Protes dan kerusuhan yang meletus di beberapa wilayah di Indonesia menyusul pengesahan
UU Omnibus Law Cipta Kerja mendorong pengungkapan hubungan antara pemerintah dan bisnis
besar di Indonesia.
Diberlakukannya Omnibus Law Cipta Kerja oleh parlemen Indonesia telah menimbulkan
keributan puluhan ribu pengunjuk rasa, ketika orang-orang pertama kali turun ke jalan di seluruh
dalam protes yang kemudian mengakibatkan kerusuhan dan penangkapan.
Pemerintah mengklaim undang-undang tersebut akan menciptakan lapangan kerja,
mendatangkan investor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun para kritikus berpendapat
undang-undang tersebut adalah bagian dari rencana yang lebih besar untuk mengekstraksi sumber
daya alam Indonesia dalam skala besar, yang menguntungkan segelintir elit politik di industri batu
bara yang sedang berkembang di negara ini.
Pertanyaannya adalahal apakah UU ini merupakan paket mega stimulus yang dibutuhkan
oleh negara, yang saat ini dilanda resesi di tengah kemerosotan ekonomi global, atau dorongan
oligarki untuk memajukan kepentingan pribadi dalam kekuasaan dan melemahkan hak-hak
pekerja.
Kehebohan muncul ketika parlemen tiba-tiba mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja
yang disebut sebagai UU yang revolusioner. RUU tersebut terdiri dari 11 klaster yang meliputi
sektor agraria, investasi, ketenagakerjaan, usaha kecil dan menengah, bisnis, penelitian dan
inovasi, birokrasi, sanksi, penguasaan lahan, tender pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
UU ini mengubah 76 undang-undang yang ditulis dalam dokumen setebal 812 halaman dan akan
menghasilkan lebih dari 400 peraturan pemerintah baru yang disahkan.
Undang-undang tersebut pertama kali dimulai ketika Joko Widodo (Jokowi) dilantik pada
periode kedua jabatannya pada Oktober 2019. Undang-undang tersebut telah melalui musyawarah
yang alot oleh pemerintah dan parlemen di bawah bayang-bayang ketakutan akan pandemi virus
Covid-19, sebelum disahkan hanya dalam waktu kurang dari setahun yang disetujui mayoritas
fraksi di DPR.
Pengesahan tersebut, bagaimanapun, telah mendapat penolakan keras dari para pekerja,
mahasiwa dan masyarakat sipil, dan mengakibatkan puluhan ribu orang turun ke jalan dalam
tigahari protes meskipun kasus Covid-19 terus meningkat. Para pengunjuk rasa menyatakan tidak
percaya pada pemerintah, dan menuntut segera mencabut undang-undang tersebut. Sementara para
kritikus menunjukkan fakta bahwa tidak ada salinan final dari Omnibus Law Cipta Kerja pada saat
rancangan Undang-undang tersebut disahkan.
Dalam UU versi terbaru, Pasal 128A meniadakan pembayaran royalti dari perusahaan
kepada pemerintah atas operasi pertambangan, yang berdampak parah pada penerimaan negara,
serta mendorong eksplorasi hutan dan lahan tradisional dalam menghadapi resesi ekonomi.
UU tersebut juga telah memangkas pengamanan ekologis dengan menghilangkan
keterlibatan publik dalam Analisis Dampak Lingkungan pada Pasal 29, 30 dan 31. Pasal 29A
mengizinkan individu untuk memanfaatkan kawasan konservasi di bawah izin hutan sosial, yang
akan membuka masyarakat adat untuk perampasan tanah dan eksploitasi hutan asli di Papua,
Kalimantan, Jawa dan Sumatera.
Amnesty International menyebutkan UU ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan
menambahkan UU tersebut melanggar dua perjanjian internasional yang diratifikasi Indonesia
pada tahun 2005 - Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Eksploitasi sumber daya alam ini akan dilakukan
melalui pemotongan biaya tenaga kerja, yaitu menghilangkan komponen standar hidup dasar pada
Pasal 88C.
Pekerja juga memprotes pemotongan uang pesangon yang diatur dalam UU Cipta Kerja,
dari 32 kali gaji terakhir yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan menjadi 25 kali lipat. UU
Omnibus Law Cipta Kerja juga menghapus hak pekerja untuk di-PHK jika perusahaan melakukan
pelecehan, penghinaan atau ancaman terhadap mereka, yang sebelumnya diatur dalam UU
Ketenagakerjaan Pasal 169.
Hak perempuan untuk dibayarkan upahnya pada saat kehamilan, persalinan, keguguran,
dan cuti haid juga tidak diatur secara jelas dalam UU ini, meski sudah diatur dalam UU
Ketenagakerjaan sebelumnya. UU Omnibus Law juga menghapus tuntutan pidana bagi perusahaan
yang tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program pensiun, yang sebelumnya diatur dalam
Pasal 184 UU Ketenagakerjaan.
1. Negara Khilafah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi seperti: Larangan kanzul mal
(penimbunan harta). Harta yang disimpan atau ditahan dalam berbagai bentuk surat
berharga adalah termasuk dalam hal ini.
2. Mengatur kepemilikan. Sehingga nantinya asset semacam sumber daya alam dalam
deposit melimpah tidak lagi dikuasai oleh korporasi (Pasal 33 vs HR. Imam Ahmad)
3. Menerapkan moneter emas dan perak.
4. Menghentikan kegiatan transaksi ribawi dan spekulatif.
5. Penerapan zakat mal.
Mekanisme itu membuat sirkulasi ekonomi berjalan lancar. Dan karena Negara Khilafah
memprioritaskan upaya penyelesaian wabah secara tuntas tanpa berhitung untung rugi, maka
langkah itu justru berdampak baik bagi perekonomian.
Inilah Islam yang memiliki pengaturan yang sangat komperhensif yang mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan termasuk dalam menyelesaikan masa resesi. Dan solusi
Islam ini hanya bisa diterapkan ketika Daulah Islamiyah telah berdiri dalam naungan Khilafah.
Referensi
1. https://www.muslimahnews.com/
2. https://al-waie.id/
3. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54445044
4. https://indonews.id/artikel/
5. https://pengusahamuslim.com/746-analisa-pakar-ekonomi-islam-krisis-ekonomi-
global-dan-solusinya.html
6. https://www.researchgate.net/publication/315009153_KRISIS_EKONOMI_DAN_S
OLUSINYA_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM_ANALISIS_KRISIS_EKONOMI_
GLOBAL_2008
7. https://cendekiapos.com/nasional/bagaimana-solusi-islam-menghadapi-resesi-7534