Anda di halaman 1dari 9

Nama : Miftachul Munir

NIM : 1920110025

Kelas : HKI A / 5

Mata Kuliah : Metodologi Penelitian Hukum

Dosen Pengampu : Nabila Luthvita Rahma, SH.,MH.

PERKEMBANGAN TEORI DAN PRAKTIK MENGENAI PARLEMEN DI INDONESIA

Penulis : Andy Omara, Joko Setiono, Muhammad Ibrahim dan Faiz Rahman.

Abstrak : Ide mengenai Parlemen, cabang pemerintahan yang berkuasa membuat dan
mengubah undang-undang, telah menjadi topik perdebatan bagi para sarjana sejak
zaman dulu kala. Artikel ini bermaksud untuk menceritakan secara singkat tentang
perkembangan konsep lembaga legislatif dan menjelaskan dinamika perkembangan
sistem parlemen di Indonesia dalam hukum konstitusi dari sudut pandang historis.
Artikel ini menunjukkan bahwa Parlemen adalah institusi yang terus berkembang,
dengan sistem bikameralisme yang tampaknya lebih cocok dengan sistem demokrasi
perwakilan. Meskipun telah mempraktikkan sistem parlemen yang berbeda-beda dalam
sejarahnya, sejak masa reformasi Indonesia lebih cenderung menganut sistem
bikameralisme lunak.

A. Pendahuluan
Parlemen memegang peranan penting dari eksistensi suatu negara,
apabila dilihat secara konseptual dan historis, maka kehadiran parlemen di suatu
negara selain menjadi wadah representasi dari rakyat juga ditujukan untuk
mengimbangi kekuasaan pemerintahan lain melalui adanya pemisahan dan
pembatasan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hal ini salah satunya
tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menegaskan bahwa Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat, di mana alinea keempat Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sehingga, untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, perlu mewujudkan
lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
Saat ini setidaknya terdapat tiga lembaga yang memegang fungsi
permusyawaratan/perwakilan, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

1
Terkait dengan MPR, terdapat perubahan mendasar mengenai
kedudukan dan keanggotaan MPR. Mengenai kedudukan, MPR yang semula
merupakan lembaga tertinggi Negara kemudian menjadi lembaga negara. DPR
sebagai salah satu lembaga perwakilan di Indonesia juga mengalami perubahan
mendasar. DPR juga dituntut untuk mampu menjadi parlemen modern yang
bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi DPR.
Terkait dengan DPD, sebagai sebuah lembaga baru yang dibentuk
melalui perubahan UUD 1945, ditujukan untuk lebih mengakomodasi suara
daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah-daerah.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua permasalahan yang dibahas. Pertama,
mengenai perkembangan teori mengenai parlemen, dan kedua berkaitan dengan
dinamika praktik parlemen di Indonesia .
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,
yang menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan primer, bahan
sekunder, dan bahan tersier sebagai sumber data utama. Dalam penelitian
ini,digunakan bahan primer berupa peraturan perundang-undangan, baik yang
pernah berlaku maupun yang masih berlaku,. Adapun bahan sekunder yang
digunakan adalah buku, jurnal, artikel, serta dokumen lain yang berkaitan
dengan parlemen. Untuk bahan huku tersier, digunakan kamus hukum dan
KBBI.Berbagai data dianalisis secara kualitatif yang menghasilkan data yang
bersifat deskriptif-analitis.

B. Pembahasan
1) Perkembangan Teori mengenai Parlemen
Parlemen, sebagai lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan legislatif, mempunyai makna yang berbeda-beda, tergantung
dari tradisi hukum dan prinsip-prinsip yang dianut dalam konstitusi suatu
negara. Di Inggris, misalnya, Parlemen, yang dikenal dengan model
Westminister, mempunyai kekuasaan hukum yang tertinggi karena dapat
membuat dan menghapuskan hukum dalam bentuk apa pun.
Parlemen pertama kali terwujud dalam pertemuan-pertemuan
antara raja dengan bawahannya di mana raja meminta nasihat,
persetujuan dan dukungan. Parlemen pada saat itu tercermin pada raja
dan kekuasaan parlemen pada prinsipnya adalah kekuasaan raja yang
didukung dengan nasihat dan persetujuan.
Pada pemerintahan yang sederhana hanya kepentingan satu
kelas sosial saja yang terwakili, yaitu kepentingan raja, kepentingan para
aristokrat atau kepentingan sebagian dari masyarakat. Sedangkan dalam
pemerintahan campuran mengikutsertakan perwakilan dua atau lebih dari
kepentingan konstituen. Keuntungan dari pemerintahan campuran ini
2
adalah tidak ada satu elemen di dalam masyarakat yang dapat
menggunakan instrumen pemerintahan untuk mengeksploitasi
masyarakat yang lainnya. Pada zaman Romawi Kuno, para filsuf
menekankan kontribusi senator untuk pemerintahan yang efisien.
Meskipun pemerintahan campuran menjanjikan stabilitas namun
pemerintahan yang sederhana menjanjikan beberapa hal yang baik.
2) Praktik Parlemen di Indonesia
Praktik parlemen di Indonesia secara historis dapat ditarik sejak
masa terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat) pada masa kolonial.
Volksraad merupakan badan yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang memegang fungsi legislatif. Pada masa awal kemerdekaan
Indonesia, struktur kelembagaan negara masih belum dibentuk.
Ketentuan untuk membentuk lembaga-lembaga negara pada masa awal
kemerdekaan, khususnya lembaga permusyawaratan dan perwakilan,
dapat ditemukan dalam Aturan Peralihan UUD 1945 Sebelum
Perubahan. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, selain terdapat
perubahan sigifikan pada bentuk negara dan sistem pemerintahan, juga
terdapat adanya pergeseran sistem parlemen yang digunakan. Konstitusi
RIS 1949 secara eksplisit menyebutkan adanya nomenklatur Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Senat. Hal ini dapat disimpulkan adanya
pergeseran sistem parlemen menjadi bikameral, mengingat Pasal 127
Konstitusi RIS 1949. Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 15
Agustus 1950 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
1950), sehingga otomatis struktur ketatanegaraan yang terbangun
melalui Konstitusi RIS 1949 berubah pasca berlakunya UUDS 1945.UUD
1945 di amandemen 4 kali dan amandemen terakhir Meskipun dianggap
memiliki struktur bikameral, kedudukan antara DPR dengan DPD pun
tidak setara, di mana kekuasaan pembentuk undang-undang masih tetap
di tangan DPR, sedangkan DPD hanya memiliki kewenangan untuk
mengajukan rancangan dan ikut membahasnya.
C. Penutup
1) Kesimpulan
Secara konseptual, ide mengenai lembaga parlemen dapat ditelusuri
sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, meskipun pada masa itu belum
mengenal adanya pembagian kamar dalam parlemen.Namun demikian,
tulisan ini menunjukkan bahwa peran kamar kedua parlemen yang
independen dalam sistem demokrasi tetaplah penting karena dapat
mengakomodasi representasi dalam badan perwakilan yang kadang tidak
partisipatif memungkinkan adanya keputusan yang dibuat oleh kamar
3
kedua dalam keadaan yang tenang dan jernih. Dinamika praktik
parlemen di Indonesia cukup bervariasi, baik yang menerapkan sistem
unikameral, maupun bikameral. Penerapan sistem unikameral tercermin
dalam Volksraad, KNIP, MPRS, dan MPR sebelum amandemen.
Sedangkan model bikameral, dapat dilihat pada masa Konstitusi RIS
1949. Pasca amandemen UUD NRI 186 Tahun 1945, terdapat beberapa
pandangan terhadap bentuk parlemen yang diterapkan di Indonesia, baik
dari pandangan unikameral, bikameral, bahkan trikameral. Namun,
apabila dilihat dari konsepsi parlemen sebagai lembaga yang mewakili
dan menyuarakan masyarakat, maka DPD sebagai salah satu lembaga
perwakilan yang memiliki legitimasi kuat karena juga dipilih secara
langsung oleh rakyat,

REFORMULASI STRUKTUR HUKUM YANG IDEAL BAGI LEMBAGA TINDAKAN


PEMANANAN PERDAGANGAN ( SAFEGUARDS ) DI INDONESIA
Penulis : Mahfud Fahrazi

Abstrak : Penelitian ini mengkaji tentang Reformulasi Struktur Hukum yang ideal bagi
Lembaga Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguards) di Indonesia. Tujuan
penelitian ini untuk menganalisis kendala efektivitas lembaga Tindakan Pengamanan
Perdagangan (Safeguards) di Indonesia serta reformulasi struktur hukum yang ideal
bagi lembaga Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguards) di Indonesia. Kajian
ini menggunakan jenis penelitian Normatif dengan pendekatan konseptual. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa kendala efektivitas lembaga Tindakan Pengamanan
Perdagangan (Safeguards) di Indonesia yaitu adanya (1). Kelemahan pertama adalah
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) tidak berfungsi sebagai lembaga
tribunal. (2). Ketergantungan dengan lembaga yang lain serta (3). Adanya egoisme
sektoral. Adapun reformulasi struktur hukum yang ideal bagi lembaga Tindakan
Pengamanan Perdagangan (Safeguards) di Indonesia, yaitu dengan membentuk
lembaga remedi perdagangan Indonesia yang independen, yang akan berfungsi
sebagai institusi pengadilan atau tribunal perdagangan.

A. Pendahuluan
Bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia atau
World Trade Organization (WTO) turut melahirkan konsekuensi praktis bagi
Indonesia sebagai negara yang berkembang. maka pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan telah membuat upaya antisipasi untuk
4
merespons kemungkinan lahirnya dampak negatif sebagai konsekuensi
praktis. Upaya tersebut ditunjukkan melalui pembentukan beberapa aturan, di
antaranya seperti pembentukan UU No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, UU Nomor 7
Tahun 2014 ,serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan dan
Tindakan Pengamanan Perdagangan. Selain pembentukan regulasi
tersebut, upaya lain pemerintah adalah dengan membentuk lembaga-
lembaga pengamanan perdagangan seperti Komite Pengamanan
Perdagangan Indonesia (KPPI) serta Direktorat Pengamanan Perdagangan
(DPP).
Kajian ini menggunakan jenis metode penelitian Normatif dengan
menjadikan fokus kajian pada struktur hukum Lembaga Pengamanan
Perdagangan di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan konseptual, yaitu dengan menjadikan konsep sistem
hukum yang dibangun oleh Lawrence. M. Friedman sebagai tolak ukur
dalam mengkaji permasalahan efektivitas lembaga pengamanan
perdagangan (Safeguards) di Indonesia. Selain itu, pendekatan lain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-
undangan.

B. Pembahasan
1) Kendala Efektivitas Lembaga Tindakan Pengamanan Perdagangan
(Safeguards) di Indonesia.
Untuk menjadi lembaga pengamanan perdagangan yang memiliki
kewenangan yang luas dan independen, hal tersebut masih terhalang
beberapa kendala, seperti:
 Tidak berfungsi sebagai tribunal
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia melaksanakan
fungsi:
 Melakukan penyelidikan terhadap kerugian serius atau
ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri
dalam negeri sejenis atau barang yang secara
langsung bersaing dengan barang yang diselidiki
sebagai akibat lonjakan jumlah impor;
 Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan
informasi terkait dengan penyelidikan
 Membuat laporan hasil penyelidikan;

5
 Merekomendasikan pengenaan tindakan
pengamanan kepada Menteri dan
 Melaksanakan tugas lain terkait yang diberikan oleh
Menteri.

 Ketergantungan dengan Lembaga lain


Pengertian dari memiliki ketergantungan dengan lembaga
yang lain adalah bahwa KPPI sebagai lembaga yang didirikan
khusus untuk menanggulangi masalah lonjakan impor masih
tidak memiliki kewenangan independen yang mencakup
semua kewenangan tindakan pengamanan, baik dari
penyelidikan, pengenaan bea masuk serta pengenaan kuota,
dan kewenangan dalam menghadapi tuduhan-tuduhan yang
dilakukan oleh negara-negara anggota dalam hal ada
keterkaitan dengan sengketa dagang
 Egoisme sektoral kelembagaan

Kelemahan selama ini yang melekat pada sistem


pemerintahan yang ada di Indonesia. Bukan rahasia lagi
bahwa lembaga- lembaga pemerintah departemen
ataupun non-departemen, setiap berganti kepemimpinan
pasti saja selalu terjadi bukan saja pergantian kebijakan,
tetapi juga pergantian personalia. Apalagi setelah
reformasi, jabatan-jabatan pimpinan lembaga-lembaga
pemerintah seakan lebih ditentukan oleh alokasi
pembagian kekuasaan antar partai politik daripada
kemampuan profesional seseorang

2) Reformulasi Struktur Hukum yang Ideal Bagi Lembaga Tindakan

Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya,


pelaksanaan tindakan pengamanan perdagangan di Indonesia
melibatkan empat lembaga sekaligus, yaitu KPPI yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kerugian
serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri
dalam negeri sejenis atau barang, Kementerian Keuangan yang
memiliki kewenangan untuk menetapkan bea masuk,Kementerian
Perdagangan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan
kuota,serta DPP yang memiliki kewenangan menghadapi tuduhan
Negara lain terkait dengan membanjirnya produk Indonesia di
pasar Negara tersebut sehingga menimbulkan kerugian.

6
KPPI senantiasa harus memperhatikan, mengawasi,
mendengar dan mewujudkan kebutuhan hukum para pemangku
kepentingan dalam hal ini mereka pada pelaku industri
nasional.Eksistensi lembaga pengamanan perdagangan yang
tidak mendapatkan simpati dari para pelaku industri nasional
akan berpengaruh langsung pada kinerja lembaga itu sendiri.
Apabila sementara ini lembaga tersebut diharapkan mampu
menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir
pelaksanaan pengamanan perdagangan dalam menanggulangi
kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh
industri dalam negeri sejenis atau barang yang secara langsung
bersaing dengan barang yang diselidiki sebagai akibat lonjakan
jumlah impor, maka tidak menutup kemungkinan dapat bergeser
fungsinya menjadi benteng terakhir dalam upaya pemerintah
membangun industri nasional yang kompetitif dalam pasar
global.

C. Penutup

1) Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan


bahwa kendala efektivitas lembaga Tindakan Pengamanan
Perdagangan di Indonesia yaitu adanya:(1) kelemahan pertama
adalah KPPI tidak berfungsi sebagai lembaga tribunal,(2)
ketergantungan dengan lembaga yang lain ,dan (3) kelemahan
kelembagaan lainya adalah adanya egoisme sektoral.
Reformulasi struktur hukum yang ideal bagi lembaga
Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguards) di Indonesia,
yaitu dengan membentuk lembaga remedi perdagangan
Indonesia yang independen, yang akan berfungsi sebagai
“institusi pengadilan” atau “tribunal perdagangan”, sangat
diperlukan mengingat lembaga remedi perdagangan yang
independen akan terbebas dari intervensi-intervensi ekonomi
dan politik dari luar, sehingga keputusan untuk menerapkan
tindakan pengamanan perdagangan benar-benar didasarkan
pada hasil investigasi yang obyektif. adanya perluasan
kewenangan KPPI juga memiliki kewenangan untuk
merekomendasikan pengenaan tindakan pengamanan kepada
Menteri, “namun dalam hal ini diperluas dengan kewenangan
melakukan putusan apakah dilakukan penetapan bea masuk
dan kuota” yang selama ini dipegang kewenangannya oleh
7
kementerian perdagangan dan keuangan. Sedangkan yang
melaksanakan pengenaan bea masuk tersebut tetap dalam
kewenangan Kementerian Keuangan dan Perdagangan.

8
9

Anda mungkin juga menyukai