Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perilaku sosial merupakan hal terpenting dalam suatu sosialisasi kehidupan, tak
sedikitpun seseorang mengelak akan keberadaan perilaku sposial di sekitar kita. Oleh
karena itu, kehidupan di masyarakat sangat sarat dengan perilaku sosial, baik itu
perilaku sosial yang individualis maupun kolektif. Keberadaan perilaku ini dapat
membawa dampak tersendiri bagi dunia sosial yakni penyimpangan dari perilaku
sosial tersebut (Aprilyani, 2015).
Selain perilaku kolektif, gerakan sosial juga turut berkembang dalam
masyarakat. Sebuah gerakan sosial, apapun latar belakang historis terbentuknya, pada
hakekatnya menekankan pada suatu tujuan utama gerakan yaitu suatu perubahan.
Semenjak manusia mulai hidup berkelompok, dan selanjutnya membentuk suatu
komunitas dalam sebuah lingkungan sosial sendiri dengan dibatasi oleh wilayah darat,
laut dan udara beserta aturan main yang bersifat hukum dan politik, maka sejarah
banyak mencatat momen penting bagaimana sebuah gerakan sosial mampu menjadi
motor penggerak utama perubahan sosial. Gerakan sosial tersebut memunculkan peran
kelompok yang mampu merubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara atas
negara yang bersangkutan (Aprilyani, 2015).
Berdasarkan pemaparan di atas, akan dibahas perilaku dan gerakan sosial dalam
makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana definisi dan konsep perilaku kolektif?
1.2.2. Bagaimana definisi dan konsep perilaku kerumunan?
1.2.3. Bagaimana faktor penyebab perilaku kerumunan?
1.2.4. Bagaimana faktor penyebab perilaku kolektif?
1.2.5. Bagaimana konsep dan tipe-tipe gerakan sosial?
1.2.6. Bagaimana faktor penyebab gerakan sosial?

1
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sosiologi
1.3.2. Untuk mengetahui definisi dan konsep perilaku kolektif
1.3.3. Untuk mengetahui definisi dan konsep perilaku kerumunan
1.3.4. Untuk mengetahui faktor penyebab perilaku kerumunan
1.3.1. Untuk mengetahui faktor penentu perilaku kolektif
1.3.5. Untuk mengetahui konsep dan tipe-tipe gerakan sosial
1.3.6. Untuk mengetahui faktor penyebab gerakan sosial

1.4. Manfaat

Secara teoritis, makalah ini memiliki manfaat sebagai acuan untuk mengetahui
definisi, konsep, faktor penyebab, dan faktor penentu perilaku kolektif dan perilaku
kerumunan, serta konsep, tipe, dan faktor penyebab gerakan sosial. Sehingga pembaca
dapat mengetahui perilaku kolektif dan gerakan sosial secara keseluruhan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perilaku Kolektif


Perilaku kolektif adalah suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur
dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang berjuang melawan atau menghilangkan
rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku
kolektif dengan perilaku lainnya.
Horton dan Hunt (1984) berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi
berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial.
Menurut Cohen (1992) berpendapat bahwa perilaku kolektif ditandai ditandai
oleh perilaku yang tidak tersusun, spontan, emosional, dan tidak dapat diduga,
individu-individu yang terlibat dalam erilaku kolektif tanggap terhadap rangsangan
tertentu yang mungkin datang dari orang lain dan bersifat khusus.
Sedangkan menurut Milgram dan Touch (1977) berpendapat bahwa perilaku
kolektif ialah perilaku yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisir serta
hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan
hanya tergantung pada situasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya.
Perilaku kolektif dipicu oleh suatu rangsangan yang sama. Rangsangan ini,
menurut Light, Keller dan Calhoun, dapat terdiri atas suatu peristiwa, benda, atau
ide. Perusakan kantor tabloid MONITOR di Jakartaoleh sejumlah demonstran pada
tahun 1990 merupakan reaksi terhadap pemuatan hasil angket yang dianggap sebagai
penghinaan agama Islam; perkelahian antar pelajar sering—meskipun tidak selalu—
didahului desas-desus mengenai tindakan pelajar suatu sekolah terhadap pelajar
sekolah lain; perampokan besar-besaran di kota New York pada tahun 1977 dipicu
oleh peristiwa padamnya listrik d seluruh kota secara mendadak; perusakan masjid
Babri di Ayondhya, India pada tahun 1992 oleh kaum Hindu militant yang dipelopori
gerakan nasionalis Hindu, B.J.P., didasasarkan pada kepercayaan bahwa pada abad
ke-16 masjid tersebut dibangun di atas tempat ibadah Hindu yang dianggap sebagai
tempat kelahiran Dewa Rama. Peristiwa perusakan toko dan harta orang Tionghoa
yang pada tahun 1963 diawali di kota Cirebon dan kemdian dengan cepat menjalar
ke sejumlah kota di Jawa Tengah, Jawa Barat dan bahkan Jawa Timur dan Sumatra
Utara bermula pada insiden di Pengadilan Negeri Cirebon yang melibatkan pemuda

3
pribumi dan Tionghoa, huru-hara di Jakarta selatan pada tanggal 10 April 1993 yang
mengakibatkan berpuluh-puluh orang luka berat dan ringan dan berpuluh-puluh
kendaraan bermotor dan rumah mewah serta usaha pedagang kecil dibakar atau
dirusak massa terjadi manakala sejumlah besar pemuda tidak dapat memasuki
stadion Lebak Bulus untuk menonton pertunjukan music rock Metallica, sedangkan
huru-hara besar-besaran di Jakarta pada tanggal 14 Mei dan 13 November 1998
didahului dengan ditembak matinya sejumlah mahasiswa proreformasi yang sedang
berdemonstrasi di sekitar Universitas Trisakti and Universitas Atma Jaya.

2.2. Perilaku Kerumunan


Perilaku kolektif selalu melibatkan perilaku sejumlah orang yang berkerumun.
Pada tahun 1895 Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular
Mind (judul asli: La Foule. Lihat Le Bon, 1966).
Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan
berarti sejumlah individu yang karena satu dan lain hal kebetulan berkumpul
bersama; namun menurutnya dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai
makna lain, yaitu sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda
samasekali dengan ciri individu yang membentuknya. Menurut Le Bon perasaan dan
pikiran individu dalam kumpulan orang tersebut berhaluan sama, dan kesadaran
perseorangan lenyap. Kumpulan orang menjadi apa yang dinamakannya kerumunan
terorganisasi atau kerumunan psikologis—menjadi suatu makhluk tunggal yang
tunduk pada apa yang dinamakannya the law of the mental unity of crowds (hukum
kesatuan mental kerumunan, lihat Le Bon,23-24).
Dari perumusan Le Bon ini nampak bahwa suatu kerumunan mempunyai ciri
baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya. Le Bon
megisahkan bahwa semasa Revolusi Perancis, di kala kerumunan rakyat menyerbu
penjara Bastille, kerumunan berhasil membujuk seorang tukang daging—yang hanya
kebetulan berada di tempat itu karena rasa ingin tahu saja—untuk menyembelih
Gubernur penjara Bastille (lihat Le Bon, 1966:160-161).
Dikalangan para ahli sosiologi terdapat perumusan berbeda mengenai konsep
kerumunan. Ada definisi yang lebih mendekati apa yang menurut Le Bon merupakan
pengertian sehari-hari, dan ada pula definisi yang menekankan pada adanya interaksi
dalam kerumunan. Definisi Kornblum, misalnya, kerumunan adalah sejumlah besar

4
orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat (Kornblum, 1988:233). Definisi
Giddens menitik beratkan pada segi interaksi dan tempat dilangsungkannya interaksi
tersebut; dalam definisi ini kerumunan terdiri atas sekumpulan orang dalam jumlah
relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain ditempat umum
(Gidden, 1990:621). Definisi Light, Keller dan Calhoun (1989:594) lebih terbatas
daripada definisi Gidden karena mengaitkan kerumunan dengan adanya kesadaran,
pengaruh dan adanya seorang atau suatu peristiwa: kerumunan adalah sekumpulan
orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran
orang lain dan dipengaruhi orang lain.
Tipologi perilaku kerumunan. Blumer membuat suatu klasifikasi jenis-jenis
kerumunan dengan membedakan antara: Kerumunan sambil lalu (casual crowd),
kerumunan konvensional (conventional crowd), kerumunan ekspresif (expressive
crowd), dan kerumunan bertindak (acting crowd).
Jenis kerumunan lain terdiri atas sekumpulan orang yang berada di suati tempat
untuk suatu tujuan yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam kategori ini kita
digolongkan para penumpang yang berkumpul diterminal bis, bandara udara, atau
pelabuhan.
Suatu kerumunan konvensional dapat berubah sifatnya manakala para
anggotanya menyatakan perasaan mereka secara meluap-luap dan menampilkan
perilaku yang biasanya tidak ditampilkan di tempat lain. Kadangkala para suporter
masing-masingtim dalam suatu pertandingan olahraga menyatakan luapan perasaan
setiakawan terhadap tim unggulan mereka melalui perilaku seperti bernyanyi-nyanyi,
menari-nari, berteriak, atau melambai-lambaikan bendera dan atribut lain.
Pada bukan Oktober 1989 tersebar desas-desus tentang adanya perempuan
berpakaian jilbab yang menyebarkan racun. Sebagai adanya dsas-desus tersebut
seorang sarjana peneliti berpakaian jilbab di arak, dipukuli massa dan dibawa ke pos
keamanan. Perilaku kerumunan seperti ini oleh Blumer diklarifikasikan sebagai
kerumunan yang bertindak: sekumpulan orang yang memusatkan perhatian pada
suatu hal yang merangsang kemarahan mereka dan membangkitkan hasrat untuk
bertindak.
Pada tahun 1903 terjadi kebakaran di pentas teater Iroquois di kota Chicago
tatkala pementasan komedi tengah berlangsung. Kebakarannya dapat segera di atasi
pemadam kebakaran, tetapi dalam waktu hanya delapan menit semenjak seorang

5
penonton berteriak “api!” lebih dari 500 orang penonton meninggal karena terjebak,
terinjak-injak, atau terjepit tatkala sejumlah besar penonton berusaha meloloskan diri
dari bahaya melalui beberapa pintu darurat (lihat Brown, 1965:714-715).
Kerumunan yang berbentuk khalayak sejalan dengan apa yang oleh Blumer
diklarifikasikan sebagai kerumunan konvensional. Huru-hara merupakan perilaku
kerumunan yang oleh Blumer dikategorikan sebagai kerumunan yang bertindak.
Orgy—kerumunan yang didalamnya orang melakukan pelampiasan secara
berlebihan yang biasanya tidak dibenarkan oleh aturan.

2.3. Faktor Penyebab Perilaku Kerumunan: Teori Le Bon

Menurut Le Bon, kerumunan hanya ampuh dalam melakukan penghacuran,


memerintah secara biadab, dan tidak mampu mewujudkan peradaban. Hal tersebut
ditandai oleh aturan mantap, disiplin, peralihan dari naluri ke rasio, pandangan ke
masa depan, dan kebudayaan bertingkat tinggi. Mengapa sekumpulan individu dapat
berubah menjadi suatu kerumunan?
Le Bon menyebutkan sejumlah faktor yang menurutnya menjadi penyebab
terjadinya kerumunan, yang sering dinamakan teori penularan, antara lain:
a. Kebersamaan dengan banyak orang maka individu, yang semula dapat
mengendalikan nalurinya, kemudian memperoleh perasaan kekuatan luar biasa
pada nalurinya;
b. Penularan: dalam kerumunan tiap perasaan dan tindakan bersifat menular; dan
c. Suggestibility: dalam kerumunan, individu mudah dipengaruhi, percaya, dan
taat.
Menurut Turner dan Killian, interaksi yang tidak ada aturannya sering muncul
aturan baru yang diikuti para anggota kerumunan. Teori ini dinamakan emergent
norm theory. Di samping itu teori ini mengemukakan pula bahwa tidak semua
anggota kerumunan sepenuhnya tertular oleh perilaku dan perasaan orang lain
ataupun taat pada aturan yang muncul. Ada pula teori konvergensi yang
dikemukakan oleh Horton dan Hunt. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku
kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud, dan
kebutuhan serupa.

6
2.4. Faktor Penentu Perilaku Kolektif: Teori Smelser

Smelser menitiberatkan penjelasannya terhadap perilaku kolektif pada faktor


sosiologis. Ia mengemukakan bahwa ada enam faktor yang berlangsung secara
berurutan. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Structural conduciveness: struktur situasi sosial yang merupakan kekuatan
alam yang berada di luar kekuasaan manusia;
b. Structural strain: semakin besar ketegangan structural, semakin besar pula
peluang terjadinya perilaku kolektif;
c. Growth and spread of a generalized belief: peredaran berbagai desas-desus
yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian
disebarluaskan hingga diterima menjadi pengetahuan umum;
d. Precipitating factors: desas-desus yang telah berkembang diberi dukungan dan
penegasan kembali;
e. Mobilization factors: mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan; dan
f. The operation of social control: kehadiran aparat keamanan dalam jumlah
besar atau kehadiran suatu faktor pengendalian.

2.5. Gerakan Sosial

Pengertian dan Konsep Gerakan Sosial

Oleh sejumlah ahli sosiologi – Giddens, 1989; Horton dan Hunt, 1984;
Kornblum, 1988; Light, Keller, dan Calhoun, 1989; --, gerakan sosial ditekankan
pada segi kolektif, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi
kesengajaan, organisasi dan kesinambungan.
Jary dan Jary (1995:614-615) mendefinisikan gerakan sosial sebagai: “any
board social alliance of people who are associated in seeking to effect or to block an
aspect of social change within a society” artinya, suatu aliansi sosial sejumlah besar
orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan
sosial dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan definisi di atas dapat kita ketahui bahwa gerakan sosial atau social
movement adalah aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang
yang bersifat informal atau organisasi, yang biasanya berfokus pada suatu isu-isu

7
sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah
perubahan sosial.

Ciri-Ciri Gerakan Sosial

Gerakan sosial berbeda dengan perilaku kolektif yang telah dibahas terdahulu,
maka gerakan sosial ditandai dengan adanya tujuan atau kepentingan bersama yang
berjangka panjang. Contoh, gerakan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia pada
tahun 1965-1966 yang dilancarkan hampir tiap hari bertujuan perimbangan politik
dan kebijakan ekonomi pemerintah (pembubaran PKI, penurunan harga, perubahan
kabinet).
Giddens (1989) dan Light, Keller dan Calhoun (1989) menyebutkan ciri lain
gerakan sosial, yaitu penggunaan cara yang berada diluar institusi yang ada.
Contohnya, gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1966 dan 1998, serta gerakan
mahasiswa Amerika Serikat menentang perang Vietnam yang berada diluar institusi
yang ada.

Klasifikasi Gerakan Sosial Menurut Para Ahli

a. David Aberle

Dengan menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki --


perubahan perorangan dan perubahan sosial-- dan besar pengaruhnya yang
diinginkan --perubahan untuk sebagain dan perubahan menyeluruh--, David
Aberle membedakan empat tipe gerakan sosial (Giddens:625; Light, Keller, dan
Calhoun, 1989:599-600). Tipologi Aberle adalah sebagai berikut:
Tipe Perubahan yang
Dikehendaki
Perubahan Perubahan
Perorangan Sosial
Besarnya Sebagian Alternative Reformative
Perubahan Movement Movement
yang Menyeluruh Redemptive Transformative
Dikehendaki Movement Movement

8
1) Alternative Movement
Gerakan ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk merubah
sebagian perilaku perorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukan
berbagai kampanye untuk merubah perilaku tertentu, misalnya, kampanye
agar orang tidak minum-minuman keras. Dengan semakin menyebarnya
penyakit AIDS kini pun banyak dilancarkan kampanye agar dalam
melakukan perbuatan seks dengan bertanggung jawab.
2) Redemptive Movement
Gerakan ini lebih luas dibandingkan dengan alterative movement,
karena yang hendak dicapai ialah perubahan menyeluruh pada perilaku
perorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat di bidang agama. Melalui
gerakan ini, misalnya, perorangan diharap untuk bertobat dan mengubah
cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama.
3) Reformative Movement
Gerakan ini yang hendak diubah bukan perorangan melainkan
masyarakat namun lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu
masyarakat, misalnya gerakan kaum homoseks untuk memperoleh
perlakuan terhadap gaya hidup mereka atau gerakan kaum perempuan yang
memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan people power di
Filipina atau gerakan menentang pedana mentri Suchinda di Thailand pun
dapat dikategorikan dalam tipe ini karena tujuannya terbatas, yaitu
pergantian pemerintah.
4) Transformative Movement
Gerakan ini merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara
menyeluruh. Gerakan kaum Khamer Merah untuk menciptakan masyarakat
komunis di Cambidia. Suatu proses dalam mana seluruh penduduk kota
dipindahkan ke desa dan lebih dari satu juta orang Cambodia kehilangan
nyawa mereka karena di bunuh kaum Khamer Merah, menderita kelaparan
atau sakit merupakan contoh ekstrim gerakan sosial semacam ini. Gerakan
transformasi yang dilancarkan oleh rezim komunis di Uni Soviet pada tahun
30-an serta di Tiongkok sejak akhir 40-an untuk mengubah masyarakat
mereka menjadi masyarakat komunis pun mengakaibatkan menentang
diskriminasi oleh orang kasta-kasta bawah, menengah dan atasmu mendapat

9
di kategotikan dalam ini karena keberhasilan gerakan mereka akan berarti
pula perombakan mendasar pada masyarakat India.

b. Kornblum

Kornblum pun membuat klarifikasi tentang gerakan sosial dengan


menjadikan tujuan yang hendak di capai sebagai kriterianya (Kornblum,
1988:250). Atas dasar kriteria ini kornblum membedakan antara revolutionary
movenment, reformist movement, convervative movement, dan reactionary
movement.
1) Revolutionary Movement
Apabila gerakan sosial bertujuan mengubah institusi dan strafikasi
masyarakat, maka gerakan tersebut merupakan gerakan
revolusioner (revolutionary movenment). Revolusi sosial merupakan satu
transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi
pemerintah dan sistem strafikasi.
Revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi di Tiongkok pada tahun
1949 dapat dimasukan dalam kategori ini, karena di kedua masyarakat
tersebut sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi lama dirombak
menyeluruh diganti sistem komunis.
Menurut Giddens, suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria, antara
lain:
a) Melibatkan gerekan sosial secara masal;
b) Menghasilkan proses reformasi atau perubahan; dan
c) Melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan.
Berdasarkan kriteria tersebut, Giddens membedakan revolusi menjadi dua,
yaitu:
a) Kudeta, yaitu revolusi yang melibatkan pergantian pimpinan dan tidak
mengubah institusi politik; dan
b) Pemberontakan, yaitu revolusi yang melibatkan ancaman atau
penggunaan kekerasan dan tidak membawa perubahan nyata.
2) Reformist Movement
Gerakan reformis (reformist movement) bertujuan untuk mengubah senagian
institusi dan nilai. Contoh dari gerakan reformis salah satunya adalah gerakan

10
Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakarta yang mempunyai
tujuan utama, yakni memberikan pendidikan Barat formal kepada putra-putri
pribumi.
3) Conservative Movement
Gerakan konsevatif (conservative movement) adalah gerakan yang
mempertahankan nilai dan institusi masyarakat. Misalnya, Di Amerika
Serikat, usaha kaum feminis di tahun 1980-an untuk melakukan perubahan
pada konstitusi demi menjamin persamaan hak lebih besar antara laki-laki
dan perempuan (ERA/Equal Rights Amandemen) ditentang dan akhirnya
digagalkan oleh gerakan konsevatif perempuan STOP-ERA -- suatu gerakan
anti feminis yang melihat sebagai ancaman terhadap peranan perempuan
dalam keluarga sebagai istri dan ibu.
4) Reactionary Movement
Gerakan reaksioner (reactionary movement) adalah gerakan yang bertujuan
untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan meninggalkan
institusi dan nilai masa kini. Contoh yang di berikan Kornblum ialah gerakan
Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi rahasia ni berusaha
mengembalikan keadaan di Amerika Serikat ke masa lampau di kala instituisi
sosial mendukung asas keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit
hitam (White Supermacy).

2.6. Faktor Penyebab Gerakan Sosial

Para ahli --Giddens, 1989:615; Horton dan Hunt, 1984:500-502; Kornblum,


1988; Light, Keller, dan Calhoun, 1989-- sering mengaitkan gerakan sosial dengan
deprivasi ekonomi dan sosial. Menurut KBBI, deprivasi adalah kekurangan atas
sesuatu yang dianggap penting bagi kesejahteraan psikologis. Misalnya, di bidang
ekonomi, tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok --sandang, pangan, dan
papan– termasuk deprivasi.
Namun, James Davies kurang sependapat dengan penjelasan deprivasi semata-
mata. Mereka merujuk pada fakta bahwa gerakan sosial sering muncul justru pada
saat masyarakat menikmati kemajuan di bidang ekonomi. James Davies pun
merumuskan konsep deprivasi relatif. Menurutnya, meskipun tingkat kepuasan
masyarakat meningkat terus, kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan

11
nyata yang dihadapi mungkin saja terjadi. Kesenjangan ini dinamakan deprivasi
relatif. Semakin melebar deprivasi relatif sehingga melewati batas toleransi
masyarakat, maka revolusi akan semakin tercetus (Davies dalam Kornblum,
1988:240-242; Light, Keller, dan Calhoun, 1989:600-601).
Sebagian ahli sosiologi lain berbendapat bahwa deprivasi tidak dengan
sendirinya akan mengakibatkan gerakan sosial (Light, Keller, dan Calhoun,
1989:600-601). Menurut mereka, perubahan sosial memerlukan pengerahan sumber
daya manusia maupun alam (resource mobilization). Tanpa adanya pergerakan
sumber daya suatu gerakan sosial tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi
tinggi. Keberhasilan suatu gerakan sosial bergantung, menurut pandangan ini, pada
sosial manusia seperti kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan, serta sosial
sumber daya lain seperti dana dan sarana (Sunarto, 2004:198).

12
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Perilaku kolektif adalah suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan
tidak stabil dari sekelompok orang, yang berjuang melawan atau menghilangkan
rasa ketidakpuasan dan kecemasan;
b. Perilaku kerumunan adalah suatu tindakan sekumpulan orang yang berkumpul di
sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan
dipengaruhi orang lain;
c. Ada tiga faktor penyebab terjadinya kerumunan menurut Le Bon, yaitu
kebersamaan dengan banyak orang maka individu, penularan, dan sugestibility;
d. Ada enam faktor penentu perilaku koletif menurut Smelser, yaitu Structural
conduciveness, struktural strain, growth and spread of a generalized belief,
precipitating factors, mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan, dan the
operation of social control;
e. Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan sekelompok
orang yang bersifat informal atau organisasi, yang biasanya berfokus pada suatu
isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau
mengkampanyekan sebuah perubahan sosial; dan
f. Faktor penyebab gerakan sosial menurut beberapa ahli adalah deprivasi,
deprivasi relatif, atau pengerahan sumber daya manusia.

3.2. Saran
Setelah mengetahui berbagai konsep, bentuk dan faktor penyebab baik perilaku
kolektif maupun gerakan sosial, sebaiknya kita dapat menerapkan ilmu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari dengan menghindari perilaku kolektif dan gerakan sosial yang
cenderung bersifat menyimpang (menimbulkan kerusakan).

13
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Edisi keenam. International
Student Edition. Tokyo: McGraw-Hill.
Kornblum, Willian. 1988. Sociology in a Changing World. New York: Holt, Rinehart and
Winston
Light, Donald, Suzanne Keller, dan Craig Calhoun. 1989. Sociology. Edisi kelima. New
York: Alfred A. Knopf.
Le Bon, Gustave. 1966. The Crowd: A Study of the Popular Mind. New York: The
Viking Press.
Smelser, Neil J. 1968. The Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press.
Sunarto, Kamanto. 2018. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sumber Web
https://www.academia.edu/18378282/Perilaku_Kolektif_da_Gerakan_Sosial
(Dipublikasikan oleh Aprilyani, Andi. Diunduh pada 28 April 2019)

https://www.academia.edu/19823147/PERILAKU_KERUMUNAN?auto=download&aut
o=download (Dipublikasikan oleh Apriyanti, Dewi. Diunduh pada 28 April 2019)

14

Anda mungkin juga menyukai