Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1997), kata “lembaga” antara lain
diartikan: (i) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau
melakukan suatu usaha; dan (ii) pola perilaku manusia yang mapan yang terdiri atas interaksi
sosial yang berstruktur di suatu kerangka nilai yang relavan. 1
Secara terminologis berasal dari kata serapan dari staatsorgan dalam Bahasa Belanda atau
political institutions dalam Bahasa Inggris. Dalam Bahasa Indonesia, hal identik dengan kata
lembaga negara, badan negara, atau bisa juga disebut dengan organ negara. Oleh sebab itu,
iatilah lembaga negara, organ negara, badan negara, ataupun alat kelengkapan negara sering
dipertukarkan satu sama lain. Berikut pendapat beberapa ahli tentang lembaga negara:
1. Menurut pakar Ilmu Negara yang sering dijuluki Bapak Ilmu Negara, George
Jellinek, lembaga negara dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu alat-alat
perlengkapan negara yang langsung (unmittebare organ) dan alat-alat perlengkapan
negara yang tidak langsung (mitterbare organ). Adapun ukuran langsung atau tidak
langsungnya alat perlengkapan negara ditentukan oleh langsung atau tidaknya
pembentukan alat-alat perlengkapan yang dimaksud dalam konstitusi. Baru organ
negara langsung menentukan ada atau tidaknya negara, sedangkan keberadaan organ
negra yang tidak langsung bergantung pada organ langsung.
2. Hendropuspito berpendapat lembaga ialah jenis organisasi lain yang sering kali terdiri
dari pola, peran, dan hubungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang
mendasar.
3. Macmillan lembaga adalah serangkaian tindakan penting yang diulang-ulang dan
seperangkat hubungan yang mapan berdasarkan norma, keyakinan, dan nilai yang
berpusat pada kebutuhan sosial.
4. Menurut syahyuti (2003) kelembagaan ialah penguatan perilaku yang hidup dalam
sebuah pertemuan yang adalah sesuatu yang mantap, konsisten dsn dirancang;
kemampuan untuk tujuan tertentu dimata publik; dilacak dalam kerangka sosial adat
dan masa kini atau dapat muncul sebagai konvesional dan terkini dan kemampuan
untuk membuat aktivitas publik lebih efektif.
Lembaga negara terkait erat dengan konsep kekuasaan negara dimana pembentukan lembaga
negara dikaitkan dengan upaya negara untuk melaksanakan cabang-cabang kekuasaan negara.
Oleh karena paham kekuasaan negara yang paling terkenal sejak dahulu sampai saat ini adalah
konsep trias politica yang dikenalkan montesquieu. Sebagaimana diketahui konsep trias politica
membagi kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan legistalif,
eksekutif dan yudikatif.
1
Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NKRI Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal 1
Awal pemikiran mengenai lembaga perwakilan dipaparkan oleh J.J Rousseau, yang
mengemukakan idenya tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang layak dijadikan
dasar pengelolaan negara. Secara garis besar pemikirannya lebih praktis dengan berangkat
dari pemahaman sederhana tentang demokrasi langsung (direct democracy). Bahwa pada
dasarnya demokrasi langsung adalah bentuk pemerintahan yang paling baik dan paling sesuai
dengan kepentingan rakyat. Artinya bahwa keseluruhan kehidupan kenegaraan, di dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan sepenuhnya tergantung kepada rakyat. Secara
langsung rakyat menentukan sendiri pilihan jalan yang dipandang paling tepat menuju masa
depan yang lebih baik.2
J.J Rousseau menginginkan agar semua lembaga dalam negara, termasuk lembaga pembuat
peraturan (legislatif) haruslah tergantung sepenuhnya kepada kemauan rakyat. Rakyat
sebagai penguasa satu-satunya dalam negara. Dalam konsep ini, posisi pemerintah atau
lembaga eksekutif yang diwakili oleh pegawai-pegawai itu harus tunduk dan patuh kepada
kehendak rakyat. Rakyat sebagai penguasa tertinggi memegang kedaulatan secara penuh.
Ide J.J Rosseau ini dipandang sebagai sebuah keinginan untuk terus mempertahankan
demokrasi langsung dari zaman Yunani kuno. Sebuah idealisme yang dalam
perkembangannya, tidak terkecuali pada masanya sangat sulit diterapkan untuk sebuah
negara yang sangat luas wilayahmya.
Pada dasarnya, kelahiran lembaga perwakilan ini bukan semata-mata gagasan dan cita-cita
demokrasi, tetapi sebagai kelicikan sistem feudal. Sebagaimana yang dikemukakan A.F
Pollard dalam bukunya yang berjudul The Evaluation of Parliament yang menyatakan
‘Representasi bukan merupakan cikal bakal teori demokrasi, melainkan sebuah kejadian
dalam system feudal.’ Di mana pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja
atau bangsawan yang sangat feodalis (monarki feudal).
Ketika raja menginginkan tambahan pajak dan tentara, biasanya wakil-wakil raja akan
mengunjungi lord (sebutan terhadap kekuasaan yang diberikan kepada feudal-feodal) dan
menjelaskan keinginan raja tersebut. Namun, raja menganggap lebih baik memanggil lord ini
ke pusat. Lambat laun raja kemudian membentuk seuah badan yang terdiri dari lord-lord
ditambah degan para pendeta, dan menjadi tempat raja meminta nassehat terutama memungut
pajak.3
Tugas Lembaga ini bertambah secara evolusi dan kemudian menjadi satu badan yang
permanen yang disebut ‘Curiaregis’, dan kemudian menjadi House of Lords. Tetapi melihat
kekuasaan Lembaga ini semakin besar , raja ingin mengurangi hak-hak mereka, maka
timbullah sengketa antara raja dan kaum nigrat. Karena kaum nigrat dibantu oleh kaum
2
Samsul Wahidin, Konseptualisasi Dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hal 37
3
Moh. Kusnerdi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000) hal 252
tengah (borjuis) akhirnya raja mengalah dan mulailah dibatasi hak-hak raja. Oleh House of
Lords muncullah kaum nigrat sebagai pemegang kekuasaan berdasarkan dukungan kaum
menengah dan rakyat berakibat pula pada kekuasaan meraka yang bertambah kuat dan harus
diperhitungkan. Karena merekalah yang selalu menjadi korban dari beban pajak, maka
golongan menengah dan rakyat ini meminta kepada House of Lords, agar wakil mereka
diminta pendapat atau nasehat ketika membicarakan tentang masalah pajak atau anggaran
belanja.
Akhirnya munncul pula lembaga dari golongan yang menengah dan rakyat disebut
magnum consilliun dan karena mereka kebanyakan maka disebut House of Commonsa.
Kemudian kedua lembaga tersebut disebut parkementum atau parliament yang kemudian
dianggap sebagai Lembaga perwakilan pertama dalam pengertian modern.
Dapat dikatakan perwakilan adalah suatu konsep yang menunjukkan adanya hubungan
antara wakil dengan pihak yang diwakili (terwakili), dalam hal mana wakil mempunyai
sejumlah wewenang yang diperoleh melalui kesepakatan dengan pihak yang diwakilinya.
D. Sistem Parlementer di Indonesia
1. Unikameral
2. Bikameral
3. Trikameral
Dengan demikian, UUD 1945 menempatkan MPR sebagai Lembaga tertinggi negara
yang memiliki kekuasaan negara yang tertinggi. Di mana MPR melakukan
sepenuhnya kedaulatan rakyat dan secra eksplisit tertulis bahwa majelis adalah
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.5
5
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1986)