Anda di halaman 1dari 11

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.

12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAMPAK PEMBANGUNAN DI ERA GLOBALISASI TERHADAP


PERWUJUDAN HAK ASASI MANUSIA DI LINGKUNGAN YANG BAIK
DAN SEHAT
THE IMPACT OF DEVELOPMENT IN THE ERA OF GLOBALIZATION
ON THE REALIZATION OF HUMAN RIGHTS IN A GOOD AND
HEALTHY ENVIRONMENT
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris

Fakultas Hukum Universitas Muhammadaiyah Malang

Korespondensi Penulis : m.iqbalprasetya2001@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Prasetya, Muhammad Iqbal dan Adyuta Camara Paris. Dampak Pembangunan di Era Globalisasi
terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia di Lingkungan yang Baik dan Sehat. Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022).

ABSTRAK
Perkembangan era globalisasi ekonomi saat ini telah berdampak pada kerusakan
lingkungan. Tentu saja hal ini mempengaruhi akses terhadap perwujudan hak
asasi manusia yang dijamin secara konstitusional dalam rangka mewujudkan
lingkungan hidup yang sehat dan sehat. Semua upaya pembangunan harus
berpegang pada prinsip-prinsip hukum perlindungan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan langkah
demi langkah untuk penegakan hukum di bidang lingkungan dan sumber daya
alam sebagai kewajiban utama untuk memenuhi hak mereka atas lingkungan yang
sehat.
Kata Kunci: Globalisasi, Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup

ABSTRACT
The development of the current era of economic globalization impacts
environmental damage. Of course, this affects access to the realization of human
rights which are guaranteed constitutionally in order to create a healthy and
healthy living environment. All development efforts must adhere to the legal
principles of environmental protection and sustainable development.
Governments must adopt a step-by-step approach to law enforcement in the
environment and natural resources as a primary obligation to fulfill their right to
a healthy environment.
Keywords: Globalization, Human Rights, Environmental

1000
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris
Dampak Pembangunan di Era Globalisasi terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia
di Lingkungan yang Baik dan Sehat

A. PENDAHULUAN
Dampak globalisasi ekonomi 1 yang ditandai dengan munculnya ekonomi
pasar bebas, berpusat pada pasar dan tidak dibatasi oleh hambatan teritorial 2 .
Market bebas dan mengidealkan pasar sebagai tempat dimana semua keputusan
dan tindakan keuangan dibuat oleh individu dalam kerangka pergerakan bebas
uang, barang dan jasa. Terciptanya kondisi pasar bebas berdampak besar pada
kehidupan manusia secara keseluruhan, dimana pemikiran nasional, pola
konsumsi dan pola politik sangat terpengaruh.
Hubungan dan interaksi di pasar bebas telah lama menjadi kebutuhan yang
telah lama mendominasi agen-agen ekonomi, terutama negara-negara maju, di
negara-negara berkembang atau negara miskin. Globalisasi biasanya dianggap
hanya dalam kaitannya dengan ekonomi, termasuk hubungan global. Namun pada
kenyataannya, globalisasi bukan hanya tentang saling ketergantungan ekonomi,
tetapi juga tentang perubahan ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. 3
Peristiwa yang terjadi baik ekonomi atau tidak, memiliki dampak yang lebih
langsung pada masyarakat daripada sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari
capaian revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi. Dampak serius
terkait pasar bebas ini adalah perusahaan multinasional (MNC) yang membuka
peluang bagi agen negara maju untuk mengembangkan investasi di negara
berkembang, sehingga menimbulkan konflik kepentingan ekonomi.4

1
Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manisfestasi yang baru dari pembangunan
kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Manakala ekonomi menjadi terintegrasi,
harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah
didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropa, NAFTA,
AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan.
Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.
Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang
demokratis, memperbaharui mekanisme pasar dan memfungsikan sistem hukum.
2
Secara historis, ide pasar bebas berakar pada konsepsi teoritis, yang diprakarsai oleh :
Adam Smith, David Ricardo dan Frederic Bastiat, yang intinya: kebebasan berdagang akan
mendatangkan kemakmuran. dalam Zain Maulana, Jerat Globalisasi Neoliberal : Ancaman Bagi
Negara Dunia Ketiga, Penerbit Riak, Yogyakarta, 2010, p.181-19.
3
Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, p.35.
4
Hikmahanto Juwana menyebutkan dalam konflik kepentingan ekonomi Negara
Berkembang dan Negara Maju, masalah lain yang mengemuka adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Transnational Corporation (TNC) atau Multinational Corporation (selanjutnya disingkat
“MNC”). MNC adalah perusahaan yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia.

1001
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan ini akan


memanfaatkan sumber daya alam negara berkembang dengan membentuk koalisi
kepentingan dengan otoritas negara tempat mereka berinvestasi. 5 Pemegang
otoritas di negara berkembang umumnya tertarik untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dari otoritas mereka. Perusahaan multinasional (MNCs) di sisi lain juga
antusias menjaga pasokan bahan baku dan barang-barang manufaktur untuk
akumulasi modal, sehingga mereka bersimbiosis dan saling menguntungkan
antara otoritas negara tempat mereka berinvestasi dan investor residen. Adalah
sebuah hubungan antara nggota perusahaan multinasional yang mempengaruhi
lingkungan, kehidupan, dan sumber daya alam. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, situasi ini diperburuk pada tataran praktis oleh kebijakan
desentralisasi di bidang sumber daya alam dalam rangka membangun hubungan
timbal balik antara otoritas negara investor dan investor. Hal ini memungkinkan
daerah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan
melalui kebijakan dan peraturan tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan
hak atas lingkungan. Melihat situasi ini, kita harus memposisikan keberadaan
lingkungan dan sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu hak asasi manusia
(HAM) dan melakukan apa yang harus kita lakukan. 6

Keberadaan MNC sebenarnya bukan hal baru. Pada masa Negara Berkembang masih menjadi
negara jajahan, MNC sudah melakukan kegiatan. Salah satu masalah yang muncul sehubungan
dengan keberadaan MNC adalah kekhawatiran Negara Berkembang atas kekuatan dominan MNC
yang dapat mengancam kedaulatan dan eksistensi negara. dalam Hikmahanto Juwana, Pidato
Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001, p.14.
5
Dalam konteks ini, argumentasi dari Adji Samekto dapat digunakan sebagai pijakan.
Menurutnya, secara historis terjadi perbedaan mendasar dominasi peran Negara, dan juga
kerusakan lingkungan, dalam proses modernisasi antara Negara Maju dan Negara sedang
berkembang. Pada pertumbuhan awal Negara industri di Eropa, proses industrialisasi membutuhkan
modal yang kecil, sehingga modernisasi dapat dihasilkan tanpa campur tangan besar dari Negara.
Sedangkan di negara dunia ketiga membutuhkan modal yang besar karena ketertinggalan negara
tersebut dalam teknologi dan sumber daya. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada
demokratisasi politik, maka di dunia ketiga menciptakan pemerintahan yang dominan, yang
akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi, yang berujung pada kolaborasi antara
kekuatan kapitalistik global dengan penguasa dan pengusaha, sehingga muncul koalisi
kepentingan. dalam Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan,
Yogyakarta, Genta Press, 2008, p.90-91.
6
Pasal 28H UUD NRI 1945 secara tegas mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Hak tersebut justru dikaitkan dengan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Ketika sebuah hak asasi diakui oleh konstitusi, berarti
pemerintah mempunyai amanat untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukannya
(Pasal 71 dan Pasal 72 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

1002
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris
Dampak Pembangunan di Era Globalisasi terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia
di Lingkungan yang Baik dan Sehat

Dari perspektif hak asasi manusia, kita akan mewujudkan pembangunan


yang menyentuh lingkungan dan sumber daya alam. Salah satu modus perusahaan
multinasional (MNC) dalam hal ini adalah kerjasama dengan lembaga publik
dan/atau perusahaan dalam negeri (joint venture). Selain cara ini, pembelian
saham pengendali juga biasa dilakukan setelah melalui mekanisme privatisasi.
Semua metode ini pada akhirnya menempatkan komando dan kontrol hanya pada
perusahaan multinasional. Oleh karena itu, globalisasi sendiri pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran HAM.7
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas dapat mengangkat masalah
berikut: “Bagaimana pembangunan di era globalisasi dapat mencapai hak asasi
manusia untuk lingkungan yang baik dan sehat?”.

B. PEMBAHASAN
1. Globalisasi dan Realisasi Hak Asasi Manusia untuk Lingkungan yang
Baik dan Sehat
Saat ini, dunia berada dalam era globalisasi, menciptakan saling
ketergantungan antar negara yang membutuhkan kerjasama yang erat untuk
membangun kehidupan mereka. Globalisasi juga telah mengubah peran bangsa.
Hal ini perlu disesuaikan dengan realitas baru yang muncul di dunia. Globalisasi
hanya akan berhasil jika bangsa terus berperan aktif di dalamnya dan beradaptasi
dengan realitas baru. Globalisasi tidak menghalangi peran negara, karena manfaat
globalisasi hanya dapat dinikmati jika negara mampu berpartisipasi secara aktif
sesuai dengan tanggung jawabnya. Penggerak utama globalisasi adalah perluasan
kapitalisme global, yang mengharuskan tatanan ekonomi global dipercayakan
pada mekanisme pasar bebas.8 Dalam mekanisme pasar bebas ini, tentunya MNC
yang memiliki modal akan tetap eksis di bidang perdagangan bebas. Bagi pemilik
perusahaan besar, semuanya dilakukan untuk menjaga supremasi. Salah satunya
menciptakan mekanisme pasar yang sangat bergantung padanya, terutama kondisi
pasar di segmen Dunia Ketiga seperti Indonesia.

7
Abdullah Yazid.dkk, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Averroes Press,
Malang, 2007, p.27.
8
Adji Samekto, Op.Cit., p49.

1003
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Modus multinasional yaitu salah satu perusahaan multinasional tersebut


dikatakan bekerja sama dengan pemilik agensi dan perusahaan domestik
(bersama-sama). Selain cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan membeli
saham pengendali sesuai dengan mekanisme privatisasi. Posisi terakhir dari
manajemen dan manajemen hingga perusahaan multinasional. Praktek-praktek
seperti itu menjadi lebih bermanfaat ketika disembunyikan dengan kedok otonomi
daerah. Banyak pemimpin daerah tingkat negara bagian dan kabupaten
memanfaatkan seluas mungkin kerjasama dengan tujuan meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) dan menarik investor asing untuk berinvestasi di
sektor-sektor rentan yang kritis terhadap kerusakan lingkungan seperti perkebunan
dan kehutanan. Hasilnya dapat diprediksi dan bersaing dengan masyarakat lokal
(dalam tataran kebiasaan), terutama di daerah kaya sumber daya alam (SDA).
Hal ini terjadi karena tidak ada ideologi kapitalis yang merupakan semangat
investasi dengan konsep negara kesejahteraan yang lebih berwatak sosialis.
Menurut Frans Magnis Suseno, SDA tersebut hanya digunakan sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan manusia, memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam
secara besar-besaran untuk memaksimalkan keuntungan. 9 Hak Asasi Manusia
(HAM)10 adalah milik setiap orang dan tidak dapat dipisahkan dari perspektif hak
terkait. Hak lingkungan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ekosistem
terpadu yang membentuk sifat miniatur mempengaruhi keseimbangan habitat.

9
Frans Msgnis Suseno, 1997, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.37.
10
Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan HAM sebagai hak-hak mendasar (fundamental)
yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan
kodratnya sebagai manusia. Disebut “universal” karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari
kemanusiaan setiap sosok manusia, apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya,
agama dan kepercayaannya. Sedangkan kata “melekat” atau “inheren” digunakan karena hak-hak
itu dimiliki setiap manusia semata-mata karena keberadaannya sebagai manusia dan bukan karena
pemberian dari suatu organisasi kekuasaan manapun. Mengingat sifat HAM yang “melekat” inilah,
maka hak-hak tersebut tidak dapat dirampas atau dicabut. Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak-hak
Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Pengertiannya yang Klasik Pada Masa-Masa Awal
Perkembangannya” dalam Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad 21, Kumpulan Tulisan
tentang Hak Asasi Manusia, Penerbit Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya dan
The Asia Foundation, Surabaya, 2003, p.4.
Muladi menyatakan bahwa apapun rumusannya, HAM adalah hak yang melekat secara
alamiah (inheren) pada diri manusia sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak
dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Mengingat keberadaannya yang
demikian penting, maka tanpa hak asasi manusia, manusia tidak dapat mengembangankan bakat-
bakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Reformasi Hukum Indonesia, Penerbit The Habibie Center, Jakarta, 2002, p.4.

1004
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris
Dampak Pembangunan di Era Globalisasi terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia
di Lingkungan yang Baik dan Sehat

Tanpa kelestarian ekosistem tersebut, maka keberadaan manusia juga


terancam, sehingga ancaman terhadap ekosistem juga merupakan ancaman
terhadap hak asasi manusia yang merupakan hak asasi manusia yang mendasar.
Menurunnya kualitas lingkungan serta tumbuhnya kesadaran dan minat terhadap
lingkungan dalam masyarakat global telah melahirkan gerakan dan kampanye
lingkungan di berbagai belahan dunia. Gerakan konsumen hijau cenderung
mempengaruhi masyarakat luas untuk mengkonsumsi produk yang bersifat ramah
lingkungan. Langkah ini juga memfasilitasi munculnya permintaan dalam
perdagangan internasional seperti ekolabeling, produksi bersih dan eko-efisiensi.
Alhasil, para pelaku bisnis di negara maju terus melakukan terobosan dalam
pembuatan produk ramah lingkungan. 11
Dari perspektif hak asasi manusia, pemenuhan terhadap Hak Ekonomi dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dijamin oleh Pasal 22 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, yang menyatakan: “Hak-hak sosial dan budaya yang esensial
bagi martabat dan perkembangan kepribadiannya adalah melalui usaha-usaha
domestik dan kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan dan sumber
daya yang tersedia di setiap negara”. Selanjutnya, dalam Pasal 1 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Keduanya (ICCPR) dan Kovenan
12
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)
menyatakan:
a. Semua negara memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak ini
memungkinkan mereka untuk secara bebas menentukan status politik
mereka dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
b. Semua negara bebas untuk mengelola kekayaan dan sumber daya
alamnya untuk tujuan mereka sendiri tanpa mengurangi kewajiban yang
timbul dari saling menguntungkan dan kerjasama ekonomi internasional
berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam keadaan apa pun
tidak dibenarkan untuk mencabut hak negara untuk penghidupan.

11
Djajadiningrat, Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzzaman (Editor), Ecolabelling dan
Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Penerbit PT. Bina Rena Pariwara Jakarta, 1995. dan
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional,
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, p.45.
12
Kedua Konvenan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, ICCPR dalam UU
Nomor 12 Tahun 2005 dan ICESCR dalam UU Nomor 11 Tahun 2005.

1005
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Hak atas sumber daya alam lebih jelas dirumuskan sebagai hak,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 (1) Piagam Afrika tentang Hak Asasi
Manusia dan Hak Rakyat. Hak ini digunakan untuk kepentingan eksklusif rakyat.
Pentingnya sumber daya alam bagi kelangsungan hidup rakyat negara tidak boleh
dikurangi dengan alasan apapun. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 47 Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Pasal 25
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dinyatakan yaitu
“tidak satupun dalam konvenan ini boleh ditafsirkan sebagai mengurangi
hak yang inheren dari semua bangsa untuk menikmati dan memanfaatkan
sepenuhnya dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka.”
Hal ini dapat diartikan sebagai mengganggu hak yang melekat pada semua orang
untuk menikmati kekayaan dan sumber daya alam dan untuk menggunakannya
sepenuhnya dan gratis.
Ketentuan tersebut mencerminkan bahwa sumber daya dan kekayaan alam
merupakan hak yang melekat pada negara tempat ia berada. Hal ini memberikan
kekuasaan dan tanggung jawab kepada negara untuk mengatur dan melindungi
kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Kebebasan untuk
menikmati dan memaksimalkan kekayaan dan sumber daya alam mencerminkan
penolakan campur tangan asing dalam penggunaannya, yang bertentangan atau
merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, secara normatif, kebebasan ini
merupakan salah satu faktor pemenuhan hak penentuan nasib sendiri semua
negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ICESCR dan Pasal 1 (1) ICCPR.
Setiap negara berhak menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan hak ini,
mereka bebas menentukan status politiknya dan mengejar pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya. Pasal ini juga mencerminkan bahwa hak atas sumber daya
alam berkaitan erat dengan ekon, yaitu hak yang diwujudkan dalam bentuk
pembangunan ekonomi. Bagian penting dari bangsa sebagai sumber daya alam
merupakan bagian penting dari pembangunan.
Hak atas lingkungan hidup diatur dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan selanjutnya diatur dengan Undang-
Undang Nomor 32 (UUPPLH) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Tahun 2009. Namun siapa yang berhak atas lingkungan hidup? dalam Pasal
65 (1): “Lingkungan yang baik serta sehat untuk segmen dari hak asasi manusia”.

1006
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris
Dampak Pembangunan di Era Globalisasi terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia
di Lingkungan yang Baik dan Sehat

Pasal 68 (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta


perubahannya menyatakan: “Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan
hidup yang diciptakan oleh hutan”. Serupa dengan Pasal 7 Undang-Undang
Sumber Daya Air Tahun 2004, Pasal 5 menyatakan: “Negara menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna
memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.” Tapi, komitmen ini
masih sebatas penilaian non-mandatory di atas kertas. Satya Arinanto
berpendapat: “Pasal 2 Amandemen UUD 1945 mengandung klausul hak asasi
manusia, jadi meskipun kata-kata beberapa pasal cacat, setidaknya ada satu lagi
dasar hak asasi manusia yang penting. Namun demikian, bukan berarti persoalan
HAM akan segera hilang dari dunia politik dan pemerintahan Indonesia”. 13
Secara keseluruhan, interaksi antara pembangunan dan lingkungan
membentuk suatu interaksi yang disebut ekosistem. Filosofi pembangunan adalah
untuk meningkatkan taraf hidup dan kebahagiaan masyarakat. Selain itu,
keberlangsungan pembangunan di suatu wilayah sangat bergantung pada
bagaimana wilayah di sekitarnya dikelola dan dimanfaatkan. Realitas ini menjadi
landasan filosofis keberadaan Perangkat Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH) tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta menjamin kelestarian
lingkungan dan daya dukung lingkungan berdasarkan prinsip. sebagai bentuk.
Pembangunan berkelanjutan untuk diwujudkan. Menurut Emil Salim 14 , konsep
pembangunan berkelanjutan adalah “suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia
dengan menyeimbangkan sumber daya alam dengan yang sedang dikembangkan”.
Oleh karena itu, segala upaya pembangunan harus berwawasan lingkungan15
dan segala kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan lingkungan hidup selalu
memperhatikan prinsip & tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

13
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Penerbit Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, p.30.
14
Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan, Keperluan Penerapannya di Indonesia:
Mencari Format Politik, Penerbit Gramedia dan LP3ES, Jakarta, 1992, p.3.
15
Konsep Pembangunan berwawasan lingkungan bahkan dijadikan isu global, yang
dikaitkan dengan masalah bantuan luar negeri dalam Perdagangan Internasional. baca Absori,
Hukum Ekonomi Indonesia, Jurnal Hukum Akademika UMS Surakarta, No.01 (1998).

1007
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Prinsip-prinsip hukum perlindungan dan pembangunan berkelanjutan ini bersifat


internasional, termasuk hasil Konferensi Stockholm 1972 dan laporan WCED
(Komisi Pembangunan Lingkungan Dunia) tentang prinsip-prinsip hukum
perlindungan dan pembangunan lingkungan yang turut menarik perhatian.
Menurunnya kualitas lingkungan serta tumbuhnya kesadaran dan minat terhadap
lingkungan dalam masyarakat global telah melahirkan gerakan dan kampanye
lingkungan di berbagai belahan dunia. Gerakan konsumen hijau cenderung
mempengaruhi masyarakat luas untuk mengonsumsi produk ramah lingkungan.
Langkah ini juga memfasilitasi munculnya permintaan dalam perdagangan
internasional seperti ekolabeling, produksi bersih dan eko-efisiensi. Hal ini juga
berarti pengusaha negara maju terus melakukan terobosan dalam pembuatan
barang dengan mengakomodasi ertimbangan lingkungan.16
Orientasi pembangunan hukum yang bersentuhan dengan aspek lingkungan
dan Sumber Daya Alam dan masyarakat harus berubah menuju kepada ide dasar
hukum progresif17 yang berpijak dari asumsi dasar hukum adalah untuk manusia
dan bukan sebaliknya. Hukum bukanlah lembaga yang mutlak dan definitif,
melainkan lembaga moral dan hati nurani. Ada harga yang harus dibayar untuk
pemisahan antara hukum dan kemanusiaan. Faktor manusia dalam hukum sudah
terlalu lama diabaikan untuk memberi ruang lebih pada hukum.

16
Djajadiningrat, Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzzaman (Editor), Ecolabelling dan
Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Penerbit PT. Bina Rena Pariwara, 1995, Jakarta. dan
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional,
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, p.45.
17
Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim, bahwa hukum adalah suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia. Oleh karena itu, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum
hanyalah alat, menerima sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks yang demikian itu, hukum
selalu berada dalam proses menjadi (law as a process, law in the making) yang kualitas
kesempurnaannya bisa diverifikasi ke dalam faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian pada
rakyat. Ketika paradima hukum positif bertumpu pada peraturan perundang-undangan, maka
hukum progresif lebih menekankan pada faktor perilaku. Kritik hukum progresif terhadap hukum
modern adalah ketika negara menjadi pemeran utama dalam hukum modern, maka unsur-unsur
hukum di luar negara menjadi terpinggirkan. Gagasan terhadap hukum progresif Prof. Satjipto
Rahardjo, dapat ditelusuri beberapa karyanya, seperti: (1) Mengajarkan Keteraturan Menemukan
Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder: Pidato Emeritus FH UNDIP Semarang,
2000); (2) Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah Seminar yang disampaikan
pada Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP; (3) Ilmu Hukum: Pencarian,
Pembebasan dan Pencerahan, UMS Surakarta; (4) Beberapa artikel yang dimuat di harian Kompas.

1008
Muhammad Iqbal Prasetya dan Adyuta Camara Paris
Dampak Pembangunan di Era Globalisasi terhadap Perwujudan Hak Asasi Manusia
di Lingkungan yang Baik dan Sehat

Gagasan hukum progresif adalah menempatkan hukum sebagai suatu sistem


yang bertujuan untuk mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang adil dan
makmur serta membuat mereka bahagia. Hal ini bisa disebut hukum induk dan
pro keadilan. Sejalan dengan itu, paradigma hukum perlu diubah dari paradigma
kekuasaan ke paradigma moral dengan seperangkat nilai-nilai egaliter,
demokratis, pluralistik dan profesional dalam rangka membangun masyarakat
madani. Untuk itu, diperlukan konsesi untuk kepentingan investor dan integrasi
ideologi kapitalis dan komunitas sosial dengan masyarakat adat untuk mencapai
stabilitas tertentu.18 Menurut Bernard L.Tanya19, fungsi pengintegrasi hukum bisa
tampil dalam wujud penyelesai dan peredam konflik-konflik, pembagian atau
pendistribusian sumber daya, serta pembuat prosedur-prosedur yang menjamin
keteraturan hubungan antara anggota masyarakat.

C. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah di atas, dapat kita simpulkan bahwa pertama,
kegiatan pembangunan terkait memperhatikan prinsip dan tujuan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Kedua, untuk mencapai tingkat stabilitas
tertentu, perlu menyeimbangkan perbedaan ideologis dalam kerangka integrasi
pemangku kepentingan.

18
Dalam masyarakat industrialis yang berkarakter kapitalis, hubungan antara investor dan
masyarakat adat pada dasarnya dapat diamati sebagai suatu hubungan antara kekuatan-kekuatan
yang berbenturan satu sama lain atau akomodasi terhadap konflik kepentingan, yang pada akhirnya
oleh kebijakan pemerintah demi untuk mendukung kepentingan pemilik modal (investasi), baik itu
BUMN atau BUMS, disepakati adanya hubungan yang harmonis antara pemerintah dan pemilik
modal tersebut, melalui rancang-bangun hukum yang memihak pemilik modal dan memposisikan
masyarakat adat menjadi termarginalkan. Kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemilik
modal ini, memiliki daya mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di antara keduanya.
Pengintegrasian yang demikian bagi Soedjito Sosrodihardjo, selain bertujuan untuk memperoleh
kesepakatan bersama demi mewujudkan ketertiban yang bersumberkan kepada nilai-nilai tertentu,
juga memiliki berimplikasi bisa terjadinya perubahan hukum dalam masyarakatnya, apabila nilai-
nilai yang dijadikan pedoman dalam masyarakat mengalami perubahan. dalam Soedjito
Sosrodihardjo, Tinjauan Hukum Secara Sosiologis, Penerbit Armico, Bandung, 1986, p.67.
19
Bernard L.Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Penerbit Genta Publisng, Yogyakarta, 2010.

1009
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.12 (Desember 2022)
Tema/Edisi : Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bulan Kedua Belas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arinanto, Satya. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.
(Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia).
Djajadiningrat, Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzzaman. 1995. Ecolabelling
dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global. (Jakarta: Penerbit PT. Bina
Rena Pariwara).
Maulana, Zain. 2010. Jerat Globalisasi Neoliberal: Ancaman Bagi Negara Dunia
Ketiga. (Yogyakarta: Penerbit Riak).
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi
Sosial. (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama).
Hidayat, Arief dan FX. Adji Samekto. 2007. Kajian Kritis Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup di Era Pemerintahan Daerah. (Semarang: Penerbit
Universitas Diponegoro).
Juwana, Hikmahanto. 2001. Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan
Ekonomi antara Negara Berkembang dan Negara Maju. Pidato pada
Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Hukum Internasional. (Depok:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
Muladi. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum Indonesia.
(Jakarta: Penerbit The Habibie Center)
Putra, Ida Bagus Wyasa. 2003. Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif
Bisnis Internasional. (Bandung: Penerbit Refika Aditama).
Salim, Emil. 1992. Pembangunan Berkelanjutan, Keperluan Penerapannya di
Indonesia: Mencari Format Politik. (Jakarta: Gramedia dan LP3ES).
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan. (Yogyakarta: Pers Universitas Gadjah Mada).
Samekto, Adji. 2008. Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan.
(Yogyakarta: Genta Press).
Sosrodihardjo, Soedjito. 1986. Tinjauan Hukum Secara Sosiologis. (Bandung:
Penerbit Armico).
Suseno, Frans Msgnis. 1997. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Tanya, Bernard L. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. (Yogyakarta: Penerbit Genta Publisng).
Yazid, Abdullah, dkk. 2007. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. (Malang:
Penerbit Averroes Press).
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2003. Hak-hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan
Pengertiannya yang Klasik Pada Masa-Masa Awal Perkembangannya”
dalam Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad 21, Kumpulan Tulisan
tentang Hak Asasi Manusia. (Surabaya: Penerbit Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Surabaya dan The Asia Foundation).

Publikasi
Absori. Hukum Ekonomi Indonesia. Jurnal Hukum Akademika UMS Surakarta.
No.01 (1998).

1010

Anda mungkin juga menyukai