Prawacana
Kapitalisme pada awalnya berkembang pada abad ke-16 yang melibatkan ekspansi
keluar yang secara bertahap melintasi wilayah wilayah yang kian luas di dunia dalam satu
jaringan pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu berkembang menjadi
pasar dunia bagi barang-barang dan jasa atau bagi pembagian kerja internasional. Sistem
kapitalis yang baru, lahir pada abad ke 19 dan awal abad ke-20. Sasaran ideal dari sistem
kapitalis ini adalah pasar bebas, di mana berbagai produk industri dapat ditransaksikan. Praktik
ekonomi kapitalistik institusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk awal
kapitalisme perdagangan berkembang pada abad pertengahan. Menurutnya feodalisme pada
saat itu mengikis ke kanan politis dan religius tradisional dalam pertukaran pertukaran kapitalis.
Hal ini yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi yang dominan di
United Kingdom dan pada abad ke-19 kapitalisme menjadi sistem ekonomi dominan di Eropa.
Sistem perdagangan yaitu merkantilisme di mana sistem perdagangan demi profit,
meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi oleh metode produksi non kapitalis. Para
pemimpin merkantilisme menekankan pentingnya kekuasaan negara dan penaklukan luar
negeri sebagai kebijakan utama dari kebijakan ekonomi. Akibatnya, suatu negara akan berusaha
untuk menguasai atau menekan negara lain supaya tidak terjadi kompetisi. Selain itu, negara
penganut sistem merkantilisme akan menjadikan negara lain sebagai pasar barang jadi. Dari
uraian yang di atas terlihat bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul dalam pembahasan
kritis soal kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Beberapa karakter tersebut adalah
penguasaan, baik secara koersi maupun non koersi, eksploitasi, keuntungan atau profit,
ekonomi, dan hubungannya syarat dengan ketidak kesetaraan.
Kapitalisme di indonesia dimulai pada masa orde baru. Sistem ekonomi yang dianut oleh
orde baru salah bertolak belakang dengan sistem perekonomian yang dianut oleh orde
sebelumnya. Seperti yang telah kita ketahui, pada masa orde baru soeharto sangat gencar
untuk melakukan pembangunan dalam berbagai sektor. Hutang luar negeri kita membengkak
pada masa orde baru. pada masa pemerintahan terbaru, soeharto mengadakan kerjasama
dengan berbagai perusahaan swasta luar negeri. Saat itulah, indonesia dianggap telah
menggeser sistem ekonomi nya menuju ke semi kapitalis. Seiring waktu berjalan, industri
swasta di indonesia semakin menjamur. Pada saat itu, hutang luar negeri yang dilakukan oleh
industri swasta mewarnai perekonomian di Indonesia. Hingga pada mas adi mana krisis
moneter besar-besaran terjadi di indonesia. Hal itu yang menjadi penanda bahwa
pembangunan pada masa rezim orde baru telah berakhir.
Pada era reformasi, sistem perekonomian kita justru malah semakin liberal. Hal ini dapat
kita lihat dari beberapa faktor yang tak dilaksanakan oleh pemerintah pasca reformasi. Antara
lain, dihapuskan nya berbagi subsidi dari pemerintah secara bertahap. Lalu yang kedua, nilai
kurs rupiah diambang kan secara bebas. Lalu pada langkah pemerintah memprivatisasi BUMN
serta keputusan indonesia untuk ikut bergabung dalam kancah perdagangan internasional.
Beberapa hal diatas merupakan bukti eksistensi kapitalisme di indonesia yang dimulai sejak era
orde baru.
Perusahaan tersebut memiliki luas konsesi mencapai 34.000 hektar, di mana luas lubang
bekas tambang telah mencapai 14.000 hektar. Selain perusahaan Adaro, perusahaan Kaltim
Prima Coal yang merupakan perusahaan milik keluarga Bakrie saat ini telah memiliki sekitar
23.000 hektar lubang tambang yang belum direklamasi. Belum lagi, keluarga Bakrie juga
memiliki perusahaan Arutmin yang belum lama ini mendapatkan perpanjangan izin dan
peralihan izin dari pkp2p menjadi IUPK melalui surat keputusan yang dikeluarkan pada 2
November 2020. Padahal, kontrak pkp2b Arutmin baru berakhir pada tanggal 1 November
2020. Kedua perusahaan di atas adalah di bawah naungan bumi resource yang saat ini, secara
keseluruhan, setidaknya terdapat lebih dari 87 hektar lubang tambang perusahaan pkp2b atau
setara dengan gabungan luasan kota Bandung dan Jakarta.
Belum lagi, perampasan dan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh
pemerintah yang terjadi di daerah gendeng Jawa Tengah hingga sekarang masih belum
menemui titik temu. Padahal, masyarakat telah memenangkan tuntutan pengadilan PK
terhadap izin eksploitasi sumber daya alam. Ironisnya, kajian lingkungan hidup strategis yang
merupakan rekomendasi dari Presiden Jokowi tidak mampu untuk menggagalkan upaya
pertambangan di sana. Belum lagi, kemenangan masyarakat dalam sidang PK ternyata
digagalkan oleh Gubernur mereka sendiri yaitu Ganjar pranowo. Di daerah lain di Jawa Tengah,
masyarakat Wadas hingga sekarang masih berjuang melawan perusahaan dan pemerintah yang
memaksakan pembangunan bendungan sebagai proyek strategis nasional dengan implikasi
harus melakukan aktivitas pertambangan terlebih dahulu sebagai bahan material dalam
membangun Bendungan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa rezim sekarang adalah rezim
eksploitatif yang melanjutkan eksploitasi sumber daya alam pada masa orde baru.
Isu militerisme juga muncul dalam rezim ini. Hal ini dapat dilihat dari penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi covid 19. Setidaknya
terdapat empat institusi yang tampil ke depan selama masa pandemi, yaitu Badan Intelijen
Negara, Kepolisian Republik Indonesia, tentara Nasional Indonesia dan Badan Nasional
penanggulangan bencana, sebuah lembaga yang sudah sejak lama selalu dipimpin oleh perwira
tinggi militer.
Pada tanggal 4 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 6 tahun 2020 tentang penegakan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan
untuk pencegahan virus covid-19. Di dalam Instruksi Presiden tersebut, presiden
memerintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk memberikan dukungan kepada
Gubernur dan Bupati atau Walikota dengan mengerahkan pasukan untuk melakukan
pengawasan dan pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat. Selain itu, mereka juga
diinstruksikan untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat dan melakukan upaya seefektif
mungkin dalam penegakan hukum terhadap para pelanggar protokol kesehatan. Kita bisa
membaca Hal ini sebagai penekanan berlebihan dalam bidang sosial. Tak Ayal, intruksi ini
menuai banyak kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini karena dalam instruksi ini sama
dengan membuka peluang melegalkan masuknya kembali militer dalam aktivitas-aktivitas non
militer atas nama kedaruratan pandemi.
Reforma agraria kemudian menjadi grand isu bagi para aktivis perkotaan dan kaum tani
dalam perjuangan mendapatkan hak atas tanah untuk kaum miskin di pedesaan. Dalam
memberikan argumen mengenai konflik agraria di Jember ini, buku Dari Lokal Ke Nasional
Kembali Ke Lokal yang merupakan kumpulan riset gerakan sosial kaum tani dalam melakukan
perlawanan (Bachriadi, 2012) menjadi refrensi utama dalam essai ini. Organisasi-organisasi
kunci yang menjadi pendukung dan dinamisator utama gerakan sosial pedesaan dan pro
reforma agraria khususnya mulai tumbuh dan berkembang pada awal tahun ’90-an, baik yang
bekerja di tingkat ‘Nasional” maupun lokal, telah berubah menjadi organisasi-organisasi yang
semakin birokratik dengan penataan organisasi ala korporasi (Bachriadi, 2012).
Ada banyak korporasi yang kita lawan dalam konflik agraria ini. Advokasi melalui
kebijakan juga dilakukan dalam konflik agrarian yang ada di Jember. Advokasi juga telah
dilakukan secara massif. Kita sering mendampingi masyarakat dalam konflik agrarian. Dengan
melakukan pembasisan, kemudian membangun jaringan, kekuatan, dan pengaruh, advokasi
dilakukan. Pemerintah sering kita pertanyakan dan kita tekan atas ketidakjelasan sikap mereka
dalam isu-isu kepemilikikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya. Seperti pengawalan
perancangan RTRW yang sudah dilakukan dalam beberapa tahun kebelakang.
Kami sempat memiliki pertanyaan, dimana letak kekurangan gerakan kita sehingga isu-
isu agrarian tetap saja ada. Isu agrarian memiliki kompleksitas masalah di dalamnya. Aktor-
aktor yang bermain, kelompok yang menjadi backing korporasi, masalah kebijakan, dokumen-
dokumen mengenai kepemilikan lahan merupakan beberapa instrument yang harus disadari
dan dipahami dalam realitas yang dihadapi. Kemudian juga kekuatan yang kita miliki dalam
melakukan perlawanan, strategi yang harus dibangun, dan ancaman-ancaman yang ada
menjadi pertimbangan tersendiri dalam melakukan pendapingan.
Ada bab yang menarik dalam buku Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal yang
membahas mengenai gerakan perlawanan kaum tani. Bab kaum tani miskin harus memimpin
gerakan tani agar gerakan pendudukan tanah dapat mencapai tujuannya menjelaskan secara
tidak langsung bagaimana seharusnya pendampingan oleh aktivis-aktivis perkotaan dilakukan.
Dalam bab tersebut dijelaskan bagaimana Mao The-tung menggerakkan kaum tani miskin di
Tiongkok dalam melakukan revolusi. Dalam perjuangannya, ideologi menjadi aspek yang paling
fundamen dalam membangun kekuatan kaum tani. Petani perlu disadarkan bahwa perjuangan
perebutan lahan tidak hanya sebatas merebut lahan dari musuh, tetapi juga bagaimana
mengubah corak produksi masyarakat. pengorganisasian tani dan peletakan kepemimpinan
kaum tani juga merupakan aspek penting lain yang juga harus diperhatikan setelah lahan-lahan
tersebut direbut.
Isu puger yang sedang di advokasi saat ini mungkin bisa melihat kerangka gerakan
diatas. Pembasisan dilakukan juga dalam rangka peningkatan pengetahuan petani dan
penguatan ideologi petani sehingga petani merasa yakin dan percaya dalam melakukan gerakan
perlawanan. Isu-isu perlawanan kaum tani selalu berdasar pada isu-isu kultural. Pemahaman
terhadap kondisi normal dimana perubahan kelembagaan penting dalam kehidupan petani
belum terjadi perlu untuk dimiliki. Sehingga, ketika kita mengetahui kenyataan sosial sebelum
adanya konflik, kita akan mengetahui pemicu gerakan perlawan petani muncul. Kita juga perlu
tahu titik terminasi kita ada dimana. Penyerahan tongkat estafet kepemimpinan gerakan
perlawanan kemudian perlu di berikan kepada kaum tani sendiri.
Maka, berdasarkan kondisi di atas kami menganggap bahwa kita sekarang menghadapi
situasi krisis. Sebagai organisasi pengkaderan, PMII sejak dulu telah menumbalkan dirinya untuk
membela kepentingan masyarakat secara umum. Bahwa dalam mewujudkan cita-cita
kemerdekaan negara Republik Indonesia dan dengan situasi yang kita hadapi saat ini, kami
melihat bahwa perlu adanya penguatan di ranah Civil Society sebagai strategi melakukan
perlawanan terhadap agenda siapapun yang memiliki implikasi pada kerusakan di berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kami memilih politisi ekstra parlementer sebagai
output dari kaderisasi di wilayah gerakan dalam tubuh organisasi PMII se Jember.
Politisi ekstra parlementer merupakan salah satu dari 7 komunitas imajiner dalam
Pakem kaderisasi kita. Komunitas ini merupakan titik pertemuan mereka yang meyakini gerakan
massa sebagai pintu masuk menuju perubahan. Menjadi politisi ekstra parlementer yang
dengan canggih mengorganisir massa dan kemudian bersama-sama turun jalan untuk
mendesakkan perubahan kebijakan publik. Komunitas ini memiliki karakteristik yang berfokus
pada dialektika antara kultur-struktur-kultur. Selain itu, kader dengan kanalisasi politisi ekstra
parlementer memiliki penguasaan atas pembacaan relasi-relasi content of law (bunyi isi
hukum), structure of law (struktur hukum) dan culture of law (kultur hukum). Mereka juga
selayaknya menguasai teknik-teknik gerakan ekstra parlemen seperti lobby, demonstrasi, opini
publik dan lain sebagainya. Politisi extra parlementer juga harus mampu melakukan pembacaan
terhadap struktur dan kontradiksi-kontradiksi sosial dalam masyarakat.
Landasan-Landasan
A. Landasan Historis
Perkembangan desain instrksional dimulai dari tinjauan tehadap sejarah ilmu dan
metode pengajarannya. Pada abad ke-20, terdapat beberapa gerakan yang muncul selama
berabad-abad. Gerakan-gerakan ini menunjukkan perkembangan ilmu pendidikan dan metode
pengajaran. Karya pertama yang dijadikan acuan dalam melihat dan memetakan babakan
sejarah perkembangan ilmu pendidikan dan metode pengajarannya dapat dilihat dalam karya
Comenius yaitu pada tahun 1592-1670. Karya ini dianggap sebagai kurikulum pertama dalam
sejarah modern. Dua abad setelahnya, Herbart mengembangkan garis besar pertama dalam
praktek pengajaran terkait dengan budaya. Karya ini kemudian menginspirasi para intelektual
ilmu pendidikan dalam mengembangkan teori dan metode pengajaran dalam ilmu pendidikan.
Ziller dan Rein merupakan dua tokoh yang memberikan kontribusi penting dalam
mengambangkan teori langkah-langkah formal intstruksi.sedangkan pada abad ke-20, metode
pedagogi reformasi dan pendekatan pendidikan ekperimental menjadi dua gerakan di bidang
pendidikan yang banyak diikuti oleh organ-organ kependidikan ada saat itu.
Model desain insruksional sendiri muncul pada awal tahun 1960-an. Model ini
merupakan model pengajaran yang berakar pada psikologi pembelajaran dan sibernetika serta
teori sistem. Hingga pada akhir abad ke-20, model pengajaran desain instruksional baru
memulai pengembangannya dengan merumuskan sebuah kurikulum atau silabus pemelajaran.
Hal ini berangkat dari kriikan yang muncul pada saat itu bahwa sekitar 30 didaktik yang
dikemukakan oleh Kron dinilai tidak memberikan sumbangsih yang berarti dalam penentuan
bakat minat dalam cara yang unik dan komprehensif. Kritikan ini dimunculkan oleh Blankertz
dan Nicklis melalui tulisannya. Hingga pada tahun-tahun tersebut, pengembangan kurikulum
dan model desain instruksional tidak menemukan titik integrasinya. Pengembangan model
pengajaran dengan menggunakan model desain instruksional mulai di cari pada akhir abad ke-
20 hingga memasuki abad ke-21. Pencarian ini melibatkan proses inegrasi antara kurikulum
dengan model desain instruksional.
Di sisi lain, perkembangan kuriulum secara lebih luas dapat dilihat melalui perspektif
post-modernisme. Perkembangan kuikulum melalui perspektif post-modern memberikan
pandangan yang lebih luas dengan kompleksitas yang lebih rumit daripada perkembangan
kurikulum yang dilihat melalui pengembangan desain instruksional. Perkembangan kurikulum
dalam perspektif post-modern mempertimbangkan dan mengikuti perkembangan intelektual di
dunia yang juga memiliki kaitan erat dengan dinamika sosial-politik masyarakat pada saat itu.
“Post-modernism has become more than a social condition and cultural movement, it
has become a world view. But its exact nature is strongly contested and this has helped
widen the debate to a world audience. The argument has crystallised into two
philosophies — what I and many others call Neo- and Post-Modernism — both of which
share the notion that the modern world is coming to an end, and that something new
must replace it. They differ over whether the previous world view should be taken to an
extreme and made radical, or synthesised with other approaches at a higher level ... .
Not a few people are now suspicious of [this] attendant confusion, or bored with the
fashion of the term. Yet I cannot think of an adequate substitute for summarising the
possibilities of our condition.” (Slattery, 2006);
Perkembangan kurikulum dalam perspektif post-modern berpijak pada karya Thomas
Kuhn yang mashyur yaitu The Structure of Scietific Revolution. Karya ini memberikan
pembacaan tentang bagaimana paradigma masyarakat berkembang. Setidaknya, terdapat dya
pergeseran paradigma dalam sejarah peradaban mansusia. Pergerseran pertama paradigma
ditandai dengan berubahnya model masyarakat yang pada awalnya meruakan komunitas yang
bertahan hidup dengan cara berburu dan pengumpul menuju pada pembentukan masyarakat
feodal. Periode ini terjadi sekitar 2000 tahun sebelum mashi hingga tahun 1450. Sedangkan,
pergeseran paradigma yang kedua ditandai dengan berkembangnya masyarakat feodal menuju
para mayarakat industri-kapitalis yang mengandalkan teknologi ilmiah, era pemikiran rasional
mulai berkembang, konsumsi sumberdaya alam yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi
serta kemajuan sosial yang begitu pesat. Era ini dimulai setelah terjadinya revolusi industri di
Inggris. Revolusi ini mau tidak mau harus diakui memberikan dampak yang sangat kuat bagi
perubahan konfigurasi dan sistem sosial masyarakat.
Para akademisi post-modern melihat era post-modern sebagai era yang ditandai dengan
munculnya konsep waktu yang berbah dengan cepat, pluralitas masyarakat, serta kompleksitas
sosial-budaya yang semakin tinggi. Hal ini kemudian merangsang para sarjana pascamodern
untuk melakukan reformulasi kurikulum dengan merumuskan konsep baru pengembangan
kurikulum yang dianggap lebih sesuai dengan realitas sosial masa kini. Pengembangan
kurikulum di era post-modern dimulai dengan adanya dekonstruksi narasi besar yang memaksa
pengetahuan melalui relasi kuasa yang timpang. Teori kurikulum di era post-modern memiliki
ciri adanya pengaburan batas-batas antar disiplin ilmu.
Kita patut melihat sejarah bagimana politisai kurikulum di sekolah-sekolah ini dimulai.
Langkah pertama dalam memahami konteks sejarah awal dalam memahami wacana politisasi
ini adalah kita perlu menyadari bahwa kegiatan pendidikan merupakan kegiatan politik. Hal ini
didasari pada argumentasi bahwa proses pendidikan merupakan instrumen dalam menyiapkan
anak-anak untuk menghadapi kehidupan dewasa mereka, mempersiapkan kapasitas mereka
baik secara kognitif maupun secara mental. Perlu diketahui bahwa perdebatan mengenai
gagasan kurikulum nasional pernah terjadi di Inggris pada tahun 1930-an meskipun terjadi
penolakan pada waktu itu karena ditenggarai berbau totalitarianisme. Jauh sebelum itu, pada
tahun 1839, sistem sekolah di Inggris dan Wales diwasai oleh badan pengawasan yang dibentuk
pada tahun tersebut dalam mengawasi efisiensi sekolah pada saat itu. Pengawasan tersebut
digunakan dalam syarat sekolah ketika akan mengajukan pendanaan publik. Hal ini kemudian
diperkuat dengan rekomendasi Komisi Newcastle pada tahun 1861 hingga dekade terakhir abad
ke-19. Penguatan ini terus berlanjut dengan lahirnya undang-undang pendidikan pada tahun
1870 tentang penyediaan pendidikan dan perluasan kurikulum. Undang-undang ini tunduk
pada kebijakan pendanaan yang disebut sebelumnya.
Evolusi kurikulum di bidang pendidikan disebabkan oleh dua faktor yang saling terkait.
Faktor yang pertama merupakan adanya perubahan signifikan yang terjadi dalam kurikulum
sekolah baik yang ada di Inggris maupun tempat lainnya, terutama di Amerika Serikat. Pada
saat itu, di Amerika terdapat gerakan para guru dan pendidik yang berusaha untuk
mengembangkan bentuk-bentuk ketentuan kurikuler yang lebih disesuaikan dengan kondisi
ekonomi, sosial dan politik. Faktor kedua adalah adanya refleksi teoritis yang tak terelakkan
tentang perubahan-pperubahan diatas. Refleksi tersebut kemudian merangsang upaya
membangun jembatan yang menghubungkan antara teori dan praktik pada saat itu. (Kelly,
2004).
B. Landasan Sosiologis
Kita tahu bahwa Era Post-Truth merupakan sebab perpecahan yang pasti, pertama
dalam kelompok-kelompok masyarakat politik dan kemudian kelompok-kelompok masyarakat
sipil. Dalam menghadapi realitas Era Post-Truth, manusia seringkali bersikap reaksioner dalam
menanggapi suatu fenomena yang terjadi, baik yang membenarkan argumentasi fenomena
tersebut maupun yang mengingkari dan menyangkal argumentasi fenomena tersebut. Terdapat
gejala yang tidak sehat pada kader-kader kita di PMII Kabupaten Jember, yaitu kecenderungan
mengafirmasi populisme kiri. Belum lagi, arus pragmatisme yang semakin menggurita dalam
kehidupan mahasiswa saat ini hingga masuk ke dalam sendi-sendi kaderisasi dalam organisasi
kita dewasa ini. Pada saat yang sama, problem klasik yang sudah diramalkan oleh para
pendahulu kita seperti berkurangnya minat baca, keinginan untuk belajar dan menambah
wawasan, serta kebiasaan merefleksikan bacaan dan tanda yang diperlihatkan oleh kondisi
sosial politik semakin menampakkan era kehancurannya di masa kini.
Pada sisi yang lain, hambatan-hambatan yang kita rasakan yang sebenarnya pada zaman
dahulu telah ada, menjadi suatu hambatan yang sangat berat kita selesaikan bahkan hingga
menghambat proses kita saat ini. Hal ini menjadi ironi karena senyampang berkembangnya
zaman maka seyogyanya ada peningkatan sumber daya manusia di dalamnya baik itu dari segi
mental, intelektual, maupun spiritual. Namun seolah-olah, semakin zaman itu berkembang
maka semakin menurun pula kualitas sumber daya manusia kita terutama dari segi mental dan
spiritual.
Gejala tersebut tampak, misalnya, pada gerakan kita di ranah kebijakan maupun pada
tradisi kultural yang sekarang menjadi budaya sub altern dalam organisasi kita. Kami tentu tidak
dapat mengeneralisasi gejala yang tidak sehat itu terjadi pada seluruh kader PMII di Indonesia,
mengingat PMII sendiri merupakan organisasi yang sangat luas dan cabang-cabangnya juga
beragam.
Kekacauan itu sebenarnya merupakan kekhawatiran yang telah diramalkan oleh Para
pengurus kita di PB PMII melalui karyanya yang berjudul “Multi Level Strategi PMII”. Kekacauan
itu dapat kita temukan pada “kiri” yang kini telah meraih populismenya namun kemudian
banyak kehilangan spirit ideologis di dalamnya. Kita tentu dapat melihat secara jelas bagaimana
aksi massa dalam demonstrasi yang sering kita lakukan kini seolah-olah hanyalah sebagai suatu
kegiatan yang wajib dilakukan dalam setiap periode kepengurusan. Namun, apakah kemudian
seluruh peserta aksi massa yang ikut dalam demonstrasi tersebut memahami betul terkait
dengan isu yang mereka bawa dan perjuangkan?
Belum lagi, ada banyak manusia-manusia yang ikut dalam aksi demonstrasi tersebut
yang kemudian hanya sekedar ikut dan pada saat di lapangan mereka meneduh menghindari
sinar panas matahari. Apabila hal ini hanya terjadi sekali dalam rentetan aksi demonstrasi kita,
mungkin dapat dikatakan hal ini merupakan suatu kebetulan semata. Namun, dapat kita Gali
dalam memori kolektif kita bahwa peristiwa ini terjadi berulang-ulang bahkan dapat dikatakan
terjadi dalam setiap aksi Demonstrasi yang kita lakukan. Pada saat yang sama, beberapa dari
kita kemudian melakukan tindakan narsistik dengan mengambil dokumentasi berupa foto yang
kemudian diupload dengan tujuan praktis Semata. Mau tidak mau kita harus mengakui hal itu
sebagai satu realitas yang hidup dalam tubuh organisasi ideologis ini.
Lalu kemudian dalam konsolidasi-konsolidasi yang kita lakukan jarang sekali kita
temukan perdebatan substansial di dalamnya. Bahkan kita seringkali melontarkan kritik tanpa
kemudian berani mempertanggungjawabkan kritik yang kita lontarkan tersebut. Inilah yang
kami sebut sebagai populisme kiri. Bahwa semangat perlawanan yang kita gelorakan kini lebih
mengarah pada eksistensi yang cenderung narsistik tanpa kemudian didominasi oleh spirit
ideologis di dalamnya.
Arus pragmatisme Semakin menjadi kala Presiden Joko Widodo memilih Nadiem
Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bagaimana mungkin
pendidikan di Republik ini diatur oleh seorang yang tidak memiliki latar belakang pendidik
namun justru berlatar belakang pebisnis. Maka tak ayal, pola pendidikan kita saat ini menjadi
lebih kapitalistik daripada yang sebelumnya. Program-program kementerian semakin
mengarahkan mahasiswa-mahasiswa saat ini baik yang tidak mengikuti organisasi ekstra
maupun yang mengikuti organisasi ekstra pada arus pragmatisme. Hal ini sangat jelas tampak
pada program-program seperti pengabdian masyarakat yang seharusnya menjadi ruang bagi
mahasiswa untuk mengamalkan ilmunya secara cuma-cuma karena itu menjadi kewajiban bagi
setiap insan yang diberi ilmu, namun Kementerian kemudian memberikan intensif kepada
mereka yang mengambil program tersebut. Maka, cara berpikir pragmatis, bahwa segala hal
harus ditukar dengan material menjadi konsekuensi logis dari diberlakukannya program
tersebut.
Program lain seperti pertukaran pelajar dan magang pada satu sisi Memberikan manfaat
berupa bertambahnya wawasan baru dan skill bagi mahasiswa dan pada sisi lain mahasiswa
menjadi kurang menguasai terhadap jurusan atau program studi mereka. Hal ini menunjukkan
bahwa Universitas sekarang tidak melahirkan seorang intelektual atau pakar pada bidang-
bidang keilmuan dan hal ini akan menjadi problem serius di kemudian hari.
Namun, gerakan kita per hari ini telah memasuki era baru di mana riset menjadi suatu
hal yang populis dalam kalangan kita. Beberapa sekolah gerakan ataupun kaderisasi formal
yang diadakan oleh lembaga PMII di Kabupaten Jember menjadikan riset sebagai agenda wajib
dengan metodologis yang lebih mendalam sebagai basis pembangunan argumentasi. Kita
sekarang telah mengenal metodologis analisis sosial yaitu PRA. Metodologi tersebut telah
dipelajari oleh beberapa Lembaga PMII yang ada di Kabupaten Jember dan telah
menerapkannya dalam agenda pengawalan mereka.
Kita mulai melawan argumentasi pemerintah dan korporasi dengan data-data lapangan
yang kita kumpulkan langsung dari masyarakat. Kita juga mulai belajar menyusun satu wacana
alternatif yang dapat kita ejawantahkan sebagai solusi dalam melakukan pengawalan kita
selama ini. Di sisi lain, kami melihat bahwa harapan yang digaungkan oleh pemerintah untuk
membangun satu ekosistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan kebodohan
delusional karena tidak dibarengi dengan data faktual.
Penyusunan materi sekolah gerakan dalam ruang lingkup kelembagaan PMII Kabupaten
Jember akan dibagi menjadi tiga jenjang, yaitu tingkatan rayon, tingkatan komisariat, dan
tingkatan cabang. Pembagian ini didasarkan pada medan gerak kelembagaan, kultur
kelembagaan, perkembangan kognitif anggota dan atau kader berdasarkan kaderisasi
formal/non-formal/informal, dan gambaran tantangan masa depan yang akan di hadapi. Dalam
keseluruhan tingkatan kelembagaan, materi sekolah gerakan mengakomodir tiga muatan
materi di dalam susunannya. Ketiga muatan materi tersebut adalah muatan ideologis, muatan
teoritis, dan muatan praksis.
Muatan ideologis menjadi konsekuensi logis dari organisasi yang berbasis pada nilai-
nilai. Muatan ideologis berisi tentang materi-materi yang bersifat sebagai penanaman nilai pada
anggota ataupun kader. Seperangkat nilai tersebut kemudian digunakan sebagai pondasi dan
kerangka yang harus digunakan oleh organisasi ataupun anggota di dalamnya sebagai ruh
dalam ikhtiar meraih tujuan . Muatan ideologis ini berfungsi sebagai muatan yang
menumbuhkan semangat dan Daya juang anggota ataupun kader dalam memperjuangkan apa
yang dianggap benar. Nilai memiliki posisi sentral dalam jantung organisasi, tanpa nilai sebuah
organisasi hanya akan menghasilkan produk tanpa makna yang pada akhirnya hanyalah sia-sia.
Bahwa nilai menjadi penting karena ia akan dapat mempertahankan Semangat perjuangan
hidup hingga akhir hayat, bahwa dengan nilai, Jalan organisasi secara umum dan langkah hidup
anggotanya secara khusus akan dapat menemukan alasan mengapa ia hidup, mengapa ia harus
melakukan perjuangan dan mengapa ia harus terus melakukan pencarian.
Muatan teoretis akan memperkuat aspek kognitif anggota ataupun kader dalam
menghadapi realitas di Medan geraknya. Muatan teoretis berisi tentang materi-materi yang
berfungsi sebagai pisau analisis permasalahan yang dihadapi. Selain itu, muatan teoretis juga
berfungsi untuk memberikan pengetahuan terkait dengan metodologi dalam membedah
realitas dan menemukan akar permasalahan di dalamnya sebelum menyusun suatu langkah
atau strategi advokasi. Dengan kemampuan kognitif yang kuat, anggota ataupun kader
diharapkan mampu untuk memilih dan memilah permasalahan yang substansial dan bersifat
strategis. Pemilihan dan pemilahan ini menjadi penting karena ketika kita keliru dalam memilih
dan memilah persoalan maka akan berdampak pada skema yang akan kita gunakan dalam
advokasi. Maka, muatan teoritis ini menjadi vital dalam fungsinya untuk memperkuat
kemampuan kognitif anggota ataupun kader dan menegaskan identitas anggota ataupun kader
PMII sebagai mahasiswa.
Penyusunan materi sekolah gerakan ini juga dibagi berdasarkan pada rumpun keilmuan
dari lembaga PMII yang ada di Kabupaten Jember. Maka dari itu, dalam menyusun materi
sekolah gerakan di masing-masing kelembagaan, khusus untuk tingkatan rayon, kami membagi
menjadi dua kelompok besar yaitu rayon dengan rumpun keilmuan sosial humaniora dan rayon
dengan rumpun keilmuan eksakta. Pembagian ini berdasarkan pada beberapa argumentasi.
Pertama, perbedaan rumpun keilmuan berdampak pada kultur kelembagaan dan
kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh anggota ataupun kader. Hal ini kemudian
menjadikan adanya perbedaan kognitif antara kedua kelompok tersebut. Kedua, masing-masing
kelompok memiliki arah gerak yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan situasi medan
gerak yang mereka hadapi. Perbedaan situasi Medan gerak ini mempengaruhi budaya
organisasi yang tumbuh di masing-masing lembaga. Ketiga, terdapat perbedaan budaya
akademis antara fakultas rumpun sosial humaniora dengan fakultas rumpun eksakta. Akibat
yang paling sederhana yang dapat dilihat dari perbedaan ini adalah waktu yang dimiliki anggota
ataupun kader untuk berproses di PMII. Selain itu, dengan rumpun keilmuan yang berbeda
maka minat anggota di masing-masing rumpun juga berbeda.
Berdasarkan pada argumentasi argumentasi di atas maka Kami menganggap perlu untuk
membedakan terkait dengan susunan materi sekolah gerakan agar sekolah gerakan yang
diadakan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Pembagian ini bukan bermaksud untuk
membedakan antara lembaga dengan rumpun keilmuan sosial humaniora dengan lembaga
yang berlatar belakang rumpun keilmuan eksakta. Namun, pembagian ini dilakukan agar apa
yang dicita-citakan oleh kita semua perihal kaderisasi di wilayah gerakan dapat berjalan secara
maksimal.
Rayon merupakan tempat pertama di mana anggota ataupun kader berproses di PMII.
Dalam masa-masa ini, anggota mulai mengenal dan mendalami apa itu PMII, bagaimana PMII
bergerak, dan kenapa PMII melakukan proses kaderisasi. Berdasarkan ruang lingkupnya, rayon
berada pada lingkup fakultas di mana rayon memiliki tingkat aktivitas yang cukup tinggi. Selain
itu, anggota yang masih berproses di rayon juga memiliki aktivitas yang padat di dalam kampus.
Artinya orang-orang yang kemudian menghidupi rayon adalah mereka yang masih sangat aktif
di kampus baik di ranah akademik maupun non-akademik.
Sekolah gerakan yang diadakan oleh rayon diharapkan mampu menjadikan anggota-
anggota yang mengikuti sekolah gerakan untuk kemudian mengenal dan mulai memahami hal-
hal apa saja yang menjadi pengetahuan dalam ranah gerakan. Selain itu, sekolah gerakan di
tingkatan rayon juga diharapkan mampu mencetak anggota yang dapat membantu langkah
gerak organisasi baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Di sisi lain, dalam menyusun
materi sekolah gerakan di tingkat rayon, kami mengilhami sistem kaderisasi yang ada di dalam
tubuh organisasi PMII. Sistem kaderisasi yang kami maksud adalah kaderisasi di dalam
organisasi PMII yang terdiri dari radiasi formal non formal, dan informal adalah Suatu kesatuan
yang saling melengkapi satu sama lain. Maka dari itu, kami berharap, demi optimalnya proses
kaderisasi di wilayah gerakan melalui sekolah gerakan ini Maka sangat perlu Bagi pengurus
rayon untuk menunjang kognisi pengetahuan anggota melalui kaderisasi informal secara masif.
Selain itu, kami merekomendasikan bahwa peserta sekolah gerakan di tingkatan rayon
adalah anggota yang telah memiliki masa keanggotaan lebih dari 6 bulan pasca mapaba. Hal ini
didasarkan pada materi yang kami susun dalam sekolah gerakan tingkatan rayon bukanlah
materi-materi yang sangat mendasar. Sehingga diharapkan setelah anggota berproses di rayon
lebih dari 6 bulan pasca mapaba, mereka memiliki pemahaman akan PMII baik secara kultural,
organisasi, dan ideologis yang cukup. Selain itu, peserta juga memiliki pemahaman yang cukup
akan Medan gerak yang mereka hadapi.
A. Rumpun Sosial-Humaniora
Penguatan semangat dan daya juang tersebut kemudian disokong oleh materi Aswaja
dan orientasi gerakan. Sebagai organisasi yang berbasis nilai, utamanya yang menjadikan
Aswaja sebagai kerangka dalam berpikir maupun bergerak, maka seyogyanya Seorang anggota
atau kader PMII memiliki ciri khas dalam gerakan yang mereka lakukan. Materi ini dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman kepada peserta bahwa terdapat rambu-rambu yang perlu
mereka perhatikan ketika menyusun suatu skema gerakan. Sehingga terdapat perbedaan
antara kita sebagai organisasi yang berbasis nilai Aswaja dengan organisasi lain yang berbeda
keyakinan dengan kita.
Materi sejarah gerakan PMII lokal memberikan pengenalan awal kepada peserta sekolah
gerakan akan fatsun gerakan yang selama ini dianut oleh PMII cabang Jember pada umumnya
dan komisariat serta rayon pada khususnya. Dalam fatsun gerakan tersebut, segala corak
gerakan mulai dari rasionalitas, nilai yang dibawa, serta metode yang dipakai terbentuk. Bahkan
mentalitas, perwatakan manusia, serta psikologi sosial tercipta dalam sebuah fatsun gerakan
yang berjalan melalui ruang dan waktu. Dengan pemahaman dasar terhadap fatsun tersebut,
peserta sekolah gerakan diharapkan memiliki bekal pengetahuan mendasar mengenai bentuk
dari gerakan dan pola yang selama ini dipakai oleh PMII di Kabupaten Jember.
Analisis sosial dimaksudkan sebagai pembacaan kenyataan yang mereka hadapi. Materi
ini lebih menekankan pada pembacaan realitas dari sudut pandang Sosio antropologis dalam
bingkai ekonomi dan politik. Bahwa realitas yang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang muncul
secara alami akan tetapi realitas itu merupakan sesuatu yang sengaja dibentuk dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu.
Materi terakhir yaitu strategi advokasi. Peserta gerakan diberikan pemahaman terkait dengan
pendekatan-pendekatan dalam melakukan advokasi dan terdapat beberapa bentuk advokasi
yang biasa dilakukan oleh PMII. Materi ini dimaksudkan agar peserta sekolah gerakan mampu
untuk menyusun sebuah skema gerakan pengawalan terhadap suatu permasalahan yang telah
disokong oleh materi-materi sebelumnya.
B. Rumpun Eksakta
Susunan materi sekolah gerakan untuk lembaga dengan rumpun keilmuan eksakta
memiliki beberapa perbedaan dengan susunan materi sekolah gerakan dari lembaga dengan
rumpun keilmuan sosial humaniora. Namun, terdapat persamaan antar keduanya terutama
materi-materi yang sifatnya ideologis. Yang membedakan di dalam materi ideologis hanyalah
pada tokoh-tokoh yang kemudian ditekankan atau disampaikan kepada peserta sekolah
gerakan. Dalam materi sejarah perjuangan Islam, tokoh-tokoh yang perlu disampaikan kepada
peserta sekolah gerakan ini adalah tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan dengan rumpun
keilmuan eksakta seperti Ibnu Sina, dokter angka, Al Khawarizmi dan tokoh-tokoh yang lain. Hal
ini perlu dilakukan agar menumbuhkan semangat di kalangan anggota PMII yang memiliki latar
belakang eksakta bahwa mereka masih dapat menerapkan nilai-nilai PMII dengan kemampuan
dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Seperti yang kita tahu, bahwa pola dan gerakan PMII
khususnya di Jember didominasi oleh kerja kerja gerakan yang memiliki kaitan erat dengan
rumpun sosial humaniora. Maka hal ini kami anggap perlu agar ruang lingkup kebermanfaatan
anggota PMII semakin lebih luas tidak hanya menyentuh pada sosial humaniora akan tetapi
juga pada ranah perkembangan teknologi.
Medan gerak yang dihadapi oleh komisariat jelas berbeda dengan rayon. Ruang gerak
komisariat adalah berada di lingkup universitas maka sudah menjadi konsekuensi logis apabila
harus dilakukan pengayaan wacana dan ideologisasi yang lebih mendalam. Selain itu, sekolah
gerakan yang diadakan di tingkatan komisariat adalah kelanjutan dari sekolah gerakan yang
diadakan di tingkat rayon. Komisariat dalam menjalankan kerja-kerja gerakannya tentu
membutuhkan sumber daya manusia yang berasal dari rayon rayon yang dinaungi. Di sisi lain,
ruang lingkup yang lebih luas memiliki kompleksitas persoalan yang juga lebih rumit. Maka
diharapkan melalui sekolah gerakan ini, kapasitas sumber daya manusia tersebut dapat
ditingkatkan.
Peserta sekolah gerakan di tingkatan komisariat diharapkan telah Mengikuti berbagai
kegiatan PMII di lingkungannya masing-masing secara aktif. Sehingga peserta sekolah gerakan
ini adalah mereka yang benar-benar telah memiliki bekal cukup untuk mengikuti sekolah
gerakan di tingkatan komisariat. Dalam perkiraan kami, peserta sekolah gerakan adalah mereka
yang telah berproses di PMII selama kurang lebih satu setengah tahun. Selain itu, sekolah
gerakan ini juga menjadi media pengantar sebelum peserta sekolah gerakan ini menempuh
pendidikan kader dasar atau PKD.
3. Islam dan Orientalisme Kisi-Kisi Materi 1. Telaah Metodologi Filsafat Islam dan Visi
Keilmuan
2. Nalar Eropasentrisme dalam
Universalisme
3. Tantangan Islam dalam Menghadapi
Hegemoni Barat
Target Capaian
Materi
Literatur
6. Studi Perencanaan dan Kisi-Kisi Materi 1. Ruang lingkup dan hubungan antara
Analisis Kebijakan hukum dan kebijakan publik
Publik 2. Tahapan dan perumusan kebijakan
3. Bentuk-bentuk analisis kebijakan dan
argumen kebijakan
4. Merumuskan masalah-masalah
kebijakan
5. Rekomendasi aksi-aksi kebijakan
Target Capaian
Materi
Literatur
Di jenjang sekolah gerakan ini, terdapat dua materi ideologis yaitu Aswaja sebagai
wacana perlawanan dan ideologi PMII. Materi Aswaja sebagai wacana perlawanan berisi
tentang metodologi penerapan Aswaja dalam melakukan perjuangan kemanusiaan. Selain itu,
dalam tinjauan historis peserta sekolah gerakan disuguhkan beberapa kritik terkait dengan
penafsiran-penafsiran atas Aswaja itu sendiri. Materi ini juga dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman kepada peserta sekolah gerakan bahwa setiap perjuangan yang mereka lakukan
pada nantinya tidak boleh kemudian keluar dari nilai-nilai Aswaja. Selain itu, materi ini juga
dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat juang bagi setiap peserta untuk melakukan Amar
ma'ruf nahi mungkar.
Materi ideologi PMII, dibutuhkan untuk membaca Apa yang sebenarnya dicita-citakan
oleh PMII. Melalui materi ini, peserta sekolah gerakan diajak untuk mendedah PMII melalui
seperangkat nilai yang ia miliki. Sehingga, diharapkan peserta sekolah gerakan ini memiliki
kemantapan niat dan kebanggaan atas identitas yang mereka emban.
Islam dan orientalisme dibutuhkan untuk membuka wawasan bagi peserta sekolah
gerakan untuk menyadari bahwa terdapat hegemoni yang hidup dalam kehidupan kita saat ini.
Bahkan, tradisi-tradisi Islam menjadi sub alternasi yang hidup dalam budaya mayoritas elit.
Maka diperlukan pengembalian kepercayaan terhadap tradisi Islam dan Nalar kritis atasnya.
Materi ini juga berisi tentang metodologi filsafat Islam dan visi keilmuan Islam yang telah
dibangun oleh para pemikir atau intelektual muslim. Selanjutnya, peserta akan disuguhkan
tentang tantangan Islam ke depan dalam menghadapi arus globalisasi dan hegemoni Barat.
Akan tetapi, bukan berarti kemudian PMII menutup diri dari ilmu pengetahuan yang
berasal dari barat. Hal ini dikarenakan mau tidak mau kita harus mengakui bahwa sangat jarang
intelektual muslim yang melahirkan pemikiran progresif yang sampai menyentuh pada ranah
praktis kehidupan sosial masyarakat. Maka, materi paradigma sosial bertujuan untuk
menambah kekayaan Hasanah pengetahuan dan mempertajam pisau analisis kita dalam
menelaah realitas sosial.
Dalam melakukan kerja-kerja advokasi baik itu advokasi kebijakan atau advokasi lapang
maka diperlukan seperangkat pengetahuan agar skema gerakan yang dihasilkan sesuai dengan
persoalan yang dihadapi. Maka, materi analisis sosial 2 berfungsi untuk memberikan
pemahaman kepada peserta sekolah gerakan terhadap seperangkat pengetahuan tersebut.
Materi ini dibutuhkan untuk melakukan pemetaan kelompok kepentingan, investigasi sosial,
pencarian data, serta analisis secara sistemik.
8. Kisi-Kisi Materi
Target Capaian
Materi
Literatur
9.