Anda di halaman 1dari 13

Kedatangan dan Penyebaran Agama Islam ke Sumatera Selatan

Sumber-sumber menyatakan bahwa pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M,
suatu kesatuan armada yang terdiri dari empat buah kapal bertolak dari pulau Jawa atas
perintah Wali Songo (Wali Sembilan). Dua buah kapal berasal dari Demak, dengan nahkoda
yang bernama Raden Kuningan dan nahkoda Suroh Pati. Dua kapal lainnya berasal dari
Cirebon, dengan nahkoda yang bernama Sidik Karto Jati yang berasal dari Gunung Jati di
Cirebon dan dari Banten dengan Nahkoda yang bernama Empu Ing Sakti Barokatan. Kapal-
kapal mereka disebut pula dengan istilah Rejung.
Keempat armada tersebut bertolak ke Sumatera Selatan untuk menyiarkan agama
Islam di tiga Kerajaan, yaitu kerajaan Dempo, Ipuh dan Danau. Mereka berangkat melalui
jalur ke Kuala Lumpur, tidak melalui Selat Malaka. Beberapa waktu setelah berlayar, armada
ini tiba di tempat yang sekarang disebut sebagai Bukit Seguntang atau Bukit Siguntang. Pada
waktu itu mereka dilanda oleh angin topan yang dahsyat sehingga salah satu kapal, yaitu
yang berasal dari Cirebon, karam terpukul gelombang laut.
Dengan tenggelamnya kapal nahkoda Sidik Karto Jati, maka para penumpang kapal
dari Cirebon tersebut terpaksa menetap di Bukit Siguntang. Nama itu sendiri dikatakan
muncul akibat adanya peristiwa tersebut, demikian pula halnya dengan nama Gunung Meruh
atau Maha Meruh. Bukit Siguntang menggambarkan adanya tanah yang muncul dari
permukaan air laut (tebuntang), sedangkan Maha Meruh berasal dari kata Meruk, artinya
Berdiam atau menetap. Maka kedua nama ini melukiskan hal yang dialami dan dihadapi
para penumpang kapal tersebut, yakni adanya tanah yang sedikit muncul di permukaan laut
dan menetapnya orang Cirebon itu di tempat tersebut.
Bencana alam tersebut dalam bahasa Arab disebut sebagai Musibah. Karena itu,
sungai yang membelah kota Palembang disebut sungai Musi, untuk memperingati adanya
musibah itu. Pemberian nama ini membuat adanya perkiraan bahwa orang-orang Cirebon
itulah yang mula-mula mendiami daerah ini yang sebelumnya tak berpenghuni.
Dengan karamnya perahu yang bernahkoda Sidik Karto Jati, maka hanya tiga kapal
saja yang dapat melanjutkan misi mereka. Ketiga nahkoda itu lebih dahulu melakukan
perundingan, siapa yang akan menuju ke Dempo, siapa yang menuju ke Ipuh dan siapa yang
menuju Danau. Dalam musyawarah itu kemudian diputuskan bahwa kapal Demak dengan
nahkoda Raden Kuningan berangkat ke Dempo di sebelah Barat, kapal Banten dengan
nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan menuju ke Ipuh di sebelah Timur, khususnya ke daerah
yang sekarang disebut sebagai Bukit Batu atau daerah di sebelah Timur Tulung Selapan Ogan
Komering Ilir. Kapal Demak lainnya dengan nahkoda Suroh Pati bertolak menuju ke Selatan,
yaitu Danau. Tempat musyawarah mereka itu terletak di daerah Indralaya sekarang, yaitu
dusun Sako Tigo dan Sungai Ogan. Kata Sako Tigo yang berarti tiga arah, yaitu Barat, Timur
dan Selatan. Sungai Ogan berasal dari kata Bergan, yang berarti berlabuh sementara atau
menetap sementara. Selain itu terdapat nama lain, yaitu dusun Burai dengan marga Burai,
yang berasal dari kata bercerai. Kata tersebut seringkali diucapkan sebagai Jurai, yaitu
keturunan dari seorang awak kapal Demak yang bernama Indrajaya. Nama itu kemudian
berubah menjadi dusun Indralaya yang berlokasi di Indrajaya sekarang.
Adapun arnada Demak yang lainnya, yang bernahkoda Suroh Pati yang bertolak
menuju Danau, telah berlabuh di suatu tempat dan penumpangnya mendarat di daerah yang
sekarang disebut dusun Meranjat. Nama ini berasal dari kata mendarat. Mereka mendirikan
perkampungan, kemudian meninggalkan adik Suroh Pati yang bernama Putri Pati. Adanya
penumpang wanita dalam kapal nahkoda Suroh Pati ini memang disebutkan oleh sumber-
sumber yang menyatakan bahwa para Wali Sembilan yang datang ke Palembang terdiri dari 8
orang laki-laki dan seorang wanita,
Tempat berlabuh kapal nahkoda Suroh Pati tersebt kini menjadi suatu delta yang
terletak di antara dua dusun Meranjat dan Tanjung Batu sekarang. Di sini terletak makam
nahkoda Suroh Pati dan makam Puyang Rio Megat Sari atau Usang Rimau. Selain itu
terdapat suatu dusun yang bernama dusun Beti, yang berasal dari nama Putri Patih. Akibat
terdamparnya kapal mereka, pengikut nahkoda Suroh Pati tidak jadi menyiarkan agama Islam
ke Danau, melainkan ke Ulu Ogan dan sekitarnya, dan untuk sementara terhenti di daerah
yang bernama Rambang, seorang tokoh yang semula bernama Syarif Abdul Rahman.
Lokasinya adalah di antara tepi sungai Ogan dan dusun Rambang. Tokoh ini salah
satu seorang penumpang kapal nahkoda Suroh Pati.
Armada yang berasal dari Banten, dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan,
berlayar ke arah Timur menuju Ipuh; yang lokasinya adalah Bukit Batu Tulung Selapan
sekarang. Mereka juga mengalami hambatan dilanda angin kencang sehingga kapal
kehilangan arah. Sebagai akibatnya, mereka tidak menuju ke Timur seperti yang
direncanakan semula, melainkan ke Selatan. Disana mereka terdampar di suatu tempat yang
dahulu bernama Pedamaran dansekarang dikenal sebagai Sekampung atau Pulau Sekampung.
Nama ini juga menyatakan bahwa di tempat itulah dahulu para awak dan penumpang kapal
mendirikan perkampungan. Di tempat ini terdapat makam yang dikeramatkan, yang disebut
Pedamaran Usang atau Puyang Sekampung. Makam tersebut merupakan makam salah
seorang tokoh yang turut dalam kapal. Bernama Syarif Husin Hidayatullah, yang kemudian
diangkat menjadi kepala pemerintahan setempat di Pulau Sekampung dan disebut Rio,
dengan gelar Rio Minak. Di kampung ini ia mengajarkan agama Islam kepada masyarakat di
sekitar danau atau lebak, yang sebelum dan pada masa pemerintahan keluarga Syailendra
atau kerajaan Seribu Daya menganut agama Budha dan disebut juga sebagai Pedamaran Budi
Kerti.
Setelah perkampungan mereka mantap, Syarif Husin Hidayatullah memerintahkan
Empu Ing Sakti Barokatan untuk bertolak menuju Jawa melalui daerah yang kini merupakan
Lampung. Tujuannya adalah memberitahukan para Wlai Sembilan di Jawa bahwa tiga dari
keempat armada mereka tidak sampai di sasaran semula, melainkan ke tempat lain akibat
musibah yang dialami.
Dari uraian di atas tampak bahwa semula agama Islam disiarkan oleh orang-orang
Jawa atas perintah Wali Sembilan pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M. Karena
selama bertahun-tahun para Wali Sembilan tak mendengar kabar tentang misi keempat
armada tersebut, maka Syarif Hidayatullah yang terkenal sebagai Sunan Gunung Jati di
Cirebon memberangkatkan suatu armada lain dikepalai oleh Kholik Hamirullah. Tugasnya
adalah mencari keterangan tentang keempat armada terdahulu.

Bukti Peninggalan Sejarah Islam di Sumatera Selatan

1. MASJID LAWANG KIDUL

Peninggalan bangunan masjid pada zaman dahulu kini masih tampak terawat cantik anggun
dan tetap bernilai sejarah pasalnya meskipun ada perehaban namun hanya sebagian kecil saja,
salah satu contoh Masjid Lawang Kidul, yang dibangun oleh Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin
Mgs. H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan Kiai Merogan.

Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di kota Palembang. Masjid ini terletak di
tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara
Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah
ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang Kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul
Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun 1310 H(1890 M).
Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat
tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah sat anak Sungai
Musi) di kawasan Seberang Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses.
Kiai Merogan dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini
dimakaman di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar
Islamnya.
Sayang, kebakaran hebat pernah menghaguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun
1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai
Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi
para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu.

2. KAWAH TEKUREP

Tidak sulit untuk menemukan kompleks pemakaman ini, walaupun letaknya


terlindungi kompleks pergudangan peti kemas Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan
III Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Dari pinggiran jalan raya, kita harus berjalan sekitar 200
meter untuk dapat melihat langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih memilih dari tepian
Sungai Musi, maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100 meter.
Nama kawah tekurep diambil dari bentuk cungkup (kubah) yang menyerupai kawah
ditengkurapkan (Palembang: tekurep). Di sisi yang menghadap Sungai Musi (arah selatan),
terdapat gapura yang merupakan gerbang utama untuk memasuki kompleks makam.
Di dalamnya, terdapat empat cungkup. Yaitu, tiga cungkup yang diperuntukkan bagi
makam para sultan dan satu cungkup untuk putra-putri Sultan Mahmud Badaruddin, para
pejabat dan hulubalang kesultanan. Layaknya komplek pemakaman, Kawah Tengkurep
dikelilingi tembok tinggi di sekelilingnya. Suasananya begitu teduh dengan pepohonan
sehingga sangat nyaman bagi mereka yang berziarah.
Ketebalan bangunan pada makam ini mencapai 1 M. Oleh karena itu, bangunan-bangunannya
tidak pernah direnovasi karena masih sangat kokoh. Hanya saja pengecatan pada temboknya
saja lebih ditingkatkan.

Berdasarkan dari catatan sejarah lama kota Palembang, Pemakaman Kawah Tengkurep ini
dibangun pada tahun 1728 Masehi atas perintah dari Sultan Mahmud Badaruddin I atau nama
lainnya adalah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo ( yang wafat pada tahun 1756 M ),
kalau tidak salah, itu kurang lebih tidak lama setelah masa pembangunan Kompleks Makam
atau Gubah Talang Kerangga ( 30 Ilir ) itu di selesaikan.

3. BENTENG KUTO BESAK

Dibangun pada abad ke 17, Kuto Besak merupakan warisan Kesultanan Palembang
Darussalam yang memerintah pada 1550-1823. Arsitek Benteng tidak diketahui dengan pasti,
pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat
bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan
putih telur. Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal
1,99 m, berfungsi sebagai pos pertahanan. Lokasi Benteng ini baik secara politik dan
geografis sangat strategis karena membentuk pulau sendiri, berbatasan dengan sungai musi di
sebelah selatan, sungai sekanak di sebelah barat, sungai kapuran di sebelah utara dan sungai
tengkuruk di sebelah timur.
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Utara

Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai
dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan
masjid, makam, ataupun lainnya. (A.Hasyimsy, 1993. 193)

Seorang Italia dari Venetia yang bernama Marcopolo. Pada tahun 1292 Marcopolo singgah di
bagian Utara Aceh dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Di Perlak
(Peureula) ia menjumpai penduduk yang memeluk agama Islam, dan juga banyak pedagang
Islam yang berasal dari India yang giat menyebarkan agama Islam. Di sekitar kota banyak
penduduknya yang masih kafir. Hal ini menunjukkan pada masa kedatangan Marcopolo
pengislaman di wilayah itu belum lama berlangsung. (R. Soekmono, 1981.42)

Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1-4 H merupakan fase pertama proses
kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para
pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Hal ini dapat diketahui
berdasarkan sumber-sumber asing. (A.Hasyimsy, 1993. 193)

Marcopolo menguunjungi pula berbagai tempat lainnya di Ujung Utara Sumatera itu.
Dikatakannya bahwa di wilayah Utara Aceh penduduknya masih belum Islam. (A.Hasyimsy,
1993. 193)

Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke
wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi,
mungkin dalam kurun waktu abad 1-4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para
pedagang atau masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan
mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun keluarganya. (A.Hasyimsy, 1993. 193)

Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera,


baru ditemukan setelah abad ke-10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita
bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di
Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke 13. M. (A.Hasyimsy, 1993. 193)

Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Utara

Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara pada
abad ke- 7 M. Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan
singgahnya para saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah
berpeluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat di kawasan ini.

Hal ini berdasarkan catatan tua Cina yang menyebutkan adanya sebuah kerajaan di utara
Sumatera namanya Ta Shi telah membuat hubungan diplomatik dengan kerajaan Cina. Ta Shi
menurut istilah Cina adalah istilah yang diberikan kepada orang-orang Islam. Letak kerajaan
Ta Shi itu lima hari berlayar dari Chopo (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang
selat Malaka. Ini menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi Sumatera
Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai dalam waktu lima
hari. (A.Hasyimsy, 1993. 193)

Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang pedagang
muslim yang datang ke Nusantara, karena Laut Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada
rome dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah. (A.Hasyimsy, 1993. 193)
Di samping itu terdapat satu faktor besar yang menyebabkan para pedagang Islam Arab
memilih Sumatera Utara pada akhir abad ke- 7 M yaitu karena terhalangnya pelayaran
mereka melalui Selat Malaka karena disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha
sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka
terpaksalah mereka melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk
selat Sunda melalui Singapura menuju Kantun, Cina. (A.Hasyimsy, 1993. 19)

BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM DI SUMATERA UTARA

1. MASJID RAYA AL - MASHUN

Masjid Raya Al Mashun merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan


Sultan Deli dan masih dipergunakan oleh masyarakat Muslim untuk sholat seiap hari.
Masjid Raya Al Mashun Medan yang berjarak 200 M dari Istana Maimoen dibangun pada
tahun 1906 oleh Sultan Mamoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan dipergunakan pertama
kali pada tanggal 19 september 1909.
Masjid yang berbentuk segi delapan ini pada awalnya dirancang oleh Arsitek Belanda Van
Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA
Tingdeman karena Van Erp ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda untu bergabung di
Jawa Tengah dalam proses restorasi Candi Borobudur. Saat saya sedang berada di ruangan
para imam, saya juga mendapati hal yang unik dan aneh di ruangan ini. Ruangan ini begitu
sejuk dan senyap yang sangat berbanding terbalik dengan keadaan Kota Medan pada siang
hari yang biasanya sangat panas dan ribut. Ternyata setelah berbincang dengan narasumber di
sana, saya mendapati bahwa masjid ini kedap suara, hal ini sungguh mengejutkan bagi saya
karena bangunan ini adalah bangunan yang dibangun 106 tahun lalu yang tentu saja teknologi
bidang konstruksi nya masih belum secanggih sekarang ini, yang lebih mengejutkan saya
lagi, ternyata dalam pembangunan masjid ini, agar semen dapat menjadi kuat, masjid yang
sangat luas ini pembangunannya menggunakan putih telur! Tidak terbayang berapa banyak
telur yang dipakai untuk pembangunan masjid ini. Dan ada pula sebagian bahan bangunan
yang ternyata untuk mendapatkannya harus diimpor dari negara lain yaitu berupa marmer
yang berasal dari Italia serta Jerman dan kaca patri dari cina serta lampu gantung yang asli
dari perancis.

2. BIARO BAHAL

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Buddha aliran
Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan atau
berjarak sekitar 400 km dari Kota Medan.
Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal dari sekitar abad ke-11 dan
dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir Selat Malaka yang
ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya. Memiliki Tiga bangunan kuno yaitu
Biaro Bahal I, II dan III. Saling berhubungan dan terdiri dalam satu garis yang lurus.
Biaro Bahal I yang terbesar. Kakinya berhiasan papan-papan sekelilingnya yang berukiran
tokoh yaksa yang berkepala hewan, yang sedang menari-nari. Rupa-rupanya para penari itu
memakai topeng hewani seperti pada upacara di Tibet. Di antara semua papan berhiasan itu
ada ukiran singa yang duduk Di Bahal II pernah ditemukan sebuah Arca Heruka yaitu Arca
Demonis yang mewujudkan tokoh pantheon Agama Buddha aliran Mahayanan, sekte
bajrayana atau tantrayana. Heruka berdiri di atas jenazah dalam sikap menari; pada tangan
kanannya ada tongkat. Bahal III berukiran hiasan daun.
Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu
nama Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari
bahasa sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi).
3. ISTANA MAIMUN ATAU ISTANA DELI

Istana Maimun adalah istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon kota
Medan, Sumatera Utara, terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja,
Kecamatan Medan Maimun.
Didesain oleh arsitek Italia dan dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Al Rasyid.
Pembangunan istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana
Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan. Istana Maimun terdiri dari 2 lantai
dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap
kanan. Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi depan terdapat bangunan.
Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Raya Medan.
Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga
desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan
gaya Islam, Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari
kawasan Pedagang kaki lima.
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di NTB

Masyarakat yang mendiami pulau Lombok awalnya menganut kepercayaan animisme,


dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari
pulau Jawayakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih
menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya
masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat
untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis
ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi
dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan
peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.

Ketika Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera
Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan,
pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik,
Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan
Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen berjalan
dengan lancar, sehingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama
Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.

Sunan Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok.


Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke
Makasar, Tidore, Seram dan Galeier dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok
dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia
memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen
berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap
menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah
kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dengan dibantu oleh Raden
Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai
kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan
lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden
Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam dan ia sendiri bergerak ke Bali,
dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.

Kerajaan Selaparang NTB - Sejarah IslamDi bawah pimpinan Prabu Rangkesari,


Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah
satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-
manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. ahli sejarah
berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa
Kawi sangat memengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum
intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998)
menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat
mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang
disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan
Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi atau
menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara
lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis dan lain-lain. Bahkan para pujangga
juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-
lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat
Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir
Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim dan sebagainya.

Menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar


yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan
masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama 6 lembar
menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma dan
Warsa.

Danta artinya gading gajah, apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi.
Danti artinya ludah, apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi.
Kusuma artinya kembang, tidak mungkin kembang itu mekar dua kali.
Warsa artinya hujan, apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi
awan.
Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak
senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan
Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.

Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik
memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka
pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan
disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk
memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok,
tetapi ajaran-ajarannya telah dapat memengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang
belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan
Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami
stagnasi dan kelemahan di sana-sini.

Penyebaran Islam di Lombok (abad ke-16)


Ada beberapa versi yang menyebutkan bermulanya penyebaran Islam di Lombok, salah
satunya adalah melalui Bayan, sebelah utara pulau ini. Selain di Bayan, penyebaran agama
Islam juga diyakini berawal dari Pujut dan Rembitan di Lombok Tengah. Masjid kuno yang
terdapat di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu bukti tentang penyebaran Islam dari
wilayah itu.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar
Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang
sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam
masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa,
dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.

Penyebaran Melalui Dakwah


Sampailah kemudian Sunan Prapen di Lombok dalam misi penyebaran agama Islam. Ia
dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut. Dengan kekuatan senjata disebutkan, Sunan
Prapen mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang merupakan warisan Majapahit, lalu
mengislamkan masyarakatnya.
Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni Sunan Prapen melakukan pelayaran dalam upaya
penyebaran Islam ke wilayah timur nusantara dari Gresik lewat pantai utara Jawa. Dia tidak
berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke Bayan. Dari letak geografisnya, Bayan berada di
tepi pantai utara Lombok sehingga sangat mungkin Sunan Prapen melempar sauh di sini.
Belakangan, Sunan Prapen diperkirakan barulah ke Pulau Bali (meski misinya gagal) setelah
dari Sumbawa dan Bima.

Di setiap pantai, penyebaran itu memang ada. Penyebaran dilakukan oleh pedagang-
pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan datangnya dari Jawa, kata budayawan setempat,
Ahmad JD, kepada Republika, tentang asal muasal penyebaran Islam di Lombok melalui
pantai utara. Yang monumental adalah peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa. Ini
menunjukkan adanya jejak wali dari Jawa, yakni Sunan Prapen, lanjutnya.
Penyebaran agama Islam di Lombok disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi Selatan)
dan Bima. Memang ada dua versi mengenai masuknya penyebaran agama Islam di Pulau
Lombok. Versi pertama mengatakan datang dari Jawa, sementara versi satunya lagi yakni
dari Sulawesi atau Makassar, kata Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di
Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah. Juga banyak
versi tentang masuknya abad ke berapa, tambahnya.

BUKTI PENINGGALAN ISLAM DI NTB


1. MASJID KUNO GUNUNG PUJUT

Masjid Kuno Gunung Pujut adalah serpihan sejarah Islam masa lalu di Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Kini kendati tidak lagi dipakai, namun bangunannya tetap menjadi bagian
dari wisata religi dan sejarah yang mengingatkan kepada kita bagaimana penyebaran dan
aktivitas ibadah agama Islam jaman dulu.

Bangunannya hingga kini terletak di sebuah bukit desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah. Masjid ini berukuran 8,6 x 8,6 m terbuat dari bambu dengan atap alang-alang. Tiang
penyangga utamanya (saka guru) ada empat buah, tiang penyangga lainnya berjumlah 28
buah yang sekaligus berfungsi sebagai tempat menempelkan dinding. Kompleks bangunan
masjid ini termasuk pedewa yakni sarana kegiatan ritual bagi penganut ajaran Wetu Telu
pada masa lalu. Kini secara formal kegiatan pengajaran yang terkait dengan Islam Wetu Telu
sudah tidak ada lagi sehingga masjid ini diklasifikasikan sebagai monument mati atau dead
monument.

Selain menjadi saksi sejarah penting, masjid ini sangat unik karena didirikan di atas bukit.
Menurut berbagai publikasi sejarah mendirikan bangunan yang bernilai sakral di sebuah
gunung atau bukit adalah suatu kebiasaan. Di gunung Pujut selain berdiri masjid kuno juga
terdapat bangunan-bangunan lain yang digunakan sebagai ajang pemujaan yang disebut
dengan pedewa. Baik masjid maupun pedewa digunakan sebagai tempat melakukan ritual
agama masa itu
2. MAKAM BATU LAYAR

Makam Batu Layar yang menurut kepercayaan setempat menjadi makam keturunan
Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa makam tersebut merupakan
tempat peristirahatan tokoh Islam berkebangsaan Baghdad bernama Sayid Duhri Al Haddad
Al Hadrami.

Sayid Duhri Al Haddad Al Hadrami dipercaya sebagai salah satu tokoh penyebar agama
Islam di Indonesia. Beberapa publikasi yang lain menyebut nama tokoh Baghdad yang datang
bernama Syeh Syayid Muhammad Al Bagdadi. Entah mana yang benar namun alkisah ia
datang ke Lombok untuk melakukan syiar agama. Setelah agama Islam sempurna, ia ingin
kembali ke negara asalnya. Saat akan pulang ia diantar ke pinggir pantai Batu Layar oleh para
muridnya. Setelah tiba di pinggir pantai, ia duduk diatas batu yang menyerupai sebuah batu.
Tak seberapa lama datanglah hujan lebat disertai dengan angin dan peting. Pada saat itulah
Syeh Sayid menghilang dan yang tertinggal hanyalah seonggok batu tersebut. Cerita itu pun
kemudian melahirkan kisah bahwa yang dimakamkan di makam Batu Layar bukanlah jasad
Syeh Sayid namun kopiah dan sorban yang ia tinggalkan.

Itu sebabnya mengapa makam ini disebut sebagai malam keramat dan sering digunakan
sebagai tempat untuk membayar nazar. Yang dimaksud nazar adalah janji yang biasanya
diucapkan oleh seseorang sebagai bentuk permohonan jika maksudnya terkabul. Beberapa
nazar yang sering diungkapkan oleh para peziarah makam Batu Layar adalah nazar akan
berziarah ke makam ini jika keinginan mereka berangkat haji atau umroh tercapai. Itu
mengapa saat menjelang musim haji, makam Batu Layar ramai dikunjungi mereka yang akan
berangkat ke tanah suci.

4. MASJID KUNO BAYAN BELEQ

Masjid Kuno Bayan Beleq-lah yang punya arsitektur seperti ini. Ukuran masjid ini cukup
kecil, hanya 9 x 9 meter dengan dinding berasal dari anyaman bambu dan beralaskan tanah
liat yang dikeraskan dan dilapisi dengan anyaman tikar bambu. Atapnya terbuat dari bilha-
bilah bambu. Pondasi masjid ini menggunakan batu kali tanpa semen. Unik bukan?
Konstruksi Masjid Kuno Bayan Beleq memiliki makna filosofi yang terdiri dari
kepala, badan dan kaki yang menggambarkan dunia atas, dunia tengah dan dunia
bawah yang merupakan satu kesatuan dalam entitas kosmos masyarakat Lombok
Utara.

Masjid Kuno Bayan Belek ini terletak di kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara
tepatnya berada di perbatasan antara Lombok Utara dan Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat. Kawasan Bayan termasuk jauh dari pusat kota, atau sekitar 80 km
dari Mataram. Oleh karenanya, wilayah ini masih sangat tradisional walaupun tidak
berarti tertutup dari kehidupan modern. Tradisi masyarakat Bayan salah satunya
terlihat dari bangunan rumahnya yang masih mengikuti bangunan asli para leluhur
mereka yang juga mirip dengan arsitektur masjid. Itu mengapa, Anda mungkin agak
kesulitan untuk menemukan masjid ini karena mirip dengan bangunan rumah Bayan
pada umumnya. Masyarakat kampung Bayang juga memiliki beberapa kebiasan
khusus yakni mereka sehari-hari mengkonsumsi padi bulu yakni jenis padi yang
diyakini pertama kali ditanam di sawah Bayan. Ada juga keyakinan jika warga tidak
menanam padi jenis ini maka mereka akan mengalami gagal panen.

Masjid Kuno Bayan Beleq didirikan sekitar 300 tahun lalu. Hingga kini siapa yang
mendirikan masjid ini belumlah jelas. Beberapa sumber mengatakan masjid didirikan
oleh seorang penghulu yang dimakamkan di komplek masjid tersebut yang dikenal
dengan nama Makam Titi Mas Penghulu. Beberapa cerita yang lain menyebutkan
Sunan Giri-lah yang membangun seiring dengan diberikannya sebidang tanah kosong
oleh Raja Bayan kepada dirinya. Ada juga yang menyebutkan bahwa masjid ini
dibangun oleh Sunan Prapen atau yang dikenal dengan nama Pangeran Senopati yang
tak lain merupakan cucu dari Sunan Giri. Kendati sejarah pendirian Masjid Kuno
Bayan Beleq masih simpang siur, namun keunikannya tidak akan membuat Anda
kecewa untuk mengunjunginya.

Nama Beleq di masjid ini berarti makam besar. Ya, ada sejumlah makam yang
berada di kompleks masjid yaitu Gaus Abdul Rozak yang diyakini sebagai penyebar
agama Islam pertama di kawasan ini. Juga ada gubuk kecil di sebelah belakang kanan
dan depan kiri masjid yang merupakan makam tokoh-tokoh agama yang ikut turun
tangan pembangunan dan mengurusi masjid ini sejak awal.

Anda mungkin juga menyukai