Anda di halaman 1dari 10

PEMBAGIAN KEKUASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Tata Negara

Dosen Pengampu: Taufiq Alamsyah, SH., MH.

Disusun Oleh:
Kelompok 7

Salman Alfarisi 1223010130


Sevilla Ananda 1223010138
Syahrul Ramadhan 1223010148
Zidni Irfan 1223010164

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2023
PEMBAGIAN KEKUASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

A. Pengertian Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang

Pembagian kekuasaan dalam konteks hukum, khususnya dalam sistem pemerintahan


demokratis, adalah prinsip fundamental yang menentukan bahwa kekuasaan pemerintahan
dibagi antara berbagai cabang pemerintahan atau lembaga, dan masing-masing cabang
memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem pemerintahan.

Pembagian kekuasaan dalam undang-undang umumnya merujuk kepada tiga cabang


pemerintahan utama:

1. Kekuasaan Eksekutif: Cabang eksekutif dipegang oleh pihak eksekutif pemerintahan, seperti
presiden atau perdana menteri. Fungsi utama cabang eksekutif adalah melaksanakan undang-
undang yang telah disahkan oleh cabang legislatif dan menjalankan kebijakan pemerintah.
Mereka juga bertanggung jawab atas administrasi pemerintahan dan keamanan nasional.

2. Kekuasaan Legislatif: Cabang legislatif adalah badan legislatif seperti parlemen atau kongres
yang bertugas membuat undang-undang baru, mengubah undang-undang yang ada, dan
mengawasi kegiatan pemerintah. Cabang ini berfungsi untuk mewakili kehendak rakyat dan
mengawasi kebijakan yang dijalankan oleh pihak eksekutif.

3. Kekuasaan Yudikatif: Cabang yudikatif terdiri dari sistem peradilan dan pengadilan yang
bertugas menafsirkan undang-undang, menegakkan hukum, dan menjalankan proses hukum
dalam menyelesaikan sengketa. Mereka bertindak sebagai pengawas independen untuk
memastikan bahwa tindakan pemerintah dan undang-undang yang dibuat sesuai dengan
konstitusi dan prinsip-prinsip hukum.

Prinsip pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan


yang seimbang, transparan, dan akuntabel. Dalam banyak negara, pembagian kekuasaan diatur
oleh konstitusi atau undang-undang dasar yang menetapkan peran masing-masing cabang
pemerintahan dan mekanisme keseimbangan kekuasaan. Selain itu, prinsip ini juga
menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengancam hak-hak warga
negara dan stabilitas politik.
B. Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal

Pembagian kekuasaan menurut UUD secara horizontal biasa dikenal dengan kata “Trias
Politica”. Trias Politica berasal dari bahasa latin yang berarti “kekuasaan politik tiga serangkai;
pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan kehakiman” Konsep Trias Politica
dikemukakan oleh Montesquieu (Filsuf Preancis - 1748), di mana Trias Politica berasal dari
bahasa Yunani “Tri” yang berarti tiga, “As” yang berarti poros/pusat, dan “Politica” yang
berarti kekuasaan.

Pemisahan antara eksekutif dan legislatif mempunyai fungsi untuk mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan hukum antar negara, sementara itu kekuasaan yudikatif berkaitan
dengan hal-hal yang berhubungan dengan hukum sipil. Montesquieu menganggap apabila
kekuasaan eksekutif dan legislatif disatukan dalam satu orang atau dalam satu Lembaga maka
tidak akan ada kemerdekaan. Konsep Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaankekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.

Yan Pramadyapuspa dalam “Kamus Umum Populer” mengartikan Trias Politica


dengan “teori ketatanegaraan dimana tiga kekuasaan pokok harus berdiri sendiri satu di
antaranya tanpa di pengaruhi oleh yang lain. Tiga kekuasaan itu adalah; 1. Kekuasaan legislatif
( pouvoir legislative ); kekuasaan pembuat undang-undang , 2. Kekuasaan eksekutif ( pouvoir
executive ) ; kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan 3. Kekuasaan yidikatif ( pouvoir
judiciare ) yaitu kekuasaan mengadili, penemu teori trias politica tersebut adalah Montesquieu
( 1689 – 1755 ) sarjana Perancis terkenal sebagai penemu atau penulis buku “ L’Esprit des Lois”

1) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power)

Lembaga legislatif adalah salah satu dari tiga cabang kekuasaan dalam sistem
pemerintahan Indonesia, selain eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan
untuk merumuskan atau membuat undang-undang yang diperlukan oleh negara. Kekuasaan
untuk membuat undang-undang harus terletah dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika
penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu , maka akan mungkin
tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.

Cabang dari kekuasaan legislatif merupakan cabang kekuasaan yang dapat


mencerminkan kedaulatan rakyat, karena untuk menetapkan suatu peraturan adalah wewenang
dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Legislatif adalah yang terpenting sekali dalam
susunan kenegaraan karena undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup
perumahan Negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi bermasyarakat dan
bernegara.

Tugas utama lembaga legislatif adalah membuat undang-undang yang berlaku di


Indonesia. Namun, selain tugas utama tersebut, lembaga legislatif juga mempunyai tugas-tugas
lain yang tidak kalah pentingnya. Beberapa tugas lembaga legislatif meliputi:

1.Menyusun rencana pembangunan nasional dan anggaran negara.


2.Menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah dalam rangka
pembangunan nasional.
3.Menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemerintahan dan hukum.
4.Menjaga hubungan antara Indonesia dengan negara lain melalui hubungan parlemen.
5.Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
6.Memberikan persetujuan atas kebijakan dan pengangkatan pejabat negara seperti hakim,
jaksa, dan pejabat lainnya.
Beberapa Fungsi Legislatif

a. Fungsi legislasi

Fungsi utama dari lembaga legislatif adalah membuat dan menetapkan undang-
undang sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan. demokrasi secara sederhana merupakan suatu mekanisme untuk
pemilihan dan memberikan kekuasaan kepada pemerintah, bukan satu jenis masyarakat dan
bukan juga seperangkat tujuan moral. Demokrasi merupakan sesuatu yang berat bahkan
mungkin bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit.

Pada pokoknya, fungsi legislatif menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu:

a). Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation)

b). Pembahasan rancangan undang-undang (law making process)

c).Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachment approval);

d). Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan
internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding on
international agreement and treaties or other legal binding documents)
Dalam menjalankan tugasnya, mendapat hak menyususn da mengajukan rancanga,
mengajukan peraturan, menyampaikan usulan dan pendapat, memilih dan dipilih lalu
mendapatkan tunjangan. Legislasi merupakan kewenangan tatanan kelembagaan membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan sampai kepada keputusan- keputusan politik di mana
individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat perjuangan
kompetitif bagi suara rakyat. Dalam menjalankan fungsi legislasi, lembaga legislatif berperan
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan

b. Fungsi anggaran

Fungsi anggaran DPR diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan,

1. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Rancangan undang-undang pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden
untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan
Perwakilan Daerah.
3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

c. Fungsi Pengawasan

Kegiatan pengaturan oleh negara dapat mengurangi hak dan kebebasan warga
negara, membebani harta atau kekayaan warga negara dan mengatur pendapatan dan
pengeluaran oleh penyelenggara negara. Ketiganya perlu dikontrol oleh rakyat sendiri
melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif . Apabila tidak dikontrol, maka
kekuasaan di tangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecenderungan alamiahnya
yaitu menjadi sewenang-wenang.

Dalam praktik, sebenarnya fungsi kontrol atau pengawasan adalah fungsi yang harus
diutamakan karena pada hakikatnya asal mula munculnya konsep parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat itu sendiri dalam sejarah berkaitan erat dengan kata “le parle” yang
berarti “to speak” yang berarti “berbicara” wakil rakyat itu dalah juru bicara rakyat, yaitu
untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat.
2) Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)

Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Kepala


Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh
karena itu, kekuasaan dari kepala Negara dilimpahkan (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat
pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang
(Badan Eksekutif). Lembaga eksekutif dalam arti luas mencakup para pegawai negeri sipil dan
militer. Kepala negara dan kepala pemerintahan, seperti presiden, adalah bagian dari lembaga
eksekutif.

1. Menyusun dan mengimplementasikan kebijakan negara: Lembaga eksekutif bertanggung


jawab untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan negara yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Lembaga eksekutif bertanggung jawab untuk menyelenggarakan administrasi negara,
termasuk manajemen pemerintahan, penganggaran, dan penyediaan pelayanan publik.
3. Lembaga eksekutif bertugas untuk memastikan hukum ditegakkan dengan adil dan tegas.
Aspek ini melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penegak hukum lainnya.
4. Lembaga eksekutif bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum di
negara, termasuk memelihara pasukan keamanan dan militer.
5. Lembaga eksekutif berperan dalam menjalin dan menjaga hubungan dengan negara-negara
lain.
6. Memberikan tanda gelar, tanda jasa, atau tanda kehormatan lainnya kepada warga negara
Indonesia atau negara asing yang memiliki jasa untuk negara Indonesia.
7. Menerima dan menyambut duta besar dari negara lain yang datang ke Indonesia.
Lembaga eksekutif di Indonesia dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden yang
terpilih dalam Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. Kementerian negara, pejabat
setingkat menteri, dan lembaga pemerintah nonkementerian juga termasuk ke dalam lembaga
eksekutif.

3) Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers)

Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers adalah


kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan
peradilan kepada rakyatnya. Kekuasaan yudikatif memiliki peran penting dalam menjaga
keadilan dan supremasi hukum di negara.

Meskipun dalam pengangkatan wewenangnya oleh kepala negara (Eksekutif), hakim


memiliki kedudukan yang istimewa dan hak tersendiri karena hakim tidak diperintah oleh
kepala negara yang mengangkatnya bahkan hakim adalah badan yang berhak menghukum
kepala negara jika ada pelanggaran.

Bab IX Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar 1945 mengatur perihal


kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi

1. Menyelesaikan sengketa: Tugas utama kekuasaan yudikatif adalah menyelesaikan


sengketa antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam proses penyelesaian sengketa, kekuasaan
yudikatif harus memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan hukum dan keadilan.
2. Menegakkan supremasi hukum: Kekuasaan yudikatif memiliki peran penting dalam
menegakkan supremasi hukum. Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif harus memastikan bahwa
hukum ditegakkan dengan adil dan tegas.
3. Membentuk preseden hukum: Putusan-putusan yang diambil oleh pengadilan dianggap
sebagai panduan hukum bagi kasus serupa di masa depan. Dengan demikian, kekuasaan
yudikatif memiliki kekuatan untuk membentuk preseden hukum.
4. Melindungi hak asasi manusia: Kekuasaan yudikatif memiliki peran penting dalam
melindungi hak asasi manusia. Melalui pengadilan dan proses peradilan, yudikatif memastikan
bahwa setiap individu memiliki akses ke keadilan, mendapatkan perlakuan yang adil, dan hak-
haknya tidak dilanggar.
5. Pemisahan kekuasaan: Kekuasaan yudikatif berfungsi sebagai pemisah kekuasaan yang
independen dari cabang kekuasaan lainnya, yaitu eksekutif dan legislatif. Hal ini penting untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan, menjaga keseimbangan, dan memastikan bahwa setiap
cabang kekuasaan tidak mendominasi yang lain.
C. Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal Pasca Amandemen UUD 1945 Kekuasaan
Kehakiman, Pertahanan Negara Dan Kekuasaan Moneter

Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi


lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Berdasarkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, secara horizontal pembagian kekuasaan negara di lakukan
pada tingkatan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan pada
tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara lembagalembaga negara yang sederajat.
Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan pusat mengalami pergeseran setelah
terjadinya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pergeseran yang
dimaksud adalah pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga jenis
kekuasaan ( Amandemen /konstitutif, Pertahanan dan keamanan negara, Kekuatan finansial
/moneter ).
a. Kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.

b. Kekuasaan eksaminatif/inspektif, yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan


penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 23 E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

c. Kekuasaan moneter, yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan


moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan
nilai rupiah. Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-undang.

D. Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal

Pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara


antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Dalam konteks hubungan pusat dan daerah,
sudah tentu yang dibahas adalah pembagian kekuasaan negara secara vertikal. Pembagian
kekuasaan negara pada dasarnya bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara atau pemerintah
agar tidak bertindak sewenang-wenang.

Demikian pula halnya pembagian kekuasaan secara vertikal pada dasarnya bertujuan
untuk membatasi kekuasaan pemerintah (pusat) terhadap pemerintahan daerah. Dengan kata
lain tanpa pembagian kekuasaan secara vertikal tidak mungkin kesewenang-wenangan
pemerintah pusat terhadap daerah dapat dicegah. Tanpa pembagian kekuasaan negara secara
vertikal tidak mungkin ada pemerintahan daerah otonom, yang berarti tidak ada penyerahan
kewenangan dari pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan umum untuk masyarakatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia
(desentralisasi).
Dengan kata lain penyerahan kewenangan itu terjadi karena adanya pembagian
kekuasaan secara vertikal. Dengan penyerahan kewenangan itu berarti Pusat membatasi
(dibatasi) kekuasaannya untuk tidak lagi mengatur dan mengurus kewenangan yang telah
diserahkan kepada daerah otonom tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kehadiran
lembaga pemerintahan tingkat daerah (desentralisasi) ini sangat diperlukan.

Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut,
pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).
Pada pemerintahan daerah berlangsung pula pembagian kekuasaan secara vertikal yang
ditentukan oleh pihak yang ada dipemerintahan pusat.

Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin


dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam bidang
administrasi dan kewilayahan. Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai
konsekuensi dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada
pemerintah daerah otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur
sendiri urusan pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat. Pemberian otonomi kepada daerah bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan kepada masyarakat
maupun meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Tahir, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta.

Angkasa, N. (2013). Analisis Kedudukan dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan
kehakiman dalam sistem negara hukum di Indonesia. Nizham Vol. 01 No. 01.

Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri Mulyani. (2016). Penerapan konsep trias politica dalam
sistem pemerintahan republik Indonesia Studi Komparatif atas Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 sebelum dan sesudah Amandemen. Jurnal Dinamika Sosial Budaya,
Volume 18, Nomor 2.

Habibi, M. Y. (2013). pelaksanaan fungsi Legislatif. Jurnal S-1 Ilmu Administrasi Negara
Volume 2 Nomor 2.

Rachman, I. N. (2010). Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif Pasca


Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 2.

Ruhenda, Heldi, Hasan Mustafa, M.Andi Septiadi. (2020). Tinjauan Trias Politika Terhadap
Terbentuknya Sistem Politik dan pemerintahan di Indonesia. Journal of Governance
and Social Policy.

Syamsuddin, M. (2018). tinjauan Politik Islam Terhadap Teori Trias Politika. jurnal Hukum
dan Politik Vol. 9 No. 1.

Tutik, Titik Triwulan, 2007, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial sebagai

Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Marlina, Rika, Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia,


Jurnal Daulat Hukum, 1.1 (2018)

Anda mungkin juga menyukai