Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MODUL 5 DAN 6 SISTEM POLITIK INDONESIA

Disusun Oleh
Kelompok 3
Nama :
1. Sentiani
2. Shella Bella Agustin
3. Shinta Rispalina
4. Sela Merliana
5. Selvia Cahyaning Dewi
6. Reza Novi Lola

Dosen Pembimning :
Marwan Ardiansyah,Se,M.Si
MODUL 5
Lembaga Legislatif dan Eksekutif di Indonesia
Ikhsan Darmawan, M.Si.

PENDAHULUAN

PAda hakikatnya, kekuasaan negara terdistribusi dalam tiga lembaga yaitu: lembaga
eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Peranan ketiga lembaga tersebut harus
independen. Di Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan melainkan pembagian
kekuasaan. Ketiga lembaga ini akan kita pelajari dalam Buku Materi Pokok ini dalam modul
yang terpisah. Pada modul ini kita akan membahas tentang peranan lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif, sedangkan lembaga yudikatif akan dibahas pada modul lainnya.
Pembagian dalam modul yang terpisah ini semata-mata untuk memudahkan mahasiswa
dalam mempelajari sesuai kompetensi yang akan dicapai.

Kita dapat memahami fungsi, tugas dan peranan lembaga legislatif dan eksekutif bila
kita memahami sejarah lembaga tersebut. Pemahaman sejarah ini akan membantu kita
mengetahui asal-muasal dan landasan filosofis mengapa lembaga-lembaga tersebut ada.
Pada modul ini kita akan membatasi pada kedua lembaga tersebut pada masa Orde Baru
dan pasca Orde Baru. Pada akhir pembelajaran modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan tentang peranan lembaga legislatif dan eksekutif dalam sistem politik
Indonesia modern, hubungannya dengan lembaga negara lainnya, dan implikasi dari peran
dan fungsi legislatif di dalam sistem politik.

Adapun secara khusus, setelah mempelajari modul ini diharapkan Anda dapat :

1. Menjelaskan sejarah lembaga legislatif;


2. Menjelaskan fungsi/peranan lembaga legislatif;
3. Mengevaluasi fungsi/peranan lembaga legislatif masa Orde Baru;
4. Mengevaluasi fungsi/peranan lembaga legislatif pasca Orde Baru;
5. Menjelaskan konsep lembaga eksekutif;
6. Menjelaskan fungsi/peranan lembaga eksekutif;
7. Mengevaluasi fungsi/peranan lembaga eksekutif masa Orde Baru;
8. Mengevaluasi fungsi/peranan lembaga legislatif pasca Orde Baru.

KEGIATAN BELAJAR 1
Lembaga Legislatif Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru

A. SEJARAH, KONSEP DAN FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF


Lembaga legislatif adalah salah satu dari lembaga dari konsep trias politica yang
diusung oleh ilmuwan politik, baik John Locke maupun Montesquieu. Kata legislatif itu
sendiri berasal dari kata dalam bahasa Inggris to legislate yang artinya "membuat
undang-undang". Sejarah lembaga legislatif, menurut Arbi Sanit (1985: 43-44),
bermula dari keperluan masyarakat akan hukum sebagai sarana untuk mengatur
kehidupan bersama di samping kebutuhan akan badan yang membuat dan
memberlakukannya untuk penyelenggaraan kehidupan masyarakat luas. Keberadaan
dari badan yang secara khusus berfungsi untuk membuat undang-undang tidak dapat
dilepaskan dari pertumbuhan hukum Kerajaan Romawi Kuno. Orang Roma bahkan
membedakan antara proses pembuatan undang-undang dengan undang-undang
sebagai hasil dari proses tersebut. Perkembangan selanjutnya sejarah mencatat
bahwa penguasa Kerajaan Romawi beserta para penguasa yang mendukungnya
melakukan pemusatan seluruh kekuasaan sembari melemahkan peranan lembaga
legislatif sebagai lembaga penghasil undang undang secara khusus. Tumbuhnya
kekuasaan agama atas negara yang disusul oleh pertumbuhan feodalisme di Eropa
memperkecil peranan lembaga legislatif menghasilkan undang-undang dengan cara
yang berbeda. Jika kekuasaan gereja mengeliminir kewenangan lembaga legislatif
karena hukum didasarkan kepada ajaran agama, maka kaum feodal membutuhkan
kekuasaan sentral negara yang berakibat pada melemahnya peran lembaga legislatif
sebagai bagian dari negara yang mendukung kekuasaan sentral tersebut.
Peranan lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang menge kembali
sejak abad ke-11. Melemahnya kaum feodal yang digantikan oleh kekuasaan sentral
negara serta menguatnya pemikiran tentang perl undang-undang, merupakan
rangkaian penyebab timbulnya gejala penguatan peran lembaga legislatif ini.
Perkembangan berikutnya memperlihatkan pembentukan lembaga legislatif yang
secara otonom berfungsi sebagi lembaga khusus pembuat hukum. Bahkan di akhir
abad ke-17 di Inggris undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif tersebut telah
berhasil mengatasi kekuasian raja (yang berlebihan) (Sanit, 1985:45).
Lembaga legislatif dalam bentuk sekarang ini bermula di Inggris. Pada akhir
abad ke-12 di Inggris terdapat Magnum Concilium sebagai dewan kaum feodal
dinamakan Parlemen sebagai wadah para tuan tanah untuk membahas segala
sesuatu termasuk mendapatkan kesepakatan untuk meningkatkan kontribusinya bagi
kerajaan. Sampai akhir abad ke-14 barulah parlemen dimanfaatkan oleh raja Inggris
sebagai badan konsultasi dalam pembuatan undang-undang Perkembangan
selanjutnya, pada awal abad ke 15, parlemen berfungsi sebagai lembaga pembuat
undang-undang meskipun dari segi keanggotaan lembaga tersebut belum
sepenuhnya sebagai badan perwakilan rakyat. Parlemen yang sekaligus sebagai hadan
pembuat undang undang dan badan perwakilan melalui pemilihan, baru terbentuk di
Inggris pada abad ke-18 (Sanit, 1985: 46).
Mengutip John Carey, lembaga legislatif diakui sebagai lembaga pembuat
kebijakan penting dalam negara demokrasi modern saat ini. Aps dasamya? Salah
satunya adalah semua putusan kebijakan paling mendasar seperti: penganggaran,
pengaturan perjanjian dan persetujuan perdagangan. ekonomi, lingkungan, dan
regulasi sosial, elaborasi hak-hak individu dan kolektif haruslah disetujui oleh lembaga
legislatif (Carey dalam Rhodes, 2008:431).
Lembaga legislatif berbeda dengan lembaga eksekutif. Jumlah dari anggota
lembaga legislatif lebih banyak daripada lembaga eksekutif. Selain itu, lembaga
legislatif juga merupakan lembaga yang bersifat plural karena memang merupakan
perwakilan dari kelompok masyarakat yang ada di dalam sebuah negara. Juga,
lembaga legislatif merupakan penghubung antara wakil dan konstituen yang
diwakilinya. Mengingat sifatnya yang mewakili keberagaman dari masyarakat, maka
lembaga legislatif juga dianggap mewakili kelompok-kelompok atau kepentingan-
kepentingan yang ada di dalam masyarakat sebuah negara Oleh karenanya, aturan
yang ideal mengenai lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan harus dapat
mengidentifikasi prinsip yang mendefinisikan kepentingan, seperti lokasi geografis,
keberpihakan, ras, etnis, gender, bahasa, agama, dan sebagainya (Rhodes, 2008: 432).
Fungsi utama dari lembaga legislatif adalah fungsi representasi atau
perwakilan. Sejarah lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan, menurut
Napitupulu, dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno dalam Dewan Polis atau Ekklesia
yang mempunyai tugas memberi pertimbangan kepada lembaga eksekutif Di samping
memberikan pertimbangan, dewan ini juga menetapkan hukum melalui perdebatan
anggota. Selama 20 abad (mulai dari abad ke-5 sebelum Maschi di Yunani Kuno dan
Romawi sampai dengan akhir abad ke-14 di Inggris), keberadaan badan perwakilan
rakyat mendapat dukungan dari masyarakat. Ide-idenya selalu berkembang seiring
dengan dinamika peradaban manusia sendiri (Napitupulu, 2007: 17).
Mengutip Austin Ranney, lembaga legislatif memiliki sejumlah fungsi. Fungsi
pertama adalah pembuatan undang-undang atau sering disebut. sebagai fungsi
legislasi. Dalam bahasa Ranney, fungsi tersebut adalah statute aking function dan
bukan lawmaking function. Mengapa seperti itu? Menurut Ranney, statute making
function lebih tepat menggambarkan apa fungsi dari lembaga legislatif dibandingkan
dengan kata lawmaking function karena kata law berarti aturan perilaku yang resmi
dikeluarkan dari institusi pemerintah yang resmi. Sedangkan statute adalah hukum
yang secara formal dibuat oleh seorang anggota legislatif (Ranney, 1997).
Fungsi kedua adalah constituent function. Lembaga legislatif dalam kebanyakan
sistem demokrasi memiliki kekuasaan tertentu terhadap penguatan dan amandemen
konstitusi negara. Banyak konstitusi diusulkan sich lembaga legislatif, dan setiap
lembaga legislatif memiliki kewenangan ak memainkan beberapa peran dalam
amandemen formal. Di beberapa negara demokratis sebagaimana Inggris dan
Selandia Baru, lembaga legislatif nasional adalah satu-satunya institusi yang memiliki
kewenangan untuk mengamandemen konstitusi (Ranney, 1997: 210-211).
Fungsi ketiga adalah electoral function. Yang dimaksud dengan electoral
function dalam hal ini adalah bahwa lembaga legislatif memiliki peran dalam memilih
beberapa atau bahkan seluruh pimpinan lembaga eksekutif Dalam sistem
parlementer, lembaga legislatif adalah lembaga yang memilih siapa yang menjadi
perdana menteri di negara itu. Tidak hanya dalam sistem parlementer, dalam sistem
presidensial pun lembaga legislatif juga memiliki kekuasaan. Sebagai contoh,
konstitusi di Amerika Serikat menyatakan bahwa ketika tidak ada kandidat presiden
atau wakil presiden yang mendapat suara mayoritas dalam electoral college, maka
the House of Representatives akan memilih presiden dari dua atau tiga besar
kandidat, dan the Senate akan memilih wakil presiden melalui beberapa cara berbeda
(Ranney, 1997: 211).
Fungsi keempat adalah financial function. Lembaga legislatif dalam sistem
demokrasi modern adalah lembaga yang menentukan sifat dan jumlah pajak, dan
hanya keuangan rakyat yang secara legal dapat dikeluarkan disetujui oleh lembaga
legislatif. Dalam negara dengan sistem yang paling demokratis, inisiatif utama
terhadap keuangan pemerintah (lembaga eksekutif) harus mendapat persetujuan dari
lembaga legislatif. Kebanyakan lembaga legislatif sekarang ini hanya merevisi
anggaran yang diajukan oleh lembaga eksekutif, daripada melakukan inisiatif
pengajuan dari awal berbentuk draf (Ranney, 1997: 211).
Fungsi kelima adalah executive function. Sebagai tambahan dalam bertindak
terhadap anggaran lembaga eksekutif, kebanyakan lembaga legislatif di negara
demokratis juga melewati proposal lembaga eksekutif tertentu. Di negara yang paling
demokratis misalnya, perjanjian internasional dinegosiasikan oleh lembaga eksekutif
tetapi harus disetujui oleh lembaga legislatif sebelum efektif dilaksanakan. Di Amerika
Serikat, presiden mengangkat beragam pejabat (hakim federal, anggota kabinet,
kepala urusan administratif, dan duta besar) (Ranney, 1997: 212).
Fungsi keenam adalah judicial function. Beberapa negara demokratis umumnya
melaksanakan fungsi yudisial. Konstitusi Amerika Serikat sebagai contoh menyatakan
bahwa the House of Representatives mungkin saja melakukan impeachment terhadap
pejabat sipil dari pemerintahan nasional (termasuk presiden, wakil presiden, anggota
kabinet, dan hakim) (Ranney. 1997: 212) Fungsi ketujuh adalah fungsi investigatif.
Fungsi investigatif dari lembaga legislatif yang demokratis sering menerima
pengakuan publisitas, khususnya di Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah
impeachment terhadap Presiden Nixon di tahun 1974 oleh House Judiciary
Committee. Di Inggris, lembaga legislatifnya kebanyakan mengadakan investigasi
pemerintah melalui royal commission (lembaga yang dibentuk oleh anggota legislatif
dan pihak di luar lembaga legislatif) (Ranney, 1997: 212).
Fungsi yang terakhir menurut Ranney adalah fungsi informatif. Beberapa
investigasi legislatif diadakan utamanya untuk membuka informasi yang diperlukan
untuk pembuatan undang-undang yang baru. Banyak informasi ditujukan utamanya
untuk menginformasikan institusi pemerintah lainnya dan masyarakat umum
mengenai apa yang terjadi. Sebagai contoh, investigasi Komite Ervin terhadap skandal
Watergate di tahun 1973 ditujukan hanya sebagai bagian untuk menyediakan dasar
untuk legislasi baru mengatur keuangan dan praktek kampanye (Ranney, 1997: 213).
Untuk membahas rancangan undang-undang sering dibentuk panitia-panitia
yang berwenang untuk memanggil menteri atau pejabat lainnya untuk diminta
keterangan seperlunya. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Prancis,
panitia legislatif ini sangat berkuasa, sebaliknya di negara lain seperti Inggris, panitia-
panitia ini hanya merupakan panitia teknis saja. Biasanya sidang sidang panitia
legislatif diadakan secara tertutup, kecuali di Amerika Serikat di mana sidang panitia
ditetapkan terbuka secara umum (Budiardjo, 2008: 323).
Budiardjo, J. Denis Derbyshire dan lan Derbyshire menyatakan bahwa lembaga
legislatif (assembly), memiliki empat fungsi Fungsi pertama, yaitu melegitimasi
kebijakan, dalam bahasa lain adalah mengubah keputusan politik menjadi hukum.
Fungsi kedua, adalah bertindak sebagai wakil rakyat dan membawa pandangan rakyat
kepada lembaga eksekutif. Fungsi ketiga ialah tempat bertemunya perdebatan: atau
lembaga debat nasional. Terakhir fungsi keempat yaitu peran penting yang reaktif
dalam menyupervisi dan memeriksa tindakan lembaga eksekutif dan birokrasi,
memperhatikan penyimpangan kewenangan dan inefisiensi, dan menyarankan
perbaikan paket undang-undang yang diserahkan kepada mereka (Derbyshire dan
Derbyshire, 1991: 90-91).
Sebagai implementasi dari salah satu fungsi lembaga legislatif, yaitu fungsi
pengawasan, maka ada sejumlah hak yang melekat pada lembaga legislatif. Hak
tersebut di antaranya adalah hak angket, hak interpelasi, dan hak bertanya.
para penganut sistem dua majelis berkeyakinan bahwa kekuasaan sistem satu
majelis perlu dibatasi, karena memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang
itu. Anggota-anggota majelis dalam sistem satu majelis mudah dipengaruhi oleh
fluktuasi situasi politik, karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem dua majelis,
the Senate (untuk kasus Amerika Serikat) sedikit banyak dapat menetralisir
kecenderungan itu melalui pembahasan tambahan yang lebih moderat. lain itu,
sistem dua majelis memberi kesempatan kepada provinsi atau negara bagian untuk
memajukan kepentingan-kepentingannya, yang khusus tambahan biasanya disusun
sedemikian rupa sehingga wewenangnya kurang daripada badan yang mewakili
rakyat (Budiardjo, 2008: 319).
Menurut Austin Ranney, dua pertiga negara demokrasi modern menggunakan
sistem bikameral dan sepertiga lainnya menggunakan sistem unikameral. Meskipun
ada beberapa variasi dalam struktur legislatif yang menggunakan sistem bikameral,
kebanyakan secara substansial memakai model yang sama (Ranney, 1997: 213).
Sistem unikameral memiliki sejumlah kelebihan di antaranya (Pito, Efriza,
Fasyah, 2006: 129) sbb.
1. Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan undang-undang (karena hanya
satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi rancangan undang undang
sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda).
2. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat
menyalahkan majelis lainnya apabila suatu undang-undang tidak lolos, atau
bila kepentingan warga negara diabaikan).
3. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk
memantau kepentingan anggotanya.
4. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.

Sistem bikameral memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Menurut Andrew


Heywood, kelebihan dari sistem bikameral adalah (Heywood, 1997; 303) sbb.
1. Majelis kedua mengawasi kekuasaan dari majelis pertama dan mencegah
aturan mayoritas.
2. Sistem bikameral lebih efektif mengawasi kekuasaan eksekutif, karena ada
dua majelis yang mengungkap kelemahan dari pemerintah.
3. Lembaga dua majelis memperluas dasar perwakilan, mengizinkan tiap
majelis untuk mengartikulasi sederet kepentingan yang berbeda dan
merespons terhadap kelompok pemilih yang berbeda.
4. Kehadiran dari majelis kedua dapat menjamin bahwa proses legislasi lebih
dapat diperiksa, ketika terjamin bahwa majelis tersebut dapat
menghilangkan batas lembaga legislatif dari majelis pertama dan
mengkoreksi kesalahan dan pengawasan. 5. Majelis kedua dapat bertindak
sebagai penjaga konstitusional, menunda draf legislasi yang kontroversial
dan menambah waktu untuk diskusi dan debat publik.
Sedangkan kelemahan dari sistem bikameral antara lain (Heywood, 1997: 303)
sbb.
1. Sistem unikameral lebih efisien karena kehadiran majelis kedua dapat
membuat proses lebih kompleks dan sulit.
2. Majelis kedua sering bertindak sebagai pengawas aturan demokratis,
khususnya ketika anggota mereka tidak dipilih atau dipilih secara tidak
langsung.
3. Sistem bikameral adalah sebuah resep' untuk konflik kelembagaan di
lembaga legislatif, sepertinya halnya konflik dengan pemerintah.
4. Sistem bikameral mungkin mempersempit akses untuk pembuatan
kebijakan dengan menempatkan keputusan legislasi akhir di tangan panitia
bersama.
5. Majelis kedua memperkenalkan bias politik konservatif dengan mengangkat
pengaturan konstitusional dan kadang-kadang kepentingan dari elit sosial.

Selain dapat dilihat dari format seperti tersebut, lembaga legislatif dapat dilihat
pula dari majelis yang ada dalam lembaga legislatif di negara tersebut. Jika sistem
yang digunakan adalah sistem dua majelis atau sistem bikameral, Sedangkan
kelemahan dari sistem bikameral antara lain (Heywood, 1997: 303) sbb.
1. Sistem unikameral lebih efisien karena kehadiran majelis kedua dapat
membuat proses lebih kompleks dan sulit.
2. Majelis kedua sering bertindak sebagai pengawas aturan demokratis,
khususnya ketika anggota mereka tidak dipilih atau dipilih secara tidak
langsung.
3. Sistem bikameral adalah sebuah resep' untuk konflik kelembagaan di
lembaga legislatif, sepertinya halnya konflik dengan pemerintah.
4. Sistem bikameral mungkin mempersempit akses untuk pembuatan
kebijakan dengan menempatkan keputusan legislasi akhir di tangan panitia
bersama.
5. Majelis kedua memperkenalkan bias politik konservatif dengan mengangkat
pengaturan konstitusional dan kadang-kadang kepentingan dari elit sosial.
Selain dapat dilihat dari format seperti tersebut, lembaga legislatif dapat dilihat
pula dari majelis yang ada dalam lembaga legislatif di negara tersebut. Jika sistem
yang digunakan adalah sistem dua majelis atau sistem bikameral, maka majelis yang
ada adalah majelis tinggi dan majelis rendah. Keanggotaan majelis tinggi ditentukan
atas berbagai dasar (Budiardjo, 2008: 320) antara lain: (1) turun-temurun (Inggris): (2)
ditunjuk (Inggris, Kanada); (3) dipilih (India, Amerika, Filipina). Berikut adalah
beberapa contoh majelis tinggi di sejumlah negara (Budiardjo, 2008: 320-321).
1. Inggris. House of Lords. Jumlah anggota pada tahun 2007 adalah 847 orang.
Sebagian keanggotaannya berdasarkan keturunan, sebagian lagi
berdasarkan penunjukan seumur hidup. Wewenangnya: rancangan undang-
undang dapat ditangguhkan selama paling lama satu tahun, akan tetapi
rancangan anggaran belanja tidak boleh ditolak. Badan ini tidak dapat
menjatuhkan badan eksekutif.
2. India. Rajya Sabha (Council of States). Jumlah anggotanya kira-kira 250
orang dengan masa jabatan 6 tahun. Mayoritas anggota dipilih oleh badan
legislatif di negara-negara bagian, dan kira-kira 12 anggota ditunjuk dari
kalangan ahli kebudayaan, pekerja sosial, cendekiawan, dan sebagainya.
Rajya Sabha tidak dapat menjatuhkan kabinet.
3. Amerika Serikat. Senate. Jumlah anggota 100 orang (dua orang dari setiap
negara bagian) yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum dengan
masa jabatan enam tahun. Wewenangnya jauh lebih besar daripada Majelis
Rendah (House of Representative). Setiap perjanjian internasional, begitu
pula pengangkatan-pengangkatan pejabat penting. seperti menteri, duta
besar, dan hakim agung harus disetujui oleh Senat.
4. Filipina. Senate. Jumlah anggota 24 orang dengan masa jabatan enam
tahun.
Beralih ke soal Majelis Rendah, biasanya semua anggota dipilih dalam
pemilihan umum. Majelis ini dianggap sebagai majelis yang terpenting. Biasanya masa
jabatan sudah ditentukan (Amerika Serikat 2 tahun, Filipina 2 tahun). Di Inggris dan
India masa jabatan maksimal 5 tahun, akan tetapi sewaktu-waktu dapat dibubarkan
atas anjuran perdana menteri untuk diadakan pemilihan baru. Menurut Budiardjo
(2008:322), wewenang majelis ndah biasanya lebih besar daripada majelis tinggi,
kecuali di Amerika Serikat.
Beberapa contoh dari majelis rendah di sejumlah negara menurut Budiardjo
(2008:322) yaitu:
1. Inggris. House of Commons. Jumlah anggota 646 orang, dengan masa
jabatan maksimal lima tahun. House of Commons dapat menjatuhkan
lembaga eksekutif.
2. India. Lok Sabha. Jumlah anggota 530-52 orang, dengan masa jabatan
maksimal lima tahun. Lok Sabha dapat menjatuhkan lembaga eksekutif.
3. Amerika Serikat. House of Representatives. Jumlah anggotanya kira - kira
435 orang dengan masa jabatan dua tahun.
4. Filipina. National Assembly. Jumlah anggotanya kira-kira 104 orang, dengan
masa jabatan empat tahun. Ketentuan ini tergantung pada konstitusi di
setiap negara.

B. LEMBAGA LEGISLATIF DI MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU


Banyak sekali literatur yang membahas bagaimana peran lembaga legislatif
sebelum masa Orde Baru. Oleh karena itu referensi lain yang terkait dengan itu juga
perlu dipahami oleh mahasiswa. Lembaga legislatif di masa Orde Baru akan
mengawali pembahasan kita di sini.
Apabila diasumsikan secara ideal, lembaga legislatif memiliki empat jenis fungsi
yaitu: fungsi legislasi (pembuatan Undang-undang), budgeting (penyusunan
anggaran), pengawasan terhadap lembaga eksekutif, dan perwakilan (terhadap
konstituen); maka di masa Orde Baru seluruh fungsi tersebut tidak berjalan dengan
baik. Lembaga legislatif di masa Orde Baru sering disebut sebagai tukang stempel bagi
Presiden.
Partai politik sebagai institusi yang diakui dalam hukum untuk melakukan
rekrutmen anggota dalam mengisi jabatan publik melalu pemilihan umum,
keberadaan partai politik yang diberikan otonom kebebasan adalah penting.
Dapat dikatakan bahwa apapun hasil yang akan diperoleh dari pemilu, tidak
ditujukan untuk mengubah keberadaan sistem politik yang ada. Justru pemilu
hanyalah sebuah formalitas politik belaka karena pemilu adalah salah satu sarana dan
penguatan sistem yang berlaku. Dalam kenyataannya, memang demikian pula adanya
yakni bahwa sejak pemilu 1971, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden
Soeharto masih tetap bertahan. Bahkan dalam konteks peneguhan keabsahan
penentuan presiden, di dalam pengajuan calon presiden pun, partai-partai di luar
Golkar selalu mengajukan calon yang sama, yaitu Presiden Soeharto (Hikam dalam
Haris, 1998: 55).
Dalam peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat pada perubahan
kehidupan demokrasi, dengan dalih militer profesional, di mana militer diletakkan
sebagai suatu yang signifikan terhadap perubahan negara bangsa ke depan, yaitu
sebagai kebutuhan terhadap modernisasi sekaligus tanggung jawabnya terhadap
sikap pengabdiannya kepada masyarakat dan negara. TNI ikut andil menentukan
kebijakan-kebijakan negara dan dengan demikian mesti secara formal diakui dan
diposisikan sebagai kekuatan sosial politik. Akibatnya, militer Indonesia menempati
jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan duduk
di DPR (Maarif, 2011:26).
Pemberian jabatan sipil yang begitu banyak dan beragam kepada perwira
militer sekaligus dimaksudkan sebagai hadiah dari penguasa Orde Baru atas loyalitas
yang diberikan militer kepada rezim Orde Baru. Selain itu jumla fraksi ABRI di DPR
juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah
ABRI hanya 500.000 orang (0,3% d jumlah penduduk Indonesia) tetapi mendapatkan
kursi 20% di parlemen Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah
mempengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya, pengalaman mas
kerja DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982. Fraksi ABRI terlihat paling ken menentang
penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus di Pertamina yang diusulkan oleh
F-PP dan F-DI. Sikap yang sama juga ditujukan oleh F ABRI dalam menolak usulan
penggunaan hak angket pada kasus kerusuhan massal di Tanjung Priok (Maarif, 2011:
26-27).
Mengingat lemahnya lembaga legislatif di masa Orde Baru, lembaga legislatif di
masa pasca Orde Baru berusaha untuk diperkuat kembali fungsinya dengan cara
membangun lembaga perwakilan yang memiliki otoritas lebih besar. Maksudnya,
lembaga itu tidak saja mampu menjalankan fungsi perwakilan, melainkan juga
memperjuangkan kepentingan kepentingan dari konstituen atau rakyat yang
diwakilinya. Demikian juga lembaga legislatif berfungsi untuk melakukan pengawasan
terhadap pemerintah atau eksekutif. Penguatan ini terlihat dari adanya
pengeksplisitun fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain
itu. DPR juga diberikan otoritas di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan
sumber-sumber keuangan melalui APBN. Otoritas yang terakhir ini dimaksudkan agar
DPR memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstituen melalui kebijakan
anggaran. Selain itu, DPR juga memiliki otoritas di dalam mengalokasikan anggaran
untuk dirinya agar bisa menjalankan fungsi-fungsi perwakilan lebih maksimal
(Marijan, 2010: 42 43).
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah dibentuknya lembaga perwakilan
baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan adanya lembaga tersebut,
sekaligus secara bersamaan dikuranginya peran-peran strategis dari MPR, maka
sistem yang berlaku di masa pasca Orde Baru adalah sistem dua majelis atau
bicameral Hanya saja, persoalannya kemudian sistem bicameral yang dipakai masih
terbatas, yaitu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis mengenai daerah,
peran dari DPD juga masih terbatas. DPD, sebagai contoh, tidak bisa menjalankan
fungsi legislasi sebagaimana dimiliki oleh DPR. Dengan demikian, meskipun saat ini
sudah terdapat lembaga DPD, ritme kerja dan performance lembaga perwakilan itu
tidak berbeda jauh dengan sebelum adanya DPD. Tidak terlalu mengherankan kalau
dikatakan bahwa DPD seperti antara ada dan tiada (Marijan, 2010: 48-49).
Bila dikaji lebih dalam, kalaupun ada perubahan yang berkaitan dengan DPD
maka hal itu lebih dekat pada persoalan sumber rekrutmen. Pada Pemilu 2004, DPD
di konstruksi sebagai wakil daerah yang berasal dari orang-orang nonpartai
(independen). Kalaupun ada orang partai yang hendak mencalonkan diri, harus
terlebih dahulu mengundurkan diri dari parpol. Pada Pemilu 2009 terdapat beberapa
perubahan pada DPD. Perubahan tersebut di antaranya: calon anggota DPD bukan
hanya orang-orang nonpartai; anggota dan pengurus partai pun diperbolehkan tanpa
ada keharusan untuk mengundurkan diri sebagaimana sebelumnya (Marijan, 2010:
48).
Jika mengacu kepada ketiga fungsi dari DPR (yaitu perwakilan, pengawasan,
dan legislasi), maka kita bisa memeriksa bagaimana bekerjanya DPR di masa pasca
Orde Baru. Dalam bahasa Ziegenhain (2009: 40), para anggota DPR di masa Orde Baru
berada dalam persimpangan melayani kepentingan dari rakyat Indonesia ataukah
motivasi pribadi mereka daripada fokus pada kombinasi alasan strategis, rivalitas
parpol dan populisme? Perilaku yang ambigu ingin melayani kepentingan siapa adalah
hal yang umum terjadi saat ini. Meskipun sikap tersebut juga merupakan tipikal untuk
parlemen di negara yang stabil demokrasinya, adalah meragukan untuk negara yang
demokrasinya berkembang sejak legitimasi dan kredibilitas dari anggota legislatif
memiliki akar sejarah yang lemah. Kepercayaan rakyat dalam institusi demokrasi baru
seperti parlemen tidak dapat diterima begitu saja.

KEGIATAN BELAJAR 2
Lembaga Legislatif Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru
A. DEFINISI KONSEP DAN FUNGSI LEMBAGA EKSEKUTIF
Lembaga eksekutif, berbeda dengan lembaga legislatif, menjalankan peran
sebagai lembaga yang melaksanakan undang-undang. Kata eksekutif itu sendiri
berasal dari kata dalam bahasa Inggris to execute yang artinya "untuk melakukan".
Dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, siapakah yang dimaksud dengan lembaga
eksekutif itu? Lembaga eksekutif dalam dilihat arti sempit yang terdiri dari kepala
pemerintahan di negara tersebut dan kabinetnya. Ingat, dalam sistem presidensial
yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri yang membantu
tugas dari presiden dan wakil presiden. Sedangkan, dalam sistem parlementer,
lembaga eksekutif adalah perdana menteri beserta dengan para menteri.
Eksekutif dalam arti luas ialah tidak hanya kepala pemerintahan dan kabinet,
melainkan juga birokrasi dan militer. Mengapa birokrasi dan militer termasuk
eksekutif? Hal ini mengingat keduanya (birokrasi dan militer) bertugas melaksanakan
undang-undang, sebab tidak semua dapat dikerjakan sendiri oleh kepala
pemerintahan dan kabinetnya. Hal-hal yang teknis seperti pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan kegiatan teknis lain
yang sejenis; mustahil dikerjakan langsung oleh kepala pemerintahan dan kabinet.
Sebabnya adalah meskipun melaksanakan undang-undang, tugas dari kepala
pemerintahan adalah pembuat kebijakan yang lebih teknis/operasional dari undang-
undang (Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden) dan
memastikan bahwa menteri-menteri beserta dengan jajaran birokrasi dan militer
benar-benar menjalankan tugas dan fungsi mengerjakan hal teknis dari
pengimplementasian kebijakan dengan baik.
Menurut Austin Ranney (1997: 234), lembaga eksekutif mengacu pada institusi
atau aktivitas pemerintahan yang secara jelas tidak dalam wilayah baik legislatif atau
lembaga yudikatif. Pemimpin dalam lembaga eksekutif dapat berupa presiden,
perdana menteri, monarki, diktator, dan junta. Lebih lanjut Ranney (1958: 398-399)
menyatakan bahwa ada tiga tipe prinsip dan lembaga eksekutif sebagai kepala
negara. Pertama, hereditary monarchs at monarki berdasarkan keturunan. Artinya,
seorang yang mewarisi posisinya dari orang tuanya yang memilikinya sebelumnya dan
yang menjalankan fungsi tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Kedua,
elected "monarchs". Dalam negara dengan sistem monarki konstitusional, suda
dilakukan pemisahan fungsi pembuatan kebijakan dari monarki dan yang tersisa
untuk monarki hanyalah fungsi seremonial saja. Ketiga, kepala pemerintahan terpilih.
Menurut ilmowan lain, Andrew Heywood (1997: 318-319) menyebut adanya
lima fungsi dari lembaga eksekutif. Pertama, menjalankan tugas tugas seremonial,
Untuk fungsi ini misalnya, seorang pemimpin lembaga eksekutif menjalankan kegiatan
negara, kunjungan luar negeri, konferensi internasional, dan ratifikasi perjanjian dan
peraturan internasional. Fungsi kedua, kepemimpinan dalam pembuatan kebijakan.
Fungsi kunci dari lembaga eksekutif adalah mengarahkan dan mengontrol proses
kebijakan. Pendeknya, lembaga eksekutif diharapkan memerintah. Peran ini diperluas
secara substansial selama abad 20 merespons tanggung jawab pemerintah yang
makin luas. Fungsi ketiga, adalah kepemimpinan umum. Popularitas dari lembaga
eksekutif, lebih daripada banyak bagian lain dari sistem politik.

B. LEMBAGA EKSEKUTIF DI MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU


Keberadaan lembaga legislatif di Indonesia yang akan dibahas pada materi kita
akan dibatasi pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru. Hal ini tidak berarti bahwa
sejarah keberadaan sebelumnya tidak penting, tetapi tetap menjadi acuan untuk
meletakkan fondasi praktek ataupun koreksi pada masa sesudahnya.
Berbicara lembaga eksekutif di masa Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan mengenai pelibatan militer oleh Soeharto di dalam politik, termasuk di
dalam lembaga eksekutif. Pelibatan militer sudah terjadi sejak awal Orde Baru,
misalnya di tahun 1966 ketika Soeharto membentuk staf pribadi (Spri) yang terdiri
dari para perwira Angkatan Darat yang berkembang dari 6 menjadi 12 orang anggota
dalam tahun 1968. Spri dipimpin oleh Mayjen Alamsyah dengan anggota yang dibagi
dalam berbagai bidang urusan, seperti misalnya: keuangan, politik, intelijen luar
negeri, intelijen dalam negeri, kesejahteraan sosial, dan pemilihan umum.
Perkembangan berikutnya pada tahun 1967, para anggota Spri bersama-sama dengan
beberapa jenderal lainnya yang dekat dengan Soeharto (yaitu: Panglima AD Letjen
Panggabean, Mendagri Mayjen Basuki Rachmat, dan Direktur Pertamina Mayjen Ibnu
Sutowo) menjalankan pengaruh yang menentukan atas politik pemerintah (Crouch,
1986: 346).
Mengenai keterlibatan ABRI, sekarang menjadi TNI dan umumnya disebut
militer, di dalam politik tidak dapat dilepaskan dari perwujudan Dwifungsi ABRI.
Dwifungsi ABRI menempatkan ABRI sebagai ala pertahanan negara dan juga kekuatan
sosial politik dalam usaha menegakkan cita-cita Orde Baru. Sebagai pelaksanaan
Dwifungsi ABRI maka pemerintah Soeharto menugaskan prajurit ABRI dalam
lembaga/instansi/badan organisasi di luar jajaran ABRI. Maksud dan tujuan
penugasan tersebut adalah untuk pengamanan politis ideologis terutama pada saat
awal Orde Baru dan selanjutnya berkembang untuk menyukseskan pembangunan
nasional serta menjamin tercapainya sasaran program-program pembangunan yang
temaktub dalam Repelita-repelita (Soebijono, et.al., 1992, 134).
Berbicara mengenai Soeharto, sebagai presiden atau pemimpin lembaga
eksekutif di masa Orde Baru, sosok Soeharto memimpin lembaga eksekutif dengan
menggunakan kekuasaan secara otoriter, represif, tertutup, dan personal. Hal itu
menyebabkan timbulnya hegemoni atau dominasi negara terhadap masyarakat.
Sumber kekuasaan politik dan ekonomi berada di tangan negara, dan setiap individu
maupun kelompok dapat memperoleh sumber kekuasaan itu apabila mendekatkan
diri pada negara (Tim LIP FISIP UL 1998: 12).
Sosok Soeharto sendiri berdasarkan jajak pendapat Laboratorium Ilmu Politik
FISIP UI adalah lebih sosok perusak daripada pembangun. Citra lain yang ditangkap
oleh responden terhadap sosok Soeharto adalah kesalahannya dalam hal kurang
membangun perekonomian rakyat dan mengekang kehidupan politik. Apabila
dibandingkan antara kesalahan Soeharto dan jasanya, mayoritas responden lebih
menilai kesalahan Soeharto lebih besar ketimbang jasanya. Keberlangsungan Orde
Baru selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto menunjukkan pentingnya
faktor kepemimpinan Socharto. Dalam bahasa William Liddle, pemahaman akan Orde
Baru tak bisa dilepaskan dari faktor kemampuan manajemen politik Soeharto yang
luar biasa. Masih menurut Liddle, sosok Soeharto sebagai pemimpin lembaga
eksekutif, memimpin dengan gaya kepemimpinan personal (Liddle dalam Fatah, 2000;
188).
Beralih ke masa pasca Orde Baru, kepemimpinan lembaga eksekutif di masa
tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks sistem politik yang dibangun. Pasca
runtuhnya rezim Soeharto, sistem politik yang dibangun adalah sistem politik menuju
tatanan demokratis. Jika sebelumnya disebutkan unsur personal dalam gaya
kepemimpinan Soeharto begitu kuat, hal sebaliknya di masa pasca Orde Baru. Hasil
amandemen UUD 1945 di tahun 1999-2002 menunjukkan bahwa sosok presiden tidak
bisa 'sekuat dan seberkuasa sebelumnya. Presiden hanya dapat dipilih sebanyak dua
kali. Setelah itu, tidak dapat mencalonkan diri kembali. Selain itu, kekuasaan lembaga
eksekutif juga diharapkan seimbang dan sejajar dengan lembaga legislatif.
Kekuasaan lembaga eksekutif didistribusikan kepada lembaga negara lain untuk
mencegah kecenderungan pemerintahan tidak demokratis. Kekuasaan presiden juga
dibatasi. Di antara kekuasaan presiden yang dibatasi dan dikontrol itu adalah hal-hal
yang berkaitan dengan kekuasaan legislasi dan yudikatif. Dalam Pasal 5 UUD 1945
dikatakan bahwa: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, Demikian halnya pada kekuasaan yudikatif, kekuasaan
presiden juga dibatasi. Setelah di amandemennya UUD 1945, proses pemberian grasi
dan rehabilitasi harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan
proses pemberian amnesti dan abolisi harus memerhatikan pertimbangan DPR.
Kekuasaan presiden yang lain seperti mengangkat duta dan konsul tidak lagi
dijalankan sendiri, melainkan harus memerhatikan pertimbangan DPR (Marijan, 2010:
24).
Implikasi dari perubahan dalam UUD 1945 relatif signifikan. Relasi antara
lembaga perwakilan (DPR) dengan lembaga presiden berlangsung lebih seimbang. Di
dalam pembuatan keputusan-keputusan penting, presiden tidak bisa melakukannya
sendiri tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan DPR (Marijan, 2010: 25).
Ke depannya, harus dibangun kriteria ideal kepemimpinan politik di Indonesia
yang dapat menjadi pemimpin di lembaga eksekutif. Kriteria tersebut adalah:
Pertama, yang ingin menjadi pemimpin sejati dan negarawan. Dalam hal ini,
pemimpin tersebut harus dapat memanfaatkan dukungan politik dan menjaga
keseimbangan politik sambil mencari jalan yang paling mudah dan cepat menuju
tercapainya pembangunan nasional. Kedua, sosok tersebut harus mampu
menghilangkan dan melawan keras anggapan bahwa politik bertujuan semata-mata
untuk mencari kursi, kedudukan, dan jabatan. Ketiga, sosok pemimpin ideal adalah
yang tidak mau terhambat langkah-langkahnya hanya untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan
bagi seluruh bangsa Indonesia terkendala oleh tekanan-tekanan yang datang dari
kekuatan pemilik modal, politisi, kelompok penekan, dan sebagainya.

MODUL 6
LEMBAGA YUDIKATIF DI INDONESIA
KEGIATAN BELAJAR 1
KONSEP, PERANDANFUNGSILEMBAGAYUDIKATIF
A. KONSEP LEMBAGA YUDIKATIF
Kata lembaga yudikatif dalam bahasa inggris, istilah yang sering
dipakaia dalah judicial institution atau the judiciary.Berbeda dengan dua
lembaga lain, lembaga legislative dan lembaga eksekutif, lembaga legislative
lebih kental bernuasa hukum ketimbang politis.
Menurut Heywood, lembaga yudikatifadalahcabangdaripemerintahan yang
betugasnya adalah memutuskan sengketa hukum.fungsi utama dari hakim
Adalah menginterpretasikan hukum,dalam arti mereka menginterprestasikan
atau mengkonstruksikan hukum.
B. PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA YUDIKATIF
Lembagayudikatifdapatdikategorikandalamsejumlahtipeprinsip.tipepertama,
pengadilan regular dana administrasi. Tipe kedua adalah pengadilan sipil dan
criminal.tipeketigaadalah pengadilannasional dan local.pembahasan berikutnya
adalah mengenaihierarkhi dalam sistem pengadilan nasional.pertama,
berkaitan dengan hierarkhi dalam sistem pengadilan nasional dan proses
appealate.kedua, mengenaistrukturumumdarihierarkhi pengadilan.
KEGIATAN BELAJAR 2
Lembaga Yudikatif Masa Orde Baru Dan Pasca Baru

A. Lembaga Yudikatif Masa Orde Baru


Pada awal orde baru ,desakan agar kewenangan melakukan pengujian undang-
undang diserahkan kepada badan peradilan semakin sering didengungkan oleh
berbagai kalangan di masyarakat .didesakan ini sejalan dengan tuntutan untuk
menegakkan paham konstitusionalisme yang semakin menguat dalam
masyarakat pada saat itu. Hal tersebut muncul sebagai reaksi terhadap
kesewenang-wenangan rezim dalam melakukan pengelolaan pemerintah dan
Negara,khususnya selama demokrasi terpimpin dibawah kekuasaan presiden
sukarno
Pada masa demokrasi terpimpin telah terjadi penyelewengan- penyelewengan
terhadap asas kebebasan badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh UUD
1945,yaitu dengan dikeluarkannya undang-undang no 19 tahun 1964 tentang
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman ,dimana pada pasal 19 undang-undang
ini menyatakan bahwa: “demi kepentingan revolusi,kehormatan Negara dan
bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak ,presiden dapat turut atau
campur tanggan dalam soal pengadilan .
Disamping itu ,dalam masa demokrasi terpimpin telah terjadi penyelewengan-
penyelewengan lain yang juga bertentangan dengan asas kebebasan badan
yudikatif ,yaitu member status menteri kepada ketua mahkamah agung .dengan
demikian jabatan ketua mahkamah agung yang sebenarnya merupakan jabatan
yang terpisah dari badan eksekutif ,menjadi bagian dari badan eksekutif
pula,disamping merupakan bagian dari badan yudikatif.
Asas yudicial review seperti yang ada di amerika serikat dan india tidak
dikenal di Indonesia sebelum masa reformasi ;UUD 1945 tidak menyebutkan
hal tersebut ,akan tetapi ,pasal 130 UUD 1949 dan pasal 95 UUD 1950 dengan
tegas mengatakan bahwa:” undang-undang tidak dapat diganggu gugat”
B. Lembaga Yudikatif Pasca-Orde Baru
Pasca amandemen UUD 1945 kedudukan lembaga yudikatif di Indonesia pada kurun
waktu tahun 1999-2002 mengalami perubahan yang cukup signifikan.perubahan pertama
adalah dibentuknya lembaga baru selain mahkamah agung ,yaitu mahkamah konsitusi
dan komisi yudisial .tujuan utama pembentukan kedua lembaga ini adalah untuk
memperkuat lembaga yudikatif dalam konteks sistem politik demokratis.
Perubahan kedua ,pengurangan kewenangan di tubuh mahkamah agung dan secara
bersama adanya pemberian kewenangan kepada lembaga baru yaitu mahkamah
konstitusi.
.

Anda mungkin juga menyukai