Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA MASALAH STRUKTURAL : KERANGKA INSTITUSIONAL ATAU KELEMBAGAAN

DISUSUN : ADE KAMELIA PUTRI AMANDA NATALYA FRANSISCA ARNOLD JAYENDRA DWI RESTI FAUZI EDY YANTO WIDODO LEE CHANDRA

JURUSAN MANAGEMENT FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS RIAU 2011

A. TINJAUAN UMUM 1. Arti Penting Kerangka Institusional Kelembagaan merupakan penentu utama kesejahteraan dan pertumbuhan jangka panjang. Memang terbukti bahwa Negara/wawasan yang memiliki landasan kelembagaan lebih baik pada masa lalu adalah Negara/wawasan yang sekarang lebih makmur. Kerangka kelembagaan (institusional framework) yang lebih baik, paling tidak,menghasilkan dua hal. Pertama, segala lapisan masyarakat memperoleh ruang gerak yang luas untuk berpartisipasi dan berbagai kelompok kekuatan tak bisa leluasa mengambil alih atau merampok pendapatan dan investasi pihak lain. Hampir tak ada ruang bagi praktikpraktik atron-klien ataupun pembaharuan rente. 2. Apakah Kerangka Kelembagaan Itu? Douglas North mendefinisikan kerangka kelembagaan (institusional freamwork) sebagai keseluruhan aturan main disuatu masyarakat, atau secara lebih formal, batasanbatasan yang diciptakan manusia sendiri untuk membentuk atau mengatur interaksi antar manusia. Kerangka kelembagaan merupakan suatu bentuk entitas infrastruktur, karena kerangka kelembagaan itu menjadi dasar atau membentuk struktur insentif dalam kegiatan pertukaran antar manusia, baik yang bersifat politik, sosial maupun ekonomi. Penulis mendefinisikan kelembagaan atau infrastruktur lunak sebagai keseluruhan kerangka aturan (mulai dari konstitusi hingga aturan teknis pelaksanaan), serta struktur organisasi perumus, pelaksanaan dan pengawasan (tiga cabang pemangku kekuasaan negara,yakni pemerintah/eksekutif, DPR dan DPRD atau lembaga legislatif, dan lembaga peradilan alias yudikatif beserta segenap aparat birokrasinya). Pada perkembangan selanjutnya, kerangka kelembagaan diperluas maknanya ke sektor swasta dan berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) yang punya perhatian dan keterlibatan dalam urusan publik, meskipun negara (atau dalam pengertian lebih terbatas, pemerintah/eksekutif) tetap menjadi aktor utamanya. Karena memang negara pemerintahlah yang merupakan pihak paling berwenang dan bertanggung jawab dalam urusan-urusan bersama publik. Kerangka insttisional dikatakan bermutu kalau produknya (berupa hukum dan aneka aturan,termasuk kebijakan dan program kerja) dapat mencerminkan situasi dan kebutuhan faktual orang banyak (rakyat), dan bisa terkemas sedemikian rupa untuk menjawab suatu masalah. Produk kelembagaan yang bermutu adalah yang mampu menyelaraskan berbagai perbedaan kepentingan. Aturan hukum yang bermutu adalah yang cenderung memihak kepada kepentingan umum, meskipun kepentingan mayoritas tidak selalu lebih benar daripada kepentingan minoritas sehingga oleh sebab itu aturan yang bermutu selalu berpijak pada asas keadilan dan kebenaran yng universal sifatnya. Kerangka kelembagaan yang baik juga memiliki mekanisme penegakan atau pelaksanaan (enforcement) yang terarah dan konsisten, serta jauh dari berbagi pertimbangan ad hoc yang biasa tersisipi kepentingan sepihak pribadi atau golongan tertentu yang biasanya pula mengorbankan kepentingan pihak lain. Suatu kerangka kelembagaan yang baik juga memiliki mekanisme pelaksanaan yang kukuh, yang mampu menompang dan mewujudkan berbagai aturan atau rencana di atas kerja menjadi kenyataan di lapangan. Pendidikan merupakan pangkal tolak pembangunan nasional. Maka kerangka kelembagaan seharusnya menjadi mesin penggerak berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam perekonomian, menuju kemajuan dan kondisi yang serba lebih baik. Kerangka kelembagaan merupakan perkembangan dari konsepsi good and clean govermance sebagai fondasi pembangunan ekonomi. World Competitiveness Yearbook edisi tahun 2006 menyebutkan empat komponen utama daya saing perekonomian modern, yakni : (1) kinerja ekonomi terukur, dalam hal ini berbagai besaran makroekonomi; (2) infrastruktur fisik; (3) efisiensi pemerintah sebagai regulator dan inisiator kegiatan ekonomi; serta (4) efisiensi kalangan bisnis/swasta sebagai pelaku utama kegiatan-kegiatan ekonomi.

3. Ilustrasi Buram Kerangka Kelembagaan di Indonesia Pembangunan kelembagaan di Indonesia sangat tertingal. Akibatnya,tidak usah heran kalau secara nasional penduduk Indonesia jangankan merata dan sejahtera, sedikit makmur pun tidak. Arus deras penolakan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah merupakan pertanda kuat betapa kelembagaan yang melandasi perumusan berbagai kebijakan pemerintah sangatlah rapuh, apalagi dalam soal implementasinya. Kasus pemalitan PT Dirgantara Indonesia menambah keyakianan kita bahwa sudah sangat mendesak bagi negeri ini untuk menata kelembagaan kesegera mungkin secara sangat serius. Pemerintah beberapa kali berubah sikap dan celakanya, masingmasing tidak didasarkan pada perhitungan yang masak sehingga wajar kalau ribuan pekerja DI merasa nasibnya dipermainkan. Lalu bagaimana penghentian kasus BLBI II yang konyolnya dianggap tak bermasalah ataupun cacat hukum sehingga pemerintah (Kejaksaan Agung) belum berniat meninjaunya kembali meskipun Ketua Tim Jaksanya sudah dinyatakan bersalah menerima suap oleh pengadilan. Itu tadi soal perumusan kebijakan. Soal pelaksanaan, bahkan lebih buram lagi gambarannya. Yang paling memprihatinkan tentu saja adalah ketika MPR yang begitu bersemangat pada masa awal reformasi melakukan serangkaian amandemen terhadap UUD 1945. Salah satunya adalah pencantuman ketentuan baru bahwa pemerintah harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen dari total APBN sebagai anggaran pendidikan. Ketika Mahkamah Konstitusi meluluskan gugatan PGRI dan para pemerhati pendidikan agar amanat konstitusi itu dilaksanakan, pemerintah masih berkelit dengan memasukan biaya untuk aneka seminar, lokakarya, diseminasi program pemerintah, pendidikan berjenjang pegawai negeri, serta biaya pengadaan diklat kedinasan di semua departemen dan lembaga pemerintah, demi memperbesar data anggaran pendidikan. Pengejawantahan kebijakan dilapangan juga masih menjadi masalah besar. Ambil contoh lagi tentang program konversi minyak tanah ke gas. Sebagai masyarakat kebijakan di lapangan tetap memilih minyak tanah karena pengadaanya lebih fleksibel (mereka bisa membeli lima,satu,dua atau setengah liter minyak tanah sesuai dengan uang yang ada di tangan, bukanya harus menyediakan sekian puluh ribu untuk membeli satu tabung gas). Terciptalah antrean panjang minyak tanah dimana-mana sehingga memaksa pemerintah menambah pasokan minyak tanah lagi, meskipun setengah hati sehingga pasokan yang disediakan tidak pernah mencukupi. Penanganan krisis moneter merupakan pemeran nista segala kebobrokan kerangka kelembagaaan diindonesia pemerintah seperti tidak punya kemampuan apapun untuk meminimalkan dampak negatifnya, apalagi mengupayakan penangannya dalam waktu segera. Misalnya saja BPPN yang para staf nya bergaaji luar biasa tinggi bagaikan para profesional Wallstreet gagal melakukan penyelamatan aset negara. Tahukan anda, berapa biaya penanganan amburadul krisis terburuk sepanjang sejarah indonesia itu? Sekitar Rp.11.000 triliun! Jumlah sekian untuk menutup kebutuhan dana APBN! Siapa yang harus membayarnya, anda, saya, kita semua sebagai pembayar pajak dan korban krisis moneter. Kekacauan sistem pengelolaan perbankan nasional membuat bank-bank mengeruk dana masyarakat sekian kali lipat lebih banyak daripada modalnya. Dana itu lantas dipakai untuk kelompok usahanya sendiri sebagai dana investasi murah, yang kebanyakan lantas macet atau menguap begitu saja. Ambil satu contoh Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Negara Indonesia,BDNI). Pemerintah menghabiskan dana hingga sekitar Rp.28,4 triliun guna menalangi tagihan pihak ketiga terhadap BDNI maupun kelompok usahanya. Dari total aset Nursalim yang disita,nilainya hanya sekitar Rp. 4,93 triliun. Kompleks pertambakan udang Dipasena yang digembar gemborkan mencapai puluhan juta dollar, ternyata hanya senilai Rp 1 triliun.Hebatnya,dengan modal beberapa miliar rupiah,termasuk US$ 660.000 yang diserahkan makelar kasus Nursalim kepada tim jaksa pemeriksa, Nursalim bisa melenggang bebas karena Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus

mengumumkan dengan penuh wibawa masalah BLBI Nursalim Sudah selesai, beres, dan tidak menyisakan masalah hukum apapun. Ketika pengadilan Tipikor memvonis bersalah si makelar kasus dan ketua tim Jaksa, kasus BLBI II masih juga tidak diselidiki kembali, bahkan ada kesan dan ketua tim jaksa kasus mengajak masyarakat mengikhalaskannya saja. Daron Acemonglu merumuskan tiga karakteristik yang harus dipenuhi oleh kerangka kelembagaan yang baik, terutama dalam kaitanya dengan soal ekonomi. Pertama dan terpenting, adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam soal kepemilikan. Artinya, ada ketentuan yang jelas tentang hak milik, tidak ada kesimpangsiuran dalam penafsiran di antara berbagai lembaga negara (khususnya pengadilan), serta ada perlindungan pasti dari negara (dalam hal ini lembaga pengadilan ), termasuk kompensasi jika ternyata ada kekhilafan di pihak nagara. Karakteristik kedua adalah pembatasan khusus bagi kalngan elite, hartawan, politisi, dan anggota kelompok berpengaruh lainnya (termasuk para pejabat tinggi) agar mereka tidak dapat mengeruk pendapatan dengan merugikan kepentingan pihak lain, atau mengakibatkan persaingan tidak seimbang. Karakteristik ketiga adalah persamaan keempatan dalam kadar yang cukup bagi semua kalangan dan golongan di masyarakat untuk meraih kemajuan, termasuk di dalamnya persamaan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan investasi baik dalam investasi sumber daya manusia maupun melakukan berbagai kegiatan ekonomi produktif. Akar masalahnya memang ternyata adalah persoalan bad governance. Dalam pengertian luas, pengelolan negara (governance) merupakan salah satu bagian saja dari kerangka kelembagaan, meskipun adapula literatur yang cendrung menyamakan makna kedua istilah ini. Secara konseptual, governance sudah lebih terukur dan kajianya didasarkan pada sejumlah indikator yang relatif baku. Secara empiris, kasus negaranegara dengan kerangka kelembagaan lemah ternyata memang memiliki catatan buruk dalam berbagai indikator governence-nya. 4. Kunci Persoalan: Governance Istilah Governance sendiri secara longgar dapat diterjemahkan sebagai tata kelola dalam suatu kesatuan atau himpunan manusia, mulai dari rumah tangga sampai unit terkecil. Tata kelola negara merupakan unsur utama kerangka kelembagaan yang menjadi tolak ukur sjauh mana kualitas para pengelola negara (khususnya pemerintah atau eksekutif) dalam menjalankan tugasnya. Peran lembaga legislatif dan peradilan yang juga diukur, namum memang bobot peran eksekutif atau pemerintahlah yang mendapat penekanan sehingga acak kali menimbulkan missconcepsi bahwa governance sama saja dengan government. Governance suatu negara dikatakan baik (good governance) apabila tata kelola disuatu negara dapat mengalokasikan dan mengelola segenap sumber daya sedemikian rupa guna mengatasi berbagai persoalan kolektif bangsa/negara yang berangkutan. Barometer governance dapat memberikan penilaian yang lebih adil dan masuk akal tentang kualiatas tata negara-negara ini. Governance pun dapat diakui sebagai target pembangunan yang sngat penting sehingga PBB menetapkannya sebagai salah satu sasaran pokok Melenium Development Goalss (MDGs). Ukuran-ukuran atau indikator untuk mengukur kualitas Governance ada enam yaitu sebagai berikut : 1. Keterwakilan suara dan pertanggung jawaban publik (Voice and inccountability). 2. Stabilitas pilitik (Policial Stability). 3. Efektifitas pemerintahan (govermant effectiveness) yang biasa merujuk pada kualitas birokrasi negara dalam melayani kepentingan dan aspirasi rakyatnya. 4. Kuallitas pengawasan ( Regulatory quality), khususnya kualitas kebijakan publik (sesuai tidaknya dengan kepentingan kolektif), kualitas inflementasinya, serta kontrol dalam pelaksanaanya ( Envorcement).

5. Sejauh mana prinsip-prinsip supremassi hukum diakui dan dijalankan (Trule of law) 6. Kontrol dan pemberantasan korupsi Perhitungan tentang tinggi rendahnya skor (persentase) governance dilakukan dengan melakukan surpei eksfensiv guna mancari pendapat para pengusaha, politisi, kalangan tokoh dan berbagai pihak yang terkait dengan urusan publik. Kian besar skornya (mendekati 100 persen), semakin baik kualitasnya. Tinggi rendahnya kualitas gavernance diyakini memiliki korelasi langsung terhadap kemajuan suatu bangsa atau negara diberbagai bidang termasuk bidang ekonomi. B. KUALITAS GOVERNANCE INDONESIA Prestasi atau kualitas Governance indonesia memang terbilang sangat buruk, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan rendah sekali pun. Gambar dibawah memperlihatkan betapa skor indikator-indikator governance Indonesia tidak ada yang lebih dari 50 persen, bahkan tiga dari enam indikator masih dibawah 25 persen yang berarti kualitanya masih terlampau rendah. Secara umum keenam indikator itu mengalami peningkatan kualitas dari waktu kewaktu, kecuali kualitas pengawasn yang tingkatannya di tahun 1998 (dimulainya era reformasi) belum dapat tercapai lagi sampai tahun 2007. Perbaikan mendasar atas segenap indikator pokok governence harus segera menjadi prioritas pembangunan kelebagaan di Indonesia, terlepas dari siapa yang tengah berkuasa. Skor (Persen) Governence Indonesia 2007, 2004 dan 1998

Voice & Acountability

Political stability and absence of violance

Government effectiveness

Regulatory quality

Rule of law

Control of coruption

25

50

75

1. Indikator Voice and Acountability Indikator ini mengukur persepsi responden sejauh mana rakyat dapat memilih pengelola negara baik yang duduk dalam pemerintahan (eksekutif), legislatif, maupun yudykatif ditingkat terbawah hingga teratas. Di Indonesia, pemilihan hanya terbatas pada eksekutif dan legislatif, sementara para penjabat yudikatif tidak dipilih oleh rakyat, melainkan oleh eksekutif (pemerintah pusat) dan legislatif (DPR) untuk para hakim agung serta oleh mekanisme internal lembaga yudikatif itu sendiri untuk para hakim ditinkat pengadilan tinggi dan negeri. Pada indikator pertama governence ini, yakni tentang kualitas keterwakilan suara (rakyat) dan pertanggungjawaban publik (atau tanggung jawab penguasa/pemerintah kepada rakyat), skor Indonesia baru mencapai 41,3 persen, Skor tertinggi yang pernah dicapai Indonesia sudah masuk dalam jajaran lebih terhormat karena dalam indikator ini Indonesia sudah mengalami kemajuan berarti selama periode pasca krisis, namun secara global posisi Indonesia masih dalam papan bawah. Situasi keterwakilan rakyat dalam pemerintah di Indonesia pada periode pasca krisis memang sudah jauh lebih baik. Kini rakyat secara langsung dapat memilih siapa yang menjadi presiden, gubernur dan wali kota/bupati, dan Mahkamah Konstitusi telah membuat langkah besar dengan memungkinkan tampilnya calon perorangan dalam pilkada, dan baru-baru ini juga telah memungkinkan kita memilih langsung siapa yang hendak kita pilih untuk mewakili suara kita di DPR dan DPRD. Sayangnya kelulusan ini masih dibatasi oleh partai-partai politik yang sejauh ini belum mampu membuktikan diri sebagai mesin seleksi dan rekrutmen pemimpin yang andal. Para politisi berkarat diberbagai partai politik bahkan terus berusaha meneguhkan dominasinya antara lain dengan mengusulkan pembatasn jumlah partai. Mereka yang sama sekali tidak bersimbah keringat dan darah dalam menumbangkan orde baru (kebanyakan Cuma mendompleng para mahasiswa dan gerakan masyarakat atas nama demokrasi, lalu ikut berkuasa dengan mengatasnamakan rakyat yang seharusnya sama sekali tidak mengenal mereka) justru pernah mencoba mengkhianati cita-cita reformasi dengan mencoba menerapkan kembali mode pembatasan partai Orde Baru demi kekuasan mereka sendiri. Dalam demokrasi, rakyat sebagai pemilik suaralah yang paling penting, dan partai politk hanya merupakan salah satu dari banyak pilihan mekanisme, seleksi, rekrutmen dan organisasi perebutan kekuasaan secara sah. Dimasa selanjutnya, bukan hanya partai politik yang perlu diawasi dan dibatasi gerak geriknya dengan seperangkat aturan main yang jelas (lengkap dengan institusi pelaksana dan pengadilan yang menangani masalah yang mungkin timbul ), namun juga DPR yang sering mengklaim secara normatif sebagai penjelmaan rakat lalu tidak jarang bertindak dan membuat keputusan-keputusan besar semaunya sendiri, tanpa peduli apakah hal-hal tersebut sudah sesuai dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya atau tidak. Faktanya, rakyat sudah tidak bisa melihat DPR sebagai lembaga yang mewakili mereka, melainkan sekedar sekumpulan politisi yang membela kepentingan diri dan partainya. Arti penting dalam indikator ini terkait dengan kesesuaian antara apa yang dilakukan negara dengan apa yang diinginkan/dibutuhkan oleh warga negara. 2. Indikator Stabilitas Politik dan Ketiadaan Aksi Kekerasan Indikator kedua ini mengukur persepsi para responden tentang kemapuan suatu negara dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah politik dan keamanan yang acap kali melibatkan unsur kekerasan, termasuk pemberontakan bersenjata hinga aksi-aksi terorime. Semakin tinggi skor persentasenya, maka negara yang bersangkutan dianggap kian mampu menghadapi berbagai masalah berkenaan dengan politik dan keamanan. Dalam indikataor stabilitas politik, indoneisa masi digologkan rawan, sampai sekarang. Sejalan dengan tumbangnya Orde Baru yang sangat kuat

menjaga stabilitas politik (meskipun dengan kekerasan, intimidasi dan berbagai cara anti-demokratis lainnya) ditahun 1998, sendi-sendi kehidupan bernegara yang dimasa sebelumnya dipertahankan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pun mengalami keguncangan. Stabilitas politik indonesia yang semula tampak kukuh teryata begitu mudah goyah, dan situasiny bahkan terus merosot yang berpuncak pada tahun 2003. Banyak diantara kita yang mengangap situasi aman sekarang sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja. Padahal banyak usaha, darah dan dana yang telah dikerahkan untuk mencapainya, termasuk dengan sedikit keberuntungan, dan perbaikan situasi keamanan didalam negeri sungguh merupakan suatu berkah. 3. Indikator Efektivitas Pemerintah Indikator efektivitas pemerintah, yang diukur adalah persepsi responden tentang sejauh mana kualitas pelayanaan publik, kualitas birokrasi, sejauh mana kemandiriannya dari tekanan politik, kualitas perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, sekaligus seperti apa kreadibilitas komitmen pemerintah dalam menjalankan tugasnya, yakni melayani rakyatnya dan dalam menangani berbagai masalah nasional. Yang dimaksud pemerintah di sini sebenarnya adalah pengelola negara, jadi tidak terbatas pada pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga lembaga legislatif dan yudikatif, sekalipun dalam kenyataannya peran eksekutiflah yang paling banyak disorot dan dibahas. Bagi sebagian analis, indikator efektivitas pemerintah merupakan yang terpenting atau bahkan inti sari dari kualitas governance, terutama dalam kaitanya dengan pengelolaan perekonomian nasional, jurnal internasional Word Competitivenes Yearbook memakai indikator efektivitas pemerintah sebagai salah satu dan empat pilar utama daya saing ekonomi, karena indikator inilah yang secara langsung mengukur sejauh mana pemerintah sesungguhnya mampu melakukan tindakan-tindakan nyata untuk memajukan perekonomian. Efektivitas pemerintah di Indonesia hanya mencapai 40,8 persen, sementara Singapore meroket dengan skor 99,5 persen yang merupakan skor tertinggi dikawasan Asia Pasifik.

Perbandingan Efektivitas Pemerintahan di Asia Pasifik Singapore Malaysia Thailand Cina Filiphina Vietnam Indonesia Laos Kamboja Myamar 0 25 50 75 100

Bagian penting dari kelemahan Indonesia adalah kualitas birokrasinya.Ratarata aparat birokrasi belum memiliki mental sebagai pelayan masyarakat,melaikan justru mental penguasaan kecil yang ingin dilayani atau ingin dipuji, dihormati, dielus-elus dan diusap sebelum mau memberikan pelayanan yang sebenarnya sudah menjadi tugasnya. Perbandingan Skor Birokrasi Sejumlah Negara Negara Skor Birokrasi Singapore 1.30 Jepang 3.01 Hongkong 3.13 Korea 5.44 Taiwan 5.91 Malaysia 6.13 India 6.76 Cina 7.58 Thailand 7.64 Filiphina 7.80 Vietnam 7.91 Indonesia 8.16

4. Indikator Kualitas Pengawasan (Usaha) Indikator kualitas peumusan, penerapan, dan pengawasaan aturan (regulatory quality). Indikator ini pada intinya mengukur persepsi responden tentang sejauh mana ada kebijkan-kebijakan, program atau aturan disuatu negara yang tidak ramah terhadap mekanisme pasar atau aktivitas dunia usaha. Dapat pula diartikan bahwa indikator ini mengukur sejauh mana sebuah negara mampu merumuskan, menerapkan dan mngawasi pelaksanaan (mencegah dan menindak pelanggaran) berbagai aturan, kebijakan dan program guna memingkinkan serta mendukung pengembangan swasta sebagai pelaku utama kegiatan-kegiatan ekonomi yang pada akhirnya menentukan sejauh mana suatu negara mampu menompang aktivitas perekonomian rakyatnya. Hal ini dapat pula diartikan bahwa sampai sejauh ini, kualitas persiapan, perumusan pelaksanaan, dan pengawasan berbagai aturan ekonomi di bawah berbagai pemerinah demokrasi diEra Reformasi masih lebih rendah daripada di masa Orde baru. Penyumbang terbesar atas rendahnya indeks kebebasan berusaha di Indonesia ternyata adalah lemahnya berbagai peraturan dan sistem hukum pendukungnya secara keseluruhan. 5. Indikator Rule Of Law Erat kaitanya dengan indikator keempat adalah indikator kelima ini, yakni indikator supremasi hukum. Pada intinya indikator kelima ini mengukur persepsi responden tentang tingkat kepatuhan hukum berbagai elemen masyarakat disuatu negara. Khususnya kepatuhan segenap aparat penegak hukum sendiri mulai dari polisi, jaksa hinga hakim terhadap aturan hukum yang berlaku, serta sejauh mana kesungguhan mereka dalam menegakkannya. Dalam kaitanya dengan bidang ekonomi, indikator ini menitikberatkan perhatiannya kepada hal-hal seperti sejauh mana kontrak dihormati, dan hak milik diakui serta dilindungi, serta seberapa besar usaha penegak hukum dalam membela kepastian dan perlindungan hukum tersebut. Indikator ini juga mengukur sejauh mana kecenderungan terjadinya berbagai aksikekerasan dan kriminalitas dinegara yang bersangkutan.

Perbandingan Skor Rule of Law di Asia Pasifik Singapore Malaysia Thailand Cina Vietnam Filiphina Indonesia Laos Kamboja Myamar 0 25 50 75 100

6. Indikator kontrol Korupsi Indikator ini mengukur persepsi responden tentang sejauh mana kecendrungan praktik dan prilaku pemanfaatan ilegal sumber-sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Pelakunya tidak cuma penjabat tinggi eksekutif, melainkan juga polisi, legislator, hakim, jaksa, polisi, kerani di kantor imigrasi dan catatan sipil, tenaga pembukuan dipuskesmas, pendeknya disemua diposisi publik yang secara langsung maupun tidak langsung ikut menentukan pemakaian sumber daya (bukan hanya dana) publik. Perbandingan skor Kontrol Korupsi di Asia Pasifik

Singapore Malaysia Thailand Cina Vietnam Filiphina Indonesia Laos Kamboja Myamar 0 25 50 75 100

C. CORPORATE GOVERNENCE DI INDONESIA 1. Tinjauan Umum Diihat dari aspek pelaku utamanya, konsepp gorrvenance dapat dipilih menjadi tiga bagian yaki : (1) publik/political governance, yakni proses dimana suatu masyrakat mengelola diringa sendiri dan mengatasi berbagai persoalannya, dengan negara sebagai institusi utamanya: (2) economic governance, yakni keseluruhan proses produksi dan ditribusi berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat itu, dengan pihak swasta (perusahaan-perusahaaan) sebagai institut utamanya: (3) social governance, yang berkenaan dengan sistem nilai dan keyakinan yang diharapkan dapat melandasi prilaku sosial dan pembuatan berbagai keputusan publik, dengan keputusan publik, dengan masyarkat sipil sebagai institusi utamanya. Daya saing perekonomian nasional secara langsung ditentukan oleh empat faktor utama yakni: (1) infrasruktur fisik: (2) kinerja makro ekonomi; (3) efisiensi pemerintah; (4) efisiensi bisnis. Pada hakikatnya, element ketiga, dapat dipadankan dengan kualitas political governance negara. Sedangkan efisiensi bisnis dapat disertakan dengan apa yang disebut sebagai corporte governance. Sampai isini saja kita sudah mendapat gambaran sekilas namun cukup meyakinkan akan pentingnya kerangka instisional publik dan privat yang menjelma sebagai political governanc dan economic/corporate governance. 2. Pengertian dan Arti Penting Corporate Governance Corporate Governance dapat diefisiensikan sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan akhir meningkatkan nilai/keutungan pemegang saham (shareholder) dengan sedapat mungkin tetap memperhatikan kepentingan semua pihak yang terkait (stakeholder). Masalah good corporate governance sebetulnya bukan hanya masalah bagaimana meningkatkan laba perusahaan, meningkatkan nilai saham di bursa dan memerikan deviden sebesar-besranya kepada shareholders. Melaikan bagaimana prusahaaan tersebut bisa memberikan kontribusi positif dan membina hubungan baik dengan para stakeholder. Peran dominan perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN dalam menentukan arah maju mundurnya perekonomian indonesia menjadi indikasi bahwa peranaan good corporate governance tidak lagi bisa diabaikan. 3. Korupsi Perusahaan Sama Jahatnya Tingkat korupsi aparat negara acap kali tercermin pada kondisi korupsi perusahaan.Kian korup aparat negaranya, maka perusahaan-perusahaan pun kin mendorong mlakukan hal yang sama, dan korupsi di dan oleh perusahaan tak kalah jahatnya dari pada korupsi dalam birokrasi,lembaga legislatif, maupun peradilan.Dapat kita amati bahwa sejalan dengan meruyuknya korupsi aparat negara selama Orde Baru.Kian parah pula korupsi perusahaan, dan semakin kacau pula pengelolaan perusahaan pada umumnya Ukhususnya BUMN dan perusahaan swasta besar yang mengandalkan kedekatan kepada penguasa demi kelangsungan usahanya). Pada masa Orde Baru bahkan ada premis di dunia usaha khususnya dan masyarakat pada umumnya bahwa untuk bisa bertahan dan maju serta agar segala sesuatunya berjalan lancar,maka para penguasa dan pelaku ekonomi pada umumnya harus mengikuti hukumkehidupan yang berlaku. Mereka pun melangkah seirama dengan langgam kelaziman atau tuntutan zaman yang serba korup.Mereka merasa tak boleh melawan arus,karena niscaya akan terhempas dari arena. 4.Good Corporrate Governance di Indonesia Secara umum, ada tiga persoalan utama diasia yang menyebabkan pelaksanaan good corporate governance masi begitu lemah. Yaitu, banyak perusahaan yang masi terbelakang atau belum didesain untuk memainkan peran penting dipasar; pasarnya sendiri tidak bekerja secara optimal dan lingkungan bisnisnyatidak kompetitif: serta sistem hukum yang lemah dan lembaga-lembaga yang menangani dan meenjalankan

aturan main itu sendiri maupun keseluruhan penegkan peraturan administratif masih lemah. Termasuk didalamnya penegakan peraturan dibursa saham atau standarisasi laporan akuntansi. Bank dunia sejak dini menyebutkan bahwa krisis finansial Asia disebabkan kegagalan sistematis (systematic failures) dalam pelaksanaan corporate governance yang ditandai oleh lemahnya sistem hukum, inkonsistensi dalam standar akuntansi dan auditing, penyelenggaraan praktik perbankan yang buruk, supervisi dewan komisaris yang tidak efektif dan perlindungn yang kurang terhadap pemegang saham minoritas. Asian Development Bank (ADB) menyatakan secara tegas bahwa krisis yang terjadi di indoneisia, Malaysia, Thailand, Filipina dan korea selatan disebabkan kegagalan dalam melaksanakan good corporte gavernance.

D. KESIMPULANNYA? INDONESIA BUKAN TEMPAT BERBISNIS YANG BAIK 1. Tinjauan Umum Pada bab terdahulu disebutkan bahwa salah satu masalah yang kin mendesak bagi Indonesia adalah kemerosotan daya saing perekonomian naisional.Maslah governence yang menjadi inti kerangka institusional sehingga governance itu pula yang menentukan tingi rendahnya daya saing perekonomian,serta menentukan sebaik apa negara yang bersangkutan sebagai sebuah lahan bisnis ,investasi, produksi,dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya.Data yang ada membuktikan hubungan itu.Buruknya kondisi governance di Indonesia mengakibatkan berbagai masalah yang pada akhirnya menjadikan Indonesia sebagai tempat bisnis yang tidak terlalu menarik. Pertama adalah tinjauan umum tentang mudah susahnya perusahaan dalam menjalankan segenap kegiataya.Skornya antara 0 hingga 1 sehingga makin besar skornya,semakin berat beban perusahaan-perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya.Memang ada sejumlah data yang tampak kontras.Contoh lainya adalah india, salah satu negara yang memiliki skor comporaten governance terbaik diasia, dan belakangan mulai disebut sebagai negara ekonomi baru Asia, menyusul RRC. 2. Tinjauan Data Perbandingan umum tingkat kemudahan berbisnis merupakan paduan sejumlah indikator yang rinciannya terdapat di tabel bawah ini,yang sekaligus memuat data perbandingan dari tahun 2005 dan 2006. Unuk tingkat kemudahan secara umum, peringkat Indonesia di tahun 2008 itu hanya mengalami sedikit perbaikan kalau dibandingkan dengan datanya di tahun 2005 dan 2006.Pada tahun 2008 Indonesia menempati peringkat ke- 123 dari 178 negara yang disurvei.Sedangkan pada tahun 2005 dan 2006 ada 175 negara yang disurvei dan Inddonesia menempati masing-masing di peringkat ke- 131 dan 135.Jadi, sebenarnya antara tahun 2005 dan 2006 malahan terjadi kemerosotan. Sedangkan pada indikator-indikator rincianya,secara umum tidak tercatat terjadinya pearubahan signifikan pada posisi Indonesia, dan selama itu pula Indonesia menduduki papan bawah dalam klasifikasi wilayah yang ramah terhadap kegiatan usaha (bisnis).

Komponen Doing Bisiness serta Data 2006 (2005) Untuk Indonesia,Malaysia, dan Vietnam. KETERANGAN INDONESIA MALAYSIA VIETNAM Tingkat kemudahan umum 134 (131) 25 (25) 104 (98) berbisnis Mengawali bisnis 161 (161) 71 (66) 97 (89) Pengurusan perizinan 131 (129) 137 (134) 25 (28) Perekrutan karyawan 140 (141) 38 (37) 104 (137) Perolehan properti 120 (118) 66 (68) 34 (30) Perolehan kredit 83 (76) 3 (3) 83 (76) Perlindingan investor 60 (58) 4 (3) 170 (170) Urusan pajak 133 (129) 49 (49) 120 (116) Perdagangan Internasional 60 (55) 46 (41) 73 (68) Perlindungan kontrak 145 (144) 81 (78) 94 (90) Penutupan bisnis 136 (126) 51 (47) 116 (105) 3. Tinjauan Empiris Kesimpulan utama yang muncul dari rangkaian data Doing Business Bank Dunia adalah : Kesulitan menjalankan usaha di Indonesia dimulai dari tahap awal hingga akhir.Mulai dari pembukaan usaha (pembentukan dan pendaftaran perusahaan) hingga pengakhiranya (pembuburan perusahaan).Sumua menjadi urusan pelik yang merepotkan, dan tentu saja menelakan banyak biaya.Untuk memulai sebuah usaha secara formal (usaha informal tidak sempat memikirkan dan repot mengurus aneka perizinan),atau untuk menirikan sebuah perusahaan diprlukan 12 jenis okumen,Ini termasuk jumlah terbanyak di Dunia, bahaya yang masih dilanda perang saudara berdarah dan berulang kali teelanda pemusnahan yang sangat biadab.Anehnya rekor banyaknya dokumen yang harus disiapkan pemohon adalah Filiphina,yang meminta 15 jenis dokumen.

Anda mungkin juga menyukai