Anda di halaman 1dari 6

Nama : I Nyoman Trisna Wahyu Raharja Meranggi

NIM : 2112531080
Prodi : Administrasi Publik
Matkul : Kebijakan Komunikasi & Advokasi

ANALISIS PROSES ADVOKASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN


2020 TENTANG CIPTA KERJA PADA SEKTOR KETENAGAKERJAAN DAN
LINGKUNGAN

Wacana pemerintah Indonesia dalam meningkatkan iklim investasi melalui


Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Cipta Kerja menuai berbagai macam kontroversi. Hal ini
tidak hanya dikarenakan Undang-Undang Omnibus Law pertama di Indonesia tersebut
memiliki permasalahan hukum secara formil yang merujuk pada Peraturan Pembentukan
Perundang-Undangan , tetapi juga memiliki berbagai potensi pengurangan hak-hak pekerja
serta berpotensi mengakibatkan kerusakan sektor Lingkungan dan Agraria. Beberapa
ketentuan pasal yang termuat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut telah memberikan
gambaran secara nyata bahwa kinerja pemerintah pada era jabatan presiden Joko Widodo
periode ke dua tersebut hanya mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi, tanpa
memikirkan kesejahteraan para pekerja, serta efek samping terkait kemudahan perizinan
investasi yang memiliki potensi besar dalam perusakan kualitas lingkungan.
Menurut Louis Massicotte Penggunaan teknik Omnibus Law pada proses pembuatan
kebijakan, ditujukan sebagai alat negosiasi yang kompleks, serta sebagai salah satu cara
mempersingkat waktu prosedural legislasi. Namun penggunaan metode Omnibus di Indonesia
sangatlah tidak cocok, karena Indonesia telah lama menggunakan sistem single subject clause
rule yang menurut Daniel N. Bogger merupakan sebuah cara pembentukan Undang-Undang
dengan hanya menerapkan satu aspek. Penerapan sistem Omnibus juga tidak diatur dalam
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga tidak ada batasan
yang jelas sebagai rujukan penggunaan metode Omnibus Law. Penerapan Omnibus Law
tersebut tanpa adanya ketelitian tentunya akan menimbulkan peraturan yang tumpang tindih.
Berbagai macam tuntutan, serta penolakan oleh masyarakat menjadikan upaya
advokasi kebijakan dalam kasus ini sangat diperlukan. Oleh karena itu tulisan ini penulis
tujukan sebagai bahan kajian, mengenai bagaimanakah proses advokasi kebijakan UU. No 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini.

1. Identifikasi Isu

A. Permasalahan Ketenagakerjaan
Undang-Undang Cipta Kerja telah membuka peluang semakin
meluasnya ruang lingkup pekerja Outsourcing atau pekerja alih daya, sehingga
keterjaminan atas pekerja tetap telah menghilang, peraturan terdahulu yakni
pada pasal 64 dan 65 Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan batasan
terkait pekerjaan apa saja yang dapat di gantikan oleh pekerja alih daya,
namun pada UU Cipta Kerja semua jenis pekerjaan dapat digantikan oleh
pekerja alih daya. Menurut Juliawan (2010) perluasan pekerja Outsourcing
terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja secara efektif.
Perluasan Outsourcing ini juga telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat 1
UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Hal tersebut dikarenakan perluasan
Outsourcing telah menurunkan tingkat kepastian pekerjaan jangka panjang,
mengurangi kemungkinan perusahaan membayar pesangon, serta mengurangi
beban perusahaan membayarkan tunjangan.

B. Permasalahan Lingkungan
Metode Perizinan perusahaan telah diubah oleh UU Cipta Kerja dari
berbasis izin lingkungan menjadi berbasis risiko dan skala perusahaan. Izin
usaha untuk usaha berisiko rendah hanya diperlukan untuk penerbitan Nomor
Induk Berusaha (NIB). Selain itu Penyelesaian sertifikasi standar dikenakan
untuk izin pendirian usaha risiko menengah. Pemerintah Pusat harus
menyetujui terlebih dahulu usaha yang menimbulkan risiko tinggi sebelum
mereka dapat membuka perusahaan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal) khusus hanya diterapkan untuk kegiatan korporasi yang berisiko
tinggi terhadap lingkungan. Selain permasalahan tersebut konsen utama
penolakan masyarakat adalah dikuranginya keterlibatan masyarakat dalam
proses pengkajian perizinan. saat ini, dalam UU Cipta Kerja yang
diperbolehkan untuk ikut serta dalam penyusunan AMDAL hanyalah
masyarakat yang terkena dampak secara langsung, pihak pihak lain seperti
pemerhati lingkungan, tidak di izinkan dalam proses penyusunan AMDAL.
UU Cipta Kerja juga telah mengubah Pasal 34 UU tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan dan Kepentingan Umum, sehingga kini pemerintah
berpotensi melakukan pengambil alihan lahan dengan alasan kepentingan
umum dengan nilai ganti rugi yang ditentukan oleh pihak penilai.

2. Solusi

Solusi yang tepat atas berbagai kecacatan yang terdapat pada pengesahan UU
Cipta Kerja ini adalah dengan melayangkan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan
menawarkan uji formil maupun uji materiil pada pasal tersebut, selain itu juga
melakukan tuntutan bahwa dalam proses pembentukan Undang-Undang Omnibus
pertama di Indonesia haruslah melibatkan secara penuh unsur-unsur masyarakat
terkait (meaningfull participation). Berbagai macam ketentuan dalam pasal yang
merugikan harus mendapatkan perbaikan, sebagai contoh menghapus ketentuan
bahwa segala bentuk pekerjaan dapat digantikan dengan pekerja alih daya,
pembatasan harus jelas agar iklim pekerja baru Outsourcing yang dianggap hanya
akan memberikan kerugian kepada pekerja tidak menimbulkan kecenderungan baru.
Pengubahan sistem pesangon dari yang pro kepada pihak investor/perusahaan menjadi
pro terhadap buruh/pekerja. Dalam Aspek lingkungan ketentuan pasal mengenai izin
usaha yang berpotensi merusak lingkungan harus diperbaharui dan diperjelas
batasan-batasannya. Keterlibatan pemerhati lingkungan harus dikembalikan dalam
proses penyusunan AMDAL, hal ini dikarenakan kecenderungan masyarakat
terdampak untuk mengerti bagaimana kerusakan lingkungan yang akan di akibatkan
tentu tidak sebanding dengan pemerhati lingkungan yang memiliki konsen utama
untuk menjaga lingkungan hidup.

3. Pembangunan Kesadaran Masyarakat

Dalam proses mewujudkan upaya advokasi kebijakan, Kesadaran Masyarakat


mengenai dampak-dampak yang akan menimpa akibat rusaknya penerapan UU Cipta
Kerja sangat diperlukan. Berikut langkah langkah yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat :
1. Identifikasi Mitra
Pada tahapan ini pembentukan jaringan atau koneksi melalui
mitra-mitra strategis harus dilakukan. Mengingat yang paling dirugikan dalam
Undang-Undang Cipta Kerja ini adalah buruh dan Lingkungan, maka pihak
pihak yang dapat dijadikan mitra Pertama adalah LSM yang menaungi hal ini
seperti Serikat Buruh, FPSM, WALHI, serta GREENPEACE, Pihak-pihak
tersebut nantinya dapat berperan sebagai aktor propaganda secara langsung.
Kedua menciptakan iklim gerakan mahasiswa. Peran mahasiswa pada saat ini
masih efektif dalam mempengaruhi kebijakan publik. Ketiga menjalin
hubungan dengan Lembaga Bantuan Hukum, mengingat musuh dalam proses
advokasi kebijakan ini adalah pihak pemerintah yang oligarki (dilihat dari
tidak adanya kritik otokritik antara pihak eksekutif dan legislatif dalam proses
pembuatan kebijakan). Penggunaan aliansi untuk lebih memasifkan gerakan
juga diperlukan.

2. Penggunaan media

Di era kemajuan teknologi saat ini, masyarakat cenderung


menggunakan media massa digital sebagai alat penerimaan informasi utama.
Oleh karena itu propaganda melalui media massa digital sangat efektif untuk
membangun kesadaran masyarakat secara umum. Untuk memberikan efek
positif penggunaan media ini, pemilihan isu strategis utama yang akan
dibawakan sebagai narasi penolakan sangatlah penting, hal ini juga perlu
menimbang bagaimana kecenderungan pada saat ini. Selain itu pembangunan
kesadaran masyarakat juga dapat dilakukan melalui pengadaan diskusi, atau
seminar terkait permasalahan UU Cipta Kerja.

3. Lancarkan Tekanan

Proses pelancaran tekanan ini dapat dilakukan melalui aksi demo


penolakan melalui gerakan masyarakat ataupun basis gerakan mahasiswa di
berbagai titik di setiap daerah di Indonesia. Cara lain juga dapat dilakukan
dengan melayangkan petisi penolakan oleh masyarakat.

4. Melaksanakan Kebijakan

Dinamika selanjutnya dalam proses Advokasi yang dapat ditempuh adalah


dengan melakukan Audiensi kepada pemangku kebijakan terkait. Dalam proses ini
pihak Advokator serta berbagai mitra yang telah diajak kerja sama akan melayangkan
berbagai macam poin tuntutan serta rasionalisasinya. Selain itu penempuhan yang
dapat dilakukan pada tahapan dinamika ini adalah dengan menyerahkan Policy Brief
maupun kajian komprehensif yang telah dibuat.

5. Evaluasi Kebijakan

Tahapan Evaluasi ini merupakan tahapan monitoring terhadap apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan di lakukan. Pada proses ini evaluasi juga mengarah pada
seberapa jauh apa yang telah dilakukan dapat mempengaruhi kebijakan. Jika, apa
yang telah dilakukan hasilnya dirasa belum memenuhi standar keberhasilan gerakan
maka wacana gerakan-gerakan ataupun proses advokasi kebijakan selanjutnya perlu
di lakukan. Pada Kasus penolakan UU Cipta Kerja kemarin semua tahapan telah
dilakukan oleh para aktor advokasi kebijakan. Berbagai macam tuntutan yang
dilayangkan baik itu oleh masyarakat, komunitas, maupun mahasiswa belum secara
efektif mampu mempengaruhi kebijakan. Hanya beberapa kebijakan saja yang
mendapatkan perbaikan., namun perbaikan tersebut juga belum mampu memberikan
win-win solution bagi kepentingan pemerintah, terhadap kepentingan masyarakat.
Bahkan keputusan MK terkait UU yang cacat secara formil dan harus melibatkan
partisipasi masyarakat tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah, tetapi malah
menerbitkan PERPU yang sama cacat nya dalam proses pembentukan, dengan dalih
kegentingan yang memaksa. Berbagai macam penolakan golongan masyarakat juga
tidak diindahkan oleh DPR selaku lembaga legislatif, mereka menandatangani
PERPU yang bermasalah tersebut dan mengesahkannya menjadi Undang-Undang
tanpa adanya perubahan signifikan. oleh karena itu sudah sepatutnya proses advokasi
kebijakan kembali di lakukan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Materay, K. (2022). POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM


UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA SEKTOR LINGKUNGAN. Justitia et Pax, 38(1).
Muryati, D. T., Triasih, D., & Mulyani, T. (2022). Implikasi Kebijakan Izin
Lingkungan Terhadap Lingkungan Hidup Di Indonesia. Jurnal USM Law Review, 5(2),
693-707.
Nugroho, W., & Syahruddin, E. (2021). Politik Hukum Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja di Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Suatu Telaah Kritis). Jurnal Hukum
& Pembangunan, 51(3), 637-658.
Putra, A., Damayana, G. P., Aziz, M. F., & Argama, R. (2022). Kertas Advokasi
Kebijakan Atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Sumber Daya Alam.
Rahardian, R., & Zarkasi, I. F. (2021). Jejaring Aktor Dalam Upaya Perubahan
Kebijakan: Kasus Advokasi Kebijakan Dalam Menolak Izin Lingkungan Pengolahan Limbah
Berbahaya dan Beracun. Jurnal Identitas, 1(2), 26-38.
Zildjianda, R., Muda, I., & Herlambang, D. (2023). UNDANG-UNDANG CIPTA
KERJA DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASALAH LINGKUNGAN. JURNAL ILMIAH
ADVOKASI, 11(1), 65-75.

Anda mungkin juga menyukai