Asyong Salonga. Skandal Ekstrada itu bahkan melibatkan penasihat legislatif, dua
senator, dan anaknya, sehingga kekuasaannya pun melemah dan terjadilah “people power”.
Akhirnya, Estrada diadili dan diberhentikan oleh Senat dan digantikan oleh Gloria Macapagal-
Arroyo.57
Presiden Gloria Macapagal Arroyo menghadapi impeachmen kedua yang diajukan oleh
pihak oposisi, 25 Juli 2005. Impeachment pertama diajukan oleh anggota oposisi secara
perorangan, 27 Juni 2005, tetapi tidak mendapatkan dukungan dari Dewan Perwakilan. Pada
impeachment kedua pihak oposisi mengajukan 10 tuduhan, di antaranya: mencurangi pemilu
2004; terlibat penghilangan sejumlah aset negara; melanggar HAM; mengkhianati publik; suami,
anak, dan saudara iparnya menerima uang suap dari sindikat judi ilegal; dan keluarga Arroyo
menolak semua pemeriksaan berkaitan dengan suap.58
Namun demikian, impeachment itu belum mendapatkan dukungan sepertiga anggota
Dewan Perwakilan. Sesuai dengan Pasal XI ayat 3, poin 3, impeachment baru dapat diajukan ke
Senat setelah mendapatkan dukungan sepertiga anggota Dewan. Menurut anggota Kongres dari

57
“People Power Menggoyang Malacanang” , KOMPAS, Jumat, 8 Juli 2005, hlm. 10.
58
“Oposisi Ajukan ‘Iimpeachment’ ”, KOMPAS, Selasa, 26 Juli 2005, hlm. 3, 4.
oposisi, Ronaldo Zamora59, oposisi baru mendapatkan dukungan 39 anggota Dewan Perwakilan.
Sesuai dengan Pasal VI ayat 5, poin 1 Dewan Perwakilan beranggotakan tidak lebih dari 250
orang sehingga impeachment hanya dapat diajukan setelah didukung oleh 83 anggota Dewan
Perwakilan.

Sistem Pemerintahan dan Pertanggugjawaban Eksekutif Negara Republik Indonesia


UUD 1945 sebagai wadah pengaturan struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan
negara Republik Indonesia mulai berlaku sejak 18 Agustus 1945, 60 dan sudah empat kali diubah
sejak tahun 1999.61 Sebelum perubahan, UUD 1945 menentukan lembaga-lembaga negara, dan
dengan putusan MPR, diklasifikasikan menjadi Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-
lembaga Tinggi Negara.62 MPR merupakan lembaga tertinggi negara, sedangkan DPR, Presiden,
DPA, BPK, dan MA dikatagorikan sebagai lembaga tinggi negara.
MPR merupakan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat {Pasal 1 Ayat (2)}, yang
terdiri dari anggota-anggota DPR, utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
{Pasal 2 Ayat (1)}. Hal itu berarti bahwa MPR merupakan satu-satunya lembaga negara yang
mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan menempatkannya pada posisi
supremasi (supreme body), namun tetap dalam batas-batas ketentuan dalam UUD.63
Sebagai penjelamaan seluruh rakyat, MPR memiliki kekuasaan untuk menetapkan UUD
dan garis-gais besar haluan negara (Pasal 3), memilih presiden dan wakil presiden {Pasal 6Ayat
(2)}, dan mengubah UUD (Pasal 37). Kekuasaan MPR tersebut mengalami perluasan dan
penyempitan sebagai konsekuensi dari pengklasifikasian secara limitatif menjadi tugas dan

59
Ibid.
60
UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam
Rapat Besar di Gedung Pejambon (d.h. Gedung Tyuuoo Sangi – In Jakarta). Pembukaan UUD 1945 disahkan pada
rapat siang hari (dimulai pukul 11.30), sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 disahkan dalam rapat sore hari (15.15 –
16.12). Lihat: Saafroedin Bahar dkk (Tim Penyunting); 1993, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 24 Mei 1945 –
19 Agustus 1945 , Cetakan keempat, Edisi ke II (Cetak ulang), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm.
299 – 306, 327 – 335.
61
Perubahan Pertama ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua ditetapkan
dan mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 9
Nopember 2001, dan Perubahan Keempat ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Agustus 2002. Lihat: MPR
RI, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Skretariat
Jenderal MPR RI, hlm. 25 – 69; MPR RI, 2000, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia –
Sidang Tahunan MPR RI 7 – 18 Agustus 2000, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hlm. 7 – 13; MPR RI, 2001,
Putusan Sidang Tahunan MPR RI 2001, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hlm. 7 – 14; MPR RI, 2002, Putusan
Sidang Tahunan MPR RI 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
62
Klasifikasi tersebut ditentukan berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No.
III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar
Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Lihat: K. Wantjik Saleh; 1981, Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan-ketetapan
MPRS/MPR 1960, 1963, 1965, 1967, 1968, 1973, 1978, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 297, 361. Kedua Ketetapan
MPR tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002 (Pasal 1).
63
Philipus M. Hadjon; 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut Undang-
Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama, Surabaya: Bina Ilmu, hlm. 2 dan 3.
wewenang MPR di dalam Ketetapan MPR sejak 1973 hingga 2002.64 Dalam kaitan dengan
sistem pemerintahan, di sini tampak bahwa salah satu kekuasaan MPR adalah memilih presiden
dan wakil presiden. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden tidak dipilih secara langsung
oleh rakyat, seperti di Amerika Serikat dan Filipina. Di samping itu, MPR bukan pula suatu
badan pemilih khusus seperti yang dikenal dalam Konstitusi Perancis 1958, sebab MPR
bukanlah badan yang bertugas khusus untuk itu, melainkan memiliki kekuasaan lain seperti
tersebut di atas. Oleh karena itu, pemilihan Presiden Republik Indonesia tidak dengan jelas
mencerminkan karakter parlementer, tetapi pasti bukan presidensil.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut
Undang-Undang Dasar (Pasal 4 Ayat 1), membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR,
dan menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU (Pasal 5). Di bidang legislasi,
tampak dominasi eksekutif terhadap legislatif (DPR). Sebab Presiden yang mempunyai
kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPR hanya mempunyai hak inisiatif dan hak
amandemen. Hal itu diperjelas lagi dengan Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) bahwa: “Kecuali
executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan
legislative power dalam negara.” Dengan demikian jelas tampak karakter parlementer dalam
bidang legislasi. Hal itu ditunjukkan pula oleh Bagir Manan65 bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
tidak sesuai dengan kelaziman dalam teori dan praktek dimana kekuasaan legislatif dijalankan
oleh badan perwakilan dan penjelasan Pasal 5 Ayat (1) tersebut “berbau” sistem parlementer.
Selain menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif, Presiden juga sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10);
menyatakan perang, membuat perdamaian dan mengadakan perjanjian dengan negara lain atas
persetujuan DPR (Pasal 11); menyatakan keadaan bahaya berdasarkan UU (Pasal 12);
mengangkat duta dan konsul dan menerima duta negara lain (Pasal 13); memberi grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14), dan memberikan gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda
kehormatan (Pasal 15). Di sini dengan jelas tampak karakter parlementer.
Dalam menjalankan kekuasaannya Presiden dibantu oleh seorang wakil presiden (Pasal 4
Ayat 2) dan menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17). Oleh
karena itu, menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan kepada Presiden.
Hal ini mencerminkan karakter pemerintahan presidensil.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk masa jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali (Pasal 7). Ketentuan ini tidak memberikan kepastian masa
jabatan Presiden, ada kemungkinan Presiden memegang jabatan kurang dari lima tahun karena
diberhentikan di tengah masa jabatan. Hal ini berkaitan dengan kedudukan MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat, sedangkan Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

64
Semua Ketetapan MPR yang mengatur hal itu dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut,
baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (Pasal 6 Tap MPR No.
I/MPR/2003), kecuali Tap MPR No. V/MPR/2002 tentang Perubahan Keempat atas Tap MPR No.II/MPR/1999
diubah dengan Tap MPR No. II/MPR/2003.
65
Bagir Manan; 2004, Perkembangan UUD 1945, Cet. Pertama, Editor: Hj. Ni’matul Huda, Yogyakarta: FH
UII Press, hlm. 27, 28.
Bahkan, hal itu sangat dipengaruhi oleh konfigurasi kekuatan politik yang tercermin dalam
fraksi-fraksi di MPR, apalagi anggota-anggota DPR sekaligus sebagai anggota MPR. Karena itu
pernah terjadi dua kali pemecatan presiden dalam masa jabatannya, dan penolakan
pertanggungjawaban presiden B.J. Habibie.66 Selain itu, tidak jelas mengenai berapa kali
seseorang dapat menjabat sebagai presiden. Karena itu Soekarno menjabat presiden empat kali
berturut-turut, sedangkan Soeharto menduduki jabatan presiden lebih dari enam kali masa
jabatan berturut-turut. Dengan demikian, Pasal 7 menunjukkan ciri sistem pemerintahan
parlementer.
DPR memiliki kekuasaan untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rancangan
undang-undang. Jika suatu rancangan undang-undang tidak disetujui oleh DPR, maka rancangan
undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu (Pasal 20).
Di samping itu, anggota-anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang. Namun,
suatu rancangan undang-undang, meskipun disetujui oleh DPR, tetapi tidak disahkan oleh
Presiden, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan kembali dalam sidang DPR
pada masa itu (Pasal 21). DPR juga memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perpu), jika tidak, maka perpu itu harus dicabut (Pasal 22).
Hubungan antara DPR dan Presiden dalam bidang legislatif menempatkan DPR pada posisi yang
lebih lemah. Sejak berlakunya UUD 1945 pernah terjadi satu kali penghentian pelaksanaan tugas
dan pekerjaan DPR67 dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 3 tahun 1960. Hal itu
menunjukkan dominasi eksekutif (Presiden) terhadap DPR. Hal ini merupakan karakter sistem
pemerintahan parlementer. Namun Wilopo68 menyebutkan adanya check and balance yang khas
antara DPR dengan Presiden yang sama-sama kuat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden
karena kebijakannya (rancangan undang-undang ) ditolak, dan sebaliknya DPR tidak dapat
menjatuhkan Presiden, kecuali jika Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Dengan demikian, sistem pemerintahan negara Republik Indonesia berdasarkan UUD
1945 sebelum perubahan menunjukkan ciri-ciri presidensil dan ciri-ciri parlementer. Namun, di
kalangan para ilmuan terdapat perbedaan pendapat tentang sistem pemerintahan tersebut.
Misalnya: Moh Tolchah Mansoer69 menamakan sistem presidensil, dalam arti kepala
pemerintahan adalah Presiden, dan dipihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Sri Soemantri70 mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut negara Republik

66
B.J. Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR dengan Tap MPR No. III/MPR/1999 tanggal 19
Oktober 1999. Dengan demikian, B.J. Habibie memegang kekuasaan presiden dari tanggal 21 Mei 1998 – 19
Oktober 1999, sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid memegang jabatan dalam waktu Oktober 1999 – Agustus
2001. Lihat: Aisyah Aminy; 2004, Pasang Surut Peran DPR – MPR 1945 – 2004, Cetakan pertama, Yayasan
Pancur Siwah dan PP Wanita Islam, hlm. 345 – 360.
67
DPR yang dibekukan yaitu DPR peralihan yang dibentuk dengan Penpres No. 1 tahun 1959. Lihat: Aisyah
Aminy; Op. Cit., hlm. 151 – 153.
68
Wilopo; 1978, Zaman Pemerintahan Partai-partai dan Kelemahan-kelemahannya, Cetakan II, Jakarta:
Yayasan Idayu, hlm. 66.
69
Moh. Tolchah Mansoer; 1997, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di
Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 110.
70
Sri Soemantri 1; Op. Cit, hlm. 56.
Indonesia adalah sistem pemerintahan campuran atau kombinasi yang murni. Maksudnya bahwa
dari ciri-ciri yang dikemukakan di atas perbandingan segi presidensil dan segi parlementernya
adalah 50 – 50. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan Perancis yang menganut juga sistem
campuran, tetapi segi presidensilnya dominan. Sementara itu, Bagir Manan71 berpendapat bahwa
sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensil murni. Dasar pemikirannya adalah
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban
kabinet kepada parlemen dalam sistem parlementer. Sebab pertanggungjawaban Presiden kepada
MPR merupakan upaya konstitusional untuk checking dan balancing. MPR juga bukan pembuat
undang-undang, maka bukan badan legislatif.
Sesudah perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan negara Republik Indonesia menurut
Sri Soemantri adalah “benar-benar sistem pemerintahan presidensil”.72 Ciri-ciri tersebut terlihat
jelas dalam perubahan ketiga, yakni Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
langsung oleh rakyat (Pasal 6A Ayat 1).
Ciri-ciri lain sistem presidensil di dalam UUD 1945 yaitu:
1) Masa jabatan yang tetap (fixed terms). Hal ini tampak pada Pasal 7: “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dengan demikian, Presiden dan
Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, kecuali berdasarkan
articles of impeachment (Pasal 7A) dan impeachment prosedure (Pasal 7B).
2) Tidak ada pemisahan kekuasaan sebagai kepala negara (head of state) dan sebagai kepala
pemerintah (chief executive). Kedua kekuasaan itu diletakkan di bawah satu Bab (Bab III)
dengan title “Kekuasaan Pemerintahan Negara” yang terdiri dari Pasal 4 sampai dengan Pasal
16, dan ada pada tangan Presiden. Dimulai dengan kekuasaan chief executive seperti:
mengajukan rancangan undang-undang, mem’veto’ rancangan undang-undang; membentuk
kabinet; dan melaksanakan pemerintahan. Sedangkan kekuasaan head of state tampak
disertai dengan persyaratan legislatif, yakni: Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
atas angkatan bersejata; menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
internasional; menyatakan keadaan bahaya; mengangkat duta dan konsul dan menerima duta
negara lain; memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi; memberikan gelar, tanda
jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
3) Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C). Sebaliknya,
Presiden dapat dipecat dari jabatannya jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau melakukan pelanggaran hukum (Pasal 7A).

71
Bagir Manan; 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju.
Selanjutnya disebut Bagir Manan 4, hlm. 78 80.
72
Sri Soemantri; 2004, “Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca Perubahan UUD 1945”,
Makalah, Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca amandemen UUD 1945, Kerjasama Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, FH UNAIR – Surabaya, dan Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan HAM Propinsi Jawa Timur, Surabaya, 09 – 10 Juni 2004. Selanjutnya disebut Sri Soemantri 3, hlm.
8.
4) Tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Presiden dengan para menteri. Menteri-
menteri bertanggung jawab secara penuh kepada Presiden, tidak kepada DPR (Pasal 17 Ayat
2).
Namun demikian, Komisi Konstitusi menunjukkan ciri pemerintahan parlementer setelah
perubahan UUD 1945, yaitu dianutnya asas difusi kekuasaan antara lain diatur di dalam hal
pembentukkan Undang-Undang,73 seperti pada Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 20.74 Hal itu
bukanlah suatu difusi kekuasaan, melainkan aplikasi prinsip checks and balances antara DPR
dengan Presiden. Sebab, seperti dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie75 bahwa “dalam proses
pembahasan materi rancangan undang-undang, posisi DPR dan Presiden dapat dikatakan saling
berimbang.” Keduanya berkedudukan sederajat, tetapi saling mengendalikan. Pada satu pihak,
posisi Presiden lemah karena berhadapan dengan DPR sebagai satu kesatuan institusi. Dalam hal
ini, Presiden tidak dapat lagi memanfaatkan dukungan partai politiknya yang ada di DPR
terhadap kebijakan pemerintah mengenai rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Sedangkan pada sisi lain, kedudukan Presiden kuat karena dapat mem’veto’ suatu rancangan
undang-undang dengan cara menolak untuk memberikan persetujuan terhadap suatu materi atau
keseluruhan materi rancangan undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka tidak terdapat
difusi kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, melainkan pemisahan kekuasaan, yang
menunjukkan karakter pemerintahan presidensil.

Penutup
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa Pemerintahan Negara Republi Indonesia pasca
amandemen UUD 1945 menganut sistem Presidensiil Hal itu tampak jelas dari ketentuan-
ketentuan dalam UUD 1945, misalnya masa jabatan Presiden pasti, tidak ada pemisahan
kekuasaan sebagai kepala Negara dan sebagai kepala pemerintah, tidak ada pertanggungjawaban
bersama Presiden dan Kabinet, menteri-menteri bertanggungjawab kepada Presiden – tidak
kepada DPR, kekuasaan Presiden dan DPR seimbang dan saling mengendalikan dalam
membentuk UU, Presiden tidak dapat membubarkan DPR, Presiden tidak dapat diberhentikan
oleh DPR kecuali atas perbuatan yang dikualifikasi dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945. Ciri-
ciri sistem presidensiil itu semakin jelas dapat diketahui setelah membandingkan dengan sistem
pemerintahan Amerika Serikat, Perancis dan Filifina, walaupun tidak murni seperti yang
dikatakan oleh CF. Strong.

73
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 2004, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hlm. 69.
74
Pasal 11 Ayat (2): “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 Ayat (2): “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
75
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
Makalah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14 – 18 Juli
2003. Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie 1, hlm. 13. Lihat pula: Jimly Asshiddiqie; 2004, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Cetakan I, Yogyakarta: FH UII Press. Selanjutnya disebut
Jimly Asshiddiqie 2, hlm. 80, 82.
Daftar Bacaan

Ali, Lukman dkk; 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.

A Rohr, John; 1995, Founding Republics in France and America, A Study in Constitutional
Governance, University Press of Kansas.

Aminy, Aisyah; 2004, Pasang Surut Peran DPR – MPR 1945 – 2004, Cetakan pertama, Yayasan
Pancur Siwah dan PP Wanita Islam.

Atmosudirdjo, Prajudi dkk (Editor); 1986, Konstitusi Amerika Serikat: Seri Konstitusi dalam
Bahasa Indonesia – Inggris, Cetakan pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bahar, Saafroedin dkk (Tim Penyunting); 1993, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 24 Mei 1945 – 19 Agustus 1945 , Cetakan keempat, Edisi ke II (Cetak ulang),
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Ball, Alan R.; “Modern Political and Government”, dalam H. Moeslim Taher; 1978, Sistem
Pemerintahan Pancasila, Jakarta: Nusa Bangsa.

Budiardjo, Miriam; 1986, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. X, Jakarta: PT Gramedia.

Campbell Black, Henry; 1979, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Co, ST.
Paul Min.

Ferguson, John H. and Dean E. Mc.Henry; 1956, The American System of Government, 4th.ed.,
New York – Toronto – London: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Finer, Herman; 1962, The Major Government of Modern Europe, Harper & Row, Publisher,
New York, Evanston and London.

Hadjon, Philipus M.; 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut
Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama,
Surabaya: Bina Ilmu.

Joeniarto; 1981, Selayang Pandang Tentang Sumber-sumber Hukum Tatanegara di Indonesia,


Cetakan ketiga, Yogyakarta: Liberty.

Lijphart, Arend; 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Saduran Ibrahim R.,
dkk, Cet. Pertama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Manan, Bagir, Kuntana Magnar; 1993, Beberapa Masalah Hukum Tatanegara Indonesia, Edisi
pertama, Cetakan I, Bandung: Alumni.
_______; 2004, Perkembangan UUD 1945, Cet. Pertama, Editor: Hj. Ni’matul Huda,
Yogyakarta: FH UII Press.

McTurman Kahim, George, Ed.; 1962, Governments and Politics of Southeast Asia, Ithaca, New
York, Cornell University Press.

Mulyo Sudarmo, Suwoto; 1990, “Kekuasaan dan Tanggung jawab Presiden Republik Indonesia:
Suatu Penelitian Segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan”, Disertasi,
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga.

Pasek Diantha, I Made; 1990, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Modern,
Bandung: CV Abardin.

Ranawijaya, Usep; 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Cetakan pertama,
Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rasjid, Harun Al; 1968, Hubungan Antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Cetakan kedua, Jakarta.

Rieselbach, Leroy N.; 1975, People Vs. Government, The Responsiveness of American
Institutions, Bloomington & London: Indiana Univercity Press.

Saragih, Bintan R.; 1992, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI):
Suatu Pemikiran Tentang Peran MPR di Masa Mendatang, Cetakan I, Jakarta: Gaya Media
Pratama.

S. Feliciano, Myrna, “The Philipine Constitution: Its Development, Structures, and Processes”,
dalam Carmelo V. Sison and Roshan T. Jose, Editor; Constitutional and Legal System of
ASEAN countries, Academy of ASEAN Law and Jurisprudence, University of Philippines
Law Complex.

Saleh, K. Wantjik; 1981, Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR 1960,


1963, 1965, 1967, 1968, 1973, 1978, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Schwartz, Bernard; 1955, American Constitutional Law, Cambrige Univercity Press.

Stefanus, Kotan Y.; 2000, “Makna Kekuasaan Pemerintahan Negara Menurut Bab III UUD 1945
dan Hubungannya dengan Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia”, Disertasi, Bandung:
Universitas Padjdjaran Prgram Pascasarjana.

Soemantri, Sri, 1971, Perbandingan Antar Hukum Tatanegara (Himpunan Kuliah), Bandung:
Alumni.

_______; 1976, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Bandung: Tarsito.


Strong, C.F.; 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-
bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan SPA Teamwork, Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Tolchah Mansoer, Moh.; 1997, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan
Legislatif di Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta: Pradnya Paramita.

Wahyudi, Agus, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek”, dalam JENTERA,
Edisi 8-Tahun III, Maret 2005.

W. Ehrmann, Henry; 1983, Politics in France, Fourth Edition, Litle, Boston Toronto: Brown and
Company.

Wilopo; 1978, Zaman Pemerintahan Partai-partai dan Kelemahan-kelemahannya, Cetakan II,


Jakarta: Yayasan Idayu.

Witman, S.L., J.J. Wuest; 1963, Visual Outline of Comparative Government, Puterson, New
Jersey: Litlefield, Adam and Co.

Woll, Peter & Sidney E. Zimmerman; 1989, American Government, New York: Random House.

Anda mungkin juga menyukai