Anda di halaman 1dari 8

Anggota kelompok : Annisa Pratiwi (1002155597) Sugiarto (1002155603) Nova Theresia (1002133325)

BAB 13 PERILAKU KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL


PERILAKU KOLEKTIF
Perilaku di pasar di tuntun oleh institusi di bidang ekonomi; perilaku di bidang ibadah di tuntun oleh institusi di bidang agama; perilaku di kotak suara atau mimbar organisasi politik di pengaruhi institusi politik; perilaku di ruang kuliah mengacu pada institusi di bidang pendidikan; perilaku upacara penyerahan maskawin dituntun oleh institusi di bidang keluarga. Namun dalam kenyataan kita kadang kala dapat melihat bahwa sejumlah warga masyarakat secara berkelompok ataupun kerumunan menampilkan prilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang ada. Dalam sosiologi perilaku demikian dinamakan perilaku kolektif (collective behavior). Dari beberapa definisi ( Horton & hunt,1984; kornblum,1988; Light, Keller & Calhoun, 1989 ) dapat disimpulkan bahwa prilaku kolektif merupakan prilaku bersifat : 1. Dilakukan bersama oleh sejumlah orang. 2. Tidak bersifat rutin. 3. Merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.

Perilaku kolektif merupakan prilaku menyimpang, namun berbeda dengan prilaku menyimpang yang telah di bahas dalam BAB 12, karna prilaku kolektif merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang; bukan tindakan prilaku individu semata-mata. Bilamana seseorang melakukan pencurian di suatu supermarket, maka kita biasa nya berbicara mengenai prilaku menyimpang; namun bila sejumlah besar orang secara bersama sama menyerbu toko toko dan pusat pusat perdagangan untuk melakukan pencurian atau penjarahan ( sebagaimana missal nya terjadi di kota New York pada tahun 1977 sewaktu listrik di seluruh kota mendadakan padam, di kota Los Angles pada tahun 1992 sebagai reaksi terhadap keputusan juri dalam kasus penganiayaan yang di nilai tidak adil, disejumlah kota di Jawa pada tahun 1963 yang di kenal sebagai Peristiwa 10 Mei, dan di berbagai kota di Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 ), ini adalah salah satu contoh prilaku kolektif.

PERILAKU KERUMUNAN Suatu konsep yang penting di pahami dalam kaitannya dengan prilaku kolektif adalah konsep kerumunan ( crowd ), karena prilaku kolektif selalu melibatkan prilaku sejumlah orang yang berkerumunan. Dalam ilmu ilmu social konsep kerumunan menjadi penting setelah pada tahun 1895 Le Bon menerbitkan buku Theng Crowd : A study of the popular mind. Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang karena satu dan istilah berbeda dengan kebetulan berkumpul bersama; namun menurut nya dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna lain, yaitu sekumpulan orang yang mempunyai cirri baru yang berbeda sama sekali dengan cirri individu yang membentuk nya. Menurut Le Bon perasaan dan pikiran seluruh individu dalam kumpulan orang tersebut berhaluan sama,dan kesadaran perorangan lenyap. Kumpulan orang menjadi apa yang dinamakannya kerumunan terorganisasi (organized crowd ) atau kerumunan psikologis. Di kalangan para ahli sosiologi terdapat perumusan berbeda mengenai konsep kerumunan. Ada definisi yang lebih mendikati apa yang menurut Le Bon merupakan pengertian sehari hari, dan adapula definisi yang menekankan pada adanya interaksi dalam kerumunan. Definisi Kornblum, misalnya, mendekati pengertian sehari hari karene menekankan pada segi jarak; kerumunan didefinisikan : Sebagai sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat (kornblum, 1988:233). Giddens : kerumunan terdiri atas sekumpulan orang dalam jumlah relative besar yang berlangsung berinteraksi satu dengan yang lain ditempat umum (Giddens, 1990:621) Definisi definisi diatas memberikan gambaran mengenai beraneka ragamnya kumpulan orang yang daoat dinamakan kerumuna. Oleh sebab itu Blumer membuat suatu klasifikasi jenis jenis kerumunan dengan membedakan atara kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional (conventional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd) dan kerumunan bertindak (acting crowd). Jenis kerumunan lain terdiri atas sekumpulan orang yang berada di suatu tempat untuk suatu tujuan yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam kategori ini dapat kita golongkan para penumpang yang berkumpul di terminal bis, bandara atau pelabuhan; par Pengunjung pasar took; para penonton pendandikan olahraga atau pertunjukan kesenian; para hadirin di suatu tempat ibadah, suatu pesta,pertemuan ilmiah, konprensi atau rapat partai politik. Blumer menamakan kumpulan orang seperti ini kerumunan konvensional.

FAKTOR PENYEBAB PRILAKU KERUMAN : TEORI LE BON Menurut Le Bon kerumunan hanya ampuh dalam melakukan penghancuran, pemerintah secar biadab, dan tidak mampu mewujudkan peradaban yang ditandai dengan adanya konstitusi. Le Bon menyebutkan sejumlah faktor yang menjadi menyebab terjadinya kerumunan : 1. Karena terbiasa bersama dengan banyak orang. maka individu yang semula dapat mengendalikan nalurinya, kemudian memperoleh perasaan kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri,karena seakan akan telah terlebur dalam kerumunan sehingga menjadi anonym ( tidak dikenal) maka rasa taanggung jawab yang semula mengendalikan individu pun lenyap. 2. Penularan (contagion) sebagai suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaaan dan tindakan orang lain itu kemudian mampu mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan bersama. 3. Sugesbility. Dalam kerumunan individu mudah dipengaruhi, percaya, taat, ia seakan akan telah terhipnotis. Menurut Le Bon dalam kerumunan seorang pengecut dapat berubah menjadi pahlawan, seorang kikir dapat berubah menjadi demawan, dan seorang yang jujur dapt berubah menjadi penjahat .

FAKTOR PENENTU PERILAKU KOLEKTIF : TEORI SMELSER

Menurut Smelser, factor penentu perilaku kolektif adalah : 1. Structural conducineness. Factor sturuktur situasi social yang menurutnya memudahkan perilaku kolektif. Sebagian dari factor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia; namun sebagian merupakan factor yang teerkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi social. 2. Ketegangan Struktural (sturuktural strain) Semakin besar ketegangan structural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok social, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan.

3. Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief)

FAKTOR PENENTU PERILAKU KOLEKTIF : TEORI SMELSER

Le Bon menitikberatkan penjelasannya terhadap kerumunan pada factor psikologis, maka Smelser menitikberatkan penjelasannya terhadap perilaku kolektif pada factor sosoilogis. Dalam mengembangkan teori mengenai perilaku kolektif, Smelser meminjam konsep nilai tambahan (value added) dari ilmu ekonomi. Menurut teorinya perilaku kolektif ditentukan oleh enam factor yang berlangsung secara berurutan, yaitu : Mula-mula diawali oleh factor yang dinamakannya structural conduciveness, factor struktur situasi social yang menurutnya memudahkan terjadinya perilaku kolektif. Ketegangan structural (structural strain), semakin besar ketegangan structural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief) merupakan prasyarat berikutnya bagi terjadinya perilaku kolekftif. Terdiri atas factor yang mendahului (precipitating factors). Factor ini merupakan factor penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarkat. Factor seperti ini, menurut Selser akan semakin mendorong khalayak ke arah perilaku kolektif. Mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud manakala khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan. Berlangsungnya pengendalian social (the operation of social control). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat mencegah, mengganggu ataupun menghambat akumulasi kelima factor penentu sebelumnya.

GERAKAN SOSIAL

Gerakan social, di pihak lain, ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Giddens (1989)dan Light, Keller dan Calhoun (1989) menyebutkan cirri lain gerakan social, yaitu penggunaan cara yang berada di luar institusi yang ada. Berbagai gerakan social memang memenuhi criteria ini ; gerakan mahasiswa di Indonesia pada tahun 1966, gerakan mahasiswa Amerika menentang perang Vietnam, gerakan mahasiswa Tiongkok di Tienanmen, gerakan Green Peace memang sering berada diluar institusi yang ada. Karena keanekaragaman gerakan social sangat besar, maka berbagai ahli sosiologi mencoba mengklasifikasikannya dengan menggunakan criteria tertentu. David Aberle, misalnya dengan menggunakan criteria tipe perubahan yang dikehendaki (perubahan perseorangan atau perubahan social)dan besarnya perubahanyang diinginkan (perubahan untuk sebagian atau perubahan menyeluruh). Tripologi aberle adalah sebagai berikut : Alternative movement ialah gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku perseorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai kampanye untuk mengubah perilaku tertentu, seperti misalnya kampanye agar orang tidak merokok, tidak minim minuman keras, dan tidak menyalahgunakan zat. Redemptive movement ialah perubahan menyeluruh pada perilaku perseorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat di bidang agama, misalnya perseorangan diharap untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama. Revormative movement ialah yang hendak diubah bukan perseorangan melainkan masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu masyarakat, misalnya gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup mereka, atau gerakan kaum perempuan untuk memeperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Transformative movement ialah gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh. Gerakan kaum khmer (Khmer Rouge) untuk menciptakan masyarakat komunis di Cambodia, suatu proses dalam mana seluruh penduduk dipindahkan ke desa dan lebih dari satu juta orang Cambodia kehilangan nyawa mereka karena di bunuh kaum Khmer Merah.

Apabila gerakan social bertujuan mengubah institusi dan stratifikasi masyarakat, maka gerakan tersebut merupakan gerakan revolusioner (revolutionary movement). Revolusi social merupakan suatu transformasi menyeluruh tatanan social, termasuk di dalamnya institusi pemerintah dan system strativikasi. Menurut Giddens, suatu revolusi harus memenuhi tiga criteria : Melibatkan gerakan social secara masal Menghasilkan proses reformasi atau perubahan, dan Melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan. Dengan demikian, menurut Giddens, revolusi perlu dibedakan dengan kudeta (coup detat) dan pemberontakan, karena menurutnya kudeta hanya melibatkan penggantian pimpinan dan tidak mengubah institusi politik sedangkan pemberontakan tidak membawa perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggnaan kekerasan.

Jika suatu gerakan hanya bertujuan mengubah sebagian institusi dan nilai, maka nama yang diberikan Kornblum ialah gerakan reformasi (reformist movement). Gerakan yang berupaya mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut Kornblum gerakan konservatif (conservative movement). Suatu gerakan disebut gerakan reaksioner (reactionary movement) manakala tujuannya ialah untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan meninggalkan institusi dan nilai masa kini. Contoh yang diberikan Kornblum ialah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat.

FAKTOR PENYEBABGERAKAN SOSIAL

James davies mengemukakan bahwa meskipun tingkat kepuasan masyarakat meningkat terus, namun mungkin saja terjadi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan yang diinginkan masyarakat dengan apa yang diperoleh secara nyata. Kesenjangan ini dinamakan deprivasi relative. Sejumlah ahli sosiologi lain berpendapat bahwa deprivasi tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan terjadinya gerakan social.

Menurut mereka perubahan social memerlukan pengerahan sumber daya manusia maupun alam (resource mobilization). Tanpa adanya pengerahan sumber daya suatu gerakan social tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi tinggi. Keberhasilan suatu gerakan social bergantung, menurut pandangan ini, pada factor manusia seperti kepemimpinan, prganisasi dan keterlibatan, serta factor sumber daya lain seperti dana dan sarana.

Anda mungkin juga menyukai